KRONOLIGIS
Pada perkara seorang penyanyi wanita yang mengidap
aids kemudian menikah namun pada akhirnya digugat oleh pengantin pria atas
dasar teleh menipu dan tidak memberitahu sebelumnya bahwasanya ia mengidap
penyakit yang mengakibatkan merugikan orang lain. Dalam hal ini penyakit yang
diidapnya dan di sembunyikannya selama bertahun – tahun itu dianggap merugikan
pasangannya karena pada saat pernikahan berlangsung sebelumnya ia tidak
memberitahu pasangannya kalau ia mengidap penyakit yang belum ada obatnya.
PEMBAHASAN
Hukum dalam hal ini harus memberikan suatu
jalan keluar bagi pihak – pihak yang merasa dirugikan namun di lain pihak hukum
yang bekerja secara konsekuen terhadap penegakan hukum tidak hanya melihat dari
satu sisi saja.
Dalam Teori Pragmatis yaitu kebenaran adalah
apa yang ternyata bermanfaat yang dimana dalam perkara ini kebenaran ternyata
tidak menimbulkan suatu manfaat malah merugikan satu pihak.namun lain halnya
dalam Teori Performatis yaitu kebenaran adalah kalau idea dapat mempunyai dampak
merubah realita (situasi) yang dimana dalam perkara ini kebenaran yang terjadi
ternyata mempunyai dampak untuk merubah realita (situasi) yang berkembang pada
saat terjadi perkara tersebut.
Untuk melihat secara jelas kita harus terlebih
dahulu menjelaskan apa yang menjadi objek kajian teori hukum tersebut. Teori Hukum adalah mencari (berupaya memperoleh) penjelasan tentang
hukum dari sudut faktor - faktor bukan hukum (non-yuridikal) yang bekerja di
dalam masyarakat, dan untuk itu menggunakan suatu metode interdisipliner. Dengan
demikian, oleh penetapan tujuan dan metode, Teori Hukum membedakan diri secara
wajar dari pengembanan hukum praktikal. Untuk sementara hal ini hanya untuk
menunjukkan bahwa baik dalam praktek maupun dalam teori, ihwalnya berkenaan dengan
obyek yang sama: hukum yang berlaku. Karena itu, Teori Hukum tidak dapat
berkiprah tanpa suatu penelitian empirikal yang luas dan mendasar terhadap
hukum positif. Teori Hukum meneliti hukum adalah titik berdiri orang dalam (insider), bukan dari orang luar yang
mempunyai kepentingan: dengan itu ia membedakan diri dari disiplin-disiplin
lain yang juga memilih hukum sebagai obyek studinya, Filsafat, Sosiologi,
Ekonomi, Sejarah, Psikologi, dan lain-lain. Teori Hukum mempelajari hukum
dengan tujuan suatu pemahaman yang lebih baik dan terutama lebih mendasar
tentang hukum, demi hukum, bukan demi
suatu pemahaman dalam hubungan - hubungan kemasyarakatan atau dalam
kaidah - kaidah etikal yang dianut dalam masyarakat atau dalam reaksi - reaksi psikhologikal dari suatu penduduk.
Sebelum
lebih jauh kita melihat legal positivisme
terlebih dahulu dan akan dipaparkan terminologi legal positivisme, yaitu:
1. Hart membedakan lima arti dari positivisme
seperti yang banyak disebut dalam hukum kontemporer sebagaimana dikutip oleh W.
Friedmann, yaitu:
a. Anggapan bahwa undang-undang adalah perintah - perintah
manusia.
b. Anggapan bahwa tidak perlu ada hubungan antara
hukum dan moral atau hukum yang ada dan yang seharusnya ada.
c.
