Pekanbaru (OS) - Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 juncto Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang disebutkan bahwa apabila debiturnya merupakan suatu bank, maka permohonan pernyataan pailitnya hanya dapat diajukan oleh Bank Indonesia yang saat ini telah digantikan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Menurut penjelasan Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004
tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, yang dimaksud dengan “bank” adalah bank sebagaimana
diatur dalam peraturan perundang-undangan, dalam hal ini peraturan
perundang-undangan yang dimaksud adalah Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
Tidak
ada perbedaan dalam permohonan pernyataan pailit terhadap bank. Sebagaimana
lainnya, syarat mengajukan permohonan pailit haruslah memenuhi syarat-syarat
sesuai ketentuan Pasal 2 ayat (1) yaitu “Debitor
yang mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu
utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih”. Dari ketentuan Pasal 2
ayat (1) tersebut dapat disimpulkan bahwa permohonan pernyataan pailit terhadap
Debitor dapat diajukan apabila memenuhi syarat sebagai berikut:
1. Paling
sedikit mempunyai 2 (dua) Kreditor
2. Tidak
membayar lunas sedikitnya 1 (satu) utang kepada salah satu Kreditornya
Apabila telah memenuhi
syarat-syarat tersebut, barulah permohonan pernyataan pailit dapat diajukan
oleh Kreditur kepada Pengadilan Niaga selaku yang berwenang mengadili perkara kepailitan.
Namun bank bukanlah
Debitor yang dapat diajukan permohonan pernyataan pailit oleh Kreditornya,
melainkan hanya OJK-lah yang dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit. Hal
tersebut dapa dilihat dalam Pasal 2 ayat (3) yan berbunyi “Dalam hal Debitor
adalah bank, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Otoritas
Jasa Keuangan”.
Penjelasan Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004
tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang tidak
mengemukakan apa yang menjadi alasan mengapa hanya Bank Indonesia – OJK yang
dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit dalam hal Debitor adalah bank.
Ketentuan yang mengatur bahwa hanya OJK yang dapat mengajukan permohonan
pernyataan pailit dalam hal Debitor adalah bank telah merampas hak kreditor
dari bank.[1]
Ketentuan Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004
tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
tersebut, telah banyak mengagalkan upaya Kreditor dalam mengajukan permohonan
pailit terhadap bank. Hal tersebut tentu menjadi pembahasan yang sangat
menarik. Usaha
Kreditor untuk mempailitkan suatu
bank pernah terjadi, contohnya dalam kasus PT. Bank IFI (International
Finance and Invesment) yang menggugat pailit PT. Bank Danamon Indonesia,
Tbk.[2] Dalam kasus ini, Bank IFI mengajukan permohonan
kepailitan atas Bank Danamon ke Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Tentu
saja Majelis Hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat memutuskan untuk menolak
permohonan pailit yang diajukan oleh Bank IFI atas Bank Danamon dengan alasan
bahwa pengajuan kepailitan terhadap Bank Danamon hanya dapat dilakukan oleh
BI-OJK, sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
Mengajukan permohonan pernyataan pailit
terhadap bank oleh Kreditor adalah merupakan suatu hal yang mustahil mengingat
adanya ketentuan Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang
Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
Akan tetapi, akan menjadi sebuah pertanyaan terhadap bank yang telah dicabut
izin usahanya. Apakah bank yang telah dicabut izin usahanya dapat diajukan
permohonan pernyataan pailit oleh Kreditornya. Penjelasan Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004
tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang tidak
mengemukakan apa yang menjadi alasan mengapa hanya Bank Indonesia – OJK yang
dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit dalam hal Debitor adalah bank.
Penjelasan Pasal 2 ayat
(3) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang berbunyi “yang dimaksud dengan “bank” adalah bank sebagaimana
diatur dalam peraturan perundang-undangan. Pengajuan permohonan pernyataan
pailit bagi bank sepenuhnya merupakan kewenangan Bank Indonesia - OJK dan
semata-mata didasarkan atas penilaian kondisi keuangan dan kondisi perbankan
secara keseluruhan, oleh karena itu tidak perlu dipertanggung jawabkan.
Kewenangan Bank Indonesia – OJK untuk mengajukan permohonan kepailitan ini
tidak menghapuskan kewenangan Bank Indonesia – OJK terkait dengan ketentuan
mengenai pencabutan izin usaha bank, pembubaran badan hukum, dan likuidasi bank
sesuai peraturan perundang-undangan”.
Penjelasan Pasal 2 ayat
(3) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang tersebut memiliki fungsi
dan peran menurut Undang-Undang 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan, antara lain dalam angka-angka: [3]
176. Penjelasan berfungsi sebagai tafsir resmi
pembentuk Peraturan
Perundang-undangan
atas norma tertentu dalam batang tubuh. Oleh karena itu, penjelasan hanya memuat uraian terhadap kata, frasa,
kalimat atau padanan kata/istilah asing dalam norma yang dapat disertai dengan
contoh. Penjelasan sebagai sarana untuk
memperjelas norma dalam batang tubuh tidak boleh mengakibatkan terjadinya
ketidakjelasan dari norma yang dimaksud.
177. Penjelasan tidak dapat digunakan sebagai dasar
hukum untuk membuat
peraturan
lebih lanjut dan tidak boleh mencantumkan rumusan yang
berisi norma.
178.
Penjelasan tidak menggunakan rumusan yang isinya memuat perubahan
terselubung terhadap ketentuan Peraturan
Perundangundangan.
