Bagaimana Kedudukan Kreditor Preferen dan Separatis Dalam Kepailitan

PENDAHULUAN
Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas,[1] sita umum tersebut bersifat konvensatoir terhadap seluruh harta kekayaan debitur, yang mana kekayaan debitur tersebut akan digunakan untuk kepentingan para krediturnya. Tujuan pailit adalah untuk mendapat pembayaran bagi semua Kreditur secara adil dan tertib, agar semua kreditur mendapat pembayaran menurut imbangan besar kecilnya piutang masing-masing dengan tidak berebutan.[2]
Pembagian hasil penjualan harta pailit, dilakukan berdasarkan urutan prioritas di mana kreditor yang kedudukannnya lebih tinggi mendapatkan pembagian lebih dahulu dari kreditor lain yang kedudukannya lebih rendah, dan antara kreditur yang memiliki tingkatan yang sama memperoleh pembayaran dengan asas prorata (pari passu prorata parte). Berkaitan dengan Kreditor, dasar hukum perbedaan kedudukan kreditor dalam kepailitan diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), yaitu sebagai berikut:[3]
  • Menurut Pasal 1131 KUHPerdata “Segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada, maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan”.
  • Menurut Pasal 1132 KUHPerdata “Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang mengutangkan padanya, pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut keseimbanganya itu menurut besar kecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila di antara para berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan”.
  • Menurut Pasal 1134 KUHPerdata “Hak istimewa ialah suatu hak yang oleh undang-undang diberikan kepada seorang berpiutang sehingga tingkatnya lebih tinggi daripada orang yang berpiutang lainnya, semata-mata berdasarkan sifat piutangnya. Gadai dan hipotik adalah lebih tinggi daripada hak istimewa, kecuali dalam hal-hal di mana olehUndang-Undang ditentukan sebaliknya”.
  • Menurut Pasal 1135 KUHPerdataDi antara orang-orang berpiutang yang diistimewakan, tingkatannnya diatur menurut berbagai-bagai sifat hak-hak istimewanya”.
Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut, Kreditor dapat digolongkan menjadi tiga yaitu:
  1. Kreditor Separatis, yaitu kreditor pemegang jaminan kebendaan berdasarkan Pasal 1134 KUHPerdata, yaitu Gadai dan Hipotik. Saat ini jaminan-jaminan kebendaan yang diatur di Indonesia adalah Gadai (Pasal 1150 sampai dengan Pasal 1160 KUHPerdata), Fidusia (Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia), Hak Tanggungan (Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan Dengan Tanah), Hipotik Kapal (Pasal 1162 sampai dengan Pasal 1232 KUHPerdata), Resi Gudang (Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2006 tentang Sistem Resi Gudang sebagaimana telah diubah dengan  Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2011).
  2. Kreditor Preferen, yaitu kreditor yang mempunyai hak mendahului karena sifat piutangnya oleh undang-undang diberi kedudukan istimewa. Kreditor Preferen terdiri dari Kreditor preferen khusus, sebagaimana diatur dalam Pasal 1139 KUHPerdata, dan Kreditor Preferen Umum, sebagaimana diatur dalam Pasal 1149 KUHPerdata.
  3. Kreditor Konkuren, yaitu kreditor yang tidak termasuk dalam Kreditor Separatis dan Kreditor Preferen (Pasal 1131 jo. Pasal 1132 KUHPerdata).
Perbedaan kreditor separatis dengan kreditor konkuren adalah kreditor separatis memiliki hak untuk melakukan eksekusi objek jaminannya seolah-olah tanpa terjadinya kepailitan (Pasal 55  Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang) dan mendapatkan pembayaran piutang terlebih dahulu daripada kreditor konkuren.
Debitur yang telah dinyatakan pailit akan kehilangan hak penguasaan terhadap harta benda yang dimilikinya. Dalam hal penyelesaian terhadap boedel [4] pailit, akan diserahkan pada kurator yang dalam menjalankan tugasnya diawasi oleh Hakim Pengawas yang ditunjuk oleh hakim Pengadilan Niaga.[5] Putusan pailit yang diputus pada Pengadilan Niaga, apabila telah berkekuatan hukum tetap (incraht), maka akan dilanjutkan dengan proses eksekusi terhadap boedel pailit, termasuk di dalamnya adalah benda jaminan.
