Hak Imunitas Advokat Dalam Menjalankan Profesi

HUKUM : Hak Imunitas Advokat

Pendahuluan

Meninjau dengan apa yang terjadi terhadap pengacara Kondang O.C Kaligis yang ditangkap KPK karena melakukan tindakan Penyuapan Hakim PTUN Medan terhadap suatu perkara yang sedang ia tangani ini menjadi tanda tanya besar bagi seseorang yang berprofesi sebagai seorang advokat / pengacara / lawyer. Ini sangat menarik sekali ketika seseorang yang berprofesi demi menegakkan hukum yang adil bagi kliennya terkadang banyak mendapat kecaman maupun hujatan dari siapa aja, namun pada dasarnya bagi orang tidak mengerti ketika seorang yang berprofesi sebagai seorang advokat tidak memiliki waktu luang sedikitpun untuk dapat kumpul bersama keluarganya terkadang nyawa dirinya dan nyawa keluarganya menjadi taruhan bagi pekerjaan mereka.

Melihat dari perkara yang terjadi disini hanya advokat itu sendiri yang ditetapkan menjadi tersangka sementara sang hakim dianggap sebagai seorang yang dianggap membantu pemberantasan korupsi. Yang lebih mengherankan hakim tersebut tidak mendapat sangsi apapun dan muncul pertanyaan “jangan – jangan advokat tersebut memang sengaja dijebak untuk menjatuhkan nama baiknya atau bisa jadi banyak pihak – pihak lain yang tidak senang dengan perlakuan si advokat terdahulu hingga ia sengaja dijebak dalam permainan ini”……pernyataan ini tidak ada yang tidak mungkin karena apapun itu semua bisa terjadi. Dalam hal ini akan coba memberikan penjabaran tentang Hak imunitas seorang advokat dan batasan – batasan hak imunitas tersebut.
Rumusan Masalah
Masih adakah Hak Imunitas seorang advokat dalam melakukan pekerjaannya seperti yang tercantum di dalam UU No. 18 Tahun 2003 Tentang Kode Etik Advokat?Adakah batasan – batasan hak imunitas seorang Advokat dalam melakukan pekerjaan nya?
Pembahasan
Dalam melakukan pekerjaan seorang advokat / pengacara/ lawyer yang dimana dalam menjalankan tugasnya sebagai penegak hukum ia sejajar dengan polisi, jaksa, dan hakim di depan hukum dan UU dan memiliki hak imunitas seperti yang tertuang di dalam UU No 18 Tahun 2003  pada pasal 14, 15 dan 16 seperti yang tercantum di bawah ini:
Pasal 14 berbunyi:
“Advokat bebas mengeluarkan pendapat atau pernyataan dalam membela perkara yang menjadi tanggung jawabnya di dalam sidang pengadilan dengan tetap berpegang pada kode etik profesi dan peraturan perundang-undangan”.
(Yang dimaksud dengan “bebas” adalah tanpa tekanan, ancaman, hambatan, tanpa rasa takut, atau perlakuan yang merendahkan harkat martabat profesi. Kebebasan tersebut dilaksanakan sesuai dengan kode etik profesi dan peraturan perundang-undangan)
Pasal 15 berbunyi:
“Advokat bebas dalam menjalankan tugas profesinya untuk membela perkara yang menjadi tanggung jawabnya dengan tetap berpegang pada kode etik profesi dan peraturan perundang-undangan”.
(Mengenai kekebalan Advokat dalam menjalankan tugas profesinya untuk kepentingan kliennya di luar sidang pengadilan dan dalam mendampingi kliennya pada dengar pendapat di lembaga perwakilan rakyat).
Pasal 16 berbunyi:
Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan itikad baik untuk pembelaan Klien dalam sidang Pengadilan”.
(Maksud “iktikad baik” dalam pasal ini adalah dalam menjalankan tugas profesinya demi tegaknya keadilan berdasarkan hukum untuk membela kepentingan kliennya. Dan yang dimaksud dengan “sidang pengadilan” adalah sidang pengadilan dalam setiap tingkat pengadilan di semua lingkungan peradilan).
Kemudian di dalam Pasal 17 dijelaskan
“Dalam menjalankan profesinya, Advokat berhak memperoleh informasi, data, dan dokumen lainnya, baik dari instansi Pemerintah maupun pihak lain yang berkaitan dengan kepentingan tersebut yang diperlukan untuk pembelaan kepentingan kliennya sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.
Dari pasal – pasal di atas terlihat bagaimana seorang advokat dapat diberikan perlindungan ketika menjalankan tugasnya, namun terkadang masih banyak juga seorang advokat yang diseret ke meja hijau karena menjalankan tugasnya sebagai salah satu pilar penegak hukum.