Anggapan bahwa analisa (atau studi tentang
arti) dari konsepsi-konsepsi hukum:
(i) Layak dilanjutkan
(ii) Harus dibedakan dari penelitian-penelitian
historis mengenai sebab - sebab atau asal usul dari undang-undang dan dari penelitian
- penelitian sosiologis mengenai hubungan dengan gejala sosial lainnya, dan
kritik atau penghargaan hukum apakah dalam arti moral, tuntutan - tuntutan
sosial, fungsi-fungsinya, atau sebaliknya
d. Anggapan bahwa sistem hukum adalah suatu sistem
logis tertutup di mana putusan - putusan hukum yang tepat dapat dihasilkan
dengan cara - cara yang logis dari peraturan - peraturan hukum yang telah
ditentukan lebih dahulu tanpa mengingat tuntutan - tuntutan sosial, kebijaksanaan,
norma - norma moral.
e. Anggapan bahwa penilaian - penilaian moral
tidak dapat diberikan atau dipertahankan seperti halnya dengan pernyataan - pernyataan
tentang fakta, dengan alasan yang rasional, petunjuk, atau bukti.[1]
2.
Hans Kelsen menegaskan bahwa terdapat tiga kemungkinan
interpretasi terhadap istilah positivism sebagaimana dikutip oleh Ade Maman
Suherman, yaitu:
a. Legal positivisme sebagai metode adalah cara mempelajari
hukum sebagai fakta yang kompleks, fenomena atau data sosial dan bukan sebagai system
nilai, sebagai metode yang men setting pusat inquiry problem - problem formal dari keabsahan hukum, bukan aksiologi
suatu keadilan dari suatu isi norma/aturan.
b. Legal positivisme yang dipahami secara teori
adalah teori yang berkembang pada era kodifikasi sampai pada abad ke-sembilan
belas. Dalam konsep ini dikembangkan dari ecole
de l’exegese sampai ke Jerman Rechtwissenschaft
hukum dikemas sempurna, dengan positive order yang berasal dari kegiatan
legeslatif suatu negara. Paham ini disebut kelompok imperativist, corvisit, legalist
conception yang ditegakkan melalui hukum yang literal (tertulis), interpretasi
norma tertulis secara mekanis oleh penerjemah, khususnya hakim. Legal
positivisme sebagai ideologi merupakan ide bahwa hukum negara ditaati secara
absolut yang disimpulkan ke dalam suatu statement
gezetz ist gezetz atau the law is the
law.[2]
Berdasarkan
pengertian-pengertian legal positivisme yang dikonstatir oleh kedua ahli hukum
tersebut di atas secara umum dapat dipahami bahwa legal positivism merupakan
suatu aliran yang melakukan kritik terhadap kelemahan - kelemahan teori hukum
kodrat yang mengutamakan pada keutamaan moral, yaitu hidup sesuai dengan hukum
yang tertulis dalam kodrat manusia. Sementara legal-positivism tidak
mempersoalkan kandungan substantif yang normatif, etis ataupun estetis. Di
samping itu, legal-positivism mengajarkan bahwa hukum positiflah yang merupakan
hukum yang berlaku dan hukum positif di sini adalah norma-norma yudisial yang
telah dibangun oleh otoritas negara.[3]
Terdapat beberapa aliran – aliran dalam ilmu
hukum yang dapat kita jadikan sumber berpikir maupun titik tolak untuk mengkaji
hukum yang ada. Aliran – aliran hukum yang ada sebagai berikut:
1. Aliran
Hukum Alam
Hukum alam sebagai metode yang tertua yang
dapat dikenali sejak zaman yang kuno sekali sampai kepada permulaah abad
pertengahan.
Aliran hukum alam berpendapat bahwa hukum itu
berlaku universal dan abadi. Melihat dari sumbernya, hukum alam dapat berupa:
a. Hukum alam yang bersumber dari Tuhan.
Dianut
oleh kaum Scholastik abad pertengahan, seperti Thomas van Aquino, dengan
konsepsinya Principa Prima dan Principa Secundaria.
b. Hukum alam yang bersumber dari rasio manusia.
Dipelopori
oleh Hugo de Groot atau Grotius, Christian Thomasius, Immanuel Kant, Fichte,
Hegel, dan Rudolf Stammler. Hal yang mencetuskan ide tentang rasio manusia
dalam aliran hukum alam ini dimulai dengan lahirnya Renaissance, dimana masa
Renaissance menghasilkan dunia baru dimana ilmu pengetahuan, ilmu alam dan
kesenian berkembang dengan pesat.