Hak Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan Pemberi Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Penerima Fidusia terhadap kreditor lainnya.[6] Hak Jaminan atas Resi Gudang adalah hak jaminan yang dibebankan pada Resi Gudang untuk pelunasan utang, yang memberikan kedudukan untuk diutamakan bagi penerima hak jaminan terhadap kreditor yang lain.[7] Gadai adalah suatu hak yang diperoleh kreditur atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh kreditur, atau oleh kuasanya, sebagai jaminan atas utangnya, dan yang memberi wewenang kepada kreditur untuk mengambil pelunasan piutangnya dan barang itu dengan mendahalui kreditur-kreditur lain; dengan pengecualian biaya penjualan sebagai pelaksanaan putusan atas tuntutan mengenai pemilikan atau penguasaan, dan biaya penyelamatan barang itu, yang dikeluarkan setelah barang itu sebagai gadai dan yang harus didahulukan.[8] Hipotek adalah suatu hak kebendaan atas barang tak bergerak yang dijadikan jaminan dalam pelunasan suatu perikatan.[9] Hak tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lainnya.
Hak kebendaan yang bersifat memberi jaminan ini senantiasa tertuju pada benda orang lain, baik benda bergerak atau tidak bergerak.[10] Sehingga Jaminan kebendaan mempunyai posisi paling penting dan strategis dalam penyaluran kredit. Kreditor pemegang hak jaminan merupakan kreditor separatis yang mempunyai preferensi terhadap jaminan yang dipegangnya.
Sejak hukum dituliskan, maka pembacaan mengenai teks hukum menjadi masalah penting. Sejak pembacaan teks menjadi penting maka penafsiran terhadap teks hukum (Undang-Undang) tak dapat dihindarkan. Bahkan penafsiran menjadi jantung hukum.[11]
Pemegang hak jaminan memiliki hak-hak khusus termasuk di dalamnya dalam hal kepailitan, dapat dilihat dalam Pasal 27 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, Pasal 21 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan Dengan Tanah. Contohnya adalah, apabila pemberi Hak Tanggungan dinyatakan pailit, pemegang Hak Tanggungan tetap berwenang melakukan segala hak yang diperolehnya menurut ketentuan Undang-Undang ini (Undang-Undang Hak Tangggungan). Aspek yang sama juga diatur dalam Pasal 56 dan Pasal 59 Undang-Undang Kepailitan.
Namun hal tersebut akan menjadi masalah saat terjadi ketidakselarasan penafsiran dan pelaksanaan dengan peraturan perundang-undangan yang lain. Jika diamati, Isi dari ketentuan pada pasal 56 dan pasal 59 Undang-Undang Kepailitan dengan Pasal 27 Undang-Undang Jaminan Fidusia dan Pasal 21  Hak Tanggungan saling tumpang tindih sehingga menimbulkan rasa tidak aman bagi Kreditor separatis pemegang hak jaminan dan mempertanyakan mekanisme mana yang menjamin kewenangannya dalam penerapan hukum dalam asas kepastian hukum apabila debitor pailit dan dipailitkan. Harmonisasi hukum sudah seharusnya dilakukan.

PEMBAHASAN
Pailit merupakan suatu keadaan dimana debitor tidak mampu untuk melakukan pembayaran-pembayaran terhadap utang-utang dari para kreditornya. Sedangkan pernyataan pailit atas debitor tersebut harus dimintakan pada pengadilan yang disebut kepailitan. Kepailitan mempunyai tujuan:

  1. Untuk menjamin pembagian yang sama terhadap harta kekayaan debitor diantara para kreditornya. Tujuan dari kepailitan ini merupakan perwujudan dari asas jaminan sebagaimana ditentukan dalam ketentuan Pasal 1131 dan 1132 KUH Perdata. Menjamin agar pembagian harta debitor kepada para kreditornya sesuai dengan asas pari passu prorata parte,[12] dibagi secara proporsional. Dengan demikian kepailitan dengan tegas memberikan perlindungan pada kreditor konkuren.
  2. Mencegah agar debitor tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat merugikan kepentingan para kreditor. Dengan dinyatakan pailit, debitor tidak lagi memiliki kewenangan untuk mengurus, memindahtangankan harta kekayaannya yang telah berubah status hukumnya menjadi harta pailit.[13]
Oleh karenanya, guna memperbesar peluang terjadinya perdamaian dan untuk menghindari adanya kreditor separatis yang menuntut haknya dengan cara menjual barang milik debitor tanpa memperhatikan kepentingan debitor atau para kreditor lainnya,[14] maka hak eksekutorial kreditor separatis terhadap jaminan kebendaan yang dimilikinya baru dapat dilaksanakan setelah perdamaian tidak dimungkinkan lagi.
