Bagaimana Kebijakan Penetapan Tarif atas dan Tarif Bawah Premi Asuransi Dalam Perspetif Hukum Persaingan Usaha

PEMBAHASAN

Asas -Asas Hukum Dalam Asuransi
Indonesia mengenal asuransi atau pertanggungan sejak ketentuan mengenai asuransi dituangkan dalam kitab Undang-Undang Hukum Dagang sebagaimana telah diundangkan dengan pengumuman pada tanggal 30 April 1847 dan termuat dalam staatsblad 1847. Maka dapat disimpulkan bahwa asuransi pertama kali dikenalkan oleh Belanda.Black's Law Dictionary mendefinisikan sebagai sebuah perjanjian, yaitu bahwa asuransi adalah suatu perjanjian yang menjadi dasar bagi penanggung pada satu pihak berjanji akan melakukan sesuatu yang bernilai bagi tertanggung sebagai pihak yang lain atas terjadinya kejadian tertentu; sebuah perjanjian yang menjadi dasar bagi satu pihak mengambilalih suatu risiko yang dihadapi oleh pihak yang lain atas imbalan pembayaran sejumlah premi.[1]

Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (Wetboek van Koophandel), Pasal 246 menyatakan bahwa Asuransi atau pertanggungan adalah suatu perjanjian, dengan mana seorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertangung, dengan menerima suatu premi, untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, yang mungkin akan dideritanya karena suatu pristiwa tertentu”.

Pengaturan dan pengertian mengenai asuransi juga dapat kita jumpai sebagai pengertian otentik yang dibuat oleh pembuat undang-undang, pengeritan tersebut adalah “Perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertangung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita oleh tertanggung, yang timbul dari suatu pristiwa yang tidak pasti atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seorang yang diasuransikan. Pengertian otentik tersebut memberikan gambaran kepada kita bagaimana oprasionalisasi dalam industry Asuransi yaitu terkait pengalihan resiko kepada pihak kedua atau pihak ketiga. Pengertian risiko adalah suatu kondisi yang mengandung kemungkinan terjadinya penyimpangan yang lebih buruk dari hasil yang diharapkan.[2] Istilah risiko memiliki berbagai pengertian dalam bisnis dan dalam kehidupan sehari-hari dan pada tingkatan yang paling umum, istilah risiko dipergunakan untuk menggambarkan setiap keadaan dimana terdapat ketidakpastian tentang hasil apa yang akan timbul.[3]
Pengaturan asuransi dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer), terdapat pada Buku III tentang Perikatan. Pengaturan asuransi dalam buku III KUHPer tersebut mengandung aturan mengenai syarat-syarat sahnya suatu perjanjian. Pengaturan asuransi dalam buku III juga mengandung 4 (empat) asas penting yaitu, asas kebebasan berkontrak, asas konsensualisme, asas pacta sunt servanda, asas itikad baik, dan asas kepribadian.
Asas kebebasan berkontrak freedom of contract ditentukan pada Pasal 1338 ayat (1) KUHPer, “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Asas ini merupakan suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk: membuat atau tidak membuat perjanjian, mengadakan perjanjian dengan siapa pun, menentukan isis perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya, serta menentukan bentuk perjanjiannya apakah tertulis atau lisan.
Asas konsensualisme, terkandung dalam Pasal 1320 KUHPer sebagaimana telah dijelaskan di muka, bahwa asas ini menentukan kata sepakat antara para pihak yang berkontrak khususnya dalam perjanjian asuransi.
Asas Pacta Sunt Servanda terkandung di dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPer menentukan, “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku bagi mereka yang membuatnya sebagai undang-undang”.
Asas itikad baik (good faith) terkandung dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPer menentukan, “suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”.
Asas kepribadian terkandung dalam Pasal 1315 KUHPer menentukan, “pada umumnya tak seorang pun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji dari pada untuk dirinya sendiri”. Asas yang terkandung dalam pasal ini mengisyaratkan bahwa perjanjian antara para pihak hanya berlaku mengikat bagi kedua belah pihak saja (mereka saja).

Prinsip – Prinsip Dalam Asuransi
1.       Prinsip Kepentingan yang Dapat Diasuransikan
Prinsip kepentingan yang dapat diasuransikan (insurable interest) atau lebih tepat disebut kepentingan finansial yang dapat diasuransikan. Jika seseorang memiliki kepentingan atau interest dengan suatu perusahaan asuransi maka secara finansial seseorang tersebut memiliki ketertarikan untuk mengasuransikan terhadap perusahaan tersebut.
Hukum asuransi menentukan apabila seseorang menutup perjanjian asuransi, yang bersangkutan harus mempunyai kepentingan terhadap obyek yang diasuransikanya, hal tersebut diatur dalam 250 KUHD yang berbunyi apabila seseorang yang telah mengadakan suatu perjanjian asuransi untuk diri sendiri atau apabila seseorang yang untuknya telah diadakan suatu asuransi, pada saat diadakanya asuransi itu tidak mempunyai suatu kepentingan terhadap barang yang diasuransikan itu, maka penanggung tidak diwajibkan memberikan ganti kerugian.
Dapat dipahami bahwa prinsip kepentingan yang dapat diasuransikan (insurable interest) bahwa hak yang sah dimiliki oleh seseorang untuk mempertanggungkan kepentingan keuangannya pada objek pertanggungan. Sehingga jika terjadi suatu peristiwa merugikan yang menimpa objek pertanggungan, tertanggung akan mengalami kerugian keuangan. Mengasuransikan harta benda tanpa didukung dengan insurable interest sama halnya dengan perjudian yang tidak memiliki kekuatan hukum. Singkatnya prinsip insurable interest ini sesungguhnya memiliki relevansi dengan prisinp itikad baik yakni harus memiliki keinginan dan keinginan itu harus dilaksanakan dengan kejujuran dan kepatutan.
Menurut Molengraaff, kepentingan dirumuskan sebagai kekayaan atau bagian dari kekayaaan tertanggung yang apabila terkena bencana dapat diterima, dengan pengertian bahwa yang dimaksud dengan kekayaan dalam definisi dimaksud, harus dartikan secara luas. Hal itu berarti meliputi kekayaan yang dapat dinilai dengan uang atau tidak, baik berupa benda berwujud maupun tidak berwujud. Berdasarkan hal tersebut, maka hak dan kewajiban seseorang merupakan kepentingan.[4]
Kepentingan dapat diklasifikasikan dalam 3 (tiga) bagian diantaranya, yaitu kerugian atau berkurangnya nilai hak subjektif seseorang sebagai akibat adanya pristiwa, kehilangan keuntungan dari laba yang diharapakan yang disebabkan terjadinya suatu pristiwa (Pasal 615 KUHD), kemungkinan terjadinya kerugian karena kesalahan disebabkan ingkar janji atau perbuatan melawan hukum.[5]

2.       Prinsip Itikad Baik
Mengenai perjanjian dalam KUHPer, itikad baik merupakan unsur pokok terjadinya sebuah perjanjian, dalam asuransi pun mengharuskan hal yang sama, namun didalam perjanjian asuransi harus ditambahkan hal-hal yang khusus, seperti yang tertuang didalam Pasal 251 KUHD dimana Tertanggung harus memberikan keterangan yang sejujur jujurnya dan sebenar benarnya, selengkap lengkapnya mengenai keadaan obyek yang diaasuransikan  ketentuan ini juga harusnya diberlakukan juga kepada penangung. Prinsip lain mengenai itikad baik tercantum dalam Pasal 250 KUHD yang mensyaratkan tertanggung harus mempunyai kepentingan untuk dapat mengadakan perjanjian asuransi, Pasal 269 KUHD tentang perjanjian asuransi yang diadakan terhadap pristiwa kerugian yang sudah terjadi. Dalam Pasal 276 KUHD juga terkandung prinsip itikad baik dimana penanggung tidak diwajibkan memberikan ganti kerugian apabila kerugian terjadi disebabkan perbuatan sengaja oleh tertanggung.[6]

3.       Prinsip Ganti Kerugian (Indemnity)
Prinsip ini ialah pada pokoknya dikarenakan asuransi berumpu pada pengalihan resiko maka kerugian yang diganti oleh penangung dan yang akan diterima Tertanggung harus seimbang dengan kerugian yang dideritanya hal ini yang merupakan inti dari prinsip ganti kerugian sebagaimana tercermin dalam pasal 246 KUHD yaitu untuk memberikan penggantinya kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan yang mungkin akan dideritanya karena suatu pristiwa tertentu.

4.       Prinsip Subrogasi
Didalam asuransi penyebab terjadinya kerugian terkadang bukan disebabkan oleh tertanggung, namun disebabkan oleh pihak ketiga, mengenai hal ini dalam asuransi dikenal dengan Prinsip Subrogasi diatur dalam 284 KUHD yang berbunyi seorang penanggung yang telah membayar kerugian sesuatu barang yang diasuransikan, menggantikan tertanggung dalam segala hak yang diperolehnya terhadap orang-orang ketiga berhubung dengan penerbitan kerugian tersebut, dan tertanggung itu adalah bertanggung jawab untuk setiap perbuatan yang dapat merugikan hak penanggung terhadap orang-orang ketiga itu. Ketentuan tersebut memberikan gambaran bahwa yang dimaksud subrogasi adalah  penggantian kedudukan tertanggung oleh penanggung yang telah membayar ganti kerugian, dalam melaksanakan hak- hak tertanggung kepada pihak ketiga yang menyebabkan kerugian.[7]

5.       Prinsip Sebab Akibat
Prinsip ini mengajarkan bahwa kerugian yang timbul disebabkan oleh serangkaian pristiwa untuk itu harus dapat ditentukan apakah pristiwa yang menjadi penyebab kerugian berada dalam tanggungan penanggung, dengan kata lain harus ditelaah kaitan antara pristiwa tersebut dengan dengan kerugian yang terjadi.


