Melihat Peran Hukum dalam Pembangunan Ekonomi di Indonesia

Otoritas Semu, Pekanbaru - Dalam memahami aspek-aspek hukum dalam ekonomi dihadapkan pada dua disiplin ilmu yang berbeda secara bersamaan, yaitu ilmu hukum dan ilmu ekonomi.[1] Ilmu hukum bersifat normatif, idealnya yang merupakan kristalisasi dari sistem nilai, budaya, idiologi, refleksi kebiasaan, serta keputusan otoritas publik. Sementara ilmu ekonomi dapat dikatakan sebagai suatu ilmu yang mempelajari bagaimana dengan alat pemuas kebutuhan yang terbatas manusia dapat memenuhi kebutuhan yang tidak terbatas.[2]
Penelitian mengenai hubungan hukum dengan ekonomi sudah dilakukan oleh para ahli ilmu sosial sejak abad 18, dan hasil penelitian pada umumnya menyimpulkan adanya korelasi atau hubungan yang demikian diantara keduanya.[3]
Hukum dan ekonomi digambarkan sangat erat hubungannya, terutama yang menyangkut bidang ekonomi perusahaan dan ekonomi makro yang ruang lingkupnya mencakup interaksi bisnis diantara para pelaku usaha. Interaksi itu sangat memerlukan aturan hukum yang harus diikuti oleh semua pihak.
Bila disederhanakan, hubungan antara hukum dan ekonomi yaitu, bahwa hukum akan memberi tuntunan, pegangan, serta menciptakan kaedah-kaedah hukum bagi kegiatan ekonomi. Hukum dapat dijadikan sebagai alat untuk mencapai tujuan-tujuan ekonomi yang dikehendaki atau yang dicita-citakan.
Untuk mengetahui peran hukum dalam pembangunan perekenomian, maka penting untuk dipahami peran hukum dalam masyarakat. Setelah itu, baru dikaitkan dengan peran hukum dalam pembangunan ekonomi.
Menurut Satjipto Rahardjo, hukum berfungsi sebagai perlindungan bagi kepentingan manusia, dan karenanya hukum harus dilaksanakan.[4] Selanjutnya Ronny Hanitidjo dengan menyisir pendapat Talcott Parsons, fungsi utama hukum adalah melakukan integrasi, yaitu mengurangi konflik-konflik dan melancarkan proses interaksi pergaulan social.[5]
Fungsi internal hukum itu sendiri sudah sangat berpengaruh dalam kehidupan manusia, utamanya dalam kehidupan ekonomi. Thomas Aquinas menegaskan, bahwa fungsi hukum mengusahakan kesejahteraan seluruh umat manusia. Fungsi disini adalah sebagai kerangka yang berwujud peraturan yang membimbing, memberikan pedoman sanksi dan alat untuk mereknya kehidupan sosial. Obyeknya adalah segala segi kehidupan manusia dalam kehidupan ekonominya.[6]
Dengan demikian, tugas hukum dibidang ekonomi yang terutama adalah untuk dapat senantiasa menjaga dan menciptakan kaedah-kaedah pengaman agar pelaksanaan pembangunan ekonomi tidak akan mengorbankan hak dan kepentingan pihak yang lemah. Hanya dengan cara seperti inilah hukum akan tetap mempunyai peranan yang strategis dalam pembangunan ekonomi. Peranan hukum dalam pembangunan ekonomi begitu penting, bukan hanya dalam menyelesaikan masalah yang timbul, tetapi yang lebih penting lagi adalah dalam meletakkan dasar-dasar dari pembangunan itu sendiri.
Berbicara tentang pembangunan sistem hukum ekonomi, maka terlebih dahulu harus difahami sistem ekonominya. Terdapat hubungan yang sangat erat dan timbal balik  antara  sistem  hukum  dengan  sistem  ekonomi.  Berkaitan  dengan  hal ini sebaiknya secara nasional harus disepakati sistem ekonomi yang  digunakan  di Indonesia,  apakah  mengabdi pada  sistem ekonomi kapitalis,  yang  mengkultuskan pasar bebas, atau sistem ekonomi Pancasila, yang cenderung berpihak pada ekonomi rakyat [7], sebagaimana telah ditegaskan dalam Pasal 33 UUD 1945.[8] Secara  normatif,  ketentuan  Pasal  33  UUD  1945  sering  dipahami  sebagai sistem ekonomi yang layak dipakai oleh bangsa Indonesia.
