Efektivitas Keberlakuan Undang – Undang Nomor 23 tahun 2004 Tentang KDRT

Sistem pengakan hukum yang baik menyangkut penyerasian nilai dengan kaedah – kaedah, serta dengan perilaku nyata dari manusia. Maka dari itu perlu di jabarkan mengenai perihal berlakunya kaedah hukum. Dalam hal ini menurut teori ilmu hukum dibedakan dalam tiga macam hal berlakunya hukum.[1] Adapun pembagian tersebut adalah sebagai berikut :

1)      Berlakunya Hukum secara yuridis, dikemukakan oleh berberapa tokoh sebagai berikut :
a  Hans Kelsen menyatakan bahwa hukum mempunyai kelakuan yuridis apabila penentuannya berdasarkan pada kaedah yang lebih tinggi tingkatnya. Dalam hal ini perlu diperhatikan apa yang dimaksudkan dengan efektivitas hukum yang dibedakannya dengan hal berlakunya hukum, oleh karena efektivitasnya merupakan fakta.[2]
b    Menurut Logemann, maka kaedah hukum mengikat apabila menunjukkan hubungan keharusan antara suatu kondisi dan akibatnya.[3]
2)   Berlakunya hukum secara sosiologis, perihal tersebut menuruy Soerjono Soekanto ada  dua teori, sebagai berikut :
a  Teori kekuasaan yang pada pokonya menyatakan bahwa hukum berlaku secara sosiologis, apabila dipaksakan berlakunya oleh penguasa dan hal tersebut terlepasa apakaha masyarakat menerima atau menolaknya.
b   Teori pengakuan yang berpokok pangkal pada pendirian behwa berlakunya hukum didasarkan pada penerimaan atau pengakuan oleh mereka kep[ada siapa hukum tersebut dituju.[4]

3)     Berlakunya hukum secara filosofis. Artinya bahwa hukum tersebut harus esuai dengan cita – cita hukum, sebagai nilai positif yang tertinggi, misalnya, Pancasila, masyarakat yang adil dan makmur.[5]

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Rifka Annisa Women Crisis Centre (RAWCC) pada tahun 1995 tentang kekerasan dalam rumah tangga terhadap 262 responden (istri) menunjukan 48% perempuan (istri) mengalami kekerasan verbal, dan 2% mengalami kekerasan fisik.  Tingkat pendidikan dan pekerjaan suami (pelaku) menyebar dari Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi (S2); pekerjaan dari wiraswasta, PNS, BUMN, ABRI.  Korban (istri) yang bekerja dan tidak bekerja mengalami kekerasan termasuk penghasilan istri yang lebih besar dari suami.[6]

Hasil penelitian kekerasan pada istri di Aceh yang dilakukan oleh Flower  tahun 1998 mengidentifikasi dari 100 responden tersebut ada 76 orang merespon dan hasilnya 37 orang mengatakan pernah mengalami tindak kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan berupa psikologis (32 orang), kekerasan seksual (11 orang), kekerasan ekonomi (19 orang), kekerasan fisik (11 orang).  Temuan lain sebagian responden tidak hanya mengalami satu kekerasan saja.  Dari 37 responden, 20 responden mengalami labih dari satu kekerasan, biasanya dimulai dengan perbedaan pendapat antara istri (korban) dengan suami lalu muncul pernyataan-pernyataan yang menyakitkan korban, bila situasi semakin panas maka suami melakukan kekerasan fisik.[7]