Asas-Asas Hukum Dalam Persaingan Usaha

Sejarah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
Lahirnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 merupakan suatu hal yang akan sangat membantu Pelaku Usaha dan Konsumen, hal ini dikarenakan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 diharapkan akan melahirkan persaingan usaha yang kompetitif di Indonesia. Atas desakan International Monetery Fund (IMF), Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999 ini lahir, sehingga dapat dikatakan bahwa undang-undang ini lahir dengan tidak wajar dan premature dikarenakan bagian dari 50 butir kesepakatan Letter of Intens (LoI) yang harus dilakukan agar mendapatkan bantuan uluran dana dari IMF, walaupun sebenarnya upaya untuk membentuk sebuah undang-undang terhadap larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat sudah dilakukan upayanya sejak tahun 1970 berupa rancangan undang-undang dan naskah akademiknya.[8] Upaya yang dilakukan pada tahun 1970 ini tidak dapat segera melahirkan undang-undang dikarenakan pengaruh dari orde baru yang berupaya untuk melindungi perusahaan-perusahaan besar nasional dengan beranggapan bahwa perusahaan-perusahaan tersebut akan dapat menjadi gerbong menuju pembangunan, namun faktanya adalah sebaliknya, hanya menimbulkan konglemerasi diantara para pelaku usaha. Orde baru memiliki prinsip bahwa monopoli perlu ditempuh karena perusahaan itu telah telah bersedia menjadi pioneer disektor bersangkutan tanpa fasilitas monopoli dan proteksi maka sulit bagi pemerintah untuk dapat memperoleh kesediaan investor menanamkan modalnya di Indonesia, hal lain ialah untuk menjaga berlangsungnya praktik KKN demi kepentingan kroni mantan presiden soeharto.[9]
Perlu diceramti, menegenai tujuan dibentuknya undang-undang ini adalah untuk memajukan pembangunan bidang ekonomi demi terwujudnya kesejahteraan rakyat berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Demokrasi dalam bidang ekonomi menghendaki adanya kesempatan yang sama bagi setiap warga Negara untuk berpasrtisipasi dalam proses produksi, dan pemasaran barang, dan atau jasa dalam iklim usaha yang sehat, efektif dan efisien, sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan bekerjanya ekonomi pasar yang wajar. Setiap orang yang berusaha di Indonesia harus berada dalam situasi persaingan yang sehat dan wajar, sehingga tidak menimbulkan adanya pemusatan kekuatan ekonomi pada pelaku usaha tertentu. Undang-undang ini bertujuan untuk menjaga iklim kompetisi agar tercipta efisiensi, baik efisiensi bagi masyarakat konsumen maupun bagi perusahaan. Persaingan akan mendorong setiap perusahaan untuk melakukan kegiatan usahanya seefisien mungkin agar dapat menjual produknya dan atau jasanya sebaik dan semurah mungkin. Apabila setiap perusahaan berlomba-lomba seefisein mungkin maka dalam rangka bersaing dengan perusahaan-perusahaan lainya, maka keadaan itu akan memungkikan konsumen membeli barang yang semurah mungkin, maka pada giliranya efisiensi itu akan menciptakan pula efisiensi bagi masyarakt konsumen. Terdapat dua efisensi yaitu efisensi bagi produsen (productive efficiency) dan efisensi bagi masyarakt (allocative efficiency), Produktif effisiensi adalah efisensi bagi perusahaan dalam menghasilkan barang dan jasa perusahaan dikatakan efisein apabila dalam menghasilkan barang dan jasa perusahaan tersebut dilakukan dengan biaya yang serendah rendahnya karena dapat mengunakan sumber daya sekecil mungkin, sedangkan allocative efficiency ialah efisiensi bagi masyarkat konsumen dikatakan masyarkat konsumen efien apabila para produsen dapat membuat barang barang yang dibutuhkan konsumen dan menjualnya pada harga yang para konsumen itu bersedia untuk membayar harga barang yang dibutuhkan itu.[10]

Pengertian Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Secara umum dapat dikatakan bahwa hukum pesaingan usaha adalah hukum yang mengatur segala sesuatu yang berkaitan dengan persaingan usaha. Hal substantif dari pengertian persaingan usaha dan praktik monopoli ini agar memberikan gambaran yang utuh terhadap apa yang diinginkan dari diundangkanya Undang-Undang nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Arie Siswanto, ahli hukum persaingan usaha memberikan pengertian dari hukum persaingan usaha adalah instrument hukum yang menentukan tentang bagaimana persaingan itu harus dilakukan, serta mengatur persaingan sedemikian rupa sehingga tidak menjadi sarana untuk mendapatkan monopoli.[11] Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, yang disebut monopoli adalah situasi pengadaan barang dagang tertentu (dipasar lokal atau nasional) sekurang-kurangnya sepertiga dikuasai oleh satu orang atau kelompok sehingga harganya dapat dikendalikan. Dalam ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat mendefinisikan bahwa monopoli adalah penguasaan atas produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha.[12]
Definisi praktik monopoli dalam ketentuan Pasal 1 Angka 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan/atau pemasaran atas barag dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum.[13] Yang dimaksud dengan Pemusatan kekuatan ekonomi dalam Pasal 1 Angka 3 adalah penguasaan yang nyata atas suatu pasar bersangkutan oleh satu atau lebih pelaku usaha sehingga dapat menentukan harga barang dan jasa sedangkan rumusan mengenai persaingan usaha tidak sehat tertuang dalam Pasal 1 Angka 6 adalah persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.[14]
Monopoli tidak sepenuhnya dilarang, yang dilarang hanya kegiatan yang mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat. Pasar monopoli dapat menimbulkan pemusatan ekonomi, yang apabila terjadi praktik monopoli, maka tidak terjadi persaingan usaha yang sehat, dan tentu saja hal tersebut akan merugikan kepentingan konsumen. Kemunculan monopoli dapat terjadi dalam berbagai bentuk  dan cara  yaitu:[15]

  • Monopoli yang terjadi karena memang dikehendaki oleh hukum, monopoly by law, Undang-Undang Dasar 1945 membenarkan adanya monopoli jenis ini, dengan memberi monopoli bagi Negara untuk menguasai bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya serta cabang- cabnag produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak, hal ini diperbolehkan dikarenakan sifatnya memberi pelayanan untuk masyarakat dilegitimasi untuk dimonopoli, selain itu pemberian hak-hak istimewa dan eksklusif atas penemuan baru merupakan bentuk monopoli yang diakui oleh undang-undang.
  • Monopoli yang lahir dan tumbuh secara alamiah karena didukung oleh iklim dan lingkungan yang cocok, monopoli by nature, bentuk monopoli ini dapat dilihat dengan tumbuhnya perusahaan-perusahaan yang karena memiliki keunggulan dan kekuatan tertentu dapat menjadi raksasa bisnis yang menguasai seluruh pasngsa pasar yang ada, mereka menjadi besar karena memiliki sifat-sifat yang cocok dengan tempat dimana mereka tumbuh selain itu karena berasal dan didukung dengan bibit yang unggul serta memiliki faktor dominan.
  • Monopoli yang diperoleh melalui lisensi dengan menggunakan mekanisme kekuasaan, monopoli by license, monopoli ini diperoleh dengan menggunakan mekanisme kekuasaan, monopoli jenis ini yang sering menimbulkan distorsi ekonomi karena kehadiranya menggangu kesimbangan pasar yang sedang berjalan dan bergeser kearah yang diinginkan oleh pihak yang memiliki monopoli tersebut.
Dalam bukunya Anti Trust Law, Richard A. Posner mengemukakan adanya 3 (tiga) alasan politis mengapa monopoli tidak dikehendaki yaitu:
Pertama, monopoli mengalihkan kekayaan dari para konsumen kepada pemegang saham perusahaan-perusahaan yang monopolistic, yaitu suatu distribusi kekayaan berlangsung dari golongan kurang mampu kepada yang kaya.
Kedua, monopoli atau secara lebih luas setiap kondisi yang memperkuat kerja sama diantara perusahaan-perusahaan yang bersaing, akan mempermudah dunia industri untuk melakukan manipulasi politik guna dapat memperoleh proteksi dari pemerintah berupa dikeluarkanya peraturan perundang undangan.
Ketiga, keberatan terhadap tindakan monopoli bahwa anti monopoli bertujuan untuk meningkatkatkan economic efisiency dengan cara membatasi monopoli adalah suatu kebijakan yang bertujuan untuk membatasi kebebasan bertindak dari perusahaan-perusahaan besar demi tumbuh dan berkembangnya perusahaan-perusahaan besar.[16]
Dari berbagai pembahasan tentang istilah monopoli, maka dapat diambil kesimpulan, bahwa yang dilarang oleh hukum adalah praktik monopoli, bukan monopolinya. Adanya praktik monopoli telah menimbulkan pemusatan kekuatan ekonomi pada satu atau lebih pelaku usaha terhadap suatu produk dan atau jasa tertentu, praktik monopoli yang demikian dapat menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan merugikan kepentingan umum. Selama pemusatan ekonomi tidak menyebabkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat maka tidak dapat dikatakan telah terjadi praktik monopoli yang melanggar undang-undang.
  
