Perlindungan Hukum Bagi Pemegang Merek Di Indonesia (Studi Kasus Sengketa Rokok Davidoff dan Reemtsma)
A. Perlindungan Hukum bagi Pemegang Merek
Dagang Asing di Indonesia .
Dengan
berlakunya UU Merek di Indonesia pencatutan, pendomplengan, penggunaan nama
maupun domain name atas suatu merek
yang telah terkenal merupakan musuh besar bagi perkembangan industri sebuah
perusahaan. Pengaturan merek dengan Undang – Undang ini dimaksudkan untuk memberikan
perlindungan secara efektif untuk mencegah segala bentuk pelanggaran yang
berupa penjiplakan, penggunaan nama yang sama, pencatutan nama, atau domain name atas suatu merek. UU Merek
menetapkan tujuan, untuk mendorong kelancaran dan peningkatan perdagangan
barang dan jasa merek dengan mempromosikan mereknya tersebut kepada khalayak
ramai agar dapat dinikmati karena merek merupakan karya atas olah pikir manusia
yang dituangkan ke dalam bentuk benda immaterial.
Perlindungan
terhadap merek asing atau luar bagi pemegang merek tersebut sangatlah
menentukan bagi perkembangan dan kemajuan dari industri yang ditekuni dan
dijalaninya agar merek yang dimilikinya tidak disalahgunakan oleh orang – orang
yang tidak mempunyai itikad baik dalam menggunakan mereknya untuk mengelabui
konsumen yang telah lama memakai mereknya dengan mendaftarkan dan menggunakan
nama yang sama pada pendaftarannya.
Pelanggaran terhadap merek acapkali
terjadi di Indonesia ,
terutama dalam hal penggunaan dan pendomplengan nama maupun penjiplakan dari
merek terkenal. Sebuah merek sangatlah gampang untuk ditiru bagi produsen –
produsen perusahaan untuk meningkatkan daya jual ke pasaran dengan menggandeng
ketenaran dari merek perusahaan yang telah ada di pasaran sebelumnya.
Pada Usaha Kecil Menengah (UKM) pada
saat dilakukan mereka memamerkan produk – produk yang dimiliki oleh mereka yang
belum didaftarkan. Hanya dengan melihat dan memotret produk tesebut kemudian
membuatnya kembali produk tersebut dan didaftarkan. Cara seperti ini secara tidak
langsung yang dimana produk buatan seseorang tadi yang seharusnya miliknya
dapat dengan mudah ditiru oleh orang lain dan mendaftarkannya sebagai merek
dari produknya.
Pelanggaran atas merek tidak hanya pada
UKM saja, perusahaan yang telah tenar dan mereknya yang sudah dikenal khalayak
ramai tidak luput dari pihak yang ingin menyabotase ketenarannya itu dengan
mendompleng nama dari merek perusahaan tersebut. Dengan membuat nama mirip atau
dari pengucapan yang serupa walaupun pada dasarnya berbeda jenis barangnya.
Oknum tadi dengan mudah meraup keuntungan dengan merek yang digunakannya
tersebut sehingga, menimbulkan keragu – raguan pada khalayak ramai terhadap
produk yang dipakai oleh mereka dan telah beredar di pasaran.
Jika ini hal ini tidak ditindaklanjuti
secara serius maka akan terus menyebar dan orang akan melakukan tindakan
seenaknya saja demi mendapatkan keuntungan yang berlebih. Keadaan ini menjadi
tidak kondusif bagi si pemilik merek dan lambat laun menjadi sebuah mesin yang
dapat membunuh bagi pemilik merek, sehingga seorang pemilik merek berkurang
minatnya dalam berkreasi untuk mengembangkan dan menciptakan produk – produk
baru agar bisa bersaing dengan produk – produk lainnya di pasaran.
UU Merek mengatur cara perlindungan
hukum terhadap pelanggaran atau sengketa yang terjadi terhadap suatu merek.
Perlindungan hukum tersebut dapat dilakukan melalui instrumen hukum yang
diklasifikasikan berdasarkan instrumen perlindungan hukum bersifat Preventif
dan Represif.
Instrumen hukum yang dapat digunakan
untuk mencegah terjadinya pelanggaran merek, yaitu perlindungan hukum yang
bersifat Preventif adalah upaya untuk mencegah dengan mengantisipasi
kemungkinan terjadinya sengketa yang akan terjadi mengenai merek.
Sedangkan
instrumen perlindungan hukum yang kedua, yaitu perlindungan hukum secara
Represif berhubungan dengan penetapan sanksi hukum terhadap pelanggar hukum
yang merugikan kepentingan umum atau kepentingan pribadi orang lain, baik
melalui peradilan maupun mekanisme yang terdapat diluar pengadilan.