Data yang menarik diambil dari LBH APIK JakartaSejak disahkannya UU No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga pada 22 September 2004 dan diberlakukan satu bulan kemudian, tidak banyak kasus yang dapat diproses secara hukum. Hal ini dapat dilihat dari sekian banyak data pengaduan kasus KDRT yang diterima LBH APIK Jakarta, kebanyakan korban mengambil keputusan yang ekstrim untuk memutus rantai KDRT, yakni dengan mengajukan perceraian ke Pengadilan. Di tahun 2005, dari 325 kasus KDRT yang diadukan ke LBH APIK Jakarta, terdiri dari 19 kasus diproses secara hukum (dilaporkan ke polisi), dan 142 kasus diproses dengan mengajukan perceraian. Sedangkan di tahun 2006, sampai dengan bulan Agustus, terdapat 239 kasus KDRT, dengan penyelesaian perceraian sebanyak 124 kasus, dan 5 kasus dilaporkan ke polisi.[8]

Demikian juga hasil penelitian dari Komisi Perempuan pada tahun 2005.Hasil penelitian tersebut mengindikasikan 72% dari perempuan melaporkan tindak kekerasan sudah menikah dan pelakunya selalu suami mereka.  Mitra Perempuan (2005) 80% dari perempuan yang melapor pelakunya adalah para suami, mantan suami, pacar laki-laki, kerabat atau orang tua, 4,5% dari perempuan yang melapor berusia dibawah 18 tahun.[9]  Sementara Pusat Krisis Perempuan di Jakarta pada tahun 2005 memilki data 9 dari 10 perempuan yang memanfaatkan pelayanan mengalami lebih dari satu jenis kekerasan (fisik, fisiologi, seksual, kekerasan ekonomi, dan pengabaian), hampir 17% kasus tersebut berpengaruh terhadap kesehatan reproduksi perempuan. [10]

Hasil penelitian kekerasan pada istri di Aceh yang dilakukan oleh Flower  tahun 1998 mengidentifikasi dari 100 responden tersebut ada 76 orang merespon dan hasilnya 37 orang mengatakan pernah mengalami tindak kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan berupa psikologis (32 orang), kekerasan seksual (11 orang), kekerasan ekonomi (19 orang), kekerasan fisik (11 orang).  Temuan lain sebagian responden tidak hanya mengalami satu kekerasan saja.  Dari 37 responden, 20 responden mengalami labih dari satu kekerasan, biasanya dimulai dengan perbedaan pendapat antara istri (korban) dengan suami lalu muncul pernyataan-pernyataan yang menyakitkan korban, bila situasi semakin panas maka suami melakukan kekerasan fisik.[11]

Dari data yang penulis himpun dari berbagai penelitian mengenai kekerasan dalam rumah tangga yang dialami oleh perempuan, dapat penulis ambil kesimpulan bahwa setiap tahun angka kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga  relatif menunjukkan angka yang meningkat. Bahkan hal tersebut tetap terjadi setelah diberlakukannnya Undang – Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga oleh pemerintah. Keberlakuan undang – undang tersebut  ternyata tidak mampu menekan angka jumlah kekerasan tersebut. Oleh sebab itu maka dapat disimpulkan bahwa eksisitensi penegakan Undang –Undang Nomor 23 tahun 2004 tidak efektif dalam upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga. Terhadap permasalahan tersebut penulis kemudian mencoba meneliti dan manganalisa faktor - faktor apakah yang menyebabkan terjadinya kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga.

B       Faktor – faktor penyebab terjadinya kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga
Terdasapat berebrapa faktor yang menyebabkan masih tingginya angka kekerasan terhadap premapuan dalam rumah tangga, dari hasil analisa dan penelitian penulis maka dapat di rangkum hal – hal sebagai berikut :
1        Adanya budaya patriaki dimasyarakat
Kekerasan dapat terjadi di dalam lingkup anggota rumah tangga secara keseluruhan, bukan hanya kekerasan suami terhadap isteri. Namun dari data yang diperoleh baik hasil penelitian maupun laporan kasus dari berbagai lembaga yang peduli terhadap perempuan, menunjukkan bahwa mayoritas kasus dalam rumah tangga adalah kekerasan suami terhadap isteri.
Pasal 1 ayat (1) UU  No. 3 Tahun 2004 menyatakan bahwa :
Kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.

