Perlindungan Hukum Bagi Kreditur Dalam Perjanjian Kredit Dengan Jaminan Fidusia

Pengertian Kredit dan Perjanjian KreditKata “kredit” berasal dari bahasa Romawi, yaitu “credere” yang mempunyai arti kepercayaan.[1] Istilah kredit berasal dari bahasa Yunani, yaitu Credere yang berarti kepercayaan. Dengan demikian, dasar pemberian kredit adalah kepercayaan dan keyakinan bahwa debitur akan melunasi hutangnya sesuai dengan yang diperjanjikan atau tepat waktu.[2]

Istilah kredit sebenarnya memiliki bermacam-macam makna. Pengertian istilah ini secara akuntansi mungkin tidak seratus persen sama dengan yang dipahami orang awam. Istilah kredit yang dimaksud adalah pemberian fasilitas pinjaman (bukan berdasarkan prinsip syariah) kepada nasabah, baik berupa fasilitas pinjaman tunai (cash loan) maupun pinjaman nontunai (non-cash loan). Pinjaman kas adalah fasilitas kredit yang diberikan oleh bank kepada nasabahnya yang tidak memerlukan syarat-syarat khusus dalam penarikannya.[3]

Menurut pendapat M. Jakile, pengertian kredit adalah:“Suatu ukuran kemampuan dari seseorang untuk mendapatkan sesuatu yang bernilai ekonomis sebagai ganti dari janjinya untuk membayar kembali hutangnya pada tanggal tertentu.”

Sedangkan menurut pendapat O.P. Simorangkir, kredit diartikan sebagai:

“Pemberian prestasi baik dalam bentuk uang atau barang dengan kontra prestasi pada waktu yang akan datang.”[4]

Menurut UU RI No. 10 tahun 1998 dikatakan bahwa “Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan-tagihan yang dapat disamakan dengan itu berdasarkan persetujuan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain dalam hal dimana pihak peminjam berkewajiban melunasi hutangnya setelah jangka waktu yang ditentukan dengan sejumlah bunga yang disepakati.”

Mengetahui pengertian dari suatu perjanjian kredit, Mariam Badrulzaman membedakan pengertian tersebut kedalam 2 (dua) hal, yaitu:

a. Perjanjian kredit sebagai perjanjian pendahuluan

Artinya bahwa, perjanjian kredit adalah “perjanjian pendahuluan” dari penyerahan uang. Perjanjian pendahuluan ini merupakan hasil pemufakatan antar pemberi dan penerima perjanjian mengenai hubungan hukum antara keduanya. Perjanjian tersebut bersifat konsensual obligator (perjanjian yang timbul atau terbentuk, bersifat mengikat).[5]

Perjanjian kredit merupakan perjanjian pendahuluan (pactum de contrafendo). Maksudnya adalah perjanjian ini mendahului perjanjian hutang-piutang (pinjam-meminjam). Sedangkan perjanjian hutang-piutang merupakan pelaksanaan dari perjanjian pendahuluan atu perjanjian kredit.[6]

b. Perjanjian kredit sebagai perjanjian standar

Artinya bahwa, perjanjian yang bentuk dan isinya telah disiapkan terlebih dahulu oleh kreditur, lantas kemudian disodorkan kepada debitur.[7]

Manfaat atau arti penting dari pembuatan perjanjian kredit itu sendiri, antara lain adalah sebagai berikut:[8]
  1. Perjanjian kredit berfungsi sebagai perjanjian pokok, artinya perjanjian kredit merupakan sesuatu yang menentukan batal atau tidaknya perjanjian lain yang mengikat. Misalnya perjanjian pengikatan jaminan.
  2. Perjanjian kredit berfunsi sebagai alat bukti mengenai batasan-batasan hak dan kewajiban diantara kreditur dan debitur.
  3. Perjanjian kredit berfungsi sebagai monitoring kredit.

Pertimbangan Dalam Pemberian Kredit

Pertimbangan dalam pembayaran kredit oleh bank harus dilakukan, untuk dapat terjadinya suatu kredit pada bank, maka sebelum hal itu terjadi harus ada suatu permohonan untuk adanya hal tersebut oleh calon nasabah.

