UPAYA HUKUM LUAR BIASA: HAK JAKSA MENGAJUKAN PENINJAUAN KEMBALI
PENDAHULUAN
Prinsip
dasar hukum adalah memberikan kepastian dan keadilan hukum kepada setiap warga
negara secara sederajat dan tanpa pengecualian. Produk hukum yang dibuat tidak
boleh membuka ruang multitafsir oleh para pelaku hukum termasuk jaksa dan hakim berdasarkan kemauan
dan keinginan mereka sendiri.
PK
(Peninjauan Kembali) telah menjadi persoalan yang sangat serius di Indonesia
saat ini karena adanya "ksewenangan" penafsiran terhadap KUHP (Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana) oleh Jaksa dan Hakim dalam sebuah perkara PK.
Penafsiran yang menurut selara ini telah menimbulkan kebingunan di kalangan
pelaku hukum. Timbul pertanyaan mendasar, apakah kelemahan itu terjadi karena
produk hukum, misalnya KUHAP yang tidak memadai dalam mengakomodir PK atau
karena individu jaksa dan hakim yang memang dengan tahu dan mau melakukan
kejahatan terselubung terhadap produk hukum khususnya KUHAP tersebut.
Persoalan
dasar di Indonesia saat ini adalah KUHAP tidak mengatur secara eksplisit soal
kemungkinan Jaksa melakukan upaya hukum luar biasa melalui PK kepada putusan
yang memiliki kekuatan hukum tetap. Dengan demikian hakim seharusnya, pada
prinsipnya harus menolak setiap pengajuan PK oleh Jaksa Penuntut Umum karena
tidak diatur secara kasat mata dalam KUHAP.[1]
Mengajukan Peninjauan Kembali (PK) atau
bahwa hanya terpidana atau ahli warisnya yang dapat mengajukan PK, maka orang
itu pasti telah salah membaca undang-undang. Pembacaan yang teliti terhadap
Pasal 263 KUHAP menunjukkan bahwa jaksa diberikan hak untuk mengajukan PK.
Namun KUHAP juga memberikan batasan dalam hal apa jaksa dapat mengajukan PK,
yaitu dalam hal ada putusan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap yang
didalam pertimbangannya menyatakan perbuatan yang didakwakan terbukti tetapi
tidak diikuti pemidanaan. Jadi tidak terhadap semua putusan pengadilan yang
sudah mempunyai kekuatan hukum tetap jaksa berhak mengajukan PK.
Tanggung
jawab Penuntut Umum tidak semata-mata menuntut untuk menghukum, melainkan harus
termasuk menuntut untuk membebaskan dan mengembalikan
kehormatan seseorang yang ternyata tidak bersalah walaupun perkara telah
mempunyai kekuatan hukum tetap, bahkan telah dilaksanakan. Salah satu asas hukum universal itu
terkandung dalam adagium interpretatio cessat in claris. Yang berarti, kalau teks atau redaksi
undang-undang telah terang benderang dan jelas, maka tidaklah diperkenankan
lagi menafsirkannya. Karena penafsiran terhadap kata-kata yang jelas sekali,
berarti penghancuran (interpretatio est perversio). Di samping itu, kalau Kejaksaan
Agung mengajukan PK, akan sangat bertentangan dengan jiwa dan semangat
reformasi hukum yang sedang dikumandangkan. Reformasi hukum menuntut
diterapkannya aturan hukum yang sebenarnya demi terujudnya tatanan hukum yang
lebih baik.
Dalam tulisan ini disarankan agar
dilakukan koreksi secepatnya atas praktek hukum dan dicarikan upaya mengatasi
kerugian yang dialami oleh pihak-pihak yang dalam putusan pengadilan yang sudah
mempunyai kekuatan hukum dinyatakan tidak bersalah tetapi kemudian dipidana
karena adanya PK oleh jaksa. Disarankan juga agar Presiden, selaku Kepala
Negara, meminta maaf kepada para korban PK jaksa dan seluruh rakyat Indonesia
atas kesalahan yang dilakukan oleh Mahkamah Agung dan jaksa-jaksa penuntut umum
dalam perkara-perkara PK yang diajukan oleh jaksa.[2]
TINJAUAN UMUM
A.