Lebih ekplisit lagi, Pasal 5 UU  Nomor 23 Tahun 2004 menyatakan bahwa :
Setiap orang di larang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangga dengan cara (a) kekeraan fisik, (b) kekerasan psikis, (c) kekerasan seksual, dan (d) penelantaran rumah tangga.

Dari definisi tersebut di atas terlihat UU ini tidak semata-mata untuk kepentingan perempuan tetapi juga untuk mereka yang tersubordinasi. Jadi bukan hanya perempuan dewasa maupun anak-anak, tapi juga laki-laki baik dewasa maupun anak-anak. Hanya selama ini fakta menunjukkan bahwa korban yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga adalah perempuan. Hal ini penting untuk dipahami bersama, karena masih ada anggapan dari sebagian besar masyarakat yang memandang sinis terhadap peraturan di atas, seolah-olah tuntutan tersebut terlalu dibuat-buat oleh perempuan. Menghapus lingkaran kekerasan merupakan masalah yang kompleks, bukan hanya melihat efektif tidaknya suatu peraturan perundangan yang sudah ada, namun budaya yang telah tertanam kuat di masyarakat dapat menjadi landasan perilaku seseorang.[12]

Kesetaraan gender belum muncul secara optimal di masyarakat, ditambah lagi dengan budaya patriarki yang terus langgeng membuat perempuan berada di dalam kelompok yang tersubordinasi menjadi rentan terhadap kekerasan. Di sini laki-laki dalam posisi dominan atau superior dibandingkan dengan perempuan. Anggapan isteri milik suami dan seorang suami memiliki kekuasaan yang lebih tinggi daripada anggota keluarga yang lain, menjadikan laki-laki berpeluang melakukan kekerasan.[13]

Kekerasan yang dilakukan dalam rumah tangga akan berpengaruh pada anak karena sifat anak yang suka meniru segala sesuatu yang dilakukan orang terdekatnya, dalam hal ini ayah dan ibunya. Anak akan menganggap wajar kekerasan yang dilakukan ayahnya, sehingga anak laki-laki yang tumbuh dalam lingkungan seperti itu cenderung akan meniru pola yang sama ketika ia bersiteri kelak.[14]
Latar budaya patriarki dan ideologi gender berpengaruh pula terhadap produk perundang-undangan. Misalnya pasal 31 ayat (3) UU No.1 tahun 1974 tentang perkawinan menyatakan bahwa:

“Suami adalah kepala keluarga & istri ibu rumah tangga.”

Hal ini menimbulkan pandangan dalam masyarakat seolah-olah kekuasaan laki - laki sebagai suami sangat besar sehingga dapat memaksakan semua kehendaknya termasuk melakukan kekerasan. Ada kecenderungan dari masyarakat yang selalu menyalahkan korbannya, hal ini karena dipengaruhi oleh nilai masyarakat yang selalu ingin harmonis Walaupun kejadiannya dilaporkan usaha untuk melindungi korban dan menghukum pelakunya, sering mengalami kegagalan karena KDRT khususnya terhadap perempuan tak pernah dianggap sebagai pelanggaran terhadap hak asasi manusia.[15]