2. Aliran
Hukum Positif
Positivisme
hukum yang analistis dianut oleh John Austin yang menyatakan hukum merupakan
suatu perintah dari penguasaan. Hukum adalah perintah yang dibebankan untuk
mengatur makhluk berfikir yang memegang dan mempunyai kekuasaan. Dalam aliran
positivism ini teori yang sangat popular adalah teori hukum murni yang
dikemukakan oleh Hans Kelsen, yang menyatakan bahwa hukum harus dibersihkan
dari anasir-anasir yang tidak yuridis, seperti etis, sosiologi, politis, dan
sebagainya.[4]
3. Aliran
Hukum Utilitarianisme
Aliran
ini berprinsip bahwa manusia melakukan tindakan untuk mendapatkan kebahagiaan
yang sebesar - besarnya dan mengurangi penderitaan. Ahli hukum yang mempelopori
aliran ini adalah Jeremy Bentham, John Stuart Mill dan Rudolf von Jhering.
Bentham
menerapkan prinsip-prinsip umum dari pendekatan utilitarian ke dalam kawasan
hukum. Namun demikian, sumbangannya yang paling banyak terletak di bidang
kejahatan dan pemidanaan. Pemidanaan menurut Bentham, harus bersifat spesifik
untuk tiap kejahatan dan seberapa kerasnya pidana itu tidak boleh melebihi
jumlah yang dibutuhkan untuk mencegah dilakukannya penyerangan-penyerangan tertentu.
4. Mahzab
Sejarah
Aliran
ini dipelopori oleh Friedrich Carl von Savigny (1779-1861) dan Puchta dari
Jerman. Pandangan Friedrich berpangkal kepada kenyataan bahwa di dunia,
terdapat bermacam-macam bangsa yang tiap - tiap bangsa, jiwa rakyat yang
berbeda-beda yang tercermin dari kebudayaannya.
Aliran
yang dipelopori Savigny ini menolak panggung-agungan akal seseorang. Ia
menolak, bahwa hukum itu dibuat dan menyatakan, bahwa hukum itu ditemukan dalam
masyarakat. Oleh karena itu mahzab ini sering didakwa mengidah pesimisime
hukum. Apabila kaum rasionalis telah berbuat kesalahan dengan mengagungkan
waktu yang akan dating, maka pendekatan sejarah ini dianggap salah karena
mengagungkan masa lampau.[5]
5.
Sociological Jurisprudence
Adalah aliran dalam filsafat hukum yang
memandang hukum dalam kaitannya dengan masyarakat, sehingga hukum yang baik
adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat (living law). Aliran ini mempunyai konsep
hukum yang berbeda dengan aliran positivism yang memandang hukum sebagai
peraturan perundang-undangan.
Aliran ini dipelopori oleh Auguste Comte
(1798-1857), yang diberi nama sosiologi.
Olehnya, sosiologi disebut sebagai ilmu tentang tatanan sosial dan kemajuan,
yang meliput dua bagian, yaitu:
a. Statik sosial
Yang
menyangkut soal teori tatanan sosial.
b. Dinamik sosial
Menyangkut
tentang kemajuan sosial.
Masyarakat
dilihat sebagai suatu organism yang pertumbuhannya dan perkembangannya ditandai
oleh spesialisasi fungsi - fungsi di dalamnya. Pendekatan yang dipakai Comte
ini bahkan mendahului Darwin sendiri.[6]
6. Pragmatic
Legal Realism
Realism tidak berdasarkan pada konsep - konsep
hukum tradisional, oleh karena realism bermaksud melukiskan apa yang sebenarnya
oleh Pengadilan dan orang-orangnya. Pelopor aliran ini adalah John Chipman
Gray, Oliver Wendell Holmes, Karl Llewellyn, Jerome Frank dan William James.
Aliran Dalam Positivisme
Positivisme
adalah salah satu aliran dalam filsafat (teori) hukum yang beranggapan, bahwa
teori hukum itu hanya bersangkut paut dengan hukum positif saja. Ilmu hukum
tidak membahas apakah hukum positif itu baik atau buruk, dan tidak pula
membahas soal efektivitasnya hukum dalam masyarakat. Di dalam aliran positivisme hukum dikenal dua
sub aliran yaitu:
1. Aliran hukum yang analisis, pendasarnya adalah
John Austin (1790-1859).
