"Untuk memberi kepastian hukum, kini, saat yang tepat bagi pemerintah dan DPR membahas perubahan UU Ketenagakerjaan."
A. Outsourcing dan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu
Belakangan
ini outsourcing menjadi salah satu kosa kata yang populer. Sebenarnya,
praktik outsourcing sudah berlangsung sebelum pemerintah mengundangkan
UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan).
Praktik outsourcing sangat mudah kita temukan terutama pada sektor
pertambangan minyak dan gas bumi (migas).
Sebelum UU
Ketenagakerjaan berlaku sebagai hukum positif, UU bidang perburuhan
tidak mengatur sistem outsourcing. Pengaturan tentang outsourcing dan
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) pertama kali diatur dalam
Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenaker) No 5 Tahun 1995 dan
Peraturan Menteri Tenaga Kerja No 2 Tahun 1993. Melihat subtansi Bab IX
UU Ketenagakerjaan khususnya mengenai PKWT, pembentuk undang-undang
mengadopsi isi dari dua Permenaker di atas.
Dalam perkembangannya,
lantaran dianggap tak memberikan jaminan kepastian bekerja, tak lama
setelah UU Ketenagakerjaan diberlakukan, sebanyak 37 serikat
pekerja/serikat buruh mengajukan perlawanan ataslegalisasi sistem
outsourcing dan PKWT ini. Caranya dengan mengajukan uji materi (judicial
review) ke Mahkamah Konstitusi (MK) sebagaimana teregistrasi dengan
permohonan No 12/PUU-I/2003.
Ada beberapa pasal yang diuji,
termasuk Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 UU Ketenagakerjaan yang
mengatur soal outsourcing. Saat itu, MK menolak permohonan atas ketiga
ketentuan tersebut. Salah satu pertimbangan dalam putusan No
12/PUU-I/2003 mengatakan, sistem outsourcing tidak merupakan modern
slavery dalam proses produksi.
Upaya buruh melawan sistem
outsourcing dan kerja kontrak seakan tidak pernah berhenti. Buktinya,
tuntutan untuk menghapus sistem outsourcing dan buruh kontrak kembali
memasuki gedung MK.
Dalam register permohonan No 27/PUU-IX/2011
tercatat Didik Supriadi mewakili Aliansi Petugas Pembaca Meter Listrik
Indonesia (AP2MLI) mengajukan judicial review terhadap Pasal 59, Pasal
64, Pasal 65 dan Pasal 66 UU Ketenagakerjaan.
Lembaga pengawal
konstitusi itu mengabulkan permohonan Didik Supriadi untuk sebagian dan
menolak permohonan atas Pasal 59 dan Pasal 64 UU Ketenagakerjaan. Secara
eksplisit MK menyatakan kedua ketentuan itu tidak bertentangan dengan
UUD 1945.
Serikat pekerja/serikat buruh menyambut putusan MK itu
dengan argumen tak senada. Ada yang gembira dan ada yang mencibir.
Kelompok yang gembira berasumsi bahwa MK telah menyatakan outsourcing
dan PKWT sebagai praktik illegal. Asumsi lain menyimpulkan, MK telah
menghapus sistem outsourcing dan PKWT. Yang mencibir berkata, putusan MK
melegalisasi dan mengkonstitusionalkan sistem outsourcing dan PKWT.
Sambutan
pekerja/buruh atas putusan MK itu sudah pasti berbeda dengan
pemerintah. Itu konsekuensi dari psikologi politik. Bagaimanapun,
substansi undang-undang yang dikabulkan oleh MK itu merupakan karya
perjuangan pemerintah di gedung DPR. Pertimbangan MK mengatakan Pasal 65
ayat (7) dan Pasal 66 ayat (2) huruf (b) UU Ketenagakerjaan
inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional) membuktikan
bahwa isi UU Ketenagakerjaan semakin banyak yang bertentangan dengan UUD
1945. Putusan MK seperti itu cukup sebagai argumen menuduh DPR dan
pemerintah telah mengabaikan konstitusi saat menyusun materi
undang-undang.