2. Rendahnya pendidikan dan pengetahuan  perempuan sebagai isteri
Faktor rendahnya pendidikan isteri membuat seumai merasa selalu memilki kedudukan lebih dalam rumah tangga. Para suami menganggap isteri hanyalah hanyalah pelaku kegiatan rumah tangga sehari hari. Selain itu juga ada suami yang malu mempunyai istri yang pendidikannya rendah, lalu melakukan perselingkuhan.[16] Ketika diketahui oleh istrinya, malah istri mendapat perlakuan kekerasan dari suami.
Ada anggapan bahwa kekerasan dalam rumah tangga merupakan urusan intern suami istri yang hubungan hukumnya terikat di dalam perkawinan yang merupakan lingkup hukum keperdataan. Isteri yang mengalami kekerasan yang berpendidikan rendah juga buta terhadap pengetahuan di bidang hukum. 
Dengan demikian tatkala terjadi pelanggaran dalam hubungan antar individu tersebut penegakkan hukumnya diselesaikan dengan mengajukan gugatan ke pengadilan oleh si isteri yang merasa dirugikan. Dalam hal ini hakim biasanya menyelesaikan dengan merujuk pada UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Undang-undang perkawinan tidak mengatur sanksi yang dapat dijatuhkan kepada pelaku KDRT  seperti halnya hukum publik (hukum pidana).[17] Karena sanksi tersebut tidak ada maka tidak ada efek jera bagi suami sebagai pelau kekerasan, sehingga kekerasan tersebut tetap saja terjadi untuk seterusnya.

3.  Diskriminasi dan ketergantungan secara ekonomi
Diskriminasi dan pembatasan kesempatan bagi wanita untuk bekerja mengakibatkan wanita (istri) ketergantungan terhadap suami, dan ketika suami kehilangan pekerjaan maka istri mengalami tindakan kekerasan. Jadi, meskipun kekerasan yang dialami terkadang tergolong dalam KDRT berat, korban tidak ingin pelaku dihukum/dipenjara, mereka hanya mengharapkan pelaku (suami) dapat merubah perilakunya tersebut. Sehingga, tak jarang korban baru menempuh proses pidana atau perdata ketika kekerasan tersebut benar-benar sudah berat dan berulangkali terjadi. Sebagaimana yang dialami oleh salah satu mitra (klien) LBH APIK Jakarta mengadukan kasus KDRT yang dia alami selama berpuluh-puluh tahun dan mengajukan perceraian ketika usianya 75 tahun dan anak-anaknya sudah dewasa semua.[18]

Adanya ketergantungan si isteri tehadap suami mengakibatkan terkadang isteri membiarkan saja kekerasan tersebut terjadi (lumping it). Karena sang isteri tidak memilki keterampilan dan pendidikan yang layak mereka menjadi takut apabila sang suami pergi atau masuk penjara apabila melaporkan ke pihak berwajib atas terjadinya KDRT.[19]

Contoh lainnya lagi adalah sebagaimana yang dailami oleh ibu Meta salah satu korban KDRT. Korban memilih untuk tidak ditempuhnya jalur hukum karena biasanya kekerasan dalam rumah tangga mempunyai kondisi yang berbeda dengan kekerasan lainnya. Dalam KDRT, antara pelaku dan korban umumnya mempunyai kedekatan personal dalam artian mempunyai relasi intim, ketergantungan secara emosi dan ekonomi. Ini yang membuat korban terkadang enggan memproses kekerasan yang dialaminya secara hukum dan lebih memilih jalur di luar hukum seperti mediasi atau pisah/cerai. Namun, ternyata pilihan yang dianggap baik ini juga tidak menghentikan kekerasan yang dialami korban. [20]

Sebagai ilustrasi, kasus ibu Meta, seorang stylist yang mendapat kekerasan dari suami selama 10 tahun perkawinannya. Dan keputusan untuk hidup berpisah dengan suaminya, yang sudah dilakukan selama 1,5 tahun terakhir ini bersama anak-anaknya (3 anak), ternyata bukan jalan terbaik dalam menyelesaikan/memutus kekerasan yang dialaminya. Bahkan terakhir, ibu Meta mendapatkan kekerasan fisik berat yang menyebabkan kepala dan dahinya terluka serta harus mendapatkan jahitan sekitar 15 cm karena mendapatkan serangan senjata tajam (dengan cutter) oleh suaminya. Bahkan akibat luka ini, ibu meta sempat dirujuk ke beberapa rumah sakit karena parahnya luka yang dideritanya.[21]