Positivisme
yang dirintis John Austin, yang diberi nama Analytical
Judisprudence, dekat sekali dengan mazhab hukum umum. Austin menggunakan
metode analisa saja. Melalui analisa sistem-sistem hukum tertentu Austin ingin
sampai pada suatu ide umum tentang hukum.
Austin
seorang positivis yang utama, yang mempertahankan bahwa satu-satunya sumber
hukum adalah kekuasaan yang tertinggi dalam suatu negara. Sumber - sumber yang
lain disebutnya sebagai sumber yang lebih rendah (subordinate sources). Austin mengartikan ilmu hukum (jurisprudence) sebagai teori hukum
positif yang otonom dan dapat mencukupi dirinya sendiri. Menurut Austin tugas
dari ilmu hukum hanyalah untuk menganalisa unsur - unsur yang secara nyata ada
dari sistem hukum modern.[7]
Terdapat
bermacam - macam alasan untuk mentaati pemerintah. Ada orang yang mentaati oleh
sebab mereka berpegang teguh pada prasangka bahwa pemerintah selalu harus
ditaati. Sementara alasan lain karena takut akan kekacauan, bila negara
dirombak. Semuanya ini dipastikan dalam pengalaman. Nilai-nilainya tidak
dipersoalkan. Dapat dipastikan juga bahwa yang berkuasa adalah satu-satunya sumber
hukum. Di atas yang berkuasa hukum tidak ditemukan.
Diungkapkan
oleh Austin bahwa tiap - tiap Undang - Undang positif ditentukan secara
langsung atau secara tidak langsung oleh seorang pribadi atau sekelompok orang
yang berwibawa bagi seorang anggota atau anggota-anggota dari suatu masyarakat
politik yang berdaulat, dalam mana pembentuk hukum adalah yang tertinggi.
Dengan ketentuan ini Austin tidak menyangkal adanya norma-norma hukum Ilahi,
norma - norma moral dan juga hukum internasional. Dipastikannya saja, bahwa
semua prinsip tersebut tidak mampu untuk meneguhkan atau meniadakan hukum yang
berlaku dalam suatu negara.
Selanjutnya
John Austin membagi hukum itu atas:
1. Hukum ciptaan Tuhan
2. Hukum yang dibuat oleh manusia, yang terdiri
dari:
a. Hukum dalam arti yang sebenarnya yaitu yang
disebut juga sebagai hukum positif, terdiri dari:
- Hukum yang dibuat oleh penguasa, seperti Undang - Undang, Peraturan pemerintah dan lain - lain.
- Hukum yang disusun atau dibuat oleh rakyat secara individual, yang dipergunakan untuk melaksanakan hak-hak yang diberikan kepadanya. Contohnya: hak wali terhadap orang yang berada dibawah perwalian, hak kurator terhadap badan/orang dalam curatele.
b. Hukum dalam arti yang tidak sebenarnya, yaitu
hukum yang tidak memenuhi persyaratan sebagai hukum. Jenis hukum ini tidak
dibuat atau ditetapkan oleh penguasa/badan berdaulat yang berwenang. Contohnya:
ketentuan - ketentuan yang dibuat
perkumpulan - perkumpulan atau badan - badan tertentu dalam bidang keolahragaan,
mahasiswa dan sebagainya.
Terdapat
empat unsur penting menurut John Austin untuk dinamakan sebagai hukum, yaitu,
perintah, sanksi, kewajiban, dan kedaulatan. Adapun keempat unsur tersebut
kaitannya satu dengan yang lain dapat dijelaskan sebagai berikut:
Unsur
perintah ini berarti bahwa satu pihak menghendaki agar orang lain melakukan
kehendaknya, pihak yang diperintah akan mengalami penderitaan jika perintah ini
tidak dijalankan atau ditaati. Perintah itu merupakan pembedaan kewajiban
terhadap yang diperintah, dan yang terakhir ini hanya dapat terlaksana jika
yang memerintah itu adalah pihak yang berdaulat. Dan yang memiliki kedaulatan
itu dapat berupa seseorang atau sekelompok orang (a souvereign person, or a souvereign body of persons). Buah pikir
John Austin ini tertuang dalam kedua bukunya yang terkenal, yaitu: The Province of Jurisprudence Determined dan
Lecture on Jurisprudence.[8]
2. Aliran hukum positif yang murni, dipelopori
oleh Hans Kelsen (Dilahirkan 1881).