Putusan MK No 27/PUU-IX/2011 ini juga memberi efek
kejut yang lebih dasyat bila dibandingkan putusan MK lainnya di bidang
Ketenagakerjaan. Ada yang mengatakan, dasar hukum outsourcing tidak sah
pasca putusan MK. Bahkan, PKWT yang sudah ditandatangani sebelum putusan
MK oleh sebagian kalangan dinilai telah bertentangan dengan putusan MK.
Untuk
menjawab hal itu Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan
Jaminan Sosial Tenaga Kerja Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi
menerbitkan Surat Edaran (SE) No. B.31/PHIJSK/I/2012 tanggal 20 Januari
2012. Butir akhir dari SE itu menguraikan sikap Kemenakertrans berkaitan
dengan efektivitas waktu berlakunya putusan MK. Yaitu, PKWT yang sudah
ada sebelum putusan MK tetap berlaku sampai berakhir waktu yang
diperjanjikan.
Untuk menyelaraskan pemahaman tentang eksistensi
dan peluang praktik outsourcing dan PKWT, kita perlu menelaah secara
cermat amar dan pertimbangan putusan MK dimaksud. Di dalam pertimbangan
hukum, MK menawarkan dua model pelaksananaan outsourcing.
Model
pertama, outsourcing dilakukan dengan menerapkan perjanjian kerja waktu
tidak tertentu (PKWTT) secara tertulis. Model ini bukan hal baru sebab
Pasal 65 ayat (7) UU Ketenagakerjaan telah mengaturnya secara opsional.
Model kedua, lanjut MK, menerapkan prinsip pengalihan tindakan
perlindungan bagi pekerja/buruh (Transfer of Undertaking Protection of
Employment atau TUPE) yang bekerja pada perusahaan yang melaksanakan
pekerjaan outsourcing.
Bagian utama dari amar putusan MK
menyatakan “frasa perjanjian kerja waktu tertentu dalam Pasal 65 ayat
(7) dan Pasal 66 ayat (2) huruf (b) UU No. 13 tahun 2003 bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan
tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dalam perjanjian kerja
tersebut tidak disyaratkan pengalihan perlindungan hak-hak bagi
pekerja/buruh yang objek kerjanya tetap ada, walaupun terjadi pergantian
perusahaan yang melaksanakan sebagian pekerjaan borongan dari
perusahaan lain atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh.” Kata
sepanjang dan seterusnya dalam amar di atas berlaku sebagai syarat bila
pengusaha menggunakan sistem PKWT.
Berikut adalah beberapa catatan terkait dengan amar dan pertimbangan hukum MK di atas:
a.
MK menyatakan Pasal 59, Pasal 64, Pasal 65 kecuali ayat (7) dan Pasal
66 kecuali ayat (2) huruf (b) UU No. 13 tahun 2003 tidak bertentangan
dengan UUD 1945. Artinya, ketentuan selain ayat (7) pada Pasal 65 dan
ayat (2) huruf (b) pada Pasal 66 tetap berlaku sebagai hukum positif.
Dengan
demikian, pengusaha tetap boleh menyerahkan atau memborongkan
pekerjaannya kepada perusahaan lain sehingga sistem outsourcing tetap
bisa dilaksanakan. Hal ini sesuai dengan pertimbangan MK yang menyatakan
“...penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain
melalui perjanjian pemborongan pekerjaan secara tertulis atau melalui
perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh (perusahaan outsourcing) adalah
kebijakan usaha yang wajar dari suatu perusahaan dalam rangka efisiensi
usaha.”
b. MK tidak menyatakan sistem outsourcing sebagai sistem
terlarang dalam relasi bisnis dan hubungan kerja antara pekerja/buruh
dengan pengusaha. Dalam posisi itu, Pasal 64 UU No 13 Tahun 2003 tetap
sah sebagai dasar hukum bagi perusahaan untuk melaksanakan outsourcing
dan Pasal 65 kecuali ayat (7) dan Pasal 66 kecuali ayat (2) huruf (b)
sebagai teknis hubungan kerja dalam perusahaan outsourcing.
c.