Bank sebelum menyalurkan kredit kepada nasabah, terlebih dahulu mengadakan suatu penyelidikan terhadap calon nasabahnya. Penyelidikan terhadap calon nasabah ini dimaksudkan agar Bank dalam penyaluran kreditnya benar-benar tepat sasaran.[9]

Unsur-Unsur Perjanjian Kredit

Unsur-unsur perjanjian kredit itu adalah sebagai berikut:
  • Adanya kesepakatan atau perjanjian antara pihak kreditur dengan debitur, yang disebut dan dituangkan dengan perjanjian kredit.
  • Adanya para pihak, yaitu pihak kreditur sebagai pihak yang memberikan pinjaman, seperti bank. Dan pihak debitur yang merupakan pihak yang membutuhkan uang pinjaman atau barang atau jasa.
  • Adanya unsur kepercayaan dari kreditur bahwa pihak debitur akan dan mampu membayar kreditnya.
  • Adanya kesanggupan dan janji membayar hutang dari pihak debitur kepada pihak kreditur.
  • Adanya pemberian sejumlah uang/barang/jasa oleh pihak kreditur kepada debitur.
  • Adanya pembayaran kembali sejumlah uang/barang/jasa oleh pihak debitur kepada pihak kreditur, disertai dengan pemberian imbalan atau bunga atau pembagian keuntungan.
  • Adanya perbedaan waktu antara pemberian kredit oleh kreditur dan pengembalian kredit oleh debitur.
  • Adanya resiko tertentu yang diakibatkan karena adanya perbedaan waktu tadi, semakin jauh tenggang waktu pengembalian, semakin besar pula resiko tidak terlaksananya pembayaran kembali suatu kredit.[10]

Wanprestasi Dalam Perjanjian Kredit

Kata “wanprestasi” berasal dari bahasa Belanda, yang berarti prestasi buruk di dalam suatu perjanjian. Salah satu pihak dapat dianggap melakukan wanprestasi jika:
  1. Tidak melakukan apa yang telah disanggupi atau dilaksanakan atau,
  2. Melaksanakan apa yang dijanjikan tetapi tidak sebagaimana mestinya
  3. Melaksanakan apa yang dijanjikan tetapi terlambat
  4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan
Berdasarkan pada ketentuan pasal 1238 KUH Perdata, yang berbunyi:

“Si berhutang adalah lalai apabila dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai atau demi perikatannya sendiri ialah jika ini menetapkan, bahwa si berhutang harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan.”

Maka, tata cara memperingatkan debitur supaya ia memenuhi prestasinya dilaksanakan dengan member peringatan tertulis yang isinya mengatakan bahwa debitur wajib memenuhi prestasi dalam waktu yang telah ditentukan.[11]

Pihak debitur dalam hal telah melakukan wanprestasi maka kreditur dapat menuntutnya untuk melakukan:
  • Meminta pelaksanaan perjanjian meskipun terlambat
  • Meminta penggantian kerugian saja, yaitu kerugian yang diderita olehnya karena perjanjian tidak atau terlambat dilaksanakan
  • Menuntut pelaksanaan perjanjian, atau
  • Suatu perjanjian yang melibatkan kewajiban timbal balik atau kelalaian dari satu pihak memberikan hak kepada pihak yang lain untuk meminta kepada hakim agar perjanjian dibatalkan.