Lantas bagaimana perlindungan ketika diluar persidangan?apakah perlindungan itu ada?pertanyaan ini yang selalu dipertanyakan. Menurut Hamdan Zoelva dan Otto Hasibuan dalam hukumonline.com menjelaskan hak imunitas advokat yang dimaksud Pasal 16 meliputi tindak-tanduk advokat baik di dalam dan di luar  pengadilan. Mantan anggota Komisi II DPR RI ini menambahkan advokat berhak atas kekebalan dari tuntutan hukum, selama hal itu masih dalam konteks menjalankan profesi dan didasari pada itikad baik. Itu pasal dalam satu rangkaian, satu kesatuan. Artinya kalau benar-benar dilakoni dengan itikad baik, walaupun diluar pengadilan itu harus dilindungi, karena kalau tidak dia tidak bebas melakukan tugasnya jelasnya.
Senada dengan Hamdan, mantan Ketua Umum PERADI Otto Hasibuan berpendapat lingkup hak imunitas advokat seharusnya meliputi juga tindakan di luar persidangan. Kuncinya, menurut Otto, adalah adanya itikad baik dari advokat yang bersangkutan dan tindakan tersebut dalam lingkup tugas profesinya. Tanpa itikad baik, Otto memandang seorang advokat tidak memiliki imunitas sehingga layak diproses secara hukum.
Menurut Hamdan dalam sejumlah ketentuan yang berlaku internasional juga mengatur mengenai hak imunitas advokat. Karena disitulah hakekat profesi advokat sebagai profesi bebas.
Terdapat 3 ketentuan internasional yang mengatur tentang hak imunitas ini
  • Basic Principles on the Role of Lawyers: yang menyatakan bahwa pemerintah wajib menjamin bahwa advokat dalam menjalankan profesi bebas dari segala bentuk intimidasi, intervensi, dan gangguan, termasuk didalamnya tuntutan secara hukum.
  • International Bar Association (IBA) Standardsfor the Independence of the Legal Profession: bahkan lebih luas mendefinisikan bahwa advokat tidak hanya kebal dari tuntutan hukum secara pidana dan perdata, tetapi juga administratif, ekonomi, maupun sanksi atau intimidasi lainnya dalam pekerjaan membela dan memberi nasehat kepada kliennya secara sah.
  • Deklarasi yang dihasilkan The World Conference of the Independence of Justice di Montreal, Canada pada tahun 1983 yang menuntut adanya sistem yang adil dalam administrasi peradilan yang dapat menjamin independensi advokat.
Dari ketiga ketentuan internasional ini dapat kita lihat bahwa seorang advokat memiliki hak imunitasnya dalam menjalankan tugasnya baik di dalam persidangan maupun diluar persidangan dengan itikad yang baik. Namun di dalam UU No 18 Tahun 2003 dalam pasal 16 tidak menyiratkan batasan – batasan itikad baik itu seperti apa?apakah bertemu dengan seorang hakim baik ketika sidang sudah usai maupun ketika sidang belum dimulai merupakan sebuah itikad baik untuk membela kepentingan klien?. Di dalam pasal 16 ini masih terlihat rancu dan memiliki banyak perspektif dan siapapun memiliki cara menginterpretasikannya juga bisa menafsirkan apa saja. Kita ambil contoh dengan apa yang terjadi pada masalah di atas apakah salah seorang advokat bertemu dengan seorang hakim demi kepentingan kliennya?dan apabila terjadi penyuapan apakah pengacara tersebut yang menyuap atau jangan – jangan hakim tersebut yang meminta disini semua bisa terjadi. Masalah diatas harus diliat lebih objektif dan tidak tebang pilih. Karena hakim tersebut melaporkan perkara tersebut ke suatu lembaga lantas dia tidak dapat dikenakan sangsi hukum. Dalam undang – undang manapun tidak ada satu orangpun yang kebal hukum.
Menurut apa yang terjadi di atas hakim tersebut dapat juga dikenakan sangsi hukum baik dari segi kode etiknya sebagai hakim atau sebagai warga negara. Karena jika ditafsirkan begini dia menerima hasil suap tersebut dan kemudian melaporkan si penyuap tadi itu sama saja ia menerima hasil suap tersebut namun suap tersebut belum dinikmatinya. Ini yang menyangkut itikad baik dalam Pasal 16 tadi.
Dalam Undang – Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Nomor 31 tahun 1999 jo. Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 tindak pidana tersebut dikategorikan dengan Gratifikasi yang dijelaskan di dalam Pasal 12 B ayat (1) disebutkan pengertian gratifikasi adalah adalah pemberian dalam arti luas, meliputi pemberian uang, rabat (diskon), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma – cuma, dan fasilitas lainnya.
Dimana dalam hal gratifikasi ini terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk tindak tindak pidana ini
  • Penerimaan gratifikasi wajib dilaporkan kepada KPK langsung atau melalui Unit Pengendalian Gratifikasi (UPG) selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima. Gratifikasi yang nilainya Rp 10.000.000 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap, dilakukan oleh penerima gratifikasi.