Yang tidak mengikat dalam Pasal 65 ayat (7) dan Pasal 66 ayat (2) huruf
(b) UU No 13 Tahun 2003 hanya mengenai frasa ‘perjanjian kerja waktu
tertentu’ sepanjang tidak mengatur syarat jaminan pengalihan
perlindungan hak pada perusahaan pemenang tender berikutnya. MK tidak
menyebutkan apa yang dimaksud dengan pengalihan perlindungan hak
pekerja/buruh tetapi hal itu dapat dipahami meliputi dua hal: (a)
jaminan kelangsungan bekerja saat berakhir perjanjian pemborongan; (b)
jaminan penerimaan upah tidak lebih rendah dari perusahaan sebelumnya;
d.
Pengusaha dapat menerapkan sistem outsourcing dengan status PKWT
sepanjang PKWT memuat klausul yang memberi jaminan perlindungan hak
pekerja/buruh bahwa hubungan kerja pekerja/buruh yang bersangkutan akan
dilanjutkan pada perusahaan berikutnya, dalam hal objek kerjanya tetap
ada. Bila objek pekerjaan itu tetap ada sedangkan syarat pengalihan
perlindungan hak tidak diatur di dalam PKWT, hubungan kerja
pekerja/buruh berupa PKWTT. Secara teknis, syarat PKWT bisa diatur pada
bagian penutup perjanjian. Pada akhirnya, klausul itu berfungsi sebagai
alat ukur untuk menilai bentuk hubungan kerja, apakah berbentuk PKWT
atau PKWTT;
e. Amar putusan MK tidak secara eksplisit menyatakan
perjanjian kerja pekerja/buruh dalam lingkungan perusahaan outsourcing
harus dengan perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT). Di dalam
pertimbangan hukumnya MK menawarkan PKWTT sebagai salah satu model
outsourcing. Sesuai uraian di atas, MK tidak mengharuskan perusahaan
menerapkan PKWTT. Status PKWTT dalam perusahaan hanya terjadi bila: (a)
PKWT tidak mensyaratkan pengalihan perlindungan hak pekerja/buruh yang
objek kerjanya tetap ada; atau (b) perusahaan sejak awal menerapkan
PKWTT.
B. Pengalihan Perlindungan Hubungan Kerja
Berkaitan
dengan PKWT dalam outsourcing, amar putusan MK mempertahankan dua bentuk
hubungan kerja yang salama ini dikenal dalam UU Ketenagakerjaan, yakni
PKWT dan PKWTT. Penegasan lain dari putusan MK adalah memperkenalkan
sekaligus membolehkan dua macam PKWT, yaitu PKWT bersyarat dan PKWT
tidak bersyarat. Termasuk PKWT bersyarat adalah PKWT yang mengharuskan
perusahaan outsourcing mensyaratkan pengalihan perlindungan hak-hak bagi
pekerja/buruh apabila objek kerjanya tetap ada meskipun perusahaan
pemborong pekerjaan atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh diganti.
Adapun PKWT tanpa syarat adalah PKWT yang dilaksanakan tanpa
mensyaratkan adanya pengalihan hak-hak bagi pekerja/buruh sebagaimana
disebutkan di atas.
Dalam praktik outsourcing, pekerja/buruh ada
yang bekerja belasan hingga puluhan tahun pada satu lokasi kerja
walaupun perusahaan outsourcing-nya sudah berganti. Kadangkala pemilik
perusahaan-perusahaan itu sama, yang berbeda hanya nama perusahaan.
Putusan
MK yang menyatakan PKWT sah bila mengatur syarat pengalihan
perlindungan hak pekerja/buruh tentu mengundang pertanyaan. Apa yang
akan terjadi bila klausul PKWT yang sedang berjalan mengharuskan
perusahaanpemenang tender yang belum dikenal wajib melanjutkan hubungan
kerja para pekerja/buruh yang sedang terikat PKWT?