Penggolongan Jaminan Kredit

Jaminan mempunyai tugas melancarkan dan mengamankan pemberian kredit. Menurut Subekti, jaminan yang ideal adalah:
  • Jaminan yang dapat secara mudah membantu perolehan kredit tersebut oleh pihak yang memerlukan kredit.
  • Jaminan yang tidak melemahkan ketentuan potensi (kekuatan) si pemberi kredit untuk melakukan (meneruskan) usahanya.
  • Jaminan yang memberikan kepastian kepada si pemberi, dalam arti bahwa barang jaminan setiap waktu tersedia untuk dieksekusi, yaitu apabila perlu, dapat mudah diuangkan untuk melunasi hutangnya si penerima kredit.[12]
Pada umumnya, jaminan dapat digolongkan menjadi:[13]
  • Jaminan yang lahiar karena ditentukan oleh Undang-Undang dan jaminan yang lahir karena perjanjian.
  • Jaminan yang tergolong jaminan umum dan jaminan khusus
  • Jaminan yang bersifat kebendaan dan jaminan bersifat perorangan
  • Jaminan atas benda bergerak dan benda tidak bergerak
  • Jaminan yang menguasai bendanya dan jaminan tanpa menguasai bendanya

Jenis-jenis Pengikatan Jaminan

Dalam hukum positif Indonesia, pengikatan jaminan dapat dilakukan:[14]
  • Hak tanggung adalah jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain. Hak tanggungan diatur dalam Undang-undang Hak Tanggungan atas Tanah beserta Benda-benda lain yang Berkaitan dengan Tanah, yaitu Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996.
  • Gadai, dalam hal ini adalah untuk jaminan yang berupa benda bergerak yang secara sosial ekonomi tidak mengganggu kelancaran jalannya suatu usaha atau perusahaan, sehingga tidak akan mempengaruhi pendapatan nasabah debitur.
  • Fidusia, dalam hal ini adalah untuk jaminan yang berupa benda-benda atau barang-barang bergerak yang secara sosial ekonomi dapat menunjang kelancaran jalannya suatu perusahaan.
  • Cessie. Pada dasarnya cessie bukan merupakan suatu lembaga jaminan seperti halnya dengan hipotik, gadai, atau fidusia. Akan tetapi, dalam praktek pemberian kredit perbankan selama ini, banyak digunakan untuk memperjanjikan pengalihan suatu piutang atau tagihan yang dijadikan sebagai jaminan suatu kredit.

Pengertian Jaminan Fidusia

Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang jaminan Fidusia menyebutkan bahwa fidusia adalah pengalihan hak suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tetap dalam penguasaan pemilik benda.

Istilah fidusia berasal dari bahasa Romawi, yaitu “fides” yang mempunyai arti kepercayaan. Terdapat hubungan secara kepercayaan antara nasabah debitur sebagai pemberi fidusia dengan kreditur sebagai penerima fidusia.

Penjaminan secara fidusia sudah lama digunakan di Indonesia, namun pengaturan mengenai jaminan fidusia baru muncul dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia.

Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia menyebutkan bahwa:

“jaminan fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan pemberian fidusia, sebagai pelunasan hutang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditur lainnya.”

Ketentuan yang mengatur mengenai sifat jaminan fidusia, yaitu Pasal 4 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia, yang menyebutkan bahwa:

“Jaminan fidusia merupakan perjanjian ikutan dari suatu perjanjian pokok yang menimbulkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi suatu prestasi.”

Maksud dari prestasi dalam ketentuan di atas adalah hal yang berupa memberikan sesuatu, berbuat sesuatu yang dapat dinilia dengan uang. Sebagai suatu perjanjian accesoir, perjanjian jaminan fidusia memiliki sifat sebagai berikut:
  • Sifat ketergantungan terhadap perjanjian pokok
  • Keabsahannya semata-mata ditentukan oleh sah atau tidaknya perjanjian pokok
  • Sebagai perjanjian bersyarat, maka hanya dapat dilaksanakan jika ketentuan yang disyaratkan dalam perjanjian pokok telah atau tidak dipenuhi.[15]
Menurut Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, perjanjian fidusia bersifat assesoir dimana tergantung pada perjanjian pokok yang biasanya berupa perjanjian pinjaman uang pada bank-bank.[16]