Kedudukan
Penyidik dan Penuntut Umum Menurut HIR
Di
negara-negara yang menganut sistem Civil
Law, misalnya Belanda dan Jerman, polisi adalah asisten jaksa. Sedangkan di
Amerika Serikat dengan sistem Common Law,
jaksa adalah satu-satunya pejabat yang paling berkuasa dalam sistem peradilan
pidana, karena:
- Pengaruh
jaksa sangat besar dan berarti sekali terhadap tindakan pejabat peradilan
pidana yang manapun.
- Jaksa
mempunyai wewenang untuk menuntut atau tidak menuntut.
- Penetapannya untuk menerima guilty plea, yaitu pengakuan tersangka demi memperoleh
dakwaan yang lebih ringan benar-benar menentukan. Dalam perkara-perkara
berat seperti pembunuhan, bahkan jaksa itu memimpin penyidikan sendiri
atau bersama-sama dengan polisi mendatangi tempat kejadian tindak pidana.[3]
Secara
yuridis, pengertian penyidikan akan mengacu kepada Pasal 1 angka (2) KUHAP yang
menyatakan bahwa yang dimaksud dengan penyidikan adalah:
Serangkaian
tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang
ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang
tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.
Secara yuridis berdasarkan Pasal 1 angka (7) KUHAP,
dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan penuntutan adalah:
Tindakan
penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke Pengadilan Negeri yang
berwenang dalam hal dan menuntut cara yang diatur dalam undang-undang ini
dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang Pengadilan.
Istilah pembantu jaksa sebagai pengganti istilah hulpmagistraat, adalah pejabat-pejabat
tertentu yang diangkat oleh jaksa agung melalui suatu surat keputusan, dimana
selalu secara expressis verbis
dinyatakan sebagai “pembantu jaksa” (hulpmagistraat).
Tarik menarik kepentingan antar instansi Kepolisian
dan Kejaksaan sudah berlangsung sejak kemerdekaan tahun 1945. Pada tahun 1954,
dalam rangka mendudukan polisi dan kejaksaan dalam sistem ketatanegaraan
Indonesia, polisi bersuara sangat tegas dan mengatakan bahwa “tugas Kepolisian
tidak lagi sebagai pembantu (dalan HIR disebut sebagai hulpmagistraat).
Pernyataan
dan permintaan mandiri Kepolisian, tidak disetujui oleh Kejaksaan, yang masih
ingin agar kedudukan polisi tetap sebagai hulpmagistraat,
dengan mengatakan bahwa, jika pihak penuntut masih mengawasi fungsi-fungsi
Kepolisian dalam pengusutan, maka dengan sendirinya tidak ada kesetaraan di
antara keduanya.
B.
Kedudukan
Penyidik dan Penuntut Umum Menurut KUHP
Sejak
ditinggalkannya HIR oleh KUHAP, pembentukan undang-undang telah dengan tegas
memisahkan kekuasaan penyidikan dan penuntutan. Sejak semula, definisi
penyidikan diatur dalam Pasal 1 angka 1 sampai 5, sedangkan definisi penuntutan
diatur dalam Pasal 1 angka 6 sampai 7 KUHAP.
Dalam
Pasal 17 PP No.27 Tahun 1983 tentang pelaksanaan KUHAP dinyatakan:
“Penyidikan menurut ketentuan khusus acara pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 284 ayat 2 KUHAP dilaksanakan oleh penyidik,
jaksa dan pejabat penyidik berwenang lainnya.”
Sejak
disampaikannya surat pemberitahuan dimulainya penyidikan kepada penuntut umum
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109 ayat (1) KUHAP, terjalinlah hubungan
koordinasi fungsional antara penyidik dan penuntut umum dalam penanganan
perkara yang bersangkutan.
