Perjanjian Lisensi Dalam Hukum Merek

Perjanjian Lisensi Dalam Hukum Merek
Perlisensian merek dagang merupakan bagian dari sejarah merek itu sendiri ketika fungsi orisinil dari merek terindikasi sebagai relasi yang kuat dalam suatu aktivitas dagang dan industri. Merek barang – barang tersebut masih berasal dari sumbernya, selain oleh ide ataupun pemikiran pemilik merek atau kreasi merek itu sendiri. Pemberian sebuah lisensi diberikan oleh seorang licensor yang mudah diklaim dari non pengguna ataupun pencoretan merek.[1]
Lisensi adalah izin yang diberikan oleh pemilik merek terdaftar kepada pihak lain melalui suatu perjanjian berdasarkan pada pemberian hak (bukan pengalihan hak) untuk menggunakan merek tersebut, baik untuk seluruh atau sebagian jenis barang dan / atau jasa yang didaftarkan dalam jangka waktu dan syarat tertentu.[2]
Terdapat tiga pembatasan yang dapat dilakuakan dalam perjanjian lisensi yaitu:
  • Pembatasan penggunaan merek hanya pada barang dan atau jasa tertentu.
  • Pembatasan wilayah penggunaan merek sehingga tidak meliputi seluruh wilayah Indonesia.
  • Pembatasan jangka waktu berlakunya lisensi sehingga bisa lebih pendek daripada masa perlindungan merek tersebut.[3]
Selanjutnya dalam pemberian lisensi ini juga, undang – undang memberikan perlindungan hukum kepada mereka yang beitikad baik. Ini merupakan penerapan asas perlindungan hukum bagi yang beritikad baik. Perlindungan hukum tersebut tersurat dalam Pasal 48 UU Merek Tahun 2001, yaitu:
  1.  Penerima lisensi yang beritikad baik, tetapi kemudian merek itu dibatalkan atas dasar adanya persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek lain yang terdaftar, tetap berhak melaksanakan perjanjian lisensi tersebut sampai dengan berakhirnya jangka waktu perjanjian lisensi.
  2. Penerima lisensi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak lagi wajib meneruskan pembayaran royalti kepada pemberi lisensi yang dibatalkan, melainkan wajib melaksanakan pembayaran royalti kepada pemilik merek yang dibatalkan.
  3. Dalam hal pemberi lisensi sudah terlebih dahulu menerima royalti secara sekaligus dari penerima lisensi, pemberi lisensi tersebut wajib menyerahkan bagian dari royalti yang diterimanya kepada pemilik merek yang tidak dibatalkan, yang besarnya sebanding dengan sisa jangka perjanjian tersebut.[4]     
Dalam perjanjian lisensipun dapat pula diperjanjikan bahwa penerima lisensi boleh memberikan lisensi kepada orang lain. Setelah merek itu diserahkan kepada orang lain, maka pemilik hak merek tetap dapat menggunakan sendiri atau memberi lisensi berikutnya kepada pihak ketiga lainnya, kecuali bila diperjanjikan lain. Artinya jika telah diperjanjikan bahwa pemilik hak merek setelah pemberian lisensi itu tidak menggunakan sendiri dan tidak memberikan lisensi berikutnya kepada orang lain, maka ia harus mematuhinya.
Pengaturan lisensi dalam Undang – Undang Merek dapat kita temukan dalam Pasal 43 hingga Pasal 49 Bagian Kedua Bab V Pasal 1 angka 13. Dari definisi mengenai lisensi yang diberikan dalam Pasal 1 angka 13 Undang – Undang No. 15 Tahun 2001, dapat kita pilah – pilah ke dalam beberapa unsur, yang meliputi:
  1. Adanya izin yang diberikan oleh Pemegang Merek.
  2. Izin tersebut diberikan dalam bentuk perjanjian.
  3. Izin tersebut merupakan pemberian hak untuk menggunakan Merek tersebut (yang bukan bersifat pengalihan hak).
  4. Izin tersebut diberikan baik untuk seluruh atau sebagian jenis barang atau jasa yang didaftarkan.
  5. Izin tersebut dikaitkan dengan waktu tertentu dan syarat tertentu.
Ketentuan yang memuat syarat obyektif suatu perjanjian seperti yang diatur dalam Pasal 9 ayat (1) Undang – Undang No. 30 Tahun 2000, Pasal 36 ayat (1) Undang – Undang No. 31 Tahun 2001 dan Pasal 28 ayat (1) Undang – Undang No. 32 Tahun 2001, juga dapat kita temukan dalam ketentuan Pasal 47 ayat (1) Undang – Undang No. 15 Tahun 2001, yang menyatakan bahwa:
“Perjanjian lisensi dilarang memuat ketentuan baik yang langsung maupun tidak langsung dapat menimbulkan akibat yang merugikan perekonomian Indonesia atau memuat pembatasan yang menghambat kemampuan bangsa Indonesia dalam menguasai dan mengembangkan teknologi pada umumnya.”[5]

Diantara ketentuan khusus mengenai lisensi merek tersebut, akan diuraikan lagi lebih lanjut sebagai berikut:
  1. Izin untuk menggunakan
Pemberian izin untuk menggunakan merek yang releven adalah pernyataan pertama dari kebanyakan perjanjian lisensi. Secara khusus merek – merek tersebut biasanya dilist dalam sebuah jadwal pada perjanjian lisensi, bersama dengan produk yang digunakan.