Hans
Kelsen mengartikan hukum itu sebagai “a
command of the Law giver” (perintah dari pembentuk Undang-undang atau
penguasa), yaitu : suatu perintah dari mereka yang memegang kekuasaan tertinggi
atau yang memegang kedaulatan. Hukum dianggap sebagai suatu sistem yang logis,
tetap dan bersifat tertutup (close logical system). Hukum secara tegas
dipisahkan dari moral, jadi dari hal yang berkaitan dengan keadilan, dan tidak
didasarkan atas pertimbangan atau penilaian baik buruk.
Dasar - dasar
esensial dari sistem teori Kelsen dapat disebut sebagai berikut:
- Tujuan teori hukum, seperti tiap ilmu pengetahuan, adalah untuk mengurangi kekacauan dan kemajemukan menjadi kesatuan.
- Teori hukum adalah ilmu pengetahuan yang berlaku, bukan mengenai hukum yang seharusnya.
- Hukum adalah ilmu pengetahuan normatif, bukan ilmu alam.
- Teori hukum sebagai teori tentang norma-norma, tidak ada hubungannya dengan daya kerja norma-norma hukum.
- Teori hukum adalah formal, suatu teori tentang cara menata mengubah isi dengan cara yang khusus.
- Hubungan antara teori hukum dan sistem yang khas dari hukum positif ialah hubungan apa yang mungkin dengan hukum yang nyata.
Berdasarkan
pemaparan di atas dapat dipahami bahwa pada dasarnya, tidak ada perbedaan
esensial antara ilmu hukum analitik dan teori hukum murni. Adapun letak
perbedaannya adalah teori hukum murni berusaha untuk melanjutkan metode hukum
analitik dengan lebih konsisten dari yang diupayakan Austin dan para
pengikutnya.[9]
Ilmu
hukum adalah “ilmu normatif”, demikian dinyatakan oleh Kelsen berkali-kali.
Teori Kelsen dapat dirumuskan sebagai “suatu analisis tentang struktur hukum
positif, yang dilakukan seeksak mungkin, suatu analisis yang bebas dari semua
pendapat (judements) etik atau
politik mengenai nilai”.
Pandangan dan argumen positivisme hukum di atas
ditolak oleh para ilmuan sosiologi hukum yang mempelajari hukum sebagai suatu
gejala sosial. Ilmu sosiologi hukum sendiri pada mulanya ditentang oleh para
ahli hukum, karena ia mengamati persoalan-persoalan hukum yang dianggap “tabu”
untuk disoroti, seperti: hubungan hukum dan sistem sosial masyarakat; sifat hukum
yang dualistis; hubungan hukum dan kekuasaan; kepastian hukum dan keadilan dan
lain sebagainya, namun kini sosiologi hukum diminati untuk dipelajari oleh
banyak sarjana hukum.
Positif harus mengandung perintah, sanksi,
kewajiban dan kedaulatan. Sedangkan ketentuan di luar unsur tersebut bukanlah positive law namun dikategorikan sebagai
“positive morality”. Adapun
kesenjangan antara nilai dengan fakta bukanlah persoalan hukum, karena itu
semata - mata karena persoalan perilaku manusianya (aparatur hukumnya) bukan
persoalan normanya.[10]
Doktrin – Doktrin Utama Positivisme Hukum
Positivisme
Hukum berakar dari filsafat positivisme. Di mata filsafat positivisme denyut
dunia yang tampak berlangsung rapi, sebenarnya dihasilkan dari hubungan sebab
akibat (cause and effect), yang akan
terus berlangsung dan tak akan pernah selesai. Kelangsungan denyut dunia yang
tampak rapi tersebut akan sangat tergantung pada relasi sebab akibat. Kerapian
dunia bukanlah hasil ciptaan seseorang yang telah habis masa keproyekannya.
Sebaliknya, dunia akan terus berproses menurut logika sebab akibat. Sebab,
akibat ataupun sintesa bukanlah hasil pentakdiran yang tidak bisa difaham,
dijelaskan, apalagi diubah. Oleh nalar manusia, ketiga aspek di atas bisa
dijelaskan bahkan diubah serta diciptakan.