1. Instrumen Perlindungan Hukum Preventif
Pada instrumen ini dapat melalui
pendaftaran merek ke Direktorat Jendral HAKI dengan prosedur yang telah
ditentukan dalam UU Merek yaitu dengan membayar biaya dan ditandatangani oleh
pemohon atau kuasanya yang harus memuat tanggal, bulan, dan tahun surat
permohonan, nama, alamat lengkap dan kewarganegaraan pemohon, pemohon dan kuasa
jika permohonan tersebut diajukan melalui kuasa. Selain itu pendaftaran
tersebut harus dilampiri warna – warna apabila pada merek tersebut mengandung
atau menggunakan unsur – unsur warna yang dimohonkan pendaftarannya, surat kuasa khusus dalam hal permohonan diajukan melalui
kuasa dan surat
pernyataan bahwa merek yang dimohonkan adalah milik pemohon atau milik si
pemilik merek. Dapat juga melalui Lisensi yang diberikan berdasarkan perjanjian
Lisensi untuk melaksanakan perbuatan menggunakan merek yang telah diberi Hak
Merek dalam jangka waktu dan syarat tertentu.
Lisensi adalah izin yang diberikan oleh
pemilik merek terdaftar kepada pihak lain melalui suatu perjanjian berdasarkan
pada pemberian hak (bukan pengalihan hak) untuk menggunakan merek tersebut,
baik untuk seluruh atau sebagian jenis barang dan / atau jasa yang didaftarkan
dalam jangka waktu dan syarat tertentu.
Terdapat tiga pembatasan yang dapat
dilakukan dalam perjanjian lisensi yaitu:
a.
Pembatasan penggunaan merek hanya pada barang dan atau
jasa tertentu.
b.
Pembatasan wilayah penggunaan merek sehingga tidak
meliputi seluruh wilayah Indonesia .
c.
Pembatasan jangka waktu berlakunya lisensi sehingga
bisa lebih pendek daripada masa perlindungan merek tersebut.
Selanjutnya dalam pemberian lisensi ini juga, undang –
undang memberikan perlindungan hukum kepada mereka yang beitikad baik. Ini
merupakan penerapan asas perlindungan hukum bagi yang beritikad baik.
Perlindungan hukum tersebut tersurat dalam Pasal 48 UU Merek Tahun 2001, yaitu:
(1)
Penerima lisensi yang beritikad baik, tetapi kemudian
merek itu dibatalkan atas dasar adanya persamaan pada pokoknya atau
keseluruhannya dengan merek lain yang terdaftar, tetap berhak melaksanakan
perjanjian lisensi tersebut sampai dengan berakhirnya jangka waktu perjanjian
lisensi.
(2)
Penerima lisensi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
tidak lagi wajib meneruskan pembayaran royalti kepada pemberi lisensi yang
dibatalkan, melainkan wajib melaksanakan pembayaran royalti kepada pemilik
merek yang dibatalkan.
(3)
Dalam hal pemberi lisensi sudah terlebih dahulu menerima
royalti secara sekaligus dari penerima lisensi, pemberi lisensi tersebut wajib
menyerahkan bagian dari royalti yang diterimanya kepada pemilik merek yang
tidak dibatalkan, yang besarnya sebanding dengan sisa jangka perjanjian
tersebut.
Dalam perjanjian lisensipun dapat
pula diperjanjikan bahwa penerima lisensi boleh memberikan lisensi kepada orang
lain. Setelah merek itu diserahkan kepada orang lain, maka pemilik hak merek
tetap dapat menggunakan sendiri atau memberi lisensi berikutnya kepada pihak
ketiga lainnya, kecuali bila diperjanjikan lain. Artinya jika telah
diperjanjikan bahwa pemilik hak merek setelah pemberian lisensi itu tidak
menggunakan sendiri dan tidak memberikan lisensi berikutnya kepada orang lain,
maka ia harus mematuhinya.
Pengaturan lisensi dalam Undang –
Undang Merek dapat kita temukan dalam Pasal 43 hingga Pasal 49 Bagian Kedua Bab
V Pasal 1 angka 13. Dari definisi mengenai lisensi yang diberikan dalam Pasal 1
angka 13 Undang – Undang No. 15 Tahun 2001, dapat kita pilah – pilah ke dalam
beberapa unsur, yang meliputi:
- Adanya izin yang diberikan oleh Pemegang Merek.
- Izin tersebut diberikan dalam bentuk perjanjian.
- Izin tersebut merupakan pemberian hak untuk menggunakan Merek tersebut (yang bukan bersifat pengalihan hak).
- Izin tersebut diberikan baik untuk seluruh atau sebagian jenis barang atau jasa yang didaftarkan.
- Izin tersebut dikaitkan dengan waktu tertentu dan syarat tertentu.
Ketentuan yang memuat syarat
obyektif suatu perjanjian seperti yang diatur dalam Pasal 9 ayat (1) Undang –
Undang No. 30 Tahun 2000, Pasal 36 ayat (1) Undang – Undang No. 31 Tahun 2001
dan Pasal 28 ayat (1) Undang – Undang No. 32 Tahun 2001, juga dapat kita
temukan dalam ketentuan Pasal 47 ayat (1) Undang – Undang No. 15 Tahun 2001,
yang menyatakan bahwa:
“Perjanjian
lisensi dilarang memuat ketentuan baik yang langsung maupun tidak langsung
dapat menimbulkan akibat yang merugikan perekonomian Indonesia
atau memuat pembatasan yang menghambat kemampuan bangsa Indonesia dalam menguasai dan
mengembangkan teknologi pada umumnya.”