Pendekatan Yuridis Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
Dalam pengaturan persaingan usaha ditetapkan norma larangan yang memiliki dua sifat atau pendekatan yang digunakan dalam melihat perjanjian atau kegiatan pelaku usaha yakni larangan yang bersifat Per se (per se Illegal) dan pendekatan larangan yang bersifat rule of reason. Kedua pendekatan ini didasari dengan dasar pikir, haruskah seseorang dihukum karena melakukan peranjian atau perbuatan yang dianggap membahayakan persaingan? Disisi lain, perlukah pembuktian dengan asumsi mahal, lama, dan sulit dilakukan akan adanya pengurangan atau perusakan persaingan terhadap suatu perjanjian atau perbuatan yang hampir pasti merugikan orang lain. Kedua pendekatan ini bertujuan sama, yakni bagaimana tindakan pelaku usaha tidak menghambat persaingan, sehingga inefisiensi dan merugikan konsumen dapat dihindarkan.[17] Pendekatan kedua metode ini tidak mudah untuk diterapkan. Banyak terjadi perbedaan pendapat diantara ahli, sehingga perlu untuk menentukan ukuran faktor reasonableness, hal-hal yang perlu diperhatikan dalam suatu kasus adalah dengan melihat faktor-faktor sebagai berikut:[18]
1.      Akibat yang ditimbulkan dalam pasar persaingan
2.      Pertimbangan bisnis yang mendasari tindakan tersebut
3.      Kekuatan pangsa pasar
4.      Alternative yang tersedia
5.      Tujuan
Kata Per se berasal dari bahasa latin yang bermakna by it self, in it self, taken alone, by Means of itself, throught itself, inherently, in isolation, unconnected with other matters, simply as such, in its own nature without reference to its relation. Jika suatu aktivitas dengan jelas bermaksud dan berakibat merusak, maka tidak perlu mempermasalahkan apakah masuk akal atau tidaknya pristiwa yang sama (dengan pristiwa yang diadili) untuk menentukan pristiwa yang bersangkutan merupakan  pelanggaran hukum persaingan atau tidak. Prinsip ini dikenal dengan “per se doctrine”. Per se illegal yang sering juga disebut dengan per se violation, dalam hukum persaingan, adalah istilah yang mengandung maksud bahwa jenis-jenis perjanjian tertentu, atau perbuatan perbuatan tertentu yang dianggap secara inheren bersifat antikompettif dan merugikan masyarakat tanpa perlu dibuktikan apakah perbuatan tersebut telah nyata merusak persaingan.[19] Perbuatan-perbuatan yang dilarang yang bersifat Per se illegal:[20]

  1. penetapan harga secara horizontal, yaitu penetapan harga bersama oleh perusahaan-perusahaan yang memproduksi atau menjual produk atau jasa yang sama.
  2. Perjanjian perjanjian yang menurut ketentuan-ketentuan yang bersifat eksklusif atau memboikot pihak ketiga.
Selain doktrin Per se Illegal adalah doktrin Rule of reason. Doktrin Rule of reason adalah doktrin yang dibangun berdasarkan penafsiran atas ketentuan Sherman Antitrust act oleh Mahkamah Agung Amerika Serikat. Dengan pendekatan yang menentukan bahwa suatu tindakan meskipun telah memenuhi rumusan Undang-Undang, namun jika ada alasan objektif yang dapat membenarakan perbuatan tersebut, maka perbuatan itu bukan merupakan suatu pelanggaran, artinya penerapan hukumnya tergantung pada akibat yang ditimbulkan, apakah perbuatan itu telah menimbulkan praktik monopoli atau persaingan usaha tidak sehat. Titik beratnya ada pada unsure material dari perbuatannya, sehingga penerapan hukum dalam pendekatan rule of reason mempertimbangkan alas an-alasan mengapa dilakukanya suatu tindakan/suatu perbuatan oleh pelaku usaha. Untuk dapat menerapkan prinsip ini tidak hanya diperlukan pengetahuan ilmu hukum, melainkan pengusaan terhadap ilmu ekonomi juga. Dengan kata lain, apabila  suatu perbuatan yang dianggap telah melanggar hukum persaingan, maka sangat diperlukan untuk mencari fakta untuk dapat mempertimbangkan dan menentukan apakah perbuatan tersebut menghambat persaingan usaha atau tidak. Rule of reason lebih memfokuskan kepada akibat yang dimunculkan dari suatu perbuatan yang dilakukan.[21] 
Rule of reason sifatnya merupakan kebalikan dari Per se Illegal, artinya dibawah rule of reason untuk menyatakan bahwa suatu perbuatan yang dituduhkan melanggar hukum persaingan, pencari fakta harus mempertimbangkan keadaan disekitar kasus untuk menentukan apakah perbuatan itu membatasi persaingan usaha secara tidak patut, dan untuk itu diisyaratkan bahwa otoritas pemeriksa dapat menunjukan akibat-akibat anti kompetitif, atau kerugian nyata terhadap persaingan. Dengan kata lain, agar otoritas lembaga persaingan usaha membuat evaluasi mengenai akibat perjanjian atau kegiatan usaha tertentu guna menentukan, apakah suatu perjanjian atau kegiatan usaha tertentu tersebut  bersifat menghambat atau mendukung persaingan, bukan dengan menunjukan apakah perbuatan itu tidak adil ataupun melawan hukum.[22]
Suatu ketentuan yang bersifat per se illegal, tidak memerlukan pembuktian mengenai dampak terhadap larangan tersebut, sehingga jika ada pelaku usaha yang melakukan suatu sesuatu yang dilarang dalam undang-undang, maka pelaku usaha tersebut jelas dinyatakan melanggar tanpa perlu membuktikan hasil atau akibat atas tindakan yang dilakukan, sementara dalam rule of reason memerlukan bukti atau tindakan yang dilakukan pelaku usaha, apakah tindakan tersebut tergolong anti persaingan atau merugikan masyarakat. Secara gambling, dalam pendekatan per se illegal, suatu perjanjian atau tindakan atau kegiatan dilarang karena undang-undang dan tidak memerlukan pembuktian terhadap akibat dari perjanjian atau kegiatan yang dilakukan pelaku usaha, sebaliknya rule of reason, suatu perjanjian atau kegiatan dilarang apabila perjanjian atau kegiatan yang dilakukan pelaku usaha mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat biasanya dalam peraturan dibarengi dengan persyaratan tertentu yang harus dipenuhi.[23]

Larangan-Larangan Dalam Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
1.         Perjanjian yang Dilarang (Pasal 4 sampai Pasal 16)
Pasal 4 sampai dengan Pasal 16 mengatur tentang perjanjian tertentu yang dilarang Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, yaitu perjanjian tertentu yang dianggap dapat menimbulkan monopoli dan atau persaingan tidak sehat. Black's Law Dictionary mendefinisikan perjanjian sebagai berikut “an agreement between two or more persons which creates on obligation to do or not to do a particular thing”, sedangkan pengertian perjanjian dalam Pasal 1313 KUHPer, “perjanjian adalah suatu perbuatan yang mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Dalam Pasal 4 sampai Pasal 16 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 mengatur 11 macam perjanjian yang dilarang untuk dibuat oleh pelaku usaha, perjanjian yang dlarang tersebut dianggap sebagai praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, apabila perjanjian-perjanjian yang dilarang tersebut tetap dilakukan oleh pelaku usaha, maka perjanjian yang demikian itu batal demi hukum atau dianggap tidak ada karena yang dijadikan obyek perjanjian adalah hal-hal yang tidak halal yang dilarang Undang-Undang Pasal 1320 dan Pasal 1337 KUHPer. Perjanjian-perjanjian yang dilarang oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tersebut adalah:
a.       Perjanjian Oligopoli
Menurut Black's Law Dictionary, oligopoli adalah “economic condition where only a few companies sett substantially similar or standardized products”. Dalam kamus besar bahasa Indonesia, yang disebut oligopoly adalah “keadaan pasar dengan produsen pembekal barang hanya berjumlah sedikit sehingga mereka atau seorang dari mereka dapat mempengaruhi harga pasar, atau keadaan pasar yang tidak seimbang karena dipengaruhi oleh sejumlah pembeli”. Pada pasar oligopoly terdapat beberapa produsen yang menawarkan barang atau jasa kepada seluruh konsumen produsen dapat menawarkan beberapa jenis barang atau barang yang sama, hal lain yang menjadi ciri pasar oligopoly adalah keyakinan setiap produsen bahwa pesaingnya akan mempertahankan jumlah pasokanya pada situasi dimana pesaing lain melakukan perubahan pasokan. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Pasal 4 ayat (1) menyatakan ”pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk secara bersama sama melakukan penguasan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat”. Sedangkan ayat (2) menyatakan ”pelaku usaha patut diduga atau dianggap secara bersama sama melakukan penguasaan produksi dan atau pemasaran barangdan atau jasa sebagaimana dimaksud ayat (1), apabila dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok kelompok pelaku usaha menguasai 75% pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu. Penjual atau produsen dalam pasar oligopoly ini bukan bersaing melainkan berkolusi membuat perjanjian baik tertulis maupun tidak tertulis untuk menentukan harga, menentukan produksi, atau membagi wilayah pasar secara geografis hal ini akan menyebabkan kemampuan mereka mempengaruhi pasar semakin besar jumlah barang yang tersedia dipasar sedikit sehingga berimplikasi harga yang harus dibayar pembeli tinggi maka terjadilah inefisiensi alokatif bentuk sempurnya akan terjadi kolusi monopolis secara bersama sama atau monopolis diwilayah masing-masing.[24]

