Apakah Warga Negara Indonesia Non Pribumi Berhak Untuk Memiliki Tanah Hak Milik Di Wilayah D.I Yogyakaarta
Warga non Pribumi akan mengalami kendala dalam
mengurus kepemilikan tanah dalam wilayah D.I Yogyakarta, terlebih dalam hal
kepemilikan tanah dengan sertifikat hak milik, bahkan tidak jarang warga non Pribumi tidak bisa mendapatkan hak
milik atas tanah. Hal-hal yang menyebabkan warga Negara non pribumi mengalami kendala, bahkan terkekang dalam melakukan
pengurusan hak atas tanah adalah disebabkan dengan adanya Instruksi Gubernur
D.I.Y Nomor K.898/I/A/1975.
Badan
Pertanahan Nasional (BPN) Kota Yogyakarta adalah selaku pihak yang melakukan
proses pengurusan terkait sertifikat-sertifikat tanah tidak akan menerbitkan
sertifikat hak milik atas tanah kepada warga non Pribumi di wilayah D.I Yogyakarta dengan alasan adanya Instruksi
Gubernur tersebut. Jika Warga Negara Indonesia non Pribumi ingin menguasai sebidang tanah di wilayah D.I
Yogyakarta, maka warga non Pribumi hanya
diberikan hak atas tanah sebatas Hak Guna Usaha (HGU) dan Hak Guna Bangunan (HGB),
namun tidak diperkenankan untuk memiliki hak atas tanah, hal-hal tersebut
disebabkan karena hadirnya/lahirnya Instruksi Gubernur D.I.Y Nomor
K.898/I/A/1975.
Instruksi
Gubernur D.I.Y Nomor K.898/I/A/1975 yang dikeluarkan oleh Kepala Daerah D.I
Yogyakarta tertanggal 5 Maret 1975, yang pada intinya Instruksi Gubernur tersebut berbunyi “Apabila
ada seorang Warga Negara Indonesia non Pribumi membeli tanah hak milik rakyat,
hendaknya diproseskan sebagaimana biasa, ialah dengan melalui pelepasan hak,
sehingga tanahnya kembali menjadi tanah negara yang dikuasai langsung oleh
Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta DIY dan kemudian yang berkepentingan
/melepaskan supaya mengajukan permohonan kepada Kepala Daerah DIY untuk
mendapatkan sesuatu hak”.
Pada
dasarnya, tujuan Instruksi Gubernur tersebut adalah untuk melindungi
kepentingan rakyat kecil agar tidak terdesak oleh kelompok menengah ke atas.
Golongan menengah ke atas yang memiliki kekuatan ekonomi lebih besar dari
rakyat kecil sehingga dikhawatirkan akan menguasai sebagian besar tanah di Wilayah
D.I Yogyakarta. Dalam hal ini, sebagian besar Warga Negara non Pribumi termasuk dalam golongan ekonomi menengah ke atas, maka
atas hal itulah Instruksi Gubernur D.I.Y Nomor K.898/I/A/1975 di keluarkan,
selain untuk melindungi rakyat kecil, juga untuk menghindari monopoli tanah
oleh golongan ekonomi menengah ke atas.