Dalam prakteknya terdapat dua
perjanjian lisensi. Pertama adalah perjanjian lisensi yang bersifat ekslusif,
pihak yang menerima lisensi merupakan satu – satunya pihak yang berhak menerima
lisensi merek tersebut. Kedua adalah perjanjian lisensi yang bersifat
nonekslusif dimana pihak yang menerima lisensi bukan satu – satunya pihak yang secara
ekslusif memiliki hak atas merek tersebut.
Seperti hak kekayaan intelektual
lainnya hak merek sebagai hak kebendaan immaterial juga dapat beralih dan
dialihkan. Ini merupakan bukti bahwa UU Merek Tahun 2001 telah mengikuti
prinsip – prinsip hukum benda yang dianut oleh seluruh negara di dunia dalam
penyusunan Undang – Undang Merek. Oleh karena itu sebagai hak kebendaan
immaterial merek harus pula dihormati sebagai hak pribadi pemakainya. Hak milik
sebagai suatu hak kebendaan yang sempurna jika kita bandingkan dengan hak
kebendaan yang lain memberikan kenikmatan yang sempurna kepada pemiliknya.
Salah satu unsur yang paling mendasar pengakuan dari hak kebendaan yang paling
sempurna itu dengan diperkenankannya oleh undang – undang hak kebendaan itu beralih
atau dialihkan.
Pengalihan hak tersebut dapat dilakukan kepada perorangan atau kepada
badan hukum. Sesuai dengan Pasal 40 ayat (1) UU Merek Tahun 2001 cara
pengalihan merek tersebut dapat melalui:
a.
Pewarisan.
b.
Wasiat.
c.
Hibah.
d.
Perjanjian.
e.
Sebab – sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan
perundang – undangan.
Pengalihan hak atas Merek Terdaftar
dengan perjanjian harus dituangkan dalam bentuk akta perjanjian. Pengalihan hak
atas Merek Terdaftar disertai dengan dokumen – dokumen pendukungnya antara lain
Sertifikat Merek yang mendukung pemilikan hak tersebut. Pengalihan hak atas
Merek Terdaftar wajib dimintakan pencatatan kepada Kantor Merek untuk dicatat
dalam Daftar Umum Merek. Pengalihan yang telah tercatat tadi diumumkan dalam
Berita Resmi Merek. Pengalihan melalui perjanjian pada prinsipnya menganut asas
kebebasan berkontrak. Maka harus diperhatikan syarat – syarat yang harus
dipenuhi untuk sahnya suatu perjanjian (Pasal 1320 KUH Perdata) dan syarat –
syarat umum lainnya yang tercantum dalam Pasal 1319 KUH Perdata.
Berdasarkan ketentuan yang berlaku pada
Pasal 3 UU Merek Tahun 2001 Tentang Merek bahwa hak atas merek adalah hak
ekslusif pemilik merek terdaftar yang diperoleh dari negara. Dengan kata lain,
diperolehnya hak atas merek adalah sebagai satu konsekuensi telah didaftarkan
merek tersebut pada Kantor Direktorat Jendral HAKI. Pendaftaran adalah syarat
mutlak bagi seseorang jika merek tersebut diakui secara sah bahwa ia adalah
pemilik dari merek tersebut. Tanpa pendaftaran, maka tidak ada hak atas merek
tersebut dan juga perlindungan yang diberikan atas merek tersebut sesuai dengan
sistem hukum yang dianut di Indonesia
yaitu first to file principle.
Pentingnya pendaftaran merek merupakan
syarat mutlak bagi pemilik maupun pemegang hak merek untuk memberikan suatu
jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum terhadap merek yang dimilikinya.
Hal tersebut untuk mengantisipasi kemungkinan pelanggaran hukum atas merek yang
terjadi di Indonesia ,
walaupun pada prinsipnya perlindungan tersebut diberikan sejak tanggal
penerimaan dan merek tersebut tidak memiliki daya pembeda, persamaan pada
pokonya atau keseluruhannya dengan apa yang telah ada sebelumnya. Dengan
demikian perlindungan terhadap merek secara konkrit apabila telah terdaftar
pada instansi yang berwenang mengurus bidang hak kekayaan intelektual. Maka
perlindungan itu akan lebih mudah dilakukan apabila merek tersebut telah
terdaftar, artinya setiap merek terdaftar perlu dilakukan pendaftaran agar
memudahkan pemberian perlindungan hukum terhadap merek tersebut.
Sengketa merek yang terjadi antara
Davidoff dan Reemstma dapat dilihat bahwa telah adanya upaya perlindungan hukum
secara preventif telah dilakukan oleh pihak Davidoff dengan memberikan
lisensinya kepada pihak Reemtsma dan juga Davidoff sendiri telah melakukan
upaya berupa pendaftaran atas merek “DAVIDOFF” di Indonesia pada tahun 2002 di
bawah No. Agenda D00.2002.13092 - 13290, D00.2002.13091 – 13229 dan
D00.2002.20578 – 20803.