Peraturan yang telah ada sebelumnya memberikan perlindungan hukum sebagaimana amanat Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28D ayat (1), yang menyatakan bahwa “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”.
Adanya Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan, mengatur mengenai penangguhan eksekusi terhadap benda jaminan, terdapat aturan yang membedakan kedudukan antara kreditur separatis, preferen dan konkuren. Pihak-pihak yang terkena kewajiban penangguhan eksekusi seperti yang ditentukan dalam Pasal 55 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan antara lain Pemegang hak tanggungan, hak gadai, hak hipotik, dan fidusia,[15] pemegang hak jaminan tersebut merupakan Kreditur Separatis. Penangguhan eksekusi ini dilakukan dalam jangka waktu 90 (sembilan puluh) hari sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan.[16] Berdasarkan ketentuan Pasal 56 ayat (1) tersebut, hak kreditur separatis dalam melakukan eksekusi terhadap benda jaminan dibatasi dengan adanya penangguhan eksekusi sebagaimana yang diatur dalam undang-undang. Ketentuan tersebut secara tidak langsung menimbulkan pemikiran bahwa kreditur separatis diberikan kedudukan dan kewenangan yang sama dengan kreditur-kreditur lainnya yang tidak memegang benda jaminan. Sedangkan Pasal 55 ayat (1) menyebutkan bahwa kreditur pemegang hak tanggungan dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan. Dapat Pasal 55 dan Pasal 56 Undang-Undang Kepailitan tersebut dapat dilihat ketidakharmonisan antara pasal satu dan pasal lainnya, dan hal tersebut tentu dapat berdampak terhadap timbulnya ketidakharmonisan dengan undang-undang yang lain.
Pasal 55 Undang-Undang Kepailitan telah sinkron dengan Pasal 27 Undang-Undang Jaminan Fidusia dan Pasal 21 Hak Tanggungan, namun Pasal 56 Undang-Undang Kepailitan menjadi Pasal yang menghambat sinkronasi tersebut. Hal tersebut menimbulkan kerancuan terkait dengan pelaksanaan penangguhan eksekusi terutama terhadap benda jaminan yang berada di bawah penguasaan kreditur. Di satu sisi, Undang-Undang Kepailitan memberikan pengaturan mengenai penangguhan eksekusi dimaksudkan untuk menghindari adanya kemungkinan-kemungkinan debitur dirugikan akibat benda jaminan yang terlalu cepat dieksekusi sehingga tidak tercapainya jumlah maksimal yang diharapkan. Filosofi ketentuan ini adalah bahwa dalam praktek sering kali para pemegang hak jaminan akan menjual benda jaminannya dengan harga jual cepat, dimana harga jual cepat adalah harga yang di bawah harga pasar.[17] Prinsip tersebut dinamakan dengan prinsip pari passu pro rata parte. Sedangkan di sisi lain, hukum jaminan memegang prinsip-prinsip dimana terdapat kreditur yang dapat diutamakan haknya daripada yang lain. Realisasi peraturan mengenai hak jaminan berfungsi memberikan kepastian hukum bagi para
Dalam hal tersebut, dirasakan ketidak adilan terhadap seorang kreditor yang memegang jaminan kebendaan, karena diperlakukan sama dengan seorang kreditor yang tidak memegang jaminan kebendaan, padahal maksud adanya lembaga jaminan untuk memberikan perlindungan hukum terhadap pemegang jaminan tersebut. Namun jika pada akhirnya disamakan kedudukan hukumnya antara kreditor pemegang jaminan kebendaan dan unsecured creditor, maka adanya lembaga hukum jaminan menjadi tidak bermakna lagi. Demikian pula dengan kreditor yang oleh undang-undang diberikan keistimewaan dalam pelunasan piutangnya. Jika kedudukannya disamakan dengan kreditor yang tidak diberikan preferensi oleh undang-undang, maka undang-undang tidak perlu melakukan pengaturan tersebut.[18]
Dalam pelaksanaan kepailitan, masing-masing pihak akan tetap teguh pada undang-undang yang menjadi dasar hukum atas pelaksanaannya. Sehingga kewenangan mengeksekusi oleh Kreditor pemegang hak jaminan tetap sebagai kreditor separatis, pelaksanaan pembayaran (pelunasan) piutang kreditor pemegang hak jaminan tetap dipisah dari harta pailit sesuai dengan jangka waktu yang diberikan oleh Pasal 56 dan Pasal 59 Undang-Undang Kepailitan.