Akan
tetapi, pemberlakuan Instruksi Gubernur yang
membedakan antara warga pribumi dan non pribumi tersebut
merupakan suatu hal yang sangat diskrimainatif. Seharusnya seluruh warga Negara
yang ada di Indonesia harus mendapatkan persamaan dalam hukum, sesuai dengan asas
equality before the law (persamaan
dalam hukum). Equality before the law
berkaitan dengan adanya persamaan kedudukan setiap orang dalam hukum yang
diakui secara normatif dan dilaksankan secara empirik. Dalam rangka prinsip
persamaan ini segala sikap dan tindakan diskriminatif dalam segala bentuk dan
manifestasinya diakui sebagai sikap dan tindakan yang terlarang. Sehingga
dengan adanya persamaan kedudukan pada setiap warga Negara, maka berbagai
bentuk kesenjangan social dapat dihindari, salah satunya adalah kesenjangan
social yang berbentuk diskriminasi. Diskriminasi kerap terjadi dikalangan
masyarakat minoritas.dengan adanya dominasi masyarakat mayoritas, kedudukan
msyarakat minoritas jadi tersingkir sehingga kepentingan masyarakat minoritas
tersebut ikut terbatas disebabkan oleh kesenjangan tersebut. Asas equality before the law yang
mengedepankan persamaan dalam hukum bagi setiap orang, sejalan dengan paradigma emansipatoris. Paradigma emansipatoris adalah
sebuah paradigma pembebasan. Jadi makna emansipatoris dalam hal ini adalah
pembebasan manusia dari belenggu-belenggu, baik itu belenggu politik, ekonomi,
social, maupun belenggu yang lainya.[1]
Instruksi
Gubernur D.I Yogyakarta tidak mengandung asas equality before the law, sehingga terjadi diskriminasi yang
menimbulkan perbedaaan antara warga pribumi dan non pribumi. Terdapat belenggu-belenggu yang ditujukan kepada warga
non pribumi sehingga dilarang untuk
memiliki hak milik atas tanah. Sehingga, jika ingin melenyapkan diskriminasi
social tersebut perlu ditegakkan paradigma emansipatoris, guna melakukan
pembebasan masyarakat minoritas dari belenggu-belenggu politik yang terdapat
dalam Istruksi gubernur tersebut.
Pada dasarnya, sebagian besar peraturan-peraturan tersebut
mengandung norma-norma hukum yang merupakan ekspresi hukum yang bercorak
emansipatoris yang mendasari pembangunan masyarakat baru, yaitu masyarakat
bangsa Indonesia yang bersatu berdasarkan persamaan, keadilan, dan kebebasan
dalam wadah negara hukum Indonesia yang demokratis.[2]
Peraturan-peraturan
yang mengandung norma-norma hukum yang merupakan ekspresi hukum yang bercorak
emansipatoris tersebut adalah sebagai berikut :
1)
Instruksi
Gubernur yang
sangat diskriminatif tersebut tidak sesuai dengan UUD 1945 Pasal 26 ayat (1) yang
berbunyi “Yang menjadi Warga Negara ialah
orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan
dengan undang-undang sebagai warga negara”. Pasal 26 ayat (1) UUD 1945 tersebut jelas
mengatakan bahwa Warga Negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan
orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga
negara. Dalam hal ini UUD 1945 tidak membedakan Warga Negara antara Pribumi dan
non Pribumi melainkan menyamaratakan
status seluruh Warga Negara Indonesia tanpa membedakan agama, ras, suku, maupun
etnis. Kemudian dalam Pasal 28 H ayat (2) UUD 1945, dalam Bab X tentang Hak
Asasi Manusia meyebutkan bahwa setiap orang berhak mendapatkan kemudahan dan
perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna
mencapai persamaan dan keadilan. Pasal ini
didasarkan atas kesadaran bahwa satu peraturan yang netral. Bukan
hanya UUD 1945 yang tidak membedakan mengenai Warga Pribumi dan non Pribumi, Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan juga tidak mengatur mengenai status Pribumi dan
non Pribumi melainkan hanya mengatur
mengenai status kewarganegaraan. Pada dasaranya, sebutan yang membedakan antara
Pribumi dan non Pribumi tersebut disebabkan
oleh aturan-aturan dalam system hukum Belanda, yang mana dalam system hukum
Belanda yang berlaku di Indonesia sebelumnya telah membeda-bedakan antara golongan
Timur Asing, Tionghoa, Arab, Indonesia asli, dan lain sebagainya.
2) Pembedaan golongan-golongan tersebut seharusnya
sudah lama tidak diberlakukan, terlebih dengan diratifikasinya Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. Pada Pasal
5 Undang-Undang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis tersebut berbunyi “Penghapusan
diskriminasi ras dan etnis wajib dilakukan dengan memberikan :
a. Perlindungan, kepastian, dan kesamaan kedudukan di dalam
hukum kepada semua Warga Negara untuk hidup bebas dari diskriminasi ras dan
etnis;
b. Jaminan tidak adanya hambatan bagi prakarsa perseorangan,
kelompok orang, atau lembaga yang membutuhkan perlindungan dan jaminan kesamaan
penggunaan hak sebagai warga negara; dan
c. Pemahaman kepada masyarakat mengenai pentingnya
pluralisme dan penghargaan hak asasi manusia melalui penyelenggaraan pendidikan
nasional”.