2. Instrumen Perlindungan Represif
Instrumen
yang bersifat Represif ini meliputi instrumen hukum yang perdata dan pidana.
Penyelesaian hukum melalui instrumen hukum perdata dapat dilakukan melalui
pengadilan (ligitasi) dengan gugatan
ganti rugi dan penghentian semua perbuatan yang berkaitan dengan penggunaan
merek, maupun diluar pengadilan (non
ligitasi) yang memungkinkan para pihak dapat menyelesaikan sengketa
tersebut melalui arbitrase atau Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR) dengan
jalan negoisasi, konsiliasi dan mediasi.
Sesuai dengan isi di dalam Pasal 77
UU Merek Tahun 2001 seorang pemilik merek maupun penerima lisensi (licensee) atas sebuah merek terdaftar
dapat mengajukan tuntutan secara sendiri maupun bersama – sama dengan pemilik
merek kepada seseorang yang tanpa izin atau tanpa hak, telah menggunakan merek
yang memiliki persamaan pada pokoknya dengan merek orang lain yang berhak dalam
bidang perdagangan dan jasa yang sama.
Jika diamati secara cermat unsur –
unsur diatas, ada persamaan dengan ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata. Misalnya
unsur “penggunaan tanpa hak”
mengandung persamaan dengan unsur “kesalahan”
(karena salahnya).Pengertian “salah”
mempunyai jangkauan penafsiran yang lebih luas. Meliputi tindakan kesengajaan,
kelalaian besar (Gross Negligence).
Sedangkan di dalam undang – undang ini, unsur kesalahan dirumuskan secara
positif yakni “tanpa hak”.
Penafsirannya diarahkan kepada mencari fakta apakah tergugat menggunakan hak
dalam bidang merek:
1. tanpa
ada pengalihan hak dalam bentuk:
a.
pewarisan.
b.
wasiat.
c.
hibah.
d.
perjanjian.
e.
atau sebab – sebab lain yang dibenarkan oleh undang –
undang.
2. tanpa ada
perjanjian pemberian lisensi.
Penyelesaian sengketa berdasarkan
ketentuan Pasal 77 UU Merek dapat diklasifikasikan sebagai penyelesaian
sengketa ligitasi yang dipersingkat, mengingat hal ini berbeda dengan penyelesaian
ligitasi biasa yang diproses melalui pengadilan umum. Dapat dikatakan
penyelesaian ini tidak mengenal adanya proses banding, melainkan langsung
melalui tingkat kasasi.
Gugatan pembatalan merek dapat
diajukan oleh pihak yang berkepentingan melalui Pengadilan Niaga dengan alasan
permohonan yang diajukan oleh pemohon yang tidak beritikad baik, mempunyai
persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek pihak lain yang sudah
terdaftar lebih dahulu untuk barang dan / atau jasa yang sejenis juga merek
tersebut bertentangan dengan peraturan perundang – undangan yang berlaku,
moralitas agama, kesusilaan atau ketertiban umum serta tidak memiliki daya
pembeda, telah menjadi milik umum dan merupakan keterangan atau berkaitan
dengan barang atau jasa yang dimohonkan pendaftarannya. Putusan Pengadilan
Niaga terhadap pembatalan pendaftaran Hak Merek hanya dapat dimintakan kasasi
kepada Mahkamah Agung. Putusan tersebut
disampaikan kepada Direktorat Jendral paling lama empat belas hari
setelah tanggal putusan diucapkan. Setelah itu putusan Pengadilan Niaga atau
putusan kasasi segera disampaikan kepada Direktorat Jendral Hak Kekayaan
Intelektual, dan putusan pembatalan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
dicatat dalam Daftar Umum Merek dan diumumkan dalam Berita Resmi Merek.
Gugatan ganti rugi dapat berupa ganti
rugi materiil dan ganti rugi immateriil. Ganti rugi materiil berupa kerugian
yang nyata dan dapat dinilai dengan uang. Sedangkan ganti rugi immaterial
berupa tuntutan ganti rugi yang disebabkan oleh pemakaian merek dengan tanpa
hak sehingga pihak berhak menderita kerugian secara moril. Oleh karena itu,
sepanjang mengenai tuntutan ganti rugi yang didasarkan kepada kedua peristiwa
di atas berlaku juga ketentuan yang termuat di dalam KUH Perdata. Yang disebut
terakhir ini berfungsi sebagai Lex
Generalis, sedangkan UUM 2001 sendiri sebagai Lex Specialis.[1]
Menurut ketentuan Pasal 85 UU Merek
Tahun 2001, dalam rangka memberikan perlindungan hukum terhadap Pemegang Hak
Merek, berdasarkan bukti yang cukup, pihak yang haknya dirugikan dapat meminta
hakim Pengadilan Niaga untuk menerbitkan surat
penetapan sementara yang berisi tentang:
- Pencegahan masuknya barang yang berkaitan dengan pelanggaran Hak Merek. Hal ini dapat mencegah kerugian yang lebih besar pada pihak yang dilanggar haknya, sehingga hakim Pengadilan Niaga diberi kewenangan untuk menerbitkan penetapan sementara yang fungsinya untuk mencegah berlanjutnya pelanggaran tersebut dan masuknya barang yang diduga melanggar Hak Merek ke jalur perdagangan termasuk importir.