Kondisi perekonomian dunia sekarang ini sudah berubah dimana kondisi perekonomian dunia semakin mendunia sehingga memberikan kesempatan bagi negara yang satu dan negara yang lainnya untuk melakukan peredaran barang dan jasa. Dengan menurunkan biaya transportasi, komunikasi, berkembangnya teknologi dan informasi dan hilangnya hambatan bagi arus barang dan jasa antar negara menghilangkan batas antar negara yang satu dan negara yang lain, sehingga terbentuklah penyatuan ekonomi antar negara-negara. Indonesia juga melakukan kegiatan perdagangan internasional mengikuti berbagai kerja sama ekonomi khususnya di kawasan ASEAN baik regional maupun multilateral, contohnya AFTA (ASEAN Free Trade Area), dan yang diterapkan pada Januari 2010 ini adalah ACFTA (ASEAN-China Free Trade Area). Implikasi globalisasi ekonomi terhadap hukum pun tidak dapat dihindarkan sebab globalisasi hukum mengikuti globalisasi ekonomi tersebut dalam arti substansi berbagai undang-undang dan perjanjian melewati batas Negara. Perlu diketahui, yang dimaksud substansi hukum menurut Lawrence Friedman adalah aturan, norma, dan pola perilaku nyata manusia yang berada dalam sistem itu. Substansi hukum juga berarti produk yang dihasilkan oleh orang yang berada di dalam sistem hukum itu, mencakup keputusan yang mereka keluarkan, aturan baru yang mereka susun. Substansi hukum juga mencakup hukum yang hidup (Living Law),dan bukan hanya aturan yang ada dalam kitab undang undang atau law books.[9]
Masuknya Indonesia sebagai anggota perdagangan dunia melalui ratifikasi terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (Agreement in Establishing The World Trade Organization/WTO). Keikutsertaan Indonesia dalam perdagangan bebas mendorong industri dalam negeri untuk bersaing, baik di dalam negeri sendiri maupun di pasar ekspor. Hal ini merupakan problem besar bagi Indonesia karena kemampuan produk Indonesia dari segi kualitas maupun kuantitas masih lemah. Seiring dengan penyatuan ekonomi antar negara itu terjadi ketergantungan dan integrasi ekonomi nasional kedalam ekonomi global dan menciptakan mekanisme pasar yang memiliki persaingan yang tinggi. Tindakan persaingan antara pelaku usaha tidak jarang mendorong dilakukannya persaingan curang, baik dalam bentuk harga maupun bukan harga (price or nor price) . Dalam bentuk harga misalnya terjadi diskriminasi harga (price discrimination) yang dikenal dengan istilah Dumping. Dumping merupakan suatu hambatan perdagangan yang bersifat non tarif, berupa diskriminasi harga. Masalah dumping merupakan substansi di bidang rules making yang akan semakin penting bagi Negara berkembang. Praktik dumping dianggap sebagai perbuatan yang tidak fair (unfair), karena bagi negara pengimpor, perdagangan dengan motif dumping akan menimbulkan kerugian bagi dunia usaha atau industri barang sejenis dalam negeri, dengan terjadinya banjir barang-barang dari pengekspor yang harganya jauh lebih murah daripada barang dalam negeri akan mengakibatkan barang sejenis akan kalah bersaing. Praktek banting harga itu pun dapat berakibat kerugian bagi perusahaan domestik yang menghasilkan produk sejenis. Tindakan tersebut mengharuskan pemerintah suatu negara mengadakan pembatasan-pembatasan tertentu terhadap berbagai praktik bisnis.
Istilah dumping didalam dunia bisnis sering dianggap sebagai praktek yang wajar untuk penjualan suatu barang oleh suatu perusahaan industri, namun pada kenyataannya dapar menimbulkan kerugian bagi usaha atau industri barang sejenis di negeri lain (Negara Pengimpor). Dumping juga tidak terlepas dari praktek subsidi, proteksi, dan aneka bentuk tata negara yang semuanya menjadi satu yaitu perdagangan bebas. Fakta global menunjukkan bahwa praktek dumping tidak menjadi hal yang baru, sekarang menjadi penting karena terjadi perdagangan dunia. Daya saing dari industri negara-negara maju telah diimbangi oleh produsen-produsen negara berkembang.