Yang dimaksud dengan
koordinasi fungsional adalah hubungan kerja sama antar penyidik dan penuntut
umum menurut fungsi dan wewenangnya masing-masing dalam penanganan perkara
pidana. Hubungan tersebut adalah hubungan kerja sama yang bersifat saling
mengawasi antara penyidik dan penuntut umum dalam proses penanganan perkara
pidana.[5]
Jadi meskipun fungsi dan wewenang penyidik dan penuntut umum dibedakan secara
tegas, tetapi dalam pelaksanaannya, KUHAP meletakkan dasar-dasar yang
mewajibkan adanya mekanisme yang bersifat koordinatif yang saling mengawasi.
C.
Bentuk-bentuk
Pengawasan Terhadap Jaksa
Bentuk pengawasan terhadap jaksa di
beberapa negara, yaitu:[6]
- Kedudukan Jaksa
di Perancis
Di
Perancis, kedudukan jaksa agung berada di bawah koordinasi mentri kehakiman (Ministry of Justice). Sekalipun lembaga
tersebut memiliki otonomi tersendiri dari mentri kehakiman, tetapi koordinasi
dengan lembaga-lembaga penegakan hukum lainnya (baik yang berada di bawah
mentri kehakiman, maupun berada di luar kementrian kehakiman). The public Prosecutor’s office merupakan
lembaga yang hirarkis, dan berhak menentukan apakah akan meneruskan suatu
penuntutan atau tidak. Jika seseorang merasa bahwa penghentian penuntutan
tersebut tidak benar, maka ia berhak untuk mengajukan permohonan kepada Commission of Appeal yang terdiri atas
beberapa hakim yang akan mendengarkan perkara tersebut dan menentukan apakah
penghentian penuntutan suatu perkara beralasan atau tidak.
Hal ini sesuai
karena dalam sistem peradilan pidana Perancis, ada seorang pejabat “Investigation judge” yang berwenang
untuk mengawasi tahap-tahap sejak penyidikan dimulai, termasuk menetapkan
jaminan, dan lain-lain.
- Kedudukan
Penuntut Umum di Inggris
Di Inggris,
hubungan antara Kepolisian dan penuntut umum juga terpisah. Namun, sejak
seorang tersangka diidentifikasi, maka terdapat berbagai keputusan dimana kedua
pihak akan saling berhubungan. Sekalipun masing-masing pihak memiliki otonomi,
tetapi seringkali polisi tidak menganggap diri mereka sebagai bagian dari criminal justice system. Penuntut umum
atau prosecutor mempunyai wewenang
penuntutan dalam arti yang luas dan wewenang ini bebas dari kontrol Pengadilan.
- Kedudukan
Jaksa dengan Hak Deskripsi di Belanda
Sama seperti di
negara-negara lain, jaksa mempunyai hak diskresi (discretion), dimana ia dapat menghentikan atau meneruskan penuntutan.
Namun, hak diskresi tersebut merupakan hak yang diawasi oleh hakim, yang akan
menilai sejauh mana wewenang diskresi itu sudah digunakan jaksa secara sah dan
legal (beralasan dan berdasarkan hukum).
- Kedudukan
Jaksa di Amerika Serikat
Di Amerika
Serikat, para jaksa hamper-hampir mandiri dalam menjalankan kekuasaan
diskresinya itu sejak tahap paling awal penyidikan sampai denga proses sesudah
peradilan.
- Kekuasaan
Penuntut Umum di Indonesia (Usulan terhadap Draft Revisi KUHAP)
Dalam suatu RUU
(revisi) KUHAP yang diajukan oleh Departemen Kehakiman, lembaga praperadilan
sudah dihilangkan, dan perannya digantikan oleh hakim komisaris. Namun,
ternyata hamper semua wewenang lembaga praperadilan dialihkan kepada hakim
komisaris, tetapi putusannya hanya merupakan penetapan (tidak punya kekuasaan
eksekutorial).
D.
Sejarah
dan Hakekat Peninjauan Kembali
Herziening
atau peninjauan kembali sebagai buitengewone
rechtsmiddelen atau alat-alat hukum luar biasa yang kemudian diterjemahkan
sebagai upaya hukum luar biasa, pada aawalnya hanya dikenal dalam hukum acara
perdata. Hal ini diatur dalam Relegment
op de Burgelijk Rechtsvordering (Rv) yakni hukum acara untuk golongan
Eropa. Oleh karena itu dalam hukum acara pidana, lembag peninjauan kembali
tidak diatur termasuk dalam Herzine
Indishe Reglement (HIR).
