Perkembangan Hukum Progresif Di Indonesia


Hukum Progresif di Indonesia
Dalam konteks Indonesia, peletak dasar pondasi pemikiran hukum progresif adalah Prof. Satjipto Rahardjo. Sebagai pakar hukum yang memprakarsai pemikiran hukum progresif di Indonesia dia mengakui bahwa wacana hukum progresif di Indonesia baru dimulai sejak tahun 2002. Inti pemikiran Prof. Tjip, begitu beliau akrab dipanggil adalah ingin mendudukkan bahwa posisi manusia menduduki kedudukan paling sentral dalam hukum karena bagi dia hukum itu terlahir untuk melayani kepentingan kemanusiaan, bukan sebaliknya manusia untuk hukum.
      Hukum progresif lahir karena selama ini ajaran ilmu hukum positif (analytical jurisprudence) yang dipraktikkan pada realitas empirik di Indonesia tidak memuaskan. Gagasan Hukum Progresif muncul karena prihatin terhadap kualitas penegakan hukum di Indonesia terutama sejak terjadinya reformasi pada pertengah tahun 1997. Jika fungsi hukum dimaksudkan untuk turut serta memecahkan persoalan kemasyarakatan secara ideal, maka yang dialami dan terjadi di Indonesia sekarang ini adalah sangat bertolak belakang dengan cita-cita ideal tersebut.[1]
Meski Indonesia sudah terkenal sebagai salah satu negara dengan sistem hukum yang amat buruk, tetapi kita tak dapat menutup mata bahwa masih ada kekuatan-kekuatan progresif di negeri ini. Mereka ada di kejaksaan, pengadilan, kepolisian, advokat, akedemi, LSM, birokrasi, pelaku ekonomi, dan banyak lagi. Hal lain yang amat menarik adalah pelaku-pelaku hukum progresif, sedikit ditemukan di tingkat nasional, tetapi lebih banyak di tingkat lokal, dikalangan manusia dan pelaku kecil.
Latar belakang hukum progresif yang timbul ketika Indonesia mengalami gejolak sosial dengan bergulirnya gerakan reformasi pada akhir tahun 90-an adalah hal yang patut dicermati guna melihat posisi hukum progresif dalam dunia hukum. Dalam artian hukum progresif muncul sebagai anti tesis dari penegakan hukum yang berparadigma positivistik-legalistik selama Orde Baru, Satjipto Rahardjo menjelaskan hal ini dengan terminologi “status quo”. Sebagaimana Kuhn yang belajar dari sejarah, yaitu dengan adanya anomaly sehingga menghasilkan krisis, yang pada akhirnya memunculkan paradigma baru dalam ilmu.[2]

Kondisi Hukum di Indonesia sebelum reformasi tidak mampu memberikan kepastian sebagaimana yang diharapkan, apalagi memberikan keadilan sebagaimana yang diharapkan oleh masyarakat. Namun rezim Orde Baru beranggapan telah melaksanakan pemerintahan atas dasar kepastian dan keadilan, serta berusaha merealisasikannya melalui berbagai program yang disebut dengan istilah “pemerataan”, mulai dari pemerataan untuk memperoleh pendidikan sampai pada pemerataan memperoleh kesehatan (yang sebenarnya memang merupakan kewajiban yang harus diemban oleh pemerintah di mana pun).[3]

Keinginan membangun tata hukum yang lebih bercirikan Indonesia dengan segala atribut keasliannya memang merupakan harapan (das sollen). Oleh karena mewarisi sejumlah peraturan serta lembaga hukum dari masa kolonial sesungguhnya berarti mempertahankan cara-cara berpikir serta landasan bertindak yang berasal dari paham individualistis. Hal itu tentu saja tidak sejalan dengan alam pikiran masyarakat Indonesia yang berlandaskan paham kolektivistis.[4]