b.      Perjanjian Penetapan Harga (Price Fixing Agreement)
Perjanjian penetapan harga yang dilarang oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 diatur dalam ketentuan sebagai berikut:
1)      Perjanjian penetapan harga antar pelaku (Pasal 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999)
2)      Penetapan harga yang berbeda terhadap barang dan/atau jasa yang sama (Pasal 6 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999)
3)      Penetapan harga di bawah harga pasar (predatory pricing) (Pasal 7 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999)
4)      Penetapan harga jual kembali (resale price maintenance) (Pasal 8 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999)

c.       Perjanjian Pembagian Wilayah Pemasaran atau Alokasi Pasar (Market Division)
Yang dimaksud dengan pembagian wilayah pemasaran atau alokasi pasar:
1)      Membagi wilayah untuk memperoleh atau memasok barang dan atau jasa,
2)      Menetapkan dari siapa saja dapat memperoleh atau memasok barang dan/atau jasa.
Pasal 9 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 menyatakan bahwa pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya dengan tujuan membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar terhadap barang dan/ atau jasa, sehingga mengakibatkan terjadinya prktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat. Berdasarkan Pasal 9 ini, perjanjian pembagian wilayah yang terkena larangan adalah jika isi pembagian wilayah yang dimaksud bertujuan membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar terhadap suatu produk barang dan/atau jasa, di mana perjanjian itu dapat menimbulkan praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat. Perjanjian ini dilarang karena pelaku usaha meniadakan atau mengurangi persaingan dengan cara membagi wilayah pasar atau alokasi pasar.

d.      Perjanjian Pemboikotan
Perjanjian pemboikotan merupakan salah satu bentuk strategi yang dilakukan antara pelaku usaha untuk mengusir pelaku usaha lain dari pasar yang sama, atau juga untuk mencegah pelaku usaha lain yang berpotensi menjadi pesaing untuk masuk ke dalam pasar yang sama, yang kemudian pasar tersebut dapat terjaga hanya untuk kepentingan pelaku usaha yang terlibat dalam perjanjian pemboikotan tersebut. Dengan terusirnya pelaku usaha pesaing dan tidak bisa masuknya pelaku usaha yang berpotensial menjadi pesaing ke dalam pasar melakukan praktik-praktik yang anti-persaingan seperti melakukan praktik price fixing, pembagian wilayah dan kartel. Sehubungan dengan perjanjian pemboikotan, ada dua macam perjanjian yang dilarang oleh Pasal 10, yaitu:

  • Perjanjian yang dapat menghalangi pelaku usaha lain (pihak ketiga) untuk melakukan usaha yang sama
  • Perjanjian untuk menolak menjual setiap barang dan/atau jasa dari pelaku usaha lain (pihak ketiga), jika: a) merugikan atau dapat diduga akan merugikan pelaku usaha lain; b)  membatasi pelaku usaha lain dalam menjual atau membeli setiap barang da/atau jasa dari pasar yang bersangkutan.
e.      Perjanjian Kartel
Kartel adalah persengkongkolan atau persekutuan di antara beberapa produsen produk sejenis dengan maksud untuk mengontrol produksi, harga, dan penjualannya serta untuk memperoleh posisi monopoli. Dengan demikian kartel merupakan salah satu bentuk monopoli, dimana beberapa pelaku usaha atau produsen yang secara yuridis dan ekonomis masing-masing berdiri sendiri, bersatu untuk mengontrol produksi, menentukan harga, dan/atau wilayah pemasaran atas suatu barang dan/atau jasa, sehingga di antara mereka tidak adalagi persaingan. Kartel biasanya diprakarsai oleh asosiasi dagang (trade associations) bersama para anggotanya.
 
f.        Perjanjian Trust
Perjanjian trust dilarang dalam Pasal 12 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Dalam pasal tersebut, pengertian trust dirumuskan sebagai suatu kerja sama dengan membentuk gabungan perusahaan atau perseroan yang lebih besar, dengan tetap menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidup masing-masing perusahaan atau perseroan anggotanya, yang bertujuan untuk mengontrol produksi dan/atau pemasaran atas barang dan/atau jasa, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.

g.       Perjanjian Oligopsoni
Oligopsoni merupakan salah satu bentuk praktik anti-persaingan yang cukup unik, karena dalam praktik oligopsoni yang menjadi korban adalah produsen atau penjual, dimana biasanya untuk bentuk-bentuk praktik anti persaingan lain (seperti price-fixing, price discrimination, dan kartel) yang menjadi korban umumnya konsumen. Dalam oligopsoni, konsumen membuat kesepakatan dengan konsumen lain dengan tujuan agar mereka secara bersama-sama dapat menguasai pembelian atau penerimaan pasokan, dan pada akhirnya dapat mengendalikan harga atas barang atau jasa pada pasar yang bersangkutan. Dengan adanya praktik oligopsoni, produsen atau penjual tidak memiliki alternatif lain untuk menjual produk mereka selain kepada pihak pelaku usaha yang telah melakukan praktik oligopsoni, sehingga mengakibatkan mereka dapat menerima saja harga yang sudah ditentukan oleh pelaku usaha yang melakukan praktik oligopsoni.  

h.      Perjanjian Integrasi Vertikal
Integrasi vertikal adalah perjanjian antara pelaku usaha yang bertujuan untuk menguasai produksi sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian produksi barang dan/ atau jasa tertentu, yang mana setiap rangkaian produksi merupakan hasil pengolahan atau proses lanjutan baik dalam suatu  rangkaian  langsung maupun tidak langsung. Adapun yang dimaksud dengan menguasai produksi sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian produksi adalah penguasaan serangkaian proses produksi atas barang tertentu mulai dari hulu sampai hilir atau proses yang berlanjut suatu layanan jasa tertentu oleh pelaku usaha tertentu.

i.         Perjanjian Tertutup
Perjanjian tertutup dilarang oleh Pasal 15 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Pada prinsipya, seorang pelaku usaha bebas untuk menentukan sendiri pihak penjual atau pembeli atau pemasok suatu produk di pasar sesuai dengan berlakunya hukum pasar. Karena itu, dilarang setiap perjanjian yang bertentangan dengan kebebasan tersebut dan dapat mengakibatkan timbulnya persaingan tidak sehat. Perjanjian yang dapat membatasi kebebasan pelaku usaha tertentu untuk memilih sendiri pembeli, penjual atau pemasok, disebut dengan istilah Perjanjian Tertutup.

j.        Perjanjian Dengan Pihak Luar Negeri
Sebenarnya tidak ada larangan untuk membuat perjanjian dengan luar negeri, dan memang sudah menjadi praktik bisnis sehari-hari. Perjanjian tersebut dilarang jika dapat mengakibatkan terjadinya praktik monpoli dan persaingan usaha yang tidak sehat. Hal ini dinyatakan dalam Pasal 16 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, bahwa pelaku usaha dilarang mebuat perjanjian dengan pihak luar negeri yang memuat ketentuan yang terdapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.

2.       Kegiatan yang Dilarang (Pasal 17 sampai Pasal 24)
a.       Kegiatan Monopoli
Adapun pengertian monopoli dikemukakan dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, yaitu penguasaan atas produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha. Dengan demikian, monopoli adalah situasi pasar dimana hanya ada satu pelaku usaha atau satu kelompok usaha yang menguasai suatu produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau penggunaan jasa tertentu, yang akan ditawarkan kepada bayak konsumen, yang mengakibatkan pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha tadi dapat mengontrol dan mengendalikan tingkat produksi, harga, dan sekaligus wilayah pemasaran.  

b.      Kegiatan Monopsoni
Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, tidak ditemukan pengertian mengenai monopsoni sebagaimana halnya pengertian monopoli. Menurut Black's Law Dictionary, monopsoni adalah ”a condition of market in which there is but one buyer for particular commodity”. Monopsoni adalah situasi pasar dimana hanya ada satu pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha yang menguasai pangsa pasar yang besar yang bertindak sebagai pembeli tunggal tersebut dapat mengontrol dan menentukan bahkan mengendalikan, tingkat harga yang diinginkan. Kegiatan yang demikian dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli atau persaingan usaha tidak sehat dan apabila pembeli tunggal yang dimaksud juga menguasai lebih dari 50% pangsa pasar dari satu jenis produk  barang dan/ atau jasa tertentu. Jadi jika dalam hal monopoli, seorang atau satu kelompok usaha menguasai pangsa pasar yang besar untuk menjual suatu produk, maka dalam monopsoni sebaliknya seorang atau satu kelompok usaha yang menguasai pangsa pasar yang besar untuk membeli suatu produk.