Menurut
sejarannya, peninjauan kembali dalam hukum acara pidana baru dikenal pada tahun
1930an dalam kasus Driffus di Perancis. Berdasarkan putusan cour cassation, Driffus dijatuhi pidana
karena melakukan pembunuhan berencana. Selang beberapa waktu kemudian terdapat
novum bahwa Driffus bukanlah pelaku kejahatan lalu kemudian mengajukan herzeining kepada cour supreme dan diputus bebas.
Masalah
herzeining dalam hukum pidana pernah
pula dibahas dalam Kongres Internasional mengenai Hukum Pidana Dan Penjara yang
diadakan di Berlin, Jerman tahun 1995, akan tetapi saat itu yang menjadi topik
pembahasan adalah mengenai ketentuan Pasal 1 ayat (2) KUHP yang intinya jika
terjadi perubahan peraturan perundang-undangan setelah perbuatan dilakukan,
digunakan aturan yang paling ringan bagi terdakwa. Ada pertanyaan dalam kongres
tersebut, seandainya seorang tedakwa dijatuhi pidana dan telah mempunyai
kekuatan hukum tetap, kemudian terjadi perubahan aturan yang mana ketentuan
pidana terhadap perbuatan tersebut lebih ringan bila dibandingkan dengan
ketentuan pidana sebelumnya, bagaimana nasib terpidana.
Berdasarkan
Pasal 456 dan Pasal 457 Wetboek van
Strafvordering di Belanda, upaya hukum luar biasa (buitengewone rechtsmiddelen) terdiri atas:
- Cassatie in het belang der wet atau kasasi demi kepentingan hukum yang hanya dapat diajukan oleh Procureur Generval kepada Hong Raad.
- Sebagai penyeimbang cassatie in het belang der wet adalah herzeining atau peninjauan kembali.
Menurut
Pasal 457 Wetboek van Strafvordering,
peninjauan kembali adalah hak terdakwa untuk melawan putusan pengadilan yang
telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena kesesatan-kesesatan hakim (rechtelijke dwalinge).[7]
E. Hak
Jaksa dalam Mengajukan Peninjauan Kembali (PK)
Lembaga Peninjauan Kembali sudah lama
dikenal di Indonesia, sejak zaman kolonial Belanda yang dikenal dengan istilah Herziening yang diatur dalam Titel 18 Reglemen op de Srafvordering Staatsblad
No.40 jo. No.57 tahun 1847 tetapi hanya untuk orang Belanda atau yang dipersamakan,
tidak berlaku bagi pribumi yang saat itu disebut sebagai inlander.
Pada tahun 1969 Mahkamah Agung
mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung No.1 Tahun 1969 tentang peninjauan
kembali terhadap putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap
namun akhirnya dicabut dengan Peraturan Mahkamah Agung No.1 Tahun 1970.
Walaupun Perma No.1 Tahun 1969 tersebut
telah dicabut, tetapi oleh Undang-undang No.14 Tahun 1970 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman diatur di dalam pasal 21 yang
berbunyi:
“Apabila terdapat hal-hal atau keadaan-keadaan yang ditentukan dengan
Undang-undang, terhadap putusan pengadilan, yang telah memperoleh kekuatan
hukum yang tetap dapat dimintakan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung,
dalam perkara perdata dan pidana oleh pihak-pihak yang berkepentingan.
Ketentuan tentang lembaga Peninjauan
Kembali baik yang diatur oleh Perma No.1 Tahun 1969 atau oleh Pasal 21 UU No.14
Tahun 1970 belum terlaksana, belakangan muncul kasus “Sengkon-Karta” sebagai
katalisator terbentuknya lembaga Peninjauan Kembali yang merupakan upaya hukum
luar biasa untuk meninjau kembali putusan pengadilan yang telah berkekuatan
hukum yang tetap diluar upaya hukum biasa (banding atau kasasi).