- Penyimpanan alat bukti yang berkaitan dengan pelanggaran Merek tersebut. Ini dimaksudkan untuk mencegah pihak pelanggar untuk menghilangkan alat bukti / barang bukti.
Upaya yang terakhir ini merupakan satu
– satunya jalan yang ditempuh oleh kedua belah pihak jika tidak adanya
kesepakatan yang terjadi antara keduanya untuk menyelesaikan masalah tersebut
di luar pengadilan umum (non ligitasi).
Menurut ketentuan umum pasal 1 angka 1
UU No. 30 Tahun 1999, arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata
di luar pengadilan umum (non ligitasi) yang didasarkan pada perjanjian
arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh pihak yang bersengketa. Dalam pasal
1 angka 10 dijelaskan pengertian Altenative
Dispute Resolution (ADR) yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia
sebagai alternatif penyelesaian sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa
atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni
penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negoisasi, mediasi, konsiliasi,
atau penilaian ahli.
Bentuk – bentuk ADR yang meliputi
negoisasi, konsiliasi, dan arbitrase dapat diterapkan dalam kasus – kasus
sengketa di bidang HAKI, termasuk merek.
Di antara keenam cara penyelesaian
sengketa di luar pengadilan tersebut, hanya penyelesaian sengketa melalui
arbitrase yang menghasilkan putusan memaksa yang dijatuhkan oleh pihak ketiga,
yaitu arbiter atau mejelis arbiter, sedangkan cara penyelesaian sengketa,
penyelesaiannya diserahkan kepada para pihak, paling tidak yang memfasilitasi
perundingan antara pihak.[2]
Dalam negoisasi, penyelesaian sengketa
pada dasarnya diupayakan oleh para pihak yang bersangkutan. mediasi dan
konsiliasi saling menggantikan karena pada hakikatnya adalah sama yaitu,
penyelesaian dengan jalan merundingkan suatu kesepakatan tentang penyelesaian
yang mengikat dengan bantuan pihak ketiga yang tidak berpihak kepada salah satu
pihak yang bersengketa tadi. Arbitrase merupakan ADR dalam bentuk luas yang
dimana arbitrase ini menempatkan peranan orang ketiga dalam menyelesaikan
sengketa yang dimana pada akhirnya pihak ketiga tersebut yang memberikan
putusan yang mengikat para pihak untuk dilaksanakan sama seperti halnya putusan
yang ada di pengadilan.
Pemberian perlindungan hukum secara
represif dapat juga berupa tuntutan pidana. Hak atas merek merupakan hak milik
perseorangan, tetapi tidak menyebabkan hapusnya tuntutan hukuman pidana
terhadap pelanggar hak atas merek terdaftar.[3]
Pada tuntutan pidana dapat kita lihat
di dalam Pasal 90 UU Merek Tahun 2001 yang menetukan bahwa “Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak
menggunakan merek yang sama pada keseluruhannya dengan merek terdaftar milik
orang lain untuk barang dan / atau jasa sejenis yang diproduksi dan / atau
diperdagangkan, dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan denda
paling banyak Rp 1.000.000.000,- (satu miliar)”.
Yang dimaksud dengan kata “tanpa hak” dalam Pasal 90 tersebut adalah merek
yang digunakan “tidak terdaftar” dan sama pada keseluruhannya dengan merek
terdaftar milik orang untuk barang dan/atau jasa sejenis. Ini sesuai dengan
sistem yang dianut dalam UU Merek Nomor 15 Tahun 2001, yaitu sistem first to file yang menentukan bahwa hak
atas merek diberikan kepada pemilik merek terdaftar bukan kepada merek tidak
terdaftar. Sedangkan yang dimaksudkan dengan barang atau jasa sejenis dalam
Pasal 90 dijelaskan bahwa kelompok barang dan / atau jasa yang mempunyai
persamaan dalam sifat, cara pembuatan, dan tujuan penggunaannya.
Gugatan yang dilakukan secara perdata
terhadap orang yang melakukan pelanggaran tidak menghapus tuntutan pidana jika
terdapat alasan untuk itu. Apabila terdapat kuat dugaan telah terjadinya tindak
pidana pelanggaran hak merek, maka Penyidik Pegawai Pejabat Negeri Sipil
(penyidik PPNS) yang diberi wewenang khusus sebagai penyidik melakukan
penyidikan tindak pidana di bidang merek. Tuntutan pidana dalam tipa delik yang
ditetapkan UUM 1997 ini adalah merupakan hak negara. Pihak yang tidak berhak
yang mencoba atau melakukan gangguan terhadap hak tersebut diancam dengan
hukuman pidana.
Untuk penyidik dalam tindak pidana ini
Pasal 89 UU Merek Tahun 2001 menentukan pula bahwa:
1.
Selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Polisi
Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di Direktorat
Jendral, diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam
Undang – Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, untuk melakukan
penyidikan tindak pidana di bidang merek.