  • Gratifikasi yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum. Sanksi yang diterima apabila tidak melaporkan gratifikasi adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling sedikit 4 tahun dan paling lama 20 tahun, serta denda paling sedikit Rp 200.000.000, paling banyak Rp 1.000.000.000 (UU Nomor 20 Tahun 2001 Pasal 12B).
Dapat kita lihat bagaimana kita sebagai penerima tersebut dapat dikenakan sangsi hukum juga dalam KUHP (Kitab Undang – Undang Hukum Pidana) di dalam Pasal 55 (turut melakukan) dan Pasal 56 (membantu melakukan) seperti di bawah ini
Pasal 55 yang berbunyi:
  • Dipidana sebagai pelaku tindak pidana:
  1. mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan;
  2. mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.
  • Terhadap penganjur, hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya.
Pasal 56 yang berbunyi:
Dipidana sebagai pembantu kejahatan:
  1. mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan;
  2. mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan.
Dari KUHP diatas terlihat jelas adanya tipu daya dengan memberikan sebuah kesempatan pada advokat tersebut untuk melakukan perbuatan tertentu sehingga advokat tersebut dapat dijatuhi hukum. Ini terlihat jelas adanya unsur – unsur serta upaya – upaya licik yang dilakukan untuk membuat advokat tersebut menjadi seorang tersangka namun sebaliknya hakim tersebut menjadi seorang pahlawan dan terlihat jelas bahwa adanya unsur kerjasama dalam proses tersebut. Bagaimana mungkin ia dapat melakukan perbuatan tersebut jika tidak ada kesempatan maupun celah yang diberikan padanya
Lantas bagaimana dengan Pasal 17? Apa yang dibunyikan di dalam pasal ini dapat dilakukan oleh seorang advokat? Realita yang ada sangat sulit sekali mendapatkan sebuah informasi, data, dan dokumen lainnya, baik dari instansi Pemerintah maupun pihak lain yang berkaitan. Menyangkut sebuah instansi baik swasta maupun pemerintah, data, informasi dan dokumen lainnya itu merupakan rahasia yang tidak boleh diberikan kepada orang lain. Dan apabila ingin memperoleh nya harus mendapatkan izin dari Pengadilan. Dalam hal ini untuk mendapatkan izin tersebut membutuhkan yang tidak sebentar dan menempuh jalan yang terkadang berliku terkadang seorang advokat harus memutar otak bagaimana mendapatkan izin tersebut.
Memang terkadang menjalani profesi seorang advokat yang benar – benar murni berdasarkan kode etik dan peraturan perundang – undangan menjadi sangat dilematis belum lagi dihadapkan dengan berbagai macam hal yang terjadi di luar persidangan. Ancaman, kecaman maupun intervensi dan lain sebagainya harus diterima bahkan terkadang nyawa diri sendiri dan nyawa keluarga menjadi taruhannya.
Kesimpulan
Ketidaktegasan dari sebuah produk hukum yaitu Undang – Undang dalam memberikan Hak Imunitas seorang advokat membuat posisi seorang advokat menjadi lemah. Sehingga banyak isi dari Undang – Undang tersebut yang multi tafsir dan siapapun bisa menafsirkan nya sesuai dengan pemikirannya.
Saran
Dari berbagi pemaparan di atas ada baiknya perumusan Undang – Undang tersebut tidak memiliki multi tafsir sehingga tidak muncul adanya dualisme atau lebih penafsiran sehingga siapapun dalam menjalankan profesi ini dapat menjalankan tugasnya dengan rasa tenang dan nyaman. Dalam menjalankan profesinya wajib diberikan perlindungan kepada seorang advokat tersebut tidak hanya dalam menjalankan profesinya di dalam persidangan saja akan tetapi di luar persidangan juga karena jika di hanya di dalam persidangan dapat dilindungi lantas bagaimana jika sudah keluar dari ruang sidang kembali ke kantor dan dalam perjalanan diikuti orang lain yang kemudian menciderai advokat tersebut hal ini tidak ada yang tidak mungkin terjadi. Semua ini bisa terjadi pada siapapun dan kapanpun namun yang paling banyak diincar pastilah advokatnya.
Sumber
  • Undang – Undang No 18 Tahun 2003
  • Undang – Undang Nomor 31 tahun 1999 jo. Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
  • Kitab Undang – Undang Hukum Pidana
  • http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol15478/hak-imunitas-advokat-tergantung-iktikad-baik, diakses 9 Desember 2015

Comments