Dalam Undang-undang No.8 Tahun 1981,
Peninjauan Kembali diatur dalam Bab XVIII Pasal 263 sampai Pasal 269 yang mengatur alasan dan tata cara pengajuan
upaya hukum Peninjauan Kembali.
Sejak diberlakukannya Undang-undang No.8
Tahun 1981 tentang KUHAP, penerapan lembaga Peninjauan Kembali mulai menimbulkan
“kontroversi”.[8]
Bermula
dari kasus Muchtar Pakpahan dan Gandhi Memorial School, langkah PK oleh jaksa
dipandang sebagai pengebirian aturan KUHAP. Nyatanya, MA menerima ‘terobosan
hukum’ itu. Hingga kini, jaksa masih tetap menggunakan PK, sebagaimana terlihat
pada kasus
pembunuhan Munir yang masih disidangkan.
Kalangan yang pro pemberian hak kepada
jaksa menganut prinsip sepanjang tidak dilarang KUHAP, maka boleh dilaksanakan.
Sementara yang kontra mendasarkan pada pemikiran bahwa pasal 263 KUHAP bersifat
limitatif, hanya kepada terpidana, keluarga, atau ahli warisnya.
Bila terjadi kekeliruan yang nyata dalam
putusan hakim, jaksa bukan saja patut diberi hak mengajukan PK, tetapi juga
bisa menjadi suatu kewajiban. Tanggung jawab Penuntut Umum tidak semata-mata
menuntut untuk menghukum, melainkan harus termasuk menuntut untuk membebaskan
dan mengembalikan kehormatan seseorang yang ternyata tidak bersalah walaupun perkara telah mempunyai
kekuatan hukum tetap, bahkan telah dilaksanakan.[9]
Dalam
pandangan Guru Besar Hukum Tata Negara itu, menutup kesempatan Penuntut Umum
mengajukan PK dapat diartikan sebagai suatu bentuk “obstruction of justice” dan yang bertentangan dengan kebenaran dan rasa
keadilan. Asas “lebih baik membebaskan orang yang bersalah dari pada menghukum
yang tidak bersalah”, tidak boleh diartikan sebagai membiarkan orang yang
bersalah tidak perlu memikul tanggung jawab semata-mata pada saat diadili yang
bersangkutan bebas atas dasar fakta yang salah atau tidak lengkap.
Pasal 263 ayat (1) KUHAP menyatakan bahwa “terhadap
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan
bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat
mengajukan permintaan peninjauan. kembali kepada Mahkamah Agung.” Ketentuan ini
memberikan hak kepada terpidana atau ahli warisnya untuk mengajukan peninjauan
kembali atas putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Dengan digunakannya kata terpidana atau ahli warisnya menandakan bahwa dalam
putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan tetap yang dimintakan
peninjuan kembali, seseorang sudah dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman
pidana atau ada pemidanaan.
Dikecualikan
dari hal-hal yang tidak dapat diajukan peninjauan kembali adalah putusan bebas
atau lepas dari segala tuntutan hukum. Perumusan dalam Pasal 263 ayat (1) ini
memang agak sedikit kacau. Yang dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali
adalah terpidana atau ahli warisnya. Sementara untuk putusan bebas atau lepas
dari segala tuntutan hukum tidak ada terpidana. Maka adanya klausul “kecuali
putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum” sangatlah tidak masuk akal
ditempatkan dalam ayat tersebut.