  1. Jumlah lisensi
Ini menjadi penting bagi licensee untuk mengetahui bagaimana cara kerja dan sikap tindakan licensee yang lain dalam memenuhi lingkup pelayanan wilayah liensinya. Hal mana juga penting untuk menentukan intensitas licensee dalam mendistribusikan produk dalam wilayahnya. Akhirnya ini juga penting untuk seorang licensee lain yang juga berusaha untuk meyakinkan bahwa rivalnya tersebut telah setuju di term yang sebanding.

  1. Kontrol kualitas
Sebagaimana telah disebutkan di atas, di dalam setiap perjanjian lisensi terdapat ketentuan bahwa licensee tidak menggunakan merek atas produk yang tidak memenuhi standar kualitas yang diperoleh dari licensor. Ketentuan standar kualitas memungkinkan penerimaan bagi pengguna atau konsumen dalam sebuah basis kerahasiaan, semua spesifikasi, data teknis, dan know – how dari licensor untuk memperbolehkan menentukan standar kualitas yang harus dipenuhi.

  1. Marketing
Sebuah lisensi diberlakukan di wilayah sebuah merek dagang digunakan dalam wilayah tersebut. Hal ini terdiri atau berisikan pelarangan dagang melawan jika melakukan tindakan dagang di luar wilayah yang telah ditetapkan sebagai ketentuan yang tetap dijaga atas wilayah pemberlakuan lisensi tersebut.

  1. Pengaturan keuangan
Dalam hal ini terhadap sebuah fee ataupun royalti sebagaimana diizinkan untuk menggunakan merek, seorang licensor dapat juga menggunakan mensyaratkan pembayaran di dalam mematuhi ketentuan keahlian perorangan untuk menginstruksikan pegawai dari licensee dalam memenuhi persyaratan material guna mencapai perolehan standar kualitas yang dipersyaratkan dalam perjanjian. Pengaturan juga dibuat untuk mengalokasikan biaya prosedur percontohan. Akhirnya seorang licensee biasanya mensyaratkan untuk menjaga secara detail mengenai pembukuan, data rekaman penjualan dari produk – produk merek tersebut.

  1. Pelanggaran
Licensee biasanya dipersyaratkan untuk memberikan laporan kepada licensor semua pelanggaran yang mungkin terjadi. Sementara licensor biasanya melakukan semua proses terhadap pelanggaran tersebut.[6]

Meski secara legislatif jarang ditemui ada terobosan baru dalam lisensi yang dinamakan lisensi paksa. Lisensi paksa ini diminta oleh satu perusahaan agar merek dagang mereka kepada perusahaan – perusahaan yang baru didirikan tersebut agar efektivitas dari pendirian perusahaan – perusahaan baru tersebut dapat terwujud untuk mencegah praktek monopoli dan juga mengurangi usaha dari persaingan yang tidak sehat yang diakibatkan tidak adanya itikad baik dari pengguna produk tersebut.

Dalam prateknya terdapat dua perjanjian lisensi. Pertama adalah perjanjian lisensi yang bersifat ekslusif, pihak yang menerima lisensi merupakan satu – satunya pihak yang berhak menerima lisensi merek tersebut. Kedua adalah perjanjian lisensi yang bersifat nonekslusif dimana pihak yang menerima lisensi bukan satu – satunya pihak yang secara ekslusif memiliki hak atas merek tersebut.


Daftar Pustaka


[1] Suyud Margono, Amir Angkasa, Komersialisasi Aset Intelektual Aspek Hukum Bisnis, PT. Gramedia Widyasarana Indonesia, Jakarta, 2002 hlm 136.
[2] Ahmad Miru, Hukum Merek, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005 hlm 63.
            [3] Ahmad Miru, Hukum Merek, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005 hlm 63 – 64.
[4] H. OK. Saidin Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Right), ctk keempat, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004 hlm 385.
            [5] Gunawan Widjaja, Seri hukum Bisnis Lisensi, PT. Raja Grafindo Persada, ctk kedua, Jakarta, 2003 hlm 54.
            [6] Suyud Margono, Amir Angkasa, Komersialisasi Aset Intelektual Aspek Hukum Bisnis, PT. Gramedia Widyasarana Indonesia, Jakarta, 2002 hlm 137 - 139.

Comments