Apabila memahami Pasal 55 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan, kreditor separatis tidak perlu khawatir apabila debitornya dinyatakan pailit oleh suatu putusan Pengadilan, karena ia dapat melaksanakan hak eksekutorialnya sendiri seolah-olah tidak terjadi kepailitan. Frasa seolah-olah tidak terjadi kepailitan, tidak berarti bahwa benda yang diikat dengan jaminan kebendaan tertentu menjadi kebal dari kepailitan. Benda tersebut tetap merupakan bagian dari harta pailit, namun kewenangan eksekusinya diberikan kepada kreditor pemegang jaminan kebendaan tersebut. Inilah dasar hubungan hukum antara hukum kepailitan dan hukum jaminan.
Selain itu, dalam praktek kepailitan yang terjadi di Indonesia, jarang sekali ditemui kreditor separatis yang melaksanakan sendiri hak eksekutorial terhadap jaminan kebendaan yang dimilikinya. Walaupun Undang-Undang Kepailitan memberikan peluang untuk itu, namun kenyataannya tidak mudah diterapkan. Salah satu kendalanya adalah karena jangka waktu pelaksanaan hak eksekutorial tersebut sampai saat ini masih menjadi perdebatan.[19] Jangka waktu yang dimaksud dapat diakhiri lebih cepat, dalam hal: 1) terdapat penetapan hakim pengawas yang menetapkan mengangkat penangguhan tersebut,[20] 2) berakhir demi hukum dalam hal kepailitan diakhiri lebih cepat atau pada saat dimulainya keadaan insolvensi.[21] Secara a contrario, kehadiran lembaga stay sebagaimana dimaksud Pasal 56 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan adalah untuk menunda kewenangan kreditor separatis melaksanakan hak eksekutorialnya sejak putusan pernyataan pailit hingga jangka waktu 90 hari. Oleh karena itu, jika Pasal 56 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan tidak hadir, maka logikanya kreditor separatis dapat melakukan eksekusi sendiri sejak putusan pernyataan pailit diucapkan, karena tidak ada penundaan. Tetapi karena ditunda, maka hak eksekutorialnya baru dapat dilaksanakan setelah penundaan berakhir, yaitu pada hari ke-91 sejak putusan pernyataan pailit. Di sinilah, jangka waktu 90 hari menemukan konteksnya. Dengan demikian, dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa berdasarkan Pasal 56 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan dihubungkan dengan Pasal 59 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan, diketahui bahwa jangka waktu kreditor separatis untuk melaksanakan hak eksekutorialnya sendiri adalah dimulai pada hari ke-91 sejak putusan pernyataan pailit diucapkan, atau lebih cepat sepanjang ada penetapan hakim pengawas yang mengangkat penangguhan tersebut berdasar pasal 58 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan, dan berakhir 2 bulan sesudah insolvensi.

PENUTUP
Ketentuan dalam penangguhan eksekusi terhadap hak jaminan oleh Kreditur separatis atas dikeluarkannya putusan pailit tunduk dan patuh terhadap Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Namun Kreditor separatis tidak perlu khawatir apabila Debitornya dinyatakan pailit oleh suatu putusan Pengadilan, karena ia dapat melaksanakan hak eksekutorialnya sendiri seolah-olah tidak terjadi kepailitan. Frasa seolah-olah tidak terjadi kepailitan, tidak berarti bahwa benda yang diikat dengan jaminan kebendaan tertentu menjadi kebal dari kepailitan. Benda tersebut tetap merupakan bagian dari harta pailit, namun kewenangan eksekusinya diberikan kepada kreditor pemegang jaminan kebendaan tersebut. Inilah dasar hubungan hukum antara hukum kepailitan dan hukum jaminan.