Objek Jaminan Fidusia

Benda-benda yang dapat menjadi objek jaminan fidusia adalah sebagai berikut:
  • Benda tersebut harus dapat dimiliki dan dialihkan secara hukum
  • Dapat atas benda-benda berwujud
  • Dapat juga atas benda tidak berwujud, termasuk piutang
  • Benda bergerak
  • Benda tidak bergerak yang tidak dapat diikat dengan hak tanggungan
  • Benda tidak bergerak yang tidak dapat diikatkan dengan hipotik
  • Baik atas benda yang sudah ada maupun terhadap benda yang akan diperoleh dikemudian hari. Dalam hal benda yang akan diperoleh dikemudian, tidak diperlukan suatu akta pembebanan fidusia tersebut.
  • Dapat atas suatu satuan jenis benda
  • Dapat juga atas lebih dari satu jenis satuan benda
  • Termasuk hasil dari benda yang telah menjadi objek fidusia
  • Termasuk juga hasil klaim asuransi dari benda yang menjadi objek jaminan fidusia
  • Benda persediaan (inventory, stok perdagangan) dapat juga menjadi objek jaminan fidusia.[17]

Pendaftaran Jaminan Fidusia

A. Kantor Pendaftaran Jaminan Fidusia
Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia menyebutkan, pendaftaran jaminan fidusia ini dilakukan pada KPF (Kantor Pendaftaran Fidusia). KPF untuk pertama kalinya didirikan di Jakarta yang berada dalam lingkup tugas Departemen Kehakiman dan HAM Republik Indonesia yaitu pada Direktorat Jendral Administrasi Hukum Umum Departemen Kehakiman dan HAM dengan wilayah kerja mencakup seluruh wilayah negara Republik Indonesia (lihat Pasal 12 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia).

Kantor pendaftaran Fidusia dibentuk pada tanggal 30 September 2000 berada pada Direktorat Jendral Administrasi Hukum Umum Departemen Kehakiman dan HAM Republik Indonesia dan mulai efektif operasional terhitung sejak tanggal 30 Oktober 2000.

Pelaksanaan pendaftaran jaminan fidusia bagi pihak yang berkepentingan akan lebih mudah dan efektif yaitu dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 139 Tahun 2000 tentang Pembentukan Kantor Pendaftaran Fidusia di setiap Ibukota Propinsi di Wilayah Negara Republik Indonesia.

Sertifikat Jaminan Fidusia

Penerima fidusia memiliki hak fidusia berdasarkan bukti, bukti penting ini menerangkan mengenai objek jaminan fidusianya, siapa pihak yang berkepentingan dengan jaminan fidusia ini, serta data perjanjian pokok yang dijaminkan dengan fidusia juga mengenai nilai penjaminannya.

Pengalihan Jaminan Fidusia

Pengalihan piutang haruslah dibuat dengan akta cessie baik secara notarial ataupun dibawah tangan, sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam KUH Perdata. Pasal 19 ayat (1) Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan fidusia, menyebutkan bahwa:

“pengalihan hak piutang yang dijaminkan dengan fidusia mengakibatkan beralihnya demi hukum segala hak dan kewajiban penerima fidusia kepada kreditur baru.”

Berdasarkan pada Pasal tersebut diatas, maka pihak penerima fidusia beralih secara hukum kepada pihak penerima pengalihan piutang tersebut, yang mana hal tersebut sesuai juga dengan sifat perjanjian fidusia sebagai perjanjian assesoir, yaitu mengikuti perjanjian pokoknya yang dalam hal ini adalah perjanjian kredit. Pengalihan benda yang menjadi objek jaminan fidusia mempunyai prinsip bahwa jaminan fidusia mengikuti kemanapun benda jaminan berada (droit de suit).[18]

Benda yang menjadi objek jaminan fidusia adalah stock barang dagangan maka dalam hal ini, pemberi fidusia tetap dapat melakukan kegiatan jual beli terhadap stock barang dagangannya, walaupun benda tersebut merupakan objek jaminan fidusia.