c.       Penguasaan Pangsa Pasar
Pasal 1 angka 19 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 merumuskan pengertian pasar adalah lembaga ekonomi dimana para pembeli dan penjual, secara langsung maupun tidak langsung, dapat melakukan transaksi perdagangan barang dan/atau jasa. Perekonomian pasar mengenal adanya empat macam struktur pasar. Struktur pasar ini dapat digambarkan dalam sebuah spectrum. Pada satu titik ekstrim terdapat struktur pasar monopoli dimana hanya terdapat satu penjual, dan satu titik esktrem lainnya terdapat struktur pasar yang berbentuk persaingan sempurna yaitu pasar yang antara alin dicirikan oleh penjual dan pembeli yang banyak. Di antara dua titik ekstrem tersebut terdapat struktur pasar yang berbentuk oligopoly dan pasar persaingan monopolistic. Sedang penguasaan pasar ini adalah kegiatan yang dilarang karena dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 19, 20, dan 21 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Disamping dilarangnya penguasaan pasar yang besar oleh atau sebagian kecil pelaku pasar, juga dilarang penguasaan pasar secara tidak adil yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli  dan atau praktik persaingan usaha tidak sehat.

d.      Melakukan Jual Rugi (predatory pricing) atau Praktik Dumping
Salah satu bentuk perilaku anti persaingan menjadi perhatian dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 adalah melakukan jual rugi atau menetapkan harga sangat rendah dengan maksud untuk menyingkirkan atau mematikan uasaha pesaingnya dari pasar bersangkutan atau predatory pricing. Jual rugi adalah suatu strategi penetapan harga oleh pelaku usaha untuk menyingkirkan pesaingnya dari pasar bersangkutan dalam upaya mempertahankan posisinya sebagai monopolis atau dominan.
Selanjutnya perbuatan melakukan dumping dianggap sebagai tidak adil (unfair), karena itu maka harus dikenakan dengan sanksi tertentu.

e.      Penetapan Biaya Secara Curang
Pasal 21 menentukan bahwa Pelaku usaha dilarang melakukan kecurangan dalam menetapkan biaya produksi dan biaya lainnya yang menjadi bagian dari komponen harga barang dan/atau jasa yang dapat mengakibatkan terjasinya praktik monopoli atau persaingan usaha tidak sehat. Penetapan biaya secara curang, yaitu melakukan kecurangan atau memanipulasi dalam menetapkan biaya produksi dan biaya lainnya yang merupakan komponen harga produk sehingga harga lebih rendah daripada harga sebenarnya. Dalam penjelasan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dikemukakan bahwa indikasi biaya yang dimanipulasi terlihat dari harga yang lebih rendah dari harga seharusnya. Kecurangan dalam menetapkan biaya produksi dan biaya lainya ini bukan saja melanggar Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, tetapi juga melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku lainnya, misalnya bisa melanggar undang-undang perpajakan, karena konsekuensi penetapan biaya produksi dan biaya lainnya dalam menentukan harga barang dan/atau jasa yang dilakukan secara curang akan menimbulkan pengaruh terhadap jumlah besar atau kecilnya pajak yang harus dibayar. 

f.        Persekongkolan atau Konspirsi Usaha
Persengkokolan atau juga dapat disebut sebagai konspirasi usaha didefinisikan oleh Pasal 1 ayat (8) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 adalah sebagai bentuk kerjasama yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha lain dengan maksud untuk menguasai pasar bersangkutan bagi kepentingan pelaku usaha yang bersekongkol. Oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Persekongkolan (conspiracy) merupakan salah satu kegiata yang dilarang. Konspirasi usaha ini tidak perlu dilakukan dalam bentuk perjanjian, seperti persekongkolan untuk mencuri rahasia dagang perusahaan pesaingnya yang tidak mungkin dilakukan dalam suatu perjanjian. Persekongkolan dilarang dalam Pasal 22, 23, dan 24 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.  
Larangan terhadap persekongkolan ini termasuk juga persekongkolan antara pelaku usaha dengan pihak lain yang belum tentu merupakan pelaku usaha. Jenis-jenis persekongkolan yang dilarang sebagai berikut:
1)      Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan/ atau menentukan pemenang tender sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat (Pasal 22). Persekongkolan untuk mengatur pemenang tender (tawaran untuk mengajukan harga untuk mendorong suatu pekerjaan, pengadaan barang atau penyedia suatu jasa). Sudah merupakan ketentuan umum bahwa pemenang tender tidak dapat diatur melainkan siapa yang paling memenuhi syarat penawarab dia yang menang. Oleh karena itu, dilarang persekongkolan untuk menentukan atau mengatur pemenang tender.
2)      Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mendapatkan informasi kegiatan usaha pesaingnya yang diklasifikasikan sebagai rahasia perusahaan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat (Pasal 23).
3)      Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk menghambat produksi barang dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa pelaku usaha pesainggya dengan maksud agar barang dan/atau jasa ditawarkan atau dipasok dipasar bersangkutan menjadi berkurang, baik dari jumlah, kualitas, maupun ketepatan waktu yang dipersyaratkan (Pasal 24).

3.       Posisi Dominan (Pasal 25 sampai Pasal 29)
a.       Penguasaan Pasar
Setiap pelaku usaha selalu ingin mengembangkan usahanya semaksimal mungkin atau menjadi yang terbaik dibidangnya. Kondisi itu memaksa setiap pelaku usaha untuk meningkatkan kinerja dan daya saing, tentu melalui inovasi dan efisiensi untuk mengungguli pesaingnya. Sebagai konsekuensi keberhasilan mencapai hal itu, pelaku usaha akan memperoleh posisi dominan dan/atau memiliki market power (kekuatan pasar) dipasar bersangkutan. Dari sudut pandang ekonomi, memiliki kemampuan penguasaan pasar lewat keunggulan inovasi dan efisiensi dapat memberikan efek positif bagi consume. Melalui penguasan pasar, pelaku usaha dapat mewujudkan efisiensi biaya (cost saving) atau menjamin pasokan bahan baku atau produk untuk mencapai skala ekonomi. Penguasaan pasar bersangkutan juga memungkinkan pelaku usaha untuk dapat menekan biaya rata-rata produksi melalui cakupan produksi yang luas. Semuanya bisa berujung pada terciptanya harga yang rendah dan menguntungkan konsumen secara keseluruhan. Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, ketentuan mengenai Penguasaan Pasar di atur dalam Pasal 19, Pasal 20 , dan Pasal 21. Pasal 19 mengatur pelaku usaha dilarang melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik sendiri atau bersama pelaku usaha lain, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau usaha tidak sehat berupa:

  1. Menolak dan/atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan;
  2. Menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk tidak melakukan hubungan usaha dengan pelaku usaha pesaingnya itu;
  3. Membatasi peredaran dan/atau penjualan barang dan/atau jasa pada pasar bersangkutan; atau
  4. Melakukan praktik diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu.
Selanjutnya Pasal 20 mengatur pelaku usaha dilarang melakukan pemasokkan barang dan/atau jasa dengan cara melakukan jual beli atau menetapkan harga yang sangat rendah dengan maksud untuk menyingkirkan atau mematikan usaha pesaingnya di pasar bersangkutan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat. Adapun Pasal 21 mengatur pelaku usaha dilarang melakukan kecurangan dalam menetapkan biaya produksi dan biaya lainnya yang menjadi bagian dari komponen harga barang dan/atau jasa yang dapat mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat.

b.      Pasar Dominan
Pada setiap industri akan selalu ada pelaku usaha yang dominan dan beberapa pelaku usaa yang lebih kecil. Pelaku usaha dominan (dominant firm) adalah pelaku usaha yang mempunyai pangsa (share) besar dalam pasar, yang dapat mempengaruhi harga pasar dengan memperbanyak produksinya. Pelaku usaha ini lebih sering berperan sebagai penentu harga (price setter) dibandingkan sebagai pengikut harga (Price taker), dan oleh karenanya mempunyai kekuatan pasar (market power) yang besar. Sebaliknya pelaku usaha yang kecil mempunyai peranan yang kecil dan akan bertindak sebagai price taker.
Yang dimaksud posisi dominan dalam Pasal 1 ayat (4) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 adalah keadaan dimana pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti dipasar yang bersangkutan dalam kaitan dengan pangsa pasar yang dikuasai atau pelaku usaha mempunyai posisi tertinggi diantara pesaingnya dipasar bersangkutan dalam kaitan dengan kemampuan keuangan kemampuan akses pada pasokan atau permintaan barang atau jasa tertentu.
Posisi dominan dapat ditandai penguasaan pangsa pasar yang besar. Penguasan pangsa pasar ini memeliki korelasi positif terhadap keuntungan yang diperoleh pelaku usaha. Semakin besar pangsa pasar, semakin besar tambahan keuntungan (excess return) yang didapat pelaku usaha. Dengan demikian, pelaku usaha akan berusaha mencapai dan menggunakan posisi dominan dengan berbagai cara yang dalam hal ini melanggar hukum (penyalahgunaan). Dalam persaingan usaha, posisi dominan juga dikenal sebagai suatu keadaan dimana terjadi monopoli yang disebabkan oleh kemampuan absolut, dibanding dengan pelaku usaha lain.

c.       Bentuk Bentuk Posisi Dominan dan Penyalahgunaan Posisi Dominan.
Istilah penyalahgunaan posisi dominan itu sendiri berasal dan dialih bahasakan menjadi abuse of dominant position. Istilah ini merupakan istilah hukum yang digunakan dan diatur substansinya dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Namun tidak ditemukan definisi hukumnya, sehingga dapat disimpulkan bahwa pembentuk undang-undang menyerahkan definisi penyalahgunaan posisi dominan kepada doktrin, kebiasaan (praktik hukum), dan yurisprudensi. Dengan demikian penyalahgunaan posisi dominan berarti proses, cara, perbuatan menyelewengkan kedudukan yang bersifat sangat menentukan karena memiliki kekuasaan atau pengaruh (dalam kegiatan ekonomi). Penyalahgunaan posisi dominan merupakan praktik yang memiliki cakupan luas. Ketika pelaku usaha yang memiliki posisi dominasi ekonomi, dengan melalui kontrak dapat mensyaratkan konsumenya supaya tidak berhubungan dengan pesaingnya, maka ia telah melakukan penyalahgunaan posisi dominan. Demikian juga apabila pelaku usaha yang memegang posisi dominan dengan basis take it or leave it membuat penentuan harga di luar kewajaran. Apabila diteliti konsep pokok penyalahgunaan posisi dominan itu serupa, yaitu adanya pelaku usaha yang memiliki posisi dominan di pasar bersangkutan dan adanya perilaku usaha tertentu (penyalahgunaan) dengan dominasi tersebut. Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, posisi dominan yang dilarang dalam dunia usaha karena dapat menimbulkan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, ini dapat dibedakan dalam empat bentuk, yaitu:
1.       Kegiatan posisi dominan yang bersifat umum (Pasal 25)
2.       Jabatan rangkap atau kepengurusan terafiliasi (Pasal 26)
3.       Pemilikan saham atau terafiliasi (Pasal 27)
4.       Penggabungan, Peleburan dan pengambilalihan perusahaan (Pasal 28-29).