Di negara-negara yang sedang berkembang pada umumnya seperti Indonesia, paling sedikit ada dua faktor yang mendesak untuk diambil sebagai sikap yang progresif tentang hukum dan peranannya dalam masyarakat, yaitu:
  1. Keinginan untuk menghapuskan peninggalan kolonial secepat-cepatnya.
  2. Harapan-harapan yang ditimbulkan pada masyarakat dengan tercapainya kemerdekaan.[5]
Dengan memakai asumsi Marx, yang mengatakan bahwa basisstructure menentukan suprastructure, maka paradigma hukum progresif dapat menjadi paradigma hukum alternative dalam mengatasi lemahnya penegakkan hukum di Indonesia. Penegakkan hukum di Indonesia saat ini lebih condong penekanannya pada masalah “manusia” yang menjalankannya. Tentunya tidak berpretensi untuk menafikan variabel-variabel lain yang turut mendukung tidak optimalnya penegakkan hukum di Indonesia saat ini.

Kondisi penegakkan hukum di Indonesia saat ini melupakan sentrum dari hukum, yaitu manusia. Kondisi penegakan hukum yang seperti ini lebih menekankan analisis masalah penegakkan hukum pada dimensi normatifitasnya dari hukum, padahal sebagaimana yang dikatakan oleh Marx bahwa basisstructure menentukan suprastructure. Maka seharusnya yang dilakukan saat ini adalah pengkajian hukum yang berbasiskan pada manusia, maka di masa yang akan datang kajian-kajian hukum selanjutnya layak dipertajam mengenai kajian-kajian seperti psikologis hukum dan antropologi hukum, guna menyokong solusi masalah lemahnya penegakkan hukum dari sisi kemanusiaannya.[6]

Hukum Progresif Sebagai Sarana Perubahan Format dan Praktis Hukum dalam Kehidupan Berhukum, Berbangsa dan Bernegara

Fakta yang ada di hadapan kita saat ini adalah, bahwa rasa nasionalisme yang rendah dan ketidaksabaran pemerintah untuk mewujudkan kesejahteraan secara ekonomis bagi rakyatnya dengan mengadopsi paham hukum positivistis yang didasari oleh paham individualistis, liberalistis, dan materialistis dengan menerapkan pola pembangunan ekonomi bergaya kapitalis yang dilakukan dengan langgam otoritarianisme dan sentralisasi kekuasaan, ternyata telah mengakibatkan Indonesia sangat bergantung pada bantuan ekonomi asing.

Fungsi hukum nasional pada dasarnya adalah sedapat mungkin memfasilitasi tumbuhnya nilai-nilai hukum pada masyarakat yang pluralis dan mengharmonisasikannya dalam bingkai hukum nasional, dan tidak memaksakan nilai-nilai yang belum tentu dibutuhkan dan sesuai dengan kebutuhan berhukum masyarakat Indonesia yang pluralis.

Citra fungsi hukum yang demikian sesuai dengan paradigma Hukum Progresif yang dikemukakan oleh Prof. Tjip bahwa, “Hukum adalah untuk manusia dan bukan sebaliknya,… dan hukum itu tidak ada untuk dirinya sendiri, melainkan untuk sesuatu yang lebih luas, yaitu,… untuk harga diri manusia, kebahagiaan, kesejahteraan, dan kemuliaan manusia.

Dengan demikian, untuk dapat melakukan perubahan terhadap format dan fraksi hukum saat ini mencengkram cara pemerintah berhukum, dan agar pembangunan hukum di Indonesia didasarkan atas harkat dan martabat manusia Indonesia, maka yang harus dilakukan adalah mengembalikan pola format dan fraksis hukum kepada bentuk aslinya sebagaimana yang disepakati oleh Founding Fathers, yaitu pembangunan hukum yang didasari oleh nilai-nilai, asas-asas hukum, dan lembaga-lembaga hukum yang terkandung dalam peculiar form of social life dari bangsa Indonesia (yang bersifat plural) namun tetap mendasarkan diri pada asas musyawarah, gotong-royong, kekeluargaan (komunal), dan magis religius.