Hapusnya Jaminan Fidusia

Beberapa hal yang dapat menyebabkan hapusnya jaminan fidusia dapat dilihat ketentuannya dalam Pasal 25 ayat (1) Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Beberapa hal tersebut adalah:
  • Hapusnya hutang yang dijaminkan dengan fidusia
  • Pelepasan hak atas jaminan fidusia oleh penerima jaminan fidusia
  • Musnahnya benda yang menjadi objek jaminan fidusia
Berkaitan dengan hapusnya hutang serta pelepasan hak atas jaminan fidusia dan sesuai dengan sifat dari jaminan fidusia itu sendiri, yaitu bersifat ikutan, maka dengan sendirinya jaminan fidusia yang bersangkutan menjadi hapus.

Berkaitan dengan musnahnya benda yang menjadi objek jaminan fidusia menjadi hapus kecuali benda yang dijadikan objek jaminan fidusia tersebut di asuransikan, sebab jika benda yang dijaminkan tersebut di asuransikan, maka tidak dapat menghapus klaim asuransi.

Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 26 ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor 42 Tahun 199 tentang Jaminan Fidusia. Adapun berbunyi sebagai berikut:

Hapusnya jaminan fidusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25, maka Kantor Pendaftaran Fidusia mencoret pencatatan jaminan fidusia dari buku daftar fidusianya.
Kantor Pendaftaran Fidusia menerbitkan surat keterangan yang menyatakan sertifikat jaminan fidusia yang bersangkutan tidak berlaku lagi.

Perlindungan Hukum Bagi Pihak Kreditur dalam Perjanjian Kredit Dengan Jaminan Fidusia

Perlindungan hukum bagi pihak kreditur dalam perjanjian kredit dengan jaminan fidusia sangat diperlukan, mengingat benda yang menjadi objek jaminan fidusia berada pada pihak debitur, sehingga apabila debitur melakukan wanprestasi terhadap perjanjian kredit dengan jaminan fidusia, kepentingan kreditur dapat terjamin dengan adanya perlindungan hukum tersebut.

Perlindungan hukum terhadap kreditur ini diatur secara umum, yaitu: diatur dalam KUH Perdata Pasal 1131 dan 1132 dan Undang-undang No.42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Pasal 1131 KUH Perdata menyebutkan, “segala kebendaan, baik yang sudah ada maupun yang baru aka nada dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan.”

Pasal diatas dapat diartikan, sejak seseorang mengikatkan diri pada suatu perjanjian maka sejak itu semua harta kekayaan baik yang sudah ada maupun yang baru aka nada di kemudian hari menjadi tanggungan untuk segala perikatannya.

Pasal 1132 KUH Perdata menyebutkan “kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang mengutangkan kepadanya, pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar kecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila diantara para berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah didahulukan.” Pasal ini menjelaskan bahwa harta kekayaan debitur menjadi jaminan bagi para krediturnya. Hasil penjualan dibagi menurut imbangan masing-masing kecuali ada hak untuk didahulukan.

Undang-undang No.42 Tahun 1999 dalam hal ini menjelaskan perlindungan hukum bagi para pihak yang berkepentingan dalam perjanjian kredit dengan jaminan fidusia, dengan kata lain Undang-undang yang secara khusus mengatur tentang jaminan fidusia, Pasal 11, 14, dan 15 Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 yang pada intinya menyebutkan bahwa benda yang dibebani dengan jaminan fidusia wajib didaftarkan kemudian dibuat sertifikat jaminan fidusia yang mencantumkan irah-irah “DEMI KEADILAN DAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”, sehingga sertifikat jaminan fidusia mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.[19]

Kreditur mempunyai hak untuk melaksanakan title eksekutorial sebagaimana tercantum dalam sertifikat jaminan fidusia, apabila debitur wanprestasi. Kreditur juga mempunyai hak untuk menjual benda yang menjadi objek jaminan fidusia melalui pelelangan umum serta pelunasan piutang dari hasil penjualan atau penjualan dibawah tangan yang dilakukan berdasarkan kesepakatan bersama antara kreditur dan debitur. Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 ini juga mengatur mengenai ketentuan pidana bagi pemberi fidusia atau debitur yang mengalihkan, mengendalikan, atau menyewakan benda yang menjadi objek jaminan fidusia yang dilakukan tanpa persetjuan tertulis terlebih dahulu dari penerima fidusia atau kreditur. Maka dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun dan denda paling banyak Rp.50.000.000,00.