Analisis Terhadap Kebijakan Penetapan Tariff Atas Dan Bawah Oleh Otoritas Jasa Keuangan
Surat Edaran OJK Nomor SE.06/D.05/2013 tentang Penetapan Tarif Premi serta Ketentuan Biaya Akuisisi pada Lini Usaha Asuransi Kendaraan Bermotor dan Harta Benda serta jenis Risiko Khusus meliputi Banjir, Gempa Bumi, Letusan Gunung Berapi, dan Tsunami tahun 2014 memunculkan pro dan kontra, pro dan kontra tersebut muncul dikarenakan perselisihan dan silang pendapat antara 2 (dua) lembaga yang diberikan kewenangan oleh undang-undang kedua lembaga tersebut adalah Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Komisi Pengawas Persaingan Usaha, perbedaan pendapat ini dikarenakan bahwa lembaga Otoritas Jasa keuangan Berpendapat dengan munculnya Surat Edaran ini maka lembaga Otoritas Jasa Keuangan akan semakin mudah di dalam mengontrol tarif premi asuransi di Indonesia selain itu penetapan tarif premi batas bawah dan atas ini bertujuan untuk melindungi konsumen dan juga demi menjaga keberlangsungan perusahaan asuransi dengan munculnya surat edaran ini maka diharapkan lembaga asuransi tidak lagi pusing dalam memikirkan berapa besaran tarif yang akan dikenakan pada konsumen yang tentu hal ini akan menyita waktu. Menyita waktu para stake holder dalam menetapkan besaran tarif ini dikarenakan perusahaan asuransi harus terus menerus setiap waktu untuk selalu mengkaji besaran tarif yang ditetapkan dengan rasio dan perbandingan dari beberapa perusahaan asuransi pesaingnya, oleh karenanya dengan adanya hal ini secara tidak langsung perusahaan asuransi akan melakukan perang tarif dengan pesaingnya.
Perang tarif ini dalam perspektif OJK akan membuat konsumen bingung terhadap perubahan premi dan kekwatiran lain dari OJK adalah apabila Perang tarif ini dibiarkan maka kan menyebabkan perusahaan tidak lagi memikirkan bagaimana pelayanan terbaik pada masyarkat dan tentu dengan perang tarif ini menyebabkan perusahaan perushaan asuransi akan terelminasi dengan para pesaingnya yang lebih besar, hal ini tertuang dalam pertimbangan terhadap Surat Edaran OJK Nomor SE.06/D.05/2013 tentang Penetapan Tarif Premi serta Ketentuan Biaya Akuisisi pada Lini Usaha Asuransi Kendaraan Bermotor dan Harta Benda serta jenis Risiko Khusus meliputi Banjir, Gempa Bumi, Letusan Gunung Berapi, dan Tsunami tahun 2014 Pasal 2.
Dasar hukum yang digunakan OJK terhadap kebijakan penetapan tarif  ambang batas bawah dan atas ini didasarkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang penyelenggaraan Perasuransian sebagaimana telah dirubah beberapa kali dan yang terakhir adalah diatur dengan peraturan pemerintah Nomor 81 Tahun 2008 mengatur bahwa Premi harus ditetapkan pada tingkat yang mencukupi, tidak berlebihan dan tidak diterapkan secara diskriminatif.[25] Inilah dasar dari OJK bahwa terhadap penetapan tariff haruslah ditetapkan oleh OJK karena ini didasarkan pada amanat Peraturan Pemerintah yang harus dilaksanakan oleh OJK sebagai  Lembaga Pengawas dalam Industri perbankan dan non Perbankan sebagai upaya untuk melindungi masyarakat, sehingga kebijakan yang diambil oleh OJK tidak dapat dipersoalkan oleh pihak manapun karena berdasarkan atas peraturan pemerintah oleh karenanya setiap Perusahaan Asuransi harus segera melaksanakanya.
Mengenai pertimbangan dan dasar hukum yang digunakan oleh OJK dalam menetapkan tarif ini mendapatkan respon yang berbeda oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), KPPU menilai tindakan OJK dengan menerbitkan Surat Edaran ini merupakan hal yang keliru dan patut dipertanyakan, dimana persaingan usaha tidak sehat mengamantkan bahwa perlidungan harus dilakukan untuk menjaga agar tercipta persaingan usaha yang sehat buakan melindungi  pelaku usaha tertentu ataupun pesaingnya, dengan pernyataan ini tersirat bahwa tindakan OJK sangatlah bertentangan dengan aturan hukum Undang-Undang  Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yang mengamanatkan  dalam pertimbanganya dalam konsideran menimbang huruf b dan c dimana Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 mengamnatkan tujuan dari lahirnya Undang Undang ini adalah agar terciptanya Demokrasi Ekonomi yang berari memberikan kesempatan yang sama bagi seluruh pelaku usaha dalam hal berkegiaan dalam sektor produksi, pemasaran, dalam iklim persaingan usaha yang sehat sesuai dengan mekanisme Pasar.
Dengan adanya penetapan harga ini, pihak yang dirugikan adalah konsumen dimana konsumen tidak lagi dapat memilih perusahaan mana yang paling menguntungkan bagi konsumen atau konsumen tidak lagi mendapatkan harga yang kompettif sehingga penetapan harga ini dapt menimbulkan monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, yang dimaksud monopoli  ialah Praktik monopoli dalam ketentuan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan usaha tidak sehat adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum.
Yang dimaksud dengan Pemusatan kekuatan Ekonomi dalam Pasal 1 angka 3 adalah penguasaan yang nyata atas suatu pasar bersangkutan oleh satu atau lebih pelaku usaha sehingga dapat menentukan harga barang dan jasa sedangkan rumusan mengenai persaingan usaha tidak sehat tertuang dalam Pasal 1 angka 6 adalah persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.
Dalam prakteknya, tidak semua bentuk kegiatan monopoli dilarang, hanya kegiatan monopoli yang mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat  yang dilarang. Pasar monopoli dapat menimbulkan pemusatan ekonomi pada satu pelaku usaha atau kelompok pelaku  usaha, dimana tidak terjadi persaingan usaha yang sehat dan keadaan ini dapat merugikan kepentingan  konsumen sebagai masyarakat pengguna produk atau jasa tertentu, karena tidak terdapat pesaing usaha lainya.
Kemunculan monopoli dapat terjadi dalam berbagai bentuk  dan cara  yaitu:[26]

  • Monopoli yang terjadi karena memang dikehendaki oleh hukum, monopoly by law, Undang-Undang Dasar 1945 membenarkan adanya monopoli jenis ini, dengan member monopoli bagi Negara untuk menguasai bumui, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya serta cabang-cabnag produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak, hal ini diperbolehkan dikarenakan sifatnya memberi pelayanan untuk masyarakat.
  • Monopoli yang lahir dan tumbuh secara alamiah karena didukung oleh iklim dan lingkungan yang cocok, monopoli by nature, bentuk monopoli ini dapat dilihat dengan tumbuhnya perusahaan-perusahaan yang karena memiliki keunggulan dan kekuatan tertentu dapat menjadi raksasa bisnis yang menguasai seluruh pasngsa pasar yang ada, mereka menjadi besar karena memiliki sifat-sifat yang cocok dengan tempat dimana mereka tumbuh selain itu karena berasal dan didukung dengan bibit yang unggul serta memiliki faktor dominan.
  • Monopoli yang diperoleh melalui lisensi dengan menggunakan mekanisme kekuasaan, monopoli by license, monopoli ini diperoleh dengna menggunakan mekanisme kekuasaan, monopoli jenis ini yang sering menimbulkan distorsi ekonomi karena kehadiranya menggangu kesimbangan pasar yang sedang berjalan dan bergeser kea rah diinginkan oleh pihak yang memiliki monopoli tersebut.
Richard A. Posner dalam bukunya “Anti Trust Law” mengemukakan adanya 3 (tiga) alasan politis mengapa monopoli tidak dikehendaki yaitu:
Pertama, monopoli mengalihkan kekayaan dari para konsumen kepada pemegang saham perusahaan-perusahaan yang monopolistic, yaitu suatu distribusi kekayaan berlangsung dari golongan kurang mampu kepada yang kaya,
Kedua, monopoi atau secara lebih luas setiap kondisi yang memperkuat kerja sama diantara perusahaan-perusahaan yang bersaing, akan mempermudah dunia industry untuk melakukan manipulasi politik guna dapat memperoleh proteksi dari pemerintah berupa dikeluarkanya peraturan perundang undangan,
Ketiga, keberatan terhadap tindakan monopoli bahwa anti monopoli bertujuan untuk meningkatkatkan economic efisiency dengan cara membatasi monopoli adalah suatu kebijakan yang bertujuan untuk membatasi kebebasan bertindak dari perusahaan-perusahaan besar demi tumbuh dan berkembangnya perusahaan-perusahaan besar.[27]