Pasal 5 huruf a menegaskan
bahwa demi mendapatkan kehidupan yang bebas dari
diskriminasi ras dan etnis maka oleh Negara seluruh Warga Negara di
berikan perlindungan, kepastian,
dan kesamaan kedudukan di dalam hukum. Pasal 5 huruf a tersebut
dengan jelas mengatakan bahwa seluruh Warga Negara memiliki kesamaan kedudukan di dalam hukum, sehingga perlakuan
yang membeda-bedakan ras dan etnis untuk memiliki hak atas tanah tidak dapat
dibenarkan. Karena apabila tetap melakukan diskriminasi ras dan etnis tentu
akan bertentangan dengan Pasal 5 Undang-Undang Penghapusan Diskriminasi
Ras dan Etnis tersebut, oleh karena itu maka sebagai Warga Negara Indonesia, Warga
non Pribumi memiliki hak yang sama
dengan Warga Negara Indonesia yang lainnya.
3)
Dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria juga
tidak menyebutkan mengenai status pribumi dan non pribumi, pada Pasal 21 ayat (1) yang berbunyi “Hanya Warga Negara Indonesia dapat mempunyai
hak milik”. Pasal 21 ayat (1) UUPA menyatakan bahwa hanya Warga Negara
Indonesia dapat mempunyai hak milik tersebut. Selain itu di dalam Pasal 9 ayat
(2) UUPA mengatakan bahwa setiap warga Negara Indonesia mempunyai kesempatan
yang sama.[3]
4)
Selain hal-hal yang telah disebutkan di atas
yang membahas mengenai peraturan yang berlaku yang menyebutkan/membedakan
antara pribumi dan non pribumi serta
kesempatan yang sama yang dimiliki oleh seluruh warga Negara Indoensia, juga
terdapat peraturan yang mengatur mengenai status Instruksi tersebut. Dalam
Keppres Nomor 33 Tahun 1984 Pasal 1 yang berbunyi “Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria dan peraturan pelaksanaannya, dinyatakan berlaku sepenuhnya untuk
seluruh wilayah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta”. Sehingga dengan adanya
Keppres Nomor 33 Tahun 1984 ini maka Instruksi Gubernur tidak diberlakukan lagi
karena ketentuan UUPA sudah sepenuhnya diberlakukan di wilayah D.I Yogyakarta.
Akan tetapi pada kenyataanya sampai sekarang Instruksi Gubernur tersebut masih
tetap diberlakukan.
5) Selain adanya Keppres Nomor 33 Tahun 1984 yang
menyatakan bahwa UUPA dinyatakan berlaku sepenuhnya untuk seluruh wilayah
Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, menyebutkan :
“(1) Jenis
dan hierarki Peraturan Perundang-Undangan yang terdiri atas :
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang
d. Peraturan Pemerintah
e. Peraturan Presiden
f.
Peraturan
Daerah Provinsi, dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota”
“(2) Kekuatan
hukum Peraturan Perundang-Undangan sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud
pada ayat (1);”
Oleh karenanya, berdasarkan ketentuan tersebut, maka
Instruksi Gubernur D.I. Yogyakarta Nomor K.898/I/A/1975 tersebut, dikarenakan kedudukannya yang lebih rendah dari pada Keppres Nomor 33 Tahun 1984
dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria maka menjadi dikesampingkan,
sehingga warga Negara non pribumi
sebagaimana disebut dalam Instruksi Gubernur tersebut memiliki kesempatan untuk
memiliki hak milik atas tanah di wilayah D.I Yogyakarta.
KESIMPULAN
DAN SARAN
Pada
dasarnya, di dalam Negara Republik Indonesia tidak ada sesuatu apa pun yang
membedakan antara pribumi dan non pribumi,
yang ada hanyalah Warga Negara Republik Indonesia. Istilah pribumi dan non pribumi tersebut hanya merupakan
warisan tata hukum jaman Hindia Belanda karena ketika Indonesia merdeka belum
mempunyai produk hukum Indonesia yang mengatur hal itu. Penggolongan penduduk
digunakan untuk mengatur hukum yang berlaku bagi setiap golongan, khususnya
hukum perdata termasuk hukum pertanahan. Namun, walaupun Indonesia sudah
mempunyai produk hukum sendiri yang juga telah menghapuskan mengenai
penggolongan tersebut, tetap saja pemisahan dan penyebutan golongan-golongan
tersebut masih dapat dirasakan hingga saat ini.