Kesimpulan
Setiap pelaksanaan perjanjian kredit pada bank, disyaratkan untuk menyerahkan jaminan. Fungsi jaminan ini adalah untuk memberikan keyakinan kepada bank bahwa kredit yang diberikan kepada nasabah dapat diterima kembali sesuai dengan syarat-syarat yang telah disepakati bersama, dan itu juga untuk meminimalisir resiko yang terkandung dan senantiasa dimungkinkan dapat timbul dalam setiap pelepasan kredit. Berkaitan dengan pemberian kredit kepada calon debitur, maka pihak bank harus mempunyai keyakinan atas kemampuan atau kesanggupan pengembalian pinjaman kredit oleh debitur.

Penjaminan secara fidusia sudah lama digunakan di Indonesia, namun pengaturan mengenai jaminan fidusia baru muncul dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia. Perlindungan hukum bagi pihak kreditur dalam perjanjian kredit dengan jaminan fidusia sangat diperlukan, mengingat benda yang menjadi objek jaminan fidusia berada pada pihak debitur, sehingga apabila debitur melakukan wanprestasi terhadap perjanjian kredit dengan jaminan fidusia, kepentingan kreditur dapat terjamin dengan adanya perlindungan hukum tersebut.

Perlindungan hukum terhadap kreditur ini diatur secara umum, yaitu: diatur dalam KUH Perdata Pasal 1131 dan 1132 dan Undang-undang No.42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 yang pada intinya menyebutkan bahwa benda yang dibebani dengan jaminan fidusia wajib didaftarkan kemudian dibuat sertifikat jaminan fidusia.

Kreditur mempunyai hak untuk melaksanakan title eksekutorial sebagaimana tercantum dalam sertifikat jaminan fidusia, apabila debitur wanprestasi.



DAFTAR PUSTAKA

[1] R. Setiawan, Pokok-pokok Hukum Perikatan, Bina Cipta, Bandung, 1987, hlm 69.
[2] Widjanarto, Aspek Hukum Pemberian Kredit Perbankan, Info Bank, Jakarta, 1998, hlm 4.
[3] Sigit Triandaru dan Totok Budisantoso, Bank dan Lembaga Keuangan Lain, Edisi 2, Salemba Empat, Jakarta, 2009, hlm 113.
[4] O.P. Simorangkir, Seluk Beluk Bank Komersial, Aksara Persada, Jakarta 1988, hlm 91.
[5] Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Kredit, Op Cit, hlm 32.
[6] Budi Untung, Kredit Perbankan di Indonesia, Ctkn Pertama, Andi, Yogyakarta, 2000, hlm 30.
[7] Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Kredit, Op Cit, hlm 32
[8] M. Djumhana, Hukum Perbankan………., Op Cit, hlm 388
[9] Priyo Handoko, Menakar Jaminan Atas Tanah Sebagai Pengaman Kredit Bank, Center for Society Studies, Jember, 2006, hlm 129
[10] Munir Fuady, Hukum Perkreditan Kontemporer, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995, hlm 7
[11] Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perdata Internasional, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1990, hlm 204-205.
[12] R. Subekti, Jaminan-jaminan Untuk……………., Op Cit, hlm 29
[13] Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Jaminan………, Op Cit, hlm 43.
[14] Hasanudin Rahman, Aspek-aspek Hukum Pemberian Kredit Perbankan di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995, hlm 196.
[15] Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Jaminan Fidusia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001, hlm 125.
[16] Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Beberapa Masalah Pelaksanaan Lembaga Jaminan Khususnya Fidusia di Dalam Praktek dan Pelaksanaannya di Indonesia, UGM Press, Yogyakarta, 1997, hlm 26.
[17] Munir Fuady, Hukum Perkreditan…………., Op Cit, hlm 23.
[18] Munir Fuady, Hukum Perkreditan…………., Op Cit, hlm 46.
[19] Munir Fuady, Hukum Perkreditan…………., Op Cit, hlm 59.

Comments