Kalau
kemudian jaksa mengajukan peninjauan kembali, menjadi layak karena adanya
klausul “kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum”. Jaksa
dapat berpikir bahwa yang diatur dalam Pasal 263 ayat (1) adalah Peninjuan
kembali oleh terpidana atau ahli warisnya. Sementara untuk putusan bebas atau
lepas dari segala tuntutan hukum dapat diajukan peninjauan kembali tetapi tidak
diatur dalam Pasal 263 ayat (1) KUHAP tersebut. Dimana diaturnya, jaksapun
tidak tahu dan hal ini berarti ada kekosongan hukum. MA, dari perspektif jaksa,
berpikir bahwa MA dapat mengisi kekosongan tersebut melalui ketentuan bahwa
hakim harus menggali nilai-nilai dalam masyarakat dan MA memang melakukannya
dalam Negara v Muchtar Pakpahan dan lain-lain.[10]
Jaksa dapat mengajukan peninjauan kembali mendapat
landasannya dalam Pasal 263 ayat (3). Pasal 263 ayat (3) tersebut menyatakan
“Atas dasar alasan yang sama sebagaimana tersebut pada
ayat (2) terhadap suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap dapat diajukan permintaan peninjauan kembali apabila dalam putusan itu
suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi tidak
diikuti oleh suatu pemidanaan.” Ayat (3) ini merupakan landasan hukum bagi
jaksa dalam mengajukan PK atas putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan
hukum tetap. Persyaratan dalam Pasal 263 ayat (3) “……………. apabila dalam putusan
itu suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi tidak
diikuti dengan pemindanaan” menunjukkan bahwa ketentuan Pasal 263 ayat (3)
tidak ditujukan bagi Terpidana karena dalam konteks Pasal 263 ayat (3) memang
tidak ada yang disebut “Terpidana”. Tidak ada “terpidana” tanpa adanya
“pemidanaan”.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Pasal 263 ayat
(1) ditujukan untuk PK bagi Terpidana atau ahli warisnya. Yang diajukan PK
menurut Pasal 263 ayat (1) adalah terhadap putusan yang sudah mempunyai kekuatan hukum
tetap yang isinya “pemidanaan”. Pasal 263 ayat (3) adalah PK yang diajukan
terhadap putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yang
tidak berisi pemidanaan. Karena tidak ada pemidanaan maka tidak ada terpidana
dan oleh karenanya tidak ditujukan bagi Terpidana atau ahli warisnya yang
memang tidak ada.
Ada beberapa sebab PK bertambah banyak,
yaitu:
- Ada
sementara pemohon yang menggunakan PK seperti upaya hukum biasa setelah
kasasi, tanpa menghiraukan syarat-syarat yang ditentukan undang-undang.
- Keterlambatan
pelaksanaan eksekusi.
- Ada
persangkaan, putusan sebelum PK diperoleh dengan cara-cara yang tidak
benar.
- Mutu putusan
yang kurang baik.
- Toleransi
MK untuk mempertimbangkan permohonan PK.
- Tata cara pemerikasaan PK
memerlukan waktu seperti kasasi.[11]
- Alasan untuk mengajukan peninjauan kembali
Pasal 263 ayat (2) memuat daftar dasar yang dapat diajukan untuk melakukan peninjauan
kembali oleh terpidana atau ahli warisnya:
- Apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan
- apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain
- Apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.
Bagi jaksa terdapat alasan untuk mengajukan permintaan
peninjauan kembali yaitu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263 ayat (3)
sebagaimana telah disinggung di atas, yaitu apabila putusan hakim yang sudah mempunyai kekuatan
hukum tetap itu menyatakan bahwa suatu perbuatan yang sudah didakwakan terbukti
tetapi tidak diikuti dengan pemidanaan. Hal ini tentu karena mungkin ada
kekhilafan hakim, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263 ayat (2) butir c.
Kata-kata yang digunakan pada awal Pasal 263 ayat (3)
seolah-olah menunjukkan bahwa semua alasan yang disebutkan dalam Pasal 263 ayat
(2) akan berlaku
bagi PK oleh Jaksa. Namun demikian, alasan-alasan sebagaimana disebutkan dalam
Pasal 263 ayat (2) butir a dan b tidak berlaku bagi jaksa. Hanya butir c dari
Pasal 263 ayat (2) yang berlaku bagi jaksa untuk mengajukan PK sesuai Pasal 263
ayat (3).
Pasal 263 ayat (2) butir a yang mengatur mengenai dasar
mengajukan PK adalah untuk Terpidana dan bukan untuk Jaksa. MA mengubah Pasal
263 ayat (2) butir a KUHAP ketika menyatakan “….., maka hasilnya akan menjadi
putusan menjadi berbeda”. Ini merupakan penyimpangan yang nyata yang dilakukan oleh MA. Ini tentu aneh
mengingat ketentuan dalam Pasal 263 ayat (3) secara jelas membatasi hanya
terhadap putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap yang didalamnya dinyatakan
perbuatan yang didakwakan terbukti tetapi tidak diikuti pemidanaan.