2.
Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) berwenang:
a.
melakukan pemeriksaan atas kebenaran aduan berkenaan
dengan tindak pidana di bidang merek;
b.
melakukan pemeriksaan terhadap orang atau badan hukum
yang diduga melakukan tindak pidana di bidang merek berdasarkan aduan tersebut
pada huruf a;
c.
meminta keterangan
dan barang bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan tindak pidana di
bidang merek;
d.
melakukan pemeriksaan atas pembukuan, catatan dan
dokumen lainnya yang berkenaan dengan tindak pidana di bidang merek;
e.
melakukan pemerikasaan di tempat tertentu yang diduga
terdapat barang bukti, pembukuan, catatan dan dokumen lain serta melakukan
penyitaan terhadap bahan dan barang hasil pelanggaran yang dapat dijadikan
bukti dalam perkara tindak pidana di bidang merek; dan
f.
meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas
penyidikan tindak pidana di bidang merek.
3.
Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan hasil
penyidikannya kepada Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia .
4.
Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) menyampaikan hasil penyidikannya kepada Penuntut Umum
melalui Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia dengan mengingat
ketentuan Pasal 107 Undang – Undang No. 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.[4]
PPNS dalam melaksanakan tugasnya
memberitahukan kepada Penyidik Pejabat Polri. apabila penyidikan dinyatakan
sudah selesai. Kemudian PPNS menyampaikan hasil dari penyidikannya tadi kepada
Penuntut Umum melalui Penyidik Pejabat Polri dengan mengingat ketentuan Pasal
107 KUHAP. Jika terjadi tindak pidana pelanggaran Hak Merek, maka pelaku tindak
pidana diancam dengan pidana yang diatur dalam Pasal 90 UU Merek yang telah
disebutkan diatas.
Terhadap banyaknya pelanggaran yang
terjadi pada merek ini terdapat beberapa jalan dalam menyelesaikan permasalahan
yang ada selain tuntutan secara perdata dan pidana yang dikarenakan kegagalan
dalam proses mencapai suatu kesepakatan.
Agar terciptanya proses penyelesaian
suatu sengketa yang efektif, prasyarat yang harus dipenuhi oleh kedua belah
pihak harus sama – sama memperhatikan atau menjunjung tinggi hak untuk
mendengar dan hak untuk di dengar.
b.
kepentingan (interest).
c.
hak – hak (rights),
dan
d.
status kekuasaan (power).
Realitanya setiap permasalahan HAKI
yang terjadi lebih banyak diselenggarakan secara perdata dan bukan pidana jika
dilihat dari segi keuntungannya lebih menguntungkan jika tidak menggunakan
instrumen hukum pidana perlindungan dan penegakan merek. karena lebih banyak
mengeluarkan biaya lebih besar untuk membayar polisi, hakim, dan jaksa, serta
merupakan tindakan yang berlebihan karena aspek kepentingan hukum yang
dilindungi dalam delik tersebut lebih merupakan kepentingan pribadi daripada
kepentingan umum. Hanya merupakan kepentingan pemilik merek atau pemegang hak
atas merek tersebut.
Gugatan yang dilakukan secara perdata
terhadap orang yang melakukan pelanggaran tidak menghapus tuntutan pidana jika
terdapat alasan untuk itu. Sebagai suatu bukti bahwa hak merek itu mempunyai
ciri hak kebendaan (hak absolut). Pihak yang tidak berhak yang mencoba atau
melakukan gangguan terhadap hak tersebut diancam dengan hukuman pidana.
Dengan adanya perlindungan terhadap
merek melalui instrumen hukum baik yang dilakukan secara perdata maupun pidana,
merupakan suatu kosekuensi hukum berupa sebuah bentuk penghargaan kepada
pemilik merek yang telah membuka pikirannya dan menuangkan segala kemampuan
intelektual yang dimilikinya, dengan banyaknya waktu yang terbuang dan biaya
yang begitu besar, sehingga tidak salah jika semua kemampuan yang dimilikinya
diberikan hak ekslusif untuk melarang orang lain yang tanpa seizinnya membuat,
meniru, menjiplak, mendompleng dan / atau mengedarkan dan memperdagangkan
barang atau jasa yang telah diberi hak merek sebagai imbalan atas kreasi dan
jerih payahnya untuk mendapatkan nama besarnya yang melekat pada barang atau
jasa tersebut.
B. Akibat Hukum yang Timbul Dalam
Menyelesaikan Kasus Sengketa Rokok Davidoff dan Reemstma.
Pada pokok bahasan ini dijelaskan
pengertian akibat hukum itu ialah suatu perbuatan yang timbul karena adanya
suatu peristiwa hukum yang terjadi. Ada
beberapa pendapat dari beberapa sarjana mengenai arti dari peristiwa hukum itu
sendiri antara lain:
1.
Prof. DR. Sudikno Mertokusumo yang menjelaskan
peristiwa hukum adalah suatu peristiwa yang relevan bagi hukum, peristiwa yang
oleh hukum dihubungkan dengan akibat hukum atau peristiwa yang oleh hukum
dihubungkan dengan timbulnya atau lenyapnya hak dan kewajiban.[6]
2.