Menurut Wicipto Setiadi dalam Lili Rasjidi dan B. Arief Sidharta, teori hukum yang bercirikan Indonesia harus mengakomodasi pembaharuan hukum dan penyaluran nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, dalam hal ini adalah Pancasila.

KESIMPULAN
Paradigma hukum progresif lebih mementingkan keadilan yang bersifat substansial daripada keadilan yang sifatnya prosedural, hal ini bertujuan untuk membentuk sebuah sistem hukum yang berpihak pada keadilan serta kesejahteraan rakyat yang sebesar-besarnya.

Seruan untuk menggalang kekuatan dalam wadah gerakan moral yang disebut “kekuatan hukum progresif” sebagai sebuah kekuatan hukum anti-status quo sesungguhnya merupakan respons terhadap keadaan pseudo law enforcement tadi. Tanpa menafikan kehadiran hukum positif, kekuatan hukum progresif harus diberi makna yang lebih makro. Artinya, sebagai suatu gerakan moral dari sejumlah kekuatan yang dapat terdiri atas para ahli hukum (baik sebagai pendidik, aparatur penegak hukum, maupun birokrat), mereka harus bersatu untuk secara pro-aktif mengupayakan agar proses pendidikan, pengembangan, maupun penegakan hukum di Indonesia berpihak dan mengutamakan keadilan bagi sebanyak-banyaknya rakyat Indonesia.

Hukum positif yang bersifat statis sebenarnya merupakan sebuah problem tersendiri karena dirinya tidak bisa berkreasi untuk menjawab kebutuhan masyarakat yang terus bergerak maju. Oleh karena itu, hukum positif yang statis tersebut masih memerlukan orang-orang atau penegak hukum yang berfikir progresif agar sebuah peraturan hukum bisa menjadi sesuatu yang dinamis untuk menjawab segala problematika kemasyarakatan.

Terdapat dua komponen hukum dalam hukum progresif, yaitu peraturan dan perilaku. Peraturan adalah segala hal yang sifatnya mengatur manusia, sedangkan perilaku adalah tindakan manusia dalam menjalankan hukumnya. Hukum progresif lebih mengutamakan perilaku daripada peraturan, hal ini dikarenakan pusat hukum ada pada manusia, bukan pada peraturan.

Paradigma hukum progresif untuk menjadi paradigma hukum yang tepat untuk mengatasi lemahnya penegakkan hukum di Indonesia saat ini. Paradigma hukum progresif juga menekankan bahwa pusat hukum adalah manusia.

Pada masa yang akan datang kajian-kajian hukum selanjutnya layak dipertajam mengenai kajian-kajian seperti psikologis hukum dan antropologi hukum, guna menyokong solusi masalah lemahnya penegakkan hukum dari sisi kemanusiaannya.

Paradigma hukum progresif yang dikemukakan oleh Prof. Tjip bahwa, “Hukum adalah untuk manusia dan bukan sebaliknya,… dan hukum itu tidak ada untuk dirinya sendiri, melainkan untuk sesuatu yang lebih luas, yaitu,… untuk harga diri manusia, kebahagiaan, kesejahteraan, dan kemuliaan manusia.”


Daftar Pustaka


[1] Prof. Dr.  Satjipto Rahardjo, SH, Hukum Progresif: Hukum yang Membebaskan. dalam Jurnal Hukum Progresif”, Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, Vol. 1/No. 1/April 2005, hal. 3-5.
[2] Mahmud Kusuma, Menyelami Semangat Hukum Progresif, Terapi Paradigma Bagi Lemahnya Hukum Indonesia, AntonyLib, Yogyakarta, 2009, hlm 170.
[3] Ibid, hlm 152.
[4] http://www.pshk.law.uii.ac.id/images/pdf/hukum%20progresif.pdf
[5] Mochtar Kusumaatmadja, Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional, LPHK Fakultas Hukum Unpad, Bandung: Binacipta, 1976, hlm. 3.
[6] Ibid, hlm 186.

Comments