Jika dibaca sesuai Pasal 263 ayat (3) maka jaksa dapat mengajukan PK terhadap putusan yang
telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap yang tidak berupa pemidanaan karena
dalam putusan dinyatakan bahwa perbuatan yang didakwakan sudah terbukti tetapi
tidak diikuti dengan pemidanaan yang dengan jelas memperlihatkan suatu
kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata dari hakim. Jadi jaksa tidak
dapat mengajukan PK kalau dalam putusan bebas hakim menyatakan bahwa perbuatan
yang didakwakan tidak terbukti.
- Pembatasan PK
Sesuai dengan
uraian-uraian di atas maka hak jaksa untuk mengajukan PK sangat terbatas, yaitu
hanya terhadap putusan yang dalam pertimbangannya hakim
menyatakan perbuatan yang didakwakan terbukti tetapi tidak diikuti oleh suatu
pemidanaan. Jaksa tidak dapat mengajukan PK kalau:
- Putusan-putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap itu ternyata ada pemidanaan.
- Dalam putusan bebas hakim menyatakan bahwa perbuatan yang didakwakan tidak terbukti.
Langkah
langkah yang harus dilakukan Pemohon Peninjauan Kembali (PK):
- Mengajukan permohonan PK kepada Mahkamah Agung secara tertulis atau lisan melalui Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah.
- Pengajuan PK dalam tenggang waktu 180 hari sesudah penetapan atau putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap atau sejak di ketemukan bukti adanya kebohongan atau bukti baru, dan bila alasan pemohon PK berdasarkan bukti baru (Novum) maka bukti baru tersebut di nyatakan di bawah sumpah dan di sahkan oleh pejabat yang berwenang (Pasal 69 UU No. 14 tahun 1985, yang telah di ubah dengan UU No. 5 tahun 2004).
- Membayar biaya perkara PK (Pasal 70 UU No. 14 tahun 1985, yang telah di ubah dengan UU No. 45 tahun 2004, pasal 89 dan 90 UU No. 7 tahun 1989).
- Panitera Pengadilan tinggi tingkat pertama memberitahukan dan menyampaikan salinan memori PK kepada pihak lawan dalam tenggang waktu selambat-lambatnya 14 (Empat Belas) hari.
- Pihak lawan berhak mengajukan surat jawaban terhadap memori PK dalam tenggang waktu 30 (Tiga Puluh) hari setelah tanggal di terima salinan permohonan PK.
- Panitera Pengadilan tingkat pertama mengirimkan berkas PK ke Mahkamah Agung selambat-lambatnya dalam tenggang waktu 30 (Tiga Puluh) hari.
- Panitera Mahkamah Agung menyampaikan salinan putusan PK kepada pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah.
- Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah menyampaikan salinan putusan PK kepada para pihak selambat-lambatnya dalam tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari.
- Setelah putusan di sampaikan kepada para pihak maka panitera:
a.
Untuk perkara cerai talak:
- Memberitahukan tentang penetapan hari sidang penyaksian ikrar talak dengan memanggil Pemohon dan Termohon.
- Memberikan akta cerai sebagai surat bukti cerai selambat-lambatnya dalam waktu 7 (Tujuh) hari.
b.
Untuk perkara cerai gugat:
- Memberikan akta cerai sebagai surat bukti cerai selambat-lambatnya dalam waktu 7 (Tujuh) hari.
Langkah-langkah penyelesaian
permohonan PK, yaitu:
- Permohonan PK di teliti kelengkapan berkasnya oleh Mahkamah Agung, kemudian di catat dan di beri nomor register PK.
- Mahkamah Agung memberitahukan kepada Pemohon dan Termohon PK bahwa perkaranya telah di registerasi.
- Ketua Mahkamah Agung menetapkan tim dan selanjutnya Ketua tim menetapkan Majelis Hakim Agung yang akan memeriksa perkara PK.
- Menyerahkan berkas perkara oleh asisten koordinator (Askor) kepada Penitera Pengganti yang membantu menangani perkara tersebut.