Ketika mengadukan ke sebuah Lembaga Bantuan Hukum (LBH), ibu Meta hanya menginginkan penyelesaian secara hukum, rasa aman bagi dia dan anak-anaknya, serta nafkah bagi anak-anak. Selain itu, dari informasi yang tergali, ternyata salah satu penyebab kekerasan tersebut adalah karena stigma pekerjaan yang dijalani ibu Meta (sebagai stylist) yang membuat dia dekat dengan banyak orang dan mengharuskan ibu Meta pulang malam. [22]

4. Lemahnya pemahaman dan penanganan dari aparat penegak hukum
Untuk kasus-kasus yang diselesaikan secara pidana pun banyak kendala yang dihadapi. Di sini polisi menyarankan untuk berdamai saja. Apabila mau diproses laporan harus sudah dilakukan tiga kali. Hal ini berakibat lemahnya barang bukti, karena jarak antara penganiayaan dan pelaporan sudah lama terjadi. Jadi visum et repertum tidak mendukung sebagai bukti. Disamping itu menganggap KDRT persoalan pribadi bukan diselesaikan oleh aparat[23]. Disamping itu ada kendala lain yaitu Kesulitan menghadirkan saksi, karena aparat penegak hukum (polisi, jaksa, hakim) selalu memaksakan agar korban menghadirkan saksi yang benar-benar melihat terjadinya pemukulan atau tindakan penganiayaan lainnya. Untuk hal ini tentu akan sulit untuk menghadirkan saksi karena biasanya penganiayaan terjadi di ruang yang tertutup seperti kamar tidur. Andai pun ada yang mengetahui, mereka akan takut untuk bersaksi.[24]

Kendala lain adalah bahwa dalam pelaksanaan dan penerapan pasal-pasal dalam UU PKDRT. Antara lain penafsiran beberapa pasal kekerasan dalam rumah tangga yang berbeda antara penegak hukum maupun masyarakat sendiri. Seperti contoh kasus  yang dialami oleh Ny. M. Putusan hukuman yang hanya 2 bulan dikarenakan hakim menafsirkan bahwa KDRT fisik yang dilakukan oleh suami hanya diakomodir pada pasal 44 ayat 4 saja, serta luka yang dialami korban adalah luka ringan yang tidak mengganggu kegiatan sehari-hari dan tidak mendapatkan perawatan yang intensif (opname). Padahal, berdasarkan visum et repertum dari rumah sakit, korban mengalami patah tulang serta kehilangan indra penciumannya. Hal ini juga dikuatkan saksi ahli dimana memberitahukan bahwa luka tersebut harus dievaluasi lagi satu tahun kemudian, jika tidak pulih indra penciumannya, berarti korban mengalami cacat permanent.[25] Hal inilah yang menjadi kendala bagi korban untuk menggapai keadilan. Selain itu, masalah pembuktian maupun belum adanya Peraturan Pemerintah yang mengatur pelaksanaan pemberian perlindungan maupun penanganan masih menjadi penghambat bagi korban maupun penegak hukum. [26]