Secara a contrario, kehadiran lembaga stay sebagaimana dimaksud Pasal 56 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan adalah untuk menunda kewenangan kreditor separatis melaksanakan hak eksekutorialnya sejak putusan pernyataan pailit hingga jangka waktu 90 hari. Oleh karena itu, jika Pasal 56 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan tidak hadir, maka logikanya kreditor separatis dapat melakukan eksekusi sendiri sejak putusan pernyataan pailit diucapkan, karena tidak ada penundaan. Tetapi karena ditunda, maka hak eksekutorialnya baru dapat dilaksanakan setelah penundaan berakhir, yaitu pada hari ke-91 sejak putusan pernyataan pailit. Di sinilah, jangka waktu 90 hari menemukan konteksnya. Dengan demikian, dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa berdasarkan Pasal 56 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan dihubungkan dengan Pasal 59 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan, diketahui bahwa jangka waktu kreditor separatis untuk melaksanakan hak eksekutorialnya sendiri adalah dimulai pada hari ke-91 sejak putusan pernyataan pailit diucapkan, atau lebih cepat sepanjang ada penetapan hakim pengawas yang mengangkat penangguhan tersebut berdasar pasal 58 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan, dan berakhir 2 bulan sesudah insolvensi. Namun perlu untuk melakukan penyempurnaan terhadap norma hukum tentang Hak Jaminan juga Undang-Undang Kepailitan, sehingga norma hukum yang umum dan norma hukum yang khusus dapat berjalan selaras, untuk menghindari disharmonisasi norma yang berkepanjangan.


Daftar Pustaka


[1] Bunyi Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
[2] Abdul R. Saliman, Hukum Bisnis Untuk Perusahaan Teori dan Contoh Kasus, Cet. 5, Jakarta: Kencana, 2010, hlm 133.
[3] http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl1998/perbedaan-antara-kreditur-separatis-dengan-kreditur-konkuren diakses pada 4 Maret 2015.
[4] Dalam Kamus Umum Bahasa Belanda karangan S. Wojowasito, boedel diartikan: (1) warisan (2) milik orang yang bangkrut (3) seluruh milik yang berwujud perkakas rumah. Dari ketiga arti tersebut, arti yang kedua lebih tepat digunakan.          
[5] Ridwan Khairandy, Kepailitan di Indonesia, Jurnal Magister Hukum Bisnis, Vol. 2 No. 1, 2000, hlm 67.
[6] Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia Pasal 1 butir 2.
[7] Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2011 tenang Sistem Resi Gudang Pasal 1 butir 9.
[8] Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1150.
[9] Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1162.
[10] Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Perdata; Hukum Benda, Yogyakarta: Liberty, 2000, hlm 96.
[11] Satjipto Raharjo, Hukum Progresif, Genta Publishing, 2009, hlm 116.
[12] Berdasarkan kedua prinsip tersebut, pembagian harta debitor untuk melunasi utang-utangnya terhadap kreditor dilakukan tidak sekedar sama rata, melainkan juga disesuaikan dengan proporsinya. Singkatnya, kreditor yang memiliki tagihan lebih besar akan mendapatkan porsi pembayaran yang lebih besar dari pada kreditor yang tagihannya lebih kecil. Prinsip Pari Passu Pro Rata Parte menemukan relevansinya dalam kondisi harta debitor yang akan dibagi lebih kecil dibanding dengan jumlah utang-utang debitor.
[13] Munir Fuady, Hukum Pailit Dalam Teori dan Praktek, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005, hlm 37.
[14] Dalam penjelasan Undang-Undang Kepailitan, bagian Umum alinea 12, dijelaskan beberapa faktor perlunya pengaturan mengenai kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang, antara lain  untuk menghindari perebutan harta debitor antara para kreditor,  menghindari adanya kreditor separatis yang melaksanakan hak eksekutorial tanpa memperhatikan kepentingan debitor maupun kreditor lain, menghindari adanya kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh salah seorang kreditor atau debitor sendiri.
[15] Djazuli Bachar, Eksekusi Putusan Perkara Perdata Segi Hukum dan Penegakan Hukum, Edisi Revisi, Jakarta: Akademika Pressindo, 1995, hlm 98.
[16] Pasal 56 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan.
[17] M. Hadi Shubhan, Hukum Kepailitan; Prinsip, Norma, dan Praktik di Peradilan, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008, hlm 173.
[18] M. Hadi Shubhan, ibid, hlm 31.
[19] http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol20364/hak-eksekutorial-kreditor-separatis-kapan-dapat-dilaksanakan diakses pada 4 Maret 2015.
[20] Lihat Pasal 58 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan
[21] Lihat Pasal 57 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan

Comments