- Panitera Pengganti mendistribusikan berkas perkara ke Majelis Hakim Agung masing-masing (Pembaca 1,2 dan 3) untuk di beri pendapat.
- Majelis Hakim Agung memutus perkara.
- Mahkamah Agung mengirimkan salinan putusan kepada para pihak melalui Pengadilan tingkat pertama yang menerima permohonan PK.[12]
KESIMPULAN
Jaksa dapat mengajukan peninjauan kembali sesuai dengan landasannya dalam Pasal 263 ayat (3),
atas putusan pengadilan yang telah mempunyai keputusan tetap, tetapi tidak berupa pemidanaan karena dalam putusan dinyatakan
bahwa perbuatan yang didakwakan sudah terbukti. Dalam konteks
hukum acara pidana sebagai hukum formil, berlaku asas lex stricta bahwa ketentuan hukum yang sudah tegas tidak boleh
diinterpretasikan lain dari apa yang tertulis.
Menurut KUHAP, jaksa berhak atau dapat mengajukan PK tetapi hanya terbatas
pada putusan-putusan yang telah berkekuatan hukum tetap yang dalam pertimbangan
hukumnya dinyatakan perbuatan yang didakwakan terbukti tetapi tidak diikuti
dengan suatu pemidanaan. Oleh karena itu perlu dilakukan koreksi
terhadap praktek hukum yang ada dan melakukan perbaikan-perbaikan dimana perlu
di kalangan hakim, jaksa, dan advokat untuk mengatasi kekeliruan-kekeliruan
yang dilakukan dalam proses hukum semenjak munculnya kasus PK oleh jaksa.
Jaksa tidak dapat mengajukan PK kalau:
a.
Putusan-putusan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap itu ternyata ada pemidanaan.
b.
Dalam putusan
bebas hakim menyatakan bahwa perbuatan yang didakwakan tidak terbukti.
Upaya
hukum peninjauan kembali yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum tidak dapat
diterima dengan logika hukum yang sehat. Sebab, hakekat upaya hukum yang
dilakukan oleh jaksa adalah untuk memperberat hukuman terpidana, maka Mahkamah
Agung tidak boleh menjatuhkan putusan yang lebih memberatkan terpidana.
[1]
http://www.pdp.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=3955
[2] http://www.ipaust.co.id/tinjau.pdf
[3] RM Andi Surachman dan Andi
Hamzah, Jaksa di Berbagai Negara: Peranan
dan Kedudukannya, Sinar Grafika, Jakarta, 1995, hlm 9-11.
[4] Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Pidana di Indonesia,
Bandung: Alumni, 1982, hlm 33.
[5] Harun M. Husein, Penyidikan dan Penuntutan dalam Proses
Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1991, hlm 269, dalam O.C. Kaligis,…….. .
[6] O.C. Kaligis, SH, MH, Pengawasan Terhadap Jaksa Selaku Penyidik
Tindak Pidana Khusus dalam Pemberantasan Korupsi, PT. Alumni, Bandung,
2006, hlm 132.
[7] Eddy O.S Hiariej, Upaya Hukum Peninjauan Kembali Dalam Perkaa
Pidana, Seminar Nasional “Mengembalikan Fungsi Lembaga PK Sesuai Ketentuan
Undang-undang”, Yogyakarta, 2009, hlm 4-5.
[8] Dr. Marwan Effendy, SH, Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana Perspektif
Jaksa, Seminar Nasional, UGM, Yogyakarta, 2009, hlm 1-2.
[9] http://antikorupsi.org/indo/content/view/15141/2/
[10] http://www.legalitas.org/?q=content/hak-jaksa-mengajukan-peninjauan-kembali-pk-dan-batasannya
[11] Prof. Dr. H. Bagir Manan SH,
M.C.L, Sistem Peradilan Berwibawa
(SuatuPpencarian), FH UII Press, Yogyakarta, 2005, hlm 149.
Comments
Post a Comment
Dilarang keras melakukan spam, meletakkan suatu link dalam komentar dan diharapkan bertutur kata atau menulis dengan santun. Terima kasih