Itu
sebabnya, penganut faham positivisme menganggap bahwa dunia merupakan pekerjaan
yang belum selesai masa keproyekannya. Positivisme hukum semakin memantapkan
dirinya dengan mengadopsi pikiran-pikiran filsafat materialisme. Filsafat ini berdoktrin
bahwa yang dianggap sebagai kebenaran adalah semua materi yang bisa dirasakan
oleh panca indera (melihat, merasa, mendengar), alias materi yang bisa
dijelaskan dengan nalar atau rasio. Hal yang tidak bisa dijelaskan oleh rasio
bukanlah kebenaran.
Salah
satu cara untuk mengukur bahwa sesuatu bersifat rasional adalah dengan
menggunakan optik panca indera. Setelah terlebih dahulu diturunkan ke dalam
ilmu sosial, filsafat positivisme kemudian dikembangkan dalam ilmu hukum.
Hasilnya, aliran berpikir yang bernama positivisme hukum (legal positivism).
Berikut
dua cara untuk mengenali kandungan ajaran filsafat positivism dalam positivisme
hukum, yaitu:
- Positivisme hukum mengatakan bahwa di dalam dunia hukum juga berlangsung hubungan sebab akibat. Hukuman yang diberikan kepada seseorang adalah sebuah akibat yang disebabkan oleh peraturan perundang - undangan. Adalah tidak mungkin orang akan dihukum (akibat) bila terlebih dahulu tidak ada peraturan perundang-undangan (sebab). Jadi, hukum atau peraturan perundang - undangan adalah sebab yang mengakibatkan dihukumnya seseorang atau yang mengakibatkan seseorang mendapatkan atau kehilangan hak. Dalam pemikiran ideal Hans Kelsen, hukuman atau pemberian hak kepada seseorang harus disebabkan oleh hukum, bukan oleh disebabkan oleh anasir non-hukum (politik, ekonomi, budaya). Hanya dengan cara ini pula kemurnian hukum (reine rechtslehre) bisa tetap dipertahankan.
- Positivisme hukum juga meyakini bahwa hanya sesuatu yang “ada”, yang bisa dikategorikan sebagai hukum. Aturan (rule) yang tidak ada bukanlah hukum melainkan hanya moral. Kriteria agar aturan dianggap ada hanya apabila bisa dirasakan dengan panca indera. Satu-satunya cara agar aturan bisa dirasakan oleh panca indera adalah dengan menuliskannya. Dalam perkembangannya, hukum dianggap ada hanya apabila dituliskan (written law).
Hukum
yang tidak dituliskan bukanlah hukum (unnamed
law). Pencirian seperti ini semakin mengental saat hukum diidentikan
semata-mata dengan undang-undang (legisme).
Dalam faham legisme, sekalipun sebuah aturan dituliskan, namun bila tidak
dibuat oleh lembaga atau pejabat negara dan pemerintah dengan prosedur
tertentu, tidak dapat dikualifisir sebagai hukum (statutory law).
Selain
lewat dua kandungan di atas, positivisme hukum juga bisa dikenali dengan
doktrin lainya. Misalnya doktrin yang mempercayai bahwa hukum harus dirawat
oleh ahlinya. Kaum yang dianggap ahli dalam merawat hukum adalah para lulusan
fakultas dan sekolah tinggi hukum. Mereka dianggap ahli karena telah dididik
selama sekian tahun untuk mengenal dan memahami hukum. Orang awam tidak pernah
bisa menjadi ahli dalam merawat hukum karena tidak pernah mendapatkan
pendidikan ilmu hukum. Bibit pemikiran ini diawali ketika Fakultas Hukum
Bologna (Italia) mulai mengajarkan kodifikasi corpus juris civilis justitianus (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Justinianus Kaisar Romawi).[11]
Dalam
sejarah peradaban manusia, salah satu musuh paling hebat bagi prinsip keadilan ialah
apa yang disebut dengan positivisme hukum. Positivisme, dari rujukan etimologisnya
bahasa Latin ponere-posui-positus yang berarti “meletakkan”, memaksudkan bahwa
tindakan manusia itu disebut adil atau tidak sepenuhnya bergantung kepada
peraturan atau hukum yang diletakkan, diberlakukan. Dengan demikian, sebuah
kejahatan konkret dan hebat atas kemanusiaan tidak perlu menuai hukuman
setimpal semata karena hukum tidak mengatakan delik ketentuannya. Positivisme
hukum dari sendirinya tidak mengenal prinsip "berlaku surut" (prinsip
retroaktif). Positivisme hukum menjadi soal amat serius pada periode sesudah
Perang Dunia II. Ini terjadi pada pengadilan para mantan tentara Nazi Jerman.