Penerapan Kebijakan Penetapan Tarif Atas Dan Tarif Bawah Premi Asuransi
Kedalaman suatu penilaian persaingan usaha harus proporsional dengan potensi pengaruh-pengaruh kompetitif yang negatif dari sebuah kebijakan. Daftar Periksa Persaingan Usaha memungkinkan pemeriksaan yang cepat atas kebijakan-kebijakan sehingga kebijakan-kebijakan dengan potensi untuk mempengaruhi persaingan usaha secara tidak wajar dapat dengan cepat diidentifikasi untuk melakukan penilaian selanjutnya. Pemerintah-pemerintah tertentu telah melakukan pendekatan terhadap penilaian persaingan usaha dengan meninjau kebijakan-kebijakan yang baru dan yang ada. Hal ini merupakan cara yang paling efektif untuk meningkatkan secara luas iklim persaingan usaha, namun membutuhkan kemauan politik yang kuat. Pemerintah-pemerintah yang lain telah melaksanakan bentuk penilaian persaingan usaha yang secara eksklusif ditujukan kepada kebijakan-kebijakan baru nasional, daerah, lokal. Terdapat alasan ekonomi yang kuat untuk melakukan penilaian persaingan usaha ditingkat nasional, daerah, dan lokal. Penilaian persaingan usaha adalah sesuai dengan semua kebijakan pemerintah yang dapat secara tidak wajar membatasi persaingan usaha. Kebijakan-kebijakan yang menciptakan pembatasan tersebut sering kali diterapkan pada tingkat nasional, namun kebijakan tersebut dapat juga berasal dari tingkat daerah atau lokal.
Penilaian persaingan usaha dapat secara positif memberikan kontribusi pada rancangan kebijakan baru dan secara ideal harus dilakukan pada awal proses pengembangan kebijakan, sebelum suatu penetapan dibuat tentang cara menghadapi tantangan kebijakan tertentu. Apabila suatu kebijakan yang diusulkan berpotensi untuk membatasi persaingan usaha, maka adalah sangat penting untuk berkonsultasi dengan para ahli persaingan usaha pemerintah pada awal proses pengembangan kebijakan untuk memastikan apakah dapat dikembangkan alternatif-alternatif yang akan mencapai tujuan-tujuan peraturan dengan kerugian yang lebih sedikit bagi persaingan usaha. Terhadap sebagian besar kebijakan yang ada tidak pernah diadakan penilaian persaingan usaha. Yang terpenting dalam hal ini adalah menentukan prioritas kebijakan yang harus ditinjau terlebih dahulu, karena hampir tidak dapat dielakkan bahwa sejumlah kebijakan yang ada dapat diperkirakan merugikan mempengaruhi persaingan usaha dengan tidak semestinya ketimbang kebijakan-kebijakan yang lainnya.[28]
Penggabungan penilaian persaingan usaha ke dalam pembuatan keputusan peraturan pemerintah berpotensi untuk membawa manfaat-manfaat ekonomi besar dengan mengidentifikasi bidang-bidang di mana kegiatan pasar dibatasi secara tidak wajar dan menunjukkan alternatif-alternatif kebijakan yang akan terus memenuhi tujuan-tujuan kebijakan sementara mendukung persaingan usaha sedapat mungkin. Dengan mengingat bahwa lingkungan kelembagaan, hukum, dan federal dalam yurisdiksi-yurisdiksi OECD sangat berbeda, penempatan penilaian persaingan usaha dalam kegiatan operasional pemerintah dengan cara yang paling sesuai kemungkinan besar akan berbeda dari satu yurisdiksi dengan yurisdiksi yang lainnya. Namun terdapat beberapa hal yang patut diperhatikan. Pertama, para pengawas peraturan adalah sesuai untuk melaksanakan penilaian-penilaian persaingan usaha, khususnya apabila penilaian-penilaian tersebut dilakukan sebagai bagian dari Analisis Dampak Peraturan (Regulatory Impact Analysis - RIA). Kedua, otoritas-otoritas persaingan usaha adalah ideal untuk memberikan nasehat tentang penilaian persaingan usaha, memberikan pelatihan tentang proses tersebut, dan melaksanakan penilaian-penilaian persaingan usaha secara selektif. Dan yang terakhir, manfaat-manfaat yang diperoleh dari penempatan program penilaian persaingan usaha yang efektif ke dalam operasi-operasi peraturan pemerintah adalah sepadan dengan biaya-biaya yang dikeluarkan.[29]
Terkadang penilaian terhadap suatu usulan tertentu dengan menggunakan Daftar Periksa Persaingan Usaha menunjukkan bahwa perlu dilakukan penilaian persaingan usaha yang lebih komprehensif. Umumnya, adalah paling tepat untuk melakukan penilaian dalam proses pelaksanaan analisis dampak peraturan (Regulatory Impact Analysis - RIA) terhadap ketentuan tertentu.[30] Dengan demikian, secara jelas terdapat keterkaitan yang sangat erat antara penilaian persaingan usaha dan RIA. Sesungguhnya, prinsip-Prinsip Petunjuk OECD untuk Kualitas dan Kinerja Peraturan menyatakan bahwa pertimbangan dampak terhadap persaingan usaha harus digabungkan ke dalam proses peninjauan peraturan-peraturan yang baru dan yang ada.[31]
Analisis-analisis manfaat atau biaya yang dilakukan dalam RIA pada umumnya membandingkan perkiraan hasil berdasarkan lingkungan ekonomi dan peraturan yang ada, dan mungkin tidak memperhitungkan adanya perubahan-perubahan dalam parameter utama yang mempengaruhi lingkungan-lingkungan tersebut. Sebagai perbandingan, fokus analisis kebijakan persaingan usaha sering kali lebih berorientasi kepada masa depan. Analisis kebijakan persaingan usaha mempertimbangkan dampak dari perubahan-perubahan tertentu terhadap keadaan pasar pada intensitas persaingan usaha dan, oleh karena itu, pada kemungkinan keluaran bagi efisiensi ekonomi dan kesejahteraan konsumen. Jumlah pesaing yang banyak tidak cukup untuk menjamin perkembangan pasar yang sangat kompetitif. Selain itu, harus terdapat pula insentif yang kuat bagi persaingan usaha antara para pemasok barang dan jasa. Peraturan, dalam bentuk undang-undang persaingan usaha umum, memainkan peran penting dengan melarang berbagai perilaku anti persaingan usaha (contohnya penetapan harga, pembagian pasar). Namun demikian, peraturan dapat juga mengurangi secara substansial kemampuan para pemasok dalam bersaing. Tidak pelak lagi, pembatasan-pembatasan tersebut dapat berbentuk pengendalian harga. Sebagai kemungkinan yang lain, peraturan dapat membatasi cara penjualan atau pemasangan iklan produk atau menetapkan standar-standar produk yang sulit dipenuhi oleh pemasok-pemasok tertentu. Berbagai jenis peraturan lain yang membatasi kemampuan untuk bersaing juga telah diteliti, termasuk pembatasan pada laba, atau pangsa pasar, kuota produksi, dan sebagainya.[32]
Peraturan-peraturan harga maksimum sering kali diterapkan sebagai konsekuensi pembatasan untuk memasuki pasar yang diperlukan. Peraturan harga maksimum sering kali diterapkan dengan harapan melindungi para konsumen dari kenaikan harga tersebut. Sebaliknya, peraturan tentang harga minimum terkadang diterapkan sebagai tanggapan atas persaingan harga yang sangat aktif dan kuat serta kekhawatiran bahwa telah terjadi “penetapan harga yang mematikan”.[33] Dalam keadaan yang demikian, peraturan tentang harga minimum pada umumnya dipandang sebagai cara untuk melindungi para produsen kecil, atau para produsen lokal, dan/atau para produsen yang kurang efisien terhadap persaingan usaha yang “tidak sehat”.[34]
Sifat dan cakupan dari dampak anti persaingan usaha. Pengendalian terhadap harga jual barang menghambat secara langsung pelaksanaan kekuatan dan disiplin pasar yang wajar. Apabila harga-harga minimum ditetapkan, para pemasok dengan biaya terendah tidak dapat memperoleh pangsa pasar dengan menawarkan nilai yang lebih baik kepada para konsumen. Serupa dengan hal tersebut, apabila terdapat harga maksimum, insentif-insentif untuk melakukan inovasi dengan menawarkan produk baru dan/atau berkualitas tinggi menjadi jauh berkurang. Bagaimana pun juga, kemampuan dinamis pasar untuk menanggapi preferensi pelanggan dibatasi secara substansial. Kekurangan yang lain dari undang-undang tentang harga minimum adalah dampak mengurangi efisiensi ekonomi secara keseluruhan dengan mendorong para produsen yang tidak efisien untuk tetap bertahan di pasar, sehingga dengan demikian mencegah pemindahan sumber daya ke penggunaan alternatif yang lebih produktif.[35]
Terdapat sejumlah besar penyedia asuransi dengan rencana yang beranekaragam. Masing-masing rencana menyediakan informasi dan pilihan tentang penjaminan terhadap orang yang membeli asuransi tersebut dalam hal kerusakan pada mobil dan bangunan, dan pembayaran pengobatan. Terdapat juga ukuran mutu yang penting bagi asuransi mobil. Sebagai contoh, apabila orang yang diasuransikan mengalami kecelakaan, pembeli asuransi akan memperhatikan seberapa mudah dan seberapa cepat pembayaran asuransi dilakukan, dan pilihan-pilihan yang mungkin dimiliki oleh orang yang diasuransikan dalam hal tempat meningkatkan mobil atau mencari pengobatan. Ukuran mutu ini relatif tidak transparan kecuali orang yang diasuransikan memiliki pengalaman tangan pertama dengan perusahaan tersebut atau memiliki informasi luar dari konsumen lain dan, contohnya organisasi perlindungan konsumen. Di pasar ini, kita dapat memperoleh hasil di mana sebuah penyedia asuransi mobil dapat menawarkan tarif yang lebih rendah (tinggi) untuk paket asuransi yang sama tetapi ukuran mutu yang dikemukakan di atas jauh lebih buruk (baik), berakibat pada besarnya variasi dalam hal biaya nyata dari pembelian asuransi. Akibatnya, mempersyaratkan perusahaan asuransi untuk menyingkapkan tingkat penolakan rata-rata dari tuntutan, panjangnya waktu perbaikan dan panjang rata-rata waktu untuk menyelesaikan tuntutan dapat membantu konsumen mengambil keputusan yang lebih baik pada saat sedang memilih. Pertimbangan serupa akan relevan bagi pembeliah asuransi kepemilikan rumah dan asuransi jiwa. Yang lebih menantang lagi dari asuransi jiwa adalah bahwa pembayaran dilakukan di muka untuk sebuah produk yang mutu sebenarnya baru dapat dibuktikan jauh di kemudian hari.[36]