Menurut Bellefroid peristiwa hukum ialah peristiwa
sosial tidak dengan otomatis dapat menimbulkan akibat hukum. Hal ini hanya
mungkin apabila peristiwa itu oleh peraturan hukum dijadikan peristiwa hukum.
3.
Menurut Van Apeldoorn peristiwa hukum itu ialah suatu
peristiwa yang didasarkan hukum menimbulkan atau menghapuskan hak.[7]
Pada hakekatnya
peristiwa hukum adalah kejadian, keadaan atau perbuatan orang yang oleh hukum
dihubungkan dengan akibat hukum.
Jika dikontekskan pada konsep HAKI
terutama pada UU Merek No. 15 Tahun 2001 dapat disimpulkan bahwa di dalam
undang – undang ini dapat melahirkan atau menimbulkan suatu hak dan kewajiban
bagi si pemegang merek yang dimana pemegang hak merek tersebut mempunyai hak
untuk memonopoli perdagangan dengan menggunakan mereknya tersebut. Jika
mereknya tersebut disalahgunakan oleh orang atau pihak – pihak yang tidak
bertanggung jawab maka ia mempunyai hak untuk membatalkan merek yang digunakan
oleh orang tersebut dan ia juga berhak mengajukan tuntutan ganti rugi karena ia
merasa haknya sudah dilanggar yang mengakibatkan pangsa pasarnya menurun
diakibatkan beredarnya merek yang sama (merek palsu) atau merek yang dipalsukan
dari pihak lain dengan membonceng ketenaran mereknya. Dan ia juga mempunyai
suatu kewajiban jika mereknya tersebut ingin mendapatkan perlindungan hukum
melalui undang – undang yang berlaku maka ia harus mendaftarkan merek tersebut
terlebih dahulu ke DIRJEN HAKI.
Perkara yang terjadi antara Davidoff
& Cie SA selaku penggugat yang berlokasi pada 2 Rue De Rive, 1200 Geneva
Switzerland bersama Reemstma Cigarettenfabriken GmbH (Reemstma / RCG) selaku
pemegang lisensi resmi dari Davidoff mengajukan gugatan pembatalan terhadap hak
merek yang digunakan oleh N. V. Sumatera Tobacco Company (STTC) selaku tergugat
yang menurut pengakuan dari tergugat bahwa merek “DAVIDOFF” telah dibeli
olehnya dari Davidoff Comercio E Industria Ltda (Davidoff Ltda).
Dalam kasus ini terlihat jelas bahwa
pihak STTC telah melanggar hak dari pemegang hak tersebut yang dimana dalam hal
ini Reemstma memiliki hak untuk menggunakan merek tersebut melalui Davidoff
selaku pemegang merek yang diberikan melalui lisensi kepadanya. Disini timbul
suatu peristiwa hukum yang dimana telah terjadi pelanggaran terhadap hak merek
yang dimiliki Davidoff yang menimbulkan suatu akibat adanya gugatan pembatalan
atas hak merek yang tidak memiliki hak dalam penggunaanya.
Davidoff telah memenuhi kewajibannya
agar mereknya tersebut mendapatkan perlindungan hukum dengan mendaftarkan
mereknya tersebut ke DIRJEN HAKI dengan No. Agenda D00.2002.13092 – 13230, No.
Agenda D00.2002.13091 – 13229 dan No. Agenda D00.2002.20578 – 20803 semuanya
untuk barang kelas 34 yang dijelaskan sebagai berikut: “Tembakau, baik yang masih kasar maupun yang sudah dikerjakan, cerutu,
sigarilos (cerutu kecil), rokok / sigaret, tembakau pipa, tembakau yang
dihirup, barang – barang keperluan perokok, kotak cerutu, kotak rokok, wadah
tembakau, tempat pelembab cerutu, kotak untuk cerutu dan tembakau agar tetap lembab,
kantong tembakau, pipa, alat untuk memegang cerutu dan rokok, bagian ujung pipa
rokok yang dimasukkan ke dalam mulut yang memiliki filter, tempat abu rokok
(asbak), alat pemotong ujung cerutu, alat pembersih pipa, penutup ujung pipa,
rak untuk pipa, peralatan pipa, pemantika api untuk perokok dan batu apinya,
korek api”. Permohonan pendaftaran terhadap merek tersebut didaftarkan oleh
Davidoff di Indonesia pada tahun 2002. Terlihat jelas bahwa Davidoff telah
memenuhi kewajibannya selaku pemegang merek dan ia harus diberikan hak berupa
perlindungan terhadap mereknya tersebut yang sesuai prinsip yang dianut oleh Indonesia
yaitu first to file principles yang
mengandung arti bahwa merek yang diberikan pelindungan hukum adalah merek yang
telah terdaftar.
Selain itu pula peristiwa tadi
mengandung pula adanya unsur perbuatan yang dilakukan oleh seseorang. Perbuatan
yang dilakukan oleh seseorang tadi haruslah diiringi dengan adanya itikad baik
dari perbuatan orang tersebut karena jika perbuatan tersebut tidak memiliki
itikad baik dapat diajukan tuntutan secara hukum karena telah melanggar dari
peraturan peundang – undangan yang berlaku.