Kesimpulan
Kekerasan dalam rumah tangga adalah salah satu jenis kekerasan yang berbasis gender disamping kekerasan jenis lainnya seperti perkosaan, pelacuran, pornografi, pelecehan seksual, dsb. Dari berbagai hasil penelitian maupun laporan kasus dri lembaga-lembaga yangpeduli terhadap perempuan menunjukkan korban kekerasan dalam rumah tangga terus meningkat.
Dengan keluarnya Undang - Undang Nomor 23 Tahun 2004 menunjukkan kepedulian pemerintah terhadap perempuan khususnya, penghapusan kekerasan dalam rumah tangga. Bahkan dengan keluarnya Undang-Undang ini ada pergeseran dari masalah hukum privat ke hukum publik. Artinya dalam meningkatkan perlindungan perempuan, negara ikut campur menentukan hukuman bagi pelaku kekerasan. Namun kenyataan di lapangan peraturan tersebut belum secara efektif dilaksanakan. Penulis menyimpulkan secara garis besar dalam kenyataan dilapangan ada berberapa hal yang menyebabakan KDRT tetap terjadi meski sudah ada peraturan hukum yang mencoba mengatasi hal tersebut. Hal tersebut adalah sebagai berikut :
1        Adanya budaya patriaki dimasyarakat
2        Rendahnya pendidikan dan pengetahuan perempuan sebagai isteri
3        Dikriminasi dan ketergantungan secara ekonomi
4        Lemahnya pemahaman dan penaganan dari aparat penegak hukum
Secara sosiologis solidaritas wanita di seluruh dunia maupun di setiap negara cenderung menunjukkan peningkatan baik dari sisi kelembagaan maupun dari sisi praktisnya. Hal ini terjadi karena kesadaran perempuan akan hak-haknya semakin meningkat. Dewasa ini sudah banyak perempuan yang berani tampil, bukan saja mempertahankan hak-haknya, tapi mengadukan kepada yang berwajib tatkala mengalami perlakuan sejenis kekerasan yang akhirnya menjatuhkan martabat kemanusiaan, walaupun mengandung berbagai resiko.
Saran
Keberadaan Undang – Undang Nomor 23 tahun 2004 yang mengalami berbagai permasalahan dalam penerapan menurut penulis perlu untuk ditinjau kembali. Karena secara materi undang – undang ini masih terlalu banyak kelemahan di sana – sini, sehingga penegakan hukumnya di masyarakat masih sangat sulit. Apabila kita kaji secara teoritis berdasarkan teori pemberlakuan hukum, maka Undang – Undang Nomor 23 tahun 2004 ini masih lemah dalam pemberlakuannya secara filosofis dan sosilogis. Sebagaimana kita pahami bersama bahwa undang - undang yang baik hendaknya tidak bertentangan dengan nilai filosofis serta antara das sein dengan das solen tidak memilki rentang yang terlalu jauh


Daftar Pustaka


[1] Soerjono Soekanto,1983, Berberapa Permasalahan Hukum Dalam Kerangka Pembangunan di Indonesia, UI Press, Jakarta, hlm 34
[2] Hans Kelsen,2007,Teori Hukum Murni,Nusamedia, Jakarta, hlm 206
[3] J.H.A Logemann, 1954, Over de Theorie Van Een Steeling Staatrecht, P.T.Penerbit, Jakarta
[4] Soerjono Soekanto, Op Cit hlm 35
[5] Ibid
[6] Keumalahayati, Kekerasan Terhadap Perempuan Dalam Rumah Tangga Menyebabkan  Gangguan Reproduksi,  pada http://152.118.148.220/pkko/files, diakses 29 April 2011.
[7] Ibid
[8] Estu Affany 2007, Keberadaan UU KDRT belum mengahpuskan kekerasan dalam rumah tangga, diakses dari blog pribadi Esti Affany.
[9] Komisi Nasional perempuan, 2006, Peta Kekerasan Pengalaman Perempuan Indonesia, Penerbit Ameepro, Jakarta
[10] Keumalahayati, Op Cit
[11] Ibid
[12]Nani Kurniasih, Kajian Sosio Yuridis Terhadap Kekerasan Yang Berbasis Gender, pada situs http://www.uninus.ac.id, diakses pada 29 April 2011.
[13] Ibid
[14] Ibid
[15] Ibid
[16] Pikiran Rakyat, 21 April 2007,Laporan P2TP2 Kota Bandung,, pada www.pikiranrakyat.com, diakses 29 April 2011.
[17] Nani Kurniasih, Op Cit
[18] Estu Affany, Op Cit
[19] Nani Kurniasih, Op Cit
[20] Estu Affany. Op Cit
[21] Ibid
[22] Ibid
[23] Ibid
[24] Ibid
[25] Estu Affany, Op Cit
[26] Ibid

Comments