Salah satu yang paling tekenal ialah peradilan Adolf Eichmann tahun 1961.
Eichmann disebut "Master of Death"
bagi jutaan orang-orang Yahudi tahun 1944 di kamp-kamp konsentrasi. Sesudah perang,
dia lari ke Argentina dan ditangkap serta diekstradisi ke Israel untuk diadili
atas tindakan kejinya sepanjang perang berlangsung. Dalam peradilan, Eichmann
dijerat dengan tuduhan telah melakukan "kejahatan atas kemanusiaan".
Eichmann membela diri: "Bagaimana saya bisa dipersalahkan telah melakukan
sebuah ’kejahatan’ selagi pada waktu itu hukum yang berlaku (hukum positif)
mewajibkan saya untuk melakukan semuanya itu?"
Positivisme
hukum mempromosikan mutlaknya sebuah pemberlakuan delik - delik ketentuan hukum
dalam tata hidup bersama. Adolf Eichmann hanyalah sebuah contoh. Kendati telah
melakukan kejahatan luar biasa, dia tetap merasa innocent atau tidak bias dipandang
telah berbuat kejahatan melawan kemanusiaan karena telah merasa tidak melanggar
hukum. "I was just following orders."
Sebuah kata-kata terakhir yang dia ucapkan sebagai pembelaan terakhirnya,
sekaligus tanda keyakinan bahwa dia tidak berdosa.[12]
Perkara tersbut dapat kita lihat bahwasanya
harus diteggakkannya positivisme hukum demi melindungi para pihak yang
bersengketa dan hukum tidak hanya melindungi bagi pihak berkepentingan saja
namun harus melihat kedua belah pihak dan faktor pembentuk hukum sebagai pilihan
bagi suatu pandangan dinamikal atas hukum bertumpu di atas keyakinan bahwa
hukum timbul sebagai suatu rancangan
(ontwerp) dari suatu situasi tertentu
untuk mencapai suatu tujuan. Hukum pada dirinya sendiri tidak pernah merupakan suatu tujuan, melainkan suatu sarana untuk mencapai
suatu tujuan non yuridikal. Tidak ada perkawinan menurut
paham barat (westerse huwelijk) jika
kedua pasangan tidak mempunyai maksud untuk mengembangkan hubungan-hubungan
seksual dan material secara mantap (langgeng) dan eksklusif. Ini, sebagai
contoh - contoh dalam hubungan - hubungan masyarakat (maatschapsverhoudingen).
Asal mula pembentukan hukum
terdapat suatu rancangan dari suatu situasi kehidupan faktual menuju ke suatu
tujuan non-yuridikal, ini adalah suatu kepentingan atau suatu nilai yang ingin
dipenuhi atau dijamin di masa depan dengan suatu perikatan atau suatu struktur
organisasi, singkatnya dengan hukum. Antara situasi kehidupan faktual dan
tujuan yang diproyeksikan, terdapat suatu momen kebebasan: hal melakukan
penilaian yang bebas baik atas situasi maupun atas tujuan dan hubungan antara
keduanya. Penilaian ini sungguh-sungguh bersifat idiil: sebuah gagasan (idea)
atau sebuah gambaran dari suatu hubungan yang adekuat antara apa yang ada (das Sein) dan apa yang orang ingin
capai, suatu gambaran masa depan (toekomstbeeld). Penilaian atau gambaran
masa depan ini yang memotivasi untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan
dengan cara yang disebutkan terdahulu di muka (yang telah digariskan), dengan
kata lain yang menggerakkan ke tujuan itu, alasan
yang menggerakkan atau motif. Orang dapat menempatkan situasi faktual itu
pada sisi sebab (sisi kausa) dari suatu pengambilan putusan
yuridikal, gambaran masa depan yang idiil pada sisi motif dari pengambilan putusan tersebut.