Di dalam
kamus besar bahasa Indonesia pun tidak menerangkan bahwa dalam Negara Republik
Indoensia terdapat golongan pribumi. Dalam kamus besar bahasa Indonesia hanya
menerangkan bahwa pribumi adalah penghuni asli
atau yang berasal dari tempat yang bersangkutan, sedangkan non pribumi adalah yang bukan pribumi atau yang bukan orang
(penduduk) asli suatu Negara.[4]
Kamus besar bahasa Indonesia menerangkan bahwa non pribumi adalah bukan penduduk asli suatu Negara, berarti dapat
ditafsirkan bahwa non pribumi adalah
warga Negara asing yang sedang tinggal di Negara Indonesia. Sehingga tidak
pantaslah menyebut warga Negara Indonesia yang keturunan Negara atau pun suku
etnis ras tertentu sebagai non pribumi.
Telah dijabarkan dalam pembahasan di atas, bahwa Instruksi
Gubernur tersebut sudah seharusnya untuk ditinggalkan atau tidak diterapkan
saat ini, karena Instruksi Gubernur tersebut melakukan diskriminasi terhadap
ras dan etnis yang membatasi hak-hak orang, yang mana di wilayah Indonesia
tidak ada perbedaan antar sesama warga Negara Indonesia, selain itu Instruksi
Gubernur tersebut juga berada dalam tingkat hierarki yang lebih rendah dari
peraturan lainnya, yang mana dalam peraturan pada tingkat yang lebih tinggi
dari Instruksi Gubernur tersebut menyatakan bahwa seluruh warga Negara
Indonesia berhak atas tanah yang ada di wilayah Negara Republik Indonesia, termasuk
halnya hak atas kepemilikan tanah.
Banyak peraturan-peraturan yang tidak sejalan dengan
Instruksi Gubernur, hal ini disebabkan karena peraturan-peraturan tersebut
memiliki corak emansipatoris yang mana paradigma emansipatoris adalah untuk menghilangkan/melenyapkan
belenggu-belenggu yang ada yang membatasi ataupun memberi sekat-sekat antar
masyarakat minoritas dan mayoritas. Peraturan-peraturan yang menghilangkan/melenyapkan
belenggu-belenggu yang membatasi ataupun memberi sekat-sekat antar masyarakat minoritas
dan mayoritas tersebut tentu berbeda halnya dengan Instruksi Gubernur yang
justru dengan gamblang melakukan diskriminasi dengan membedakan antara penduduk
pribumi dan penduduk non pribumi. Maka
dari itu, sudah seharusnya Instruksi Gubernur tersebut ditinggalkan atau tidak
digunakan saat ini, jika perlu Instruksi Gubernur tersebut secara tegas
dihapuskan, karena sudah seharusnya setiap warga Negara memiliki hak yang sama
untuk mendapatkan perlakuan, pelayanan, perlindungan yang sama, termasuk persamaan
dalam hukum sesuai dengan asas Equality
Before The Law.
[1]
http://wajburni.wordpress.com/2012/01/17/pendidikan-islam/
diakses pada hari Senin, tanggal 1 September 2014.
[2]
http://www.komunitasdemokrasi.or.id/en/knowledge-center/articles/447-hukum-dan-emansipasi-sosial
diakses pada hari Senin, tanggal 1 September 2014.
[3]
“Tiap-tiap Warga Negara Indonesia, baik
laki-laki maupun wanita mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu
hak atas tanah serta untuk mendapat manfaat dan hasilnya, baik bagi diri
sendiri maupun keluarganya”, Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 tahun
1960 tentang Pokok-Pokok Agraria.
[4]
http://kbbi.web.id/, di akses pada hari Senin,
tanggal 1 September 2014.
Comments
Post a Comment
Dilarang keras melakukan spam, meletakkan suatu link dalam komentar dan diharapkan bertutur kata atau menulis dengan santun. Terima kasih