Indonesia sebagai salah satu negara yang telah menyetujui GATT dan WTO dengan Undang-Undang No 7 Tahun 1994, dimana ketentuan antidumping sudah tercantum sejak disepakatinya GATT pada tahun 1947 secara simultan telah diadakan beberapa perjanjian tambahan mengenai suatu pasal dalam GATT, dimana perjanjian tamabahan tersebut dikenal dengan code. Sehingga dengan demikian, Antidumping Code tahun 1994 suatu paket yang inklusif atau integral dari Agreement Estabilihing the WTO. Sebagai negara yang turut ambil bagian dalam perdaganagn multilateral, Indonesia telah meratifikasi Agreement Estabilihing the WTO melalui Undang-­Undang Nomor 7 Tahun 1994, sebagai konsekuensinya Indonesia kemudian membuat ketentuan dasar tentang antidumping serta mengharmonisasikan peraturan antidumping tersebut dengan hukum nasional, yaitu dengan cara menyisipkannya dalam Undang-undang No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan dan ditindaklanjuti dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1996 tentang Bea Masuk Antidumping dan Bea Masuk Imbalan dan diikuti dengan beberapa Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan. Ketentuan Antidumping ini hanya dikenakan pada produk yang mengancam produk industri dalam negeri karena menimbulkan persaingan usaha yang tidak sehat. Dalam menghadapi China dalam perdagangan bebas ini seharusnya Indonesia sudah matang dalam pembelaan industri dalam negeri karena China juga terkenal sering melakukan politik dumping. Tentu dalam melaksanakan kebijakan ini tidaklah sembarangan, haruslah digunakan dengan analisis dan indikator yang jelas. Bea masuk antidumping hanya akan dikenakan apabila kriteria praktik dumping dapat dibuktikan dalam penyelidikan antidumping, dimana kriterianya adalah adalah :
  1. Adanya barang yang sejenis yang diekspor ke suatu negara;
  2. Adanya penjualan dengan harga ekspor yang dibawah harga normal atau dengan kata lain adanya dumping;
  3. Adanya kerugian terhadap industri dalam negeri;
  4. Adanya hubungan sebab akibat antara penjualan dengan harga ekspor yang di bawah nilai normal dengan terjadinya kerugian terhadap industri dalam negeri.
Industri dalam negeri dalam menghadapi pasar bebas dan persaingan global masih sangat rentan dan lemah. Disinilah perlindungan dari pemerintah sangat dibutuhkan melalui perangkat hukum internasional dan nasional mengenai Antidumping sebagai tindakan balasan terhadap politik dumping yang dilakukan negara lain. Bagaimanapun Indonesia harus dapat cakap dalam melindungi industri dalam negeri dari praktik dumping dan juga cakap mengantisipasi upaya apa yang akan digunakan untuk menghadapi tuduhan praktik dumping dari negara lain dalam waktu yang tepat. Karena pengusaha terutama pengusaha kecil dan menengah tidak sanggup menyelesaikan tugas dan peran pemerintah dalam melindungi produk industri dalam negeri dari persaingan yang curang atau praktik dumping tersebut.
Daftar Pustaka
[1] Ade Maman Suherman, Aspek Hukum Dalam Ekonomi Global, Ghalia, Indonesia, Jakarta, 2002, hlm. 17.
[2] Ibid.
[3] Ismail Saleh, Hukum dan Ekonomi, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1990, hlm. xi.
[4] Ibid, hlm 40.
[5] Ronny Hanitidjo Soemitro, Studi Hukum Dalam Masyarakat, Alumni, Bandung, 1982, hlm.10.
[6] Gunarto Suhardi, Loc. Cit.
[7] Rakyat adalah konsepsi politik, bukan konsepsi aritmatik atau statistic, rakyat tidak harus berarti seluruh penduduk. Rakyat adalah the common people, rakyat adalah orang banyak‘. Pengertian rakyat  berkaitan  dengan  kepentingan publik‘  yang  berbeda  dengan  kepentingan orang seorang‘. Pengertian rakyat mempunyai kaitan dengan kepentingan kolektif atau kepentingan bersama, lihat Adi Sulistiyono,  op.cit. hlm 14.
[8] Pasal 33 UUD 1945: ayat (1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asaskekeluargaan. (2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yg menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. (3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. (4) Perekonomian nasional diselenggarakan  berdasar  atas demokrasi ekonomi dengan  prinsip kebersamaan,  efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan  kesatuan  ekonomi nasional (hasil amandemen  keempat).  (5) Ketentuan  lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang (hasil amandemen keempat).
[9] http://dimitrimahendra.blogspot.com/2011/09/teori-iw-friedman-dalam-buku-yang.html diakses pada hari Senin tanggal 1 September 2014.

Comments