PENUTUP
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 melarang perbuatan penetapan harga, hal tersebut tidak dapat ditolerir karena hal tersebut dapat berdampak langsung kepada kepentingan konsumen atau kepentingan umum sehingga masyarakat tidak dapat menikmati harga yang kompetitif dari para pelaku usaha. Kebijakan mengenai penetapan harga berupa Surat Edaran yang diterbitkan dengan alasan untuk menghindari perang harga dan agar mencegah tidak keluarnya pelaku usaha dari persaingan industri Asuransi. Padahal dalam industri asuransi, seseorang dapat memperoleh hasil di mana sebuah penyedia asuransi mobil dapat menawarkan tarif yang lebih rendah (tinggi) untuk paket asuransi yang sama tetapi ukuran mutu yang dikemukakan di atas jauh lebih buruk (baik), berakibat pada besarnya variasi dalam hal biaya nyata dari pembelian asuransi, sehingga sangat wajar apabila penyedia asuransi yang memiliki ukuran mutu yang lebih baik untuk memberikan harga yang lebih tinggi. Surat Edaran OJK Nomor SE.06/D.05/2013 tentang Penetapan Tarif Premi serta Ketentuan Biaya Akuisisi pada Lini Usaha Asuransi Kendaraan Bermotor dan Harta Benda serta jenis Risiko Khusus meliputi Banjir, Gempa Bumi, Letusan Gunung Berapi, dan Tsunami tahun 2014, dikhawatirkan tidak berjalan harmonis dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha tidak Sehat, hal tersebut didasari dengan alasan-alasan sebagai berikut :
1.      OJK tidak mendukung akan tujuan dari munculnya Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999, dimana dapat dilihat dalam Pasal 3vyang menyatakan tujuannya ialah :
-          kesatu, menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
-          kedua,  mewujudkan iklim usaha kondusif, mencegah praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha.
-          ketiga, terciptanya efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha, tindakan OJK menetapkan harga ini tentu sangat bertentangan dengan tujuan undang-undang ini dimana undang-undang ini memiliki semangat untuk mencegah monopoli dan persaingan usaha tidak sehat yang dilakukan oleh pelaku usaha dan demi terciptanya persaingan usaha yang sehat, namun OJK malah melakukan hal sebaliknya dengan munculnya Surat Edaran ini maka para pelaku usaha melakukan tindakan kartel dan penetapan harga menjadi legal bahkan yang lebih parah adalah berdalih dengan alasan terjadi perang tarif dan demi tidak tercerabutnya pelaku usaha asuransi.
2.      OJK tidak mendukung ketentuan Pasal 5 ayat (1) yang berbunyi “Pelaku Usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usha pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar konsumen atau pelangan pada pasar bersangkutan yang sama”. Surat Edaran OJK tidak mendorong terciptanya iklim Persaingan usaha yang sehat dan kompetitif karena dapat menimbulkan preseden buruk dalam menciptakan iklim persaingan usaha yang sehat dan sebagai upaya untuk mensejahterakan rakyat.
3.      Adanya Surat Edaran OJK, dapat mendorong terjadinya kartel nasional sebagaimana tertuang dalam Pasal 11 yang berbunyi “Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku ushaa pesaingnya yang bermaksud mempengaruhi harga dengan mengatur Produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat”.
Sebaiknya dalam setiap pengaturan yang akan dibuat oleh OJK dapat melibatkan KPPU, tujuannya adalah untuk menghindari hal-hal buruk yang hanya merugikan kepentingan masyarakat.




[1] Henry Campbell Black, Black's Law Dictionary, West Group, 7th Edition, 1999, hlm 270.
[2] Emmet J. Vaughan dan Therese Vaughan, Fundamentals of Risk and Insurance, John Wiley & Sons, Inc, 9th Edition, 2003, hlm 3.
[3] Scott E. Harrington, Gregory R. Niehaus, Risk Management and insurance, McGrawHill, 2nd Edition, 2003, hlm 1.
[4] H. Man Suparman Sastrawidjaja, Aspek-Aspek Hukum Asuransi dan Surat Berharga, Bandung: Alumni, 2012, hlm 64-65.
[5] H. Man Suparman Sastrawidjaja, ibid, hlm 66.
[6] H. Man Suparman Sastrawidjaja, ibid, hlm 69-70.
[7] H. Man Suparman Sastrawidjaja, ibid, hlm 75.
[8] Rachmadi Usman, Hukum Persaingan Usaha, Jakarta:  Sinar Grafika, 2013, hlm 1
[9] Rachmadi Usman, ibid, hlm 2-3.
[10] Sutan Remy Sjahdeni, Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999, hlm 8.
[11] Hermasyah, Pokok-Pokok Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media, 2008, hlm 1.
[12] Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
[13] Pasal 1 Angka 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
[14] Pasal 1 Angka 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
[15] Ahmad Yani dan Gunawan Widjaya, Anti Monopoli, Jakarta: Raja Grafido Persada, 1999, hlm 5-6.
[16] Sutan Remy Sjahdeni, Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999, hlm 14-15.
[17] Mustafa Kmal Rokan, Hukum Persaingan Usaha; Teori dan Praktiknya di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo, 2012, hlm 71.
[18] Susanti Adi Nugroho, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia; Dalam Teori dan Praktik Serta Penerapan Hukumnya, Jakarta: Kencana Prenada Media, 2012, hlm 696.
[19] Ibid, hlm 693.
[20] Ibid, hlm 703.
[21] Ibid, hlm 711.
[22] Ibid, hlm 694.
[23] Jhony Ibrahim, Hukum Persaingan Usaha; Filosofi, Teori, dan Implikasi Penerapanya di Indonesia, Malang: Banyumedia Publishing, 2006, hlm 219.
[24] Ibid, hlm 117-118.
[25] http://www.ojk.go.id/surat-edaran-nomor-se-06-d-05-2013 diakses pada tanggal 1 Maret 2015.
[26] Ahmad Yani dan Gunawan Widjaya, anti monopoli, Jakarta: Raja Grafido Persada, 1999, hlm 5-6.
[27] Sutan Remy Sjahdeni, Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999, hlm 14-15.
[28] OECD Toolkit Penilaian Persaingan Usaha: Prinsip-Prinsip, hlm 34-36.
[29] OECD Toolkit Penilaian Persaingan Usaha: Prinsip-Prinsip, hlm 42.
[30] OECD Toolkit Penilaian Persaingan Usaha: Prinsip-Prinsip, hlm 43.
[31] OECD Toolkit Penilaian Persaingan Usaha: Prinsip-Prinsip, hlm 44.
[32] OECD Toolkit Penilaian Persaingan Usaha: Prinsip-Prinsip, hlm 56-57.
[33] Penetapan harga yang mematikan terjadi apabila seorang pemasok menetapkan harga untuk sementara waktu yang berada jauh di bawah biaya dengan harapan bahwa para pemasok lain akan keluar atau mengubah perilakunya. Pemasok tersebut kemudian akan menutup kerugiannya dengan menaikkan harga pada tingkat harga sebelumnya atau bahkan lebih tinggi.
[34] OECD Toolkit Penilaian Persaingan Usaha: Prinsip-Prinsip, hlm 57.
[35] OECD Toolkit Penilaian Persaingan Usaha: Prinsip-Prinsip, hlm 57-58.
[36] OECD Toolkit Penilaian Persaingan Usaha: Pedoman, hlm 75.

Comments