Ihwalnya
sudah menyatakan sendiri bahwa situasi faktual adalah suatu keterberian, yang
direkam (dipahami) di dalam kesadaran sebagai suatu totalitas pengalaman dari
suatu baik lingkungan material maupun lingkungan manusiawi. Namun ihwalnya sama
sudah dengan sendirinya bahwa keyakinan - keyakinan idiil yang dianut oleh
individu atau masyarakat tidaklah begitu saja merupakan suatu kreasi sendiri
dari ketiadaan melainkan sebaliknya untuk sebagian besar serta-merta,
seolah-olah sudah diberikan terlebih dahulu, sudah hidup dalam kesadaran hukum
individual dan kesadaran hukum kolektif.
Ilmu Hukum adalah sebuah ilmu
masyarakat (maatschappij-wetenschap)
yang menyendirikan dan meneliti aspek hukum di dalam masyarakat, namun banyak
ilmu tetangga (buurwetenschappen)
yang mempelajari aspek - aspek lain dari masyarakat yang sama: Filsafat dan
dengan sendirinya cabang - cabang Etika, Sejarah, Sosiologi, Politologi,
Psikologi Sosial, Ekonomi, Etnologi atau Antropologi Budaya.
Teori Hukum harus berupaya untuk memulihkan
kesatuan antara aspek hukum dan kenyataan kemasyarakatan, sekali lagi
mempersatukan keberbagaian yang ditata oleh ilmu-ilmu dan keharusan - keharusan
akademik ke dalam suatu gambaran menyeluruh yang setia pada kebenaran. Untuk
itu maka Teori Hukum akan harus mengandalkan (memanfaatkan, merujuk pada) ilmu -
ilmu yang baru saja disebutkan, karena faktor - faktor pembentukan hukum yang
berdasarkannya Teori Hukum harus menjelaskan hukum, adalah pokok - pokok telaah
(obyek - obyek) dari ilmu - ilmu ini.
DAFTAR PUSTAKA
[12] http://huma.or.id/document/I.04.%20Info%20Hukum/Dinamika%20Produk%20Hukum%20Nasional/Positivisme%20Hukum%20Mahkamah%20Konstitusi_Armada%20Riyanto.pdf
[2] Ade
Maman Suherman, Pengantar Perbandingan
Sistem Hukum, Civil Law, Common Law, Hukum Islam, Cet. 2, Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2006, hlm 8-37
[3] http://huma.or.id/document/I.04.%20Info%20Hukum/Dinamika%20Produk%20Hukum%20Nasional/Positivisme%20Hukum%20Mahkamah%20Konstitusi_Armada%20Riyanto.pdf
[4] Lili Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat Hukum, PT. Aditya,
Bandung, 1986, hlm.64.
[5] Prof.
Dr. Satjipto Raharjo, SH, Ilmu Hukum,
PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hlm 279.
[6]
ibid, hlm 286
[7]
Ibid, hlm 268.
[8] http://hukumtatanegaraindonesia,...........,
Op Cit, hlm 2.
[9] Khudzaifah
Dimyati, Teorisasi Hukum: Studi tentang
Perkembangan Pemikiran Hukum di Indonesia 1945-1990, Cet. 4, Muhammadiyah
Iniversity Press, Surakarta, 2005, hlm.67.
[10] http://www.harian-aceh.com/opini/85-opini/3586-paradigma-hukum-dari-positivisme-hukum-ke-hukum-responsif.html
[11] http://www.huma.or.id/document/I.03.%20Analisa%20Hukum/FORUMKEADILAN%20N0.%2041.%2012%20FEBRUARI%202006%20(Rikardo%20Simarmata).pdf[12] http://huma.or.id/document/I.04.%20Info%20Hukum/Dinamika%20Produk%20Hukum%20Nasional/Positivisme%20Hukum%20Mahkamah%20Konstitusi_Armada%20Riyanto.pdf
Comments
Post a Comment
Dilarang keras melakukan spam, meletakkan suatu link dalam komentar dan diharapkan bertutur kata atau menulis dengan santun. Terima kasih