Sesungguhnya
hal demikian tidak menimbulkan kerugian pada perusahaan yang lama.
Masalah akan mengancam perusahaan pemborong yang baru bila masa kerja
pada perusahaan sebelumnya harus diperhitungkan sebagai masa kerja pada
perusahaan yang baru.
Masalah lain yang munculadalah apakah isi
perjanjian kerja pekerja/buruh suatu perusahaan mengikat pada perusahaan
lain? Bagaimana bila bidang pekerjaan yang diborongkan itu berkurang,
apakah perusahaan baru selaku pemenang tender boleh mengurangi jumlah
pekerja/buruh yang dibutuhkannya?
Kalau menghendaki kepastian atas
kondisi seperti itu, dibutuhkan kesepakatan semua pihak. Yaitu pekerja
outsourcing, perusahaan outsourcing, perusahaan yang memborongkan
pekerjaan, dan perusahaan outsourcing baru yang memenangkan tender.
Kesepakatan itu dituangkan dalam perjanjian kerja.
Selama hukum
positif tidak mengatur seperti itu, sulit melaksanakan cara ini. Karena
itu, perusahaan yang memborongkan pekerjaan lebih efektif melakukan
intervensi dengan cara menentukan jumlah dan gaji pekerja/buruh yang
dibutuhkan untuk mengerjakan pekerjaan yang diborongkan disertai
pengawasan yang prima. Metode ini bisa mencegah tindakan manipulasi upah
oleh perusahaan pemborong atau penyedia pekerja/buruh.
Dari segi
hukum dan sumber keuangan, sulit mewajibkan perusahaan pemborong atau
penyedia pekerja/buruh memperhitungkan atau melimpahkan masa kerja
pekerja/buruh ke perusahaan pemborong berikutnya. Bila masa kerja pada
semua perusahaan pemborong diperhitungkan sebagai masa kerja pada
perusahaan berikutnya, misalnya si Polan bekerja di PT. Samudra selama 3
tahun, kemudian PT. Samudra diganti oleh PT. Alaska, selanjutnya, si
Polan yang baru bekerja 1 tahun pada PT. Alaska mengalami PHK, tidak
logis menghukum PT. Alaska membayar uang pesangon untuk masa kerja 4
tahun kepada si Polan.
Masalahnya, siapa yang akan membayar uang
pesangon itu, apakah PT. Alaska atau perusahaan yang memborongkan
pekerjaan itu? Putusan MK tidak tegas mendorong ke arah itu. Tetapi, di
sisi lain, putusan MK itu bisa diterjemahkan ke sana. Bila masa kerja si
Polan pada PT. Samudra diperhitungkan untuk mendapat kompensasi PHK
maka tidak tepat membebankan keuangan PT. Alaska untuk membayar masa
kerja pada perusahaan lain.
Beberapa tahun lalu, di sektor migas
berlaku kebijakan, saat berakhir PKWT perusahaan pemborong pekerjaan
atau penyedia jasa pekerja/buruh memberi kompensasi pengakhiran kontrak
kerja sebesar satu bulan gaji kepada pekerja/buruh. Pembayaran itu mirip
dengan uang pesangon. Yayasan Dana Tabungan Pensiun (YDTP) bertindak
sebagai pelaksana kebijakan itu. Oleh karena outsourcing dan PKWT masih
menjadi sistem kerja yang sah dalam hukum ketenagakerjaan, maka untuk
mengurangi dampak buruk dari PKWT pemerintah perlu membuat regulasi
dengan mewajibkan perusahaan memberi kompesasi pengakhiran PKWT kepada
pekerja/buruh outsourcing.
C. Norma Baru dan Tindak Lanjut Putusan MK
Dalam
praktik, hasil uji materi UU terhadap UUD 1945, MK tidak hanya
menyatakan isi UU bertentangan dengan UUD 1945. Beberapa putusan MK
menegaskan penafsiran atas ketentuan serta memberi norma baru. Terkait
permohonan uji materi di atas, MK memberi norma baru sebagaimana terurai
pada butir 3 (tiga) amar putusan.