Berdasarkan Undang-Undang 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan angka 176, 177, dan 178, penjelasan hanyalah
memberikan tafsiran dari norma yang terkandung dalam suatu pasal. Penjelasan tidak dapat berisi suatu rumusan
norma baru atau memperluas/mempersempit/menambah norma yang terkandung dalam
pasal dalam batang tubuh peraturan perundang-undangan. Artinya, yang mengikat
sebagai norma (dan dapat dijadikan suatu dasar hukum) adalah pasal-pasal dalam
batang tubuh peraturan perundang-undangan dan bukanlah penjelasannya, karena
penjelasan hanya berfungsi sebagai tafsir resmi dari pasal yang terdapat dalam
batang tubuh, dengan kata lain penjelasan pasal kedudukannya tidak sama dengan
isi pasal.
Pengajuan
permohonan pernyataan pailit terhadap bank yang telah dicabut izin usahanya
pernah terjadi sebelumnya, yaitu antara Lina Sugiharti Otto melawan PT. Bank
Global International Tbk.[4]
Pada kasus Lina Sugiharti Otto melawan PT. Bank Global International Tbk. Dalam
perkara tersebut, menurut saksi ahli Erman Rajagukguk, berdasarkan ketentuan
Undang-Undang Kepailitan yang berhak untuk mengajukan pailit permohonan pailit
atas suatu Bank hanyalah Bank Indonesia yang dimaksudkan agar tidak terjadi rush. Apabila Bank yang bersangkutan sudah
tidak beroperasi lagi, maka ketakutan akan terjadinya rush tidak beralasan lagi, oleh karena peraturan perundang-undangan
dibidang perbankan bagi bank yang sudah dicabut izin operasinya, maka akan
diikuti dengan tindakan likuidasi. Bank yang telah dicabut izin operasinya,
maka status banknya tidak melekat lagi. Badan hukum yang bersangkutan berstatus
sebagai Perseroan Terbatas biasa dalam likuidasi. Karena statusnya sebagai
Perseroan Terbatas biasa, maka badan hukum tersebut dapat dimohonkan pailit oleh
kreditornya, dengan demikian permohonan pailit tidak lagi harus Bank Indonesia.
Berdasarkan penjelasan diatas, maka cukup alasan bagi Kreditor untuk mengajukan
permohona pailit terhadap bank yang
telah dicabut izin usahanya, karena bank yang telah dicabut izin usahanya bukan
merupakan perusahaan yang bergerak dalam bidang Perbankan yang menghimpun dana
masyarakat, hal tersebut dikarenakan bank yang telah dicabut izin usahanya telah
menjadi Perseroan Umum atau Biasa, sehingga tidak tergolong perusahaan-perusahaan
yang termasuk dalam kualifikasi dalam pasal tersebut.
Penutup
Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004
tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang mengatur
bahwa apabila debiturnya merupakan suatu bank, maka
permohonan pernyataan pailitnya hanya dapat diajukan oleh Bank
Indonesia yang saat ini telah digantikan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Menurut penjelasan Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004
tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, yang dimaksud dengan “bank” adalah bank sebagaimana
diatur dalam peraturan perundang-undangan, dalam hal ini peraturan
perundang-undangan yang dimaksud adalah Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
Tidak
ada perbedaan dalam permohonan pernyataan pailit terhadap bank. Sebagaimana
lainnya, syarat mengajukan permohonan pailit haruslah memenuhi syarat-syarat
sesuai ketentuan Pasal 2 ayat (1) yaitu “Debitor
yang mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu
utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih”. Dari ketentuan Pasal 2
ayat (1) tersebut dapat disimpulkan bahwa permohonan pernyataan pailit terhadap
Debitor dapat diajukan apabila memenuhi syarat sebagai berikut:
1. Paling
sedikit mempunyai 2 (dua) Kreditor
2. Tidak
membayar lunas sedikitnya 1 (satu) utang kepada salah satu Kreditornya
3. Utang
yang tidak dibayar tersebut harus telah jatuh tempo dan dapat ditagih
Mengajukan permohonan pernyataan pailit
terhadap bank oleh Kreditor adalah merupakan suatu hal yang mustahil mengingat
adanya ketentuan Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang
Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
Akan tetapi dimungkinkan bagi
Kreditor untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit terhadap bank yang telah
dicabut izin usahanya, karena
bank yang telah dicabut izin usahanya bukan merupakan perusahaan
yang bergerak dalam bidang Perbankan yang menghimpun dana masyarakat, hal
tersebut dikarenakan bank
yang telah dicabut izin usahanya telah menjadi Perseroan Umum
atau Biasa, sehingga tidak tergolong perusahaan-perusahaan yang termasuk dalam
kualifikasi dalam pasal tersebut.
Daftar Pustaka
[1] Sutan Remy
Sjahdeini, Hukum Kepailitan; Memahami Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang
Kepailitan, hlm 117.
[2] Putusan
Pengadilan Niaga Nomor 21/Pailit/2001/PN.Niaga.Jak.Pst.
[3] http://infohukum.kkp.go.id/files_uu/UU-2011-12
diakses tanggal 1 Maret 2015.
[4] Siti Anisah, Perlindungan Kepentingan Kreditor dan Debitor Dalam
Hukum Kepailitan di Indonesia, Studi Putusan-Putusan Pengadilan, Yogyakarta:
Total Media, 2008, Cetakan Kesatu, hlm 385-386.
Comments
Post a Comment
Dilarang keras melakukan spam, meletakkan suatu link dalam komentar dan diharapkan bertutur kata atau menulis dengan santun. Terima kasih