Davidoff Ltda dalam hal ini tidak
memiliki itikad baik dalam melakukan pendaftaran terhadap merek tersebut.
Dengan menggunakan merek yang sama dan mutu serta kualitas yang rendah dari
barang tersebut sehingga menimbulkan suatu keragu – raguan bagi khalayak ramai
untuk membeli atau menggunakan produk tersebut sehingga menimbulkan image yang
mepunyai dampak yang buruk bagi pemegang hak dari merek tersebut.
Merek Davidoff ini merupakan merek
terkenal dan telah memenuhi syarat sebagai merek terkenal sebagaimana tertuang
di dalam Pasal 6 Ayat (1) huruf (b) UU Merek yang memberikan penjelasan sebagai
berikut:
“….. pengetahuan umum masyarakat mengenai
merek tersebut di bidang usaha yang bersangkutan, reputasi merek terkenal uang
diperoleh karena promosi yang gencar dan besar – besaran, investasi di beberapa
negara di dunia yang dilakukan oleh pemiliknya, dan bukti pendaftaran merek tersebut
di beberapa negara”. Di samping itu merek tersebut juga telah memenuhi
unsur – unsur merek terkenal sesuai yang ditetapkan oleh World Intellectual Property Organization (WIPO) di Jenewa yaitu: “pemakaian yang begitu lama, penampilan merek
yang mempunyai ciri khas tersendiri yang melekat pada ingatan masyarakat
banyak, pendaftaran merek di beberapa negara, reputasi merek yang bagus karena
produk – produk atau jasa yang dihasilkan mempunyai mutu yang prima dan nilai
estetis serta nilai komersial yang tinggi dan pemasaran serta peredaran produk
dengang jangkauan yang luas hampir seluruh dunia” seperti Inggris, Amerika
Serikat, Canada, Taiwan, dan juga negara – negara yang tergabung dalam Madrid Agreement.
Dikarenakan merek yang digunakan
oleh penggugat merupakan merek terkenal serta pemegang lisensi dari merek
tersebut dan telah memenuhi kewajibannya sebagai pemegang hak tersebut maka
wajib diberikan perlindungan hukum terhadapnya dan dalam hal ini penggugat
menuntut hak – haknya yang telah dilanggar tergugat dengan mengajukan gugatan
pembatalan merek yang digunakan tergugat juga penghentian kegiatan yang
dilakukan tergugat dalam penggunaan merek tersebut karena akan menimbulkan efek
buruk yang lebih besar dan berdasarkan bukti – bukti yang ada yaitu:
- Persamaan Visual: Tampilan merek tergugat adalah sama pada keseluruhannya dengan merek “DAVIDOFF” dan variasinya milik penggugat, termasuk cara penulisan dan bentuk huruf – hurufnya.
- Persamaan Phonetic: Bunyi pengucapan merek “DAVIDOFF” tergugat adalah sama pada keseluruhannya dengan bunyi pengucapan merek “DAVIDOFF” milik penggugat.
sebagaimana
diketahui pada halaman 26 pada skripsi ini jelas terlihat bahwa unsur diatas
merupakan unsur merek yang secara hukum tidak dapat didaftarkan dan juga
tergugat telah melanggar Pasal 1 Ayat 1 UU Merek Tahun 2001 dan tergugat tidak
mendapatkan haknya untuk menggunakan merek tersebut di bidang usahanya serta
tergugat juga merupakan pihak yang melakukan pendaftaran dengan itikad tidak
baik.
Tergugat telah melakukan kewajibannya
dengan mendaftarkan merek tersebut tetapi tergugat tidak bisa mendapatkan
haknya karena pendaftaran tersebut mempunyai itikad tidak baik yaitu dengan
menggunakan ketenaran atau membonceng ketenaran dari merek yang digunakan
dengan menggunakan merek tersebut tanpa seizin dari pemegang hak merek
tersebut.
Terdapat pula ada beberapa variabel
yang dapat dijadikan tolak ukur pada suatu merek yaitu:
- Popularitas merek (brand awereness).
- Popularitas iklan (ad awareness).
- Persepsi kualitas merek (perceived quality).
- Tingkat kepuasan dan kesetiaan pelanggan (satisfaction & loyalty index).
- Pangsa pasar (market
share).
- Potensi merek untuk mengakuisisi konsumen di masa
depan (gain index).
Selain itu bisa juga dilihat dari
ciri khas dari merek tersebut, reputasi dari merek yang bagus karena
menghasilkan produk – produk atau jasa yang mempunyai mutu prima, pemakaian
yang begitu lama dan telah cikenal oleh khalayak ramai, serta merek tersebut
memiliki nilai estetis dan nilai komersial yang sangat tinggi.
Daftar Pustaka
Comments
Post a Comment
Dilarang keras melakukan spam, meletakkan suatu link dalam komentar dan diharapkan bertutur kata atau menulis dengan santun. Terima kasih