Bila membaca secara cermat
amar dan pertimbangan putusan MK No. 27/PUU-IX/2011, tampaknya
pertimbangan lebih lugas dan tegas daripada amar putusan. Untuk memahami
maksud dari amar putusan itu, pembaca dituntut melakukan penafsiran.
Dalam
sistem peradilan, bagian putusan yang bisa dieksekusi adalah amar
putusan. Hal-hal yang dikemukakan di dalam pertimbangan bila tidak
diuraikan secara tegas di dalam amar putusan, maka uraian pertimbangan
itu bukan bagian yang dapat dieksekusi. Karena itu, amar putusan
pengadilan harus final dan terbebas dari tafsir. Segala sesuatu terkait
dengan penafsiran diuraikan di dalam pertimbangan hukum. Berikut ini
salah satu pertimbangan putusan MK yang tegas tetapi tidak disebut
secara eksplisit di dalam amar.
“Dengan menerapkan pengalihan
perlindungan....Masa kerja yang telah dilalui para pekerja outsourcing
tersebut tetap dianggap ada dan diperhitungkan, sehingga pekerja
outsourcing dapat menikmati hak-hak sebagai pekerja secara layak dan
proporsional.”
Dalam kaitan dengan amar putusan MK di atas,
Kemenakertrans dalam Surat Edaran No. B.31/PHIJSK/I/2012 menafsirkan
amar putusan MK itu sebagai berikut :
a. Apabila dalam perjanjian
kerja antara perusahaan penerima pemborongan pekerjaan atau perusahaan
penyedia jasa pekerja/buruh dengan pekerja/buruhnya tidak memuat adanya
pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja/buruh yang objek kerjanya
tetap ada (sama), kepada perusahaan penerima pemborongan pekerjaan lain
atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh lain, maka hubungan kerja
antara perusahaan penerima pekerjaan borongan atau perusahaan penyedia
jasa pekerja/buruh dengan pekerja/buruh harus didasarkan pada Perjanjian
Kerja Waktu Tertentu (PKWTT).
b. Apabila dalam perjanjian kerja
antara perusahaan penerima pemborongan pekerjaan atau perusahaan
penyedia jasa pekerja/buruh dengan pekerja/buruhnya memuat syarat adanya
pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja/buruh yang objek kerjanya
tetap ada (sama), kepada perusahaan penerima pemborongan pekerjaan atau
perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh lain, maka hubungan kerja antara
perusahaan penerima pekerjaan borongan atau perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh dengan pekerja/buruhnya dapat didasarkan pada Perjanjian
Kerja Waktu Tertentu.
Meskipun MK memberi norma baru bagi
kepentingan perlindungan pekerja/buruh outsourcing, MK tidak menjelaskan
kapan putusan No. 27/PUU-IX2011 mulai berlaku. Maka, tidak salah
menyatakan putusan itu mengikat sejak diucapkan. Artinya, putusan MK
tersebut tidak berlaku surut.
Konsekuensinya, perbuatan hukum perihal
PKWT dalam outsourcing yang sudah dibuat sebelum putusan MK dibacakan
tidak bisa dikualifikasi tidak sah atau batal berdasarkan putusan MK.
Bila
putusan MK dinyatakan berlaku surut akan menimbulkan keresahan terutama
di kalangan pengusaha sebab PKWT yang sedang berjalan berkorelasi
dengan nilai tender kerja. Karena itu, putusan MK tersebut dapat
diterapkan untuk perjanjian kerja outsourcing yang dibuat setelah
putusan MK dibacakan.
Eksekutif dan legislatif sebagai pembentuk
undang-undang seharusnya memiliki beban moral untuk segera merespon
putusan MK yang memberikan norma baru atas suatu undang-undang.
Pemberian
norma baru oleh MK berkaitan dengan pengujian UU Ketenagakerjaan, bukan
kali ini saja dilakukan. Dalam putusan No. 115/PUU-VII/2009, MK memberi
norma baru terkait dengan keterwakilan serikat pekerja/serikat buruh
dalam perundingan perjanjian kerja bersama (PKB) di dalam perusahaan.
Norma dalam putusan itu sama krusialnya dengan norma dalam putusan No.
27/PUU-IX/2011 ini.
Untuk memberi kepastian hukum, kini, saat yang
tepat bagi pemerintah dan DPR membahas perubahan UU Ketenagakerjaan.
Sejatinya, DPR dan pemerintah bisa memanfaatkan momen ini untuk
mengadopsi keseluruhan norma yang terdapat dalam beberapa putusan MK
menjadi hukum positif.
Tindaklanjut seperti ini paralel dengan
Pasal 10 ayat (1) huruf (d) UU No 12 tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan. Ketentuan itu mengamanatkan bahwa salah
satu materi muatan undang-undang adalah tindak lanjut dari putusan MK.
Artinya, implementasi putusan MK hanya dapat dimuat di dalam
undang-undang. Pemerintah tidak boleh mengatur tindaklanjut putusan MK
ke dalam peraturan pemerintah (PP), peraturan menteri (Permen) maupun
surat edaran (SE).
Oleh karena itu, tindakan Kemenakertrans yang
telah mengadopsi isi putusan MK No. 115/PUU-VII/2009 ke dalam Peraturan
Menakertrans No. 16/Men/XI/2011 dan penerbitan Surat Edaran No.
B.31/PHIJSK/I/2012untukmenindaklanjuti putusan MK Nomor
27/PUU-IX/2011adalah tidak selaras dan bertentangan dengan UU No 12
tahun 2011.
Selain itu, isi butir ketiga SE yang berbentuk seperti
peraturan yang mengatur (regeling) juga menjadi masalah sendiri. Karena
pada dasarnya surat edaran tidak termasuk bagian dari hirarki
perundang-undangan.
Bagir Manan dan Kuntana Magnar menjelaskan, SE
tidak mengikat secara hukum (wetmatigheid) sehingga kedudukannya sering
disebut bukan hukum (Bagir Manan & Kuntana Magnar, 1997 : 172).
Dalam bukunya ‘Perihal Undang-Undang’ -Jimly Asshiddiqie menjabarkan,
surat edaran sebagai aturan kebijaksanaan (policy rules atau
beleidsregels). Surat edaran, Jimly menegaskan, bukan peraturan
perundang-undangan (Jimly Asshiddiqie, 2010 : 273). Dengan demikian,
tindaklanjut putusan MK ke dalam SE tidak relevan sebagai kepatuhan
eksekutif melaksanakan putusan MK. Mengingat objek yang diputus oleh MK
adalah UU, pemerintah dan DPR harus membuat sikap bersama sebab putusan
MK berimplikasi pada produk politik kedua lembaga.
Barangkali ini
yang menjadi masalah dalam penyusunan perundang-undangan khususnya yang
berkaitan dengan tindak lanjut atas putusan MK. Membentuk UU memerlukan
proses yang tidak singkat karena harus melalui tahapan Prolegnas. Namun,
Presiden dan DPR karena alasan tertentu sebagaimana diuraikan di dalam
Pasal 23 ayat (2) UU No. 12 tahun 2012 berhak mengajukan RUU di luar
Prolegnas.
Untuk menyempurnakan hukum positif, saat ini cukup
alasan pemerintah dan DPR melakukan perubahan atas UU Ketenagakerjaan.
Menurut penulis, pendapat hukum yang terdapat dalam beberapa putusan MK
terkait UU Ketenagakerjaan perlu segera dijabarkan ke dalam
undang-undang sehingga implementasi putusan lebih optimal. Karena itu,
perubahan UU ketenagakerjaan merupakan kebutuhan mendesak untuk
memperketat aturan main outsourcing sehingga praktik outsourcing
berjalan lebih baik.
*) Hakim Adhoc Pengadilan Hubungan Industrial
pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. (Tulisan ini merupakan pandangan
pribadi Penulis)