Sistem pengakan hukum yang baik menyangkut penyerasian nilai dengan kaedah – kaedah, serta dengan perilaku nyata dari manusia. Maka dari itu perlu di jabarkan mengenai perihal berlakunya kaedah hukum. Dalam hal ini menurut teori ilmu hukum dibedakan dalam tiga macam hal berlakunya hukum.[1] Adapun pembagian tersebut adalah sebagai berikut :
1)
Berlakunya Hukum secara yuridis, dikemukakan oleh
berberapa tokoh sebagai berikut :
a Hans Kelsen menyatakan bahwa hukum mempunyai kelakuan
yuridis apabila penentuannya berdasarkan pada kaedah yang lebih tinggi tingkatnya.
Dalam hal ini perlu diperhatikan apa yang dimaksudkan dengan efektivitas hukum
yang dibedakannya dengan hal berlakunya hukum, oleh karena efektivitasnya
merupakan fakta.[2]
b Menurut Logemann, maka kaedah hukum mengikat apabila
menunjukkan hubungan keharusan antara suatu kondisi dan akibatnya.[3]
2) Berlakunya hukum secara sosiologis, perihal tersebut menuruy
Soerjono Soekanto ada dua teori, sebagai
berikut :
a Teori kekuasaan yang pada pokonya menyatakan bahwa
hukum berlaku secara sosiologis, apabila dipaksakan berlakunya oleh penguasa
dan hal tersebut terlepasa apakaha masyarakat menerima atau menolaknya.
b Teori pengakuan yang berpokok pangkal pada pendirian
behwa berlakunya hukum didasarkan pada penerimaan atau pengakuan oleh mereka
kep[ada siapa hukum tersebut dituju.[4]
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Rifka Annisa Women
Crisis Centre (RAWCC) pada tahun 1995 tentang kekerasan dalam rumah tangga
terhadap 262 responden (istri) menunjukan 48% perempuan (istri) mengalami
kekerasan verbal, dan 2% mengalami kekerasan fisik. Tingkat pendidikan
dan pekerjaan suami (pelaku) menyebar dari Sekolah Dasar sampai Perguruan
Tinggi (S2); pekerjaan dari wiraswasta, PNS, BUMN, ABRI. Korban (istri)
yang bekerja dan tidak bekerja mengalami kekerasan termasuk penghasilan istri
yang lebih besar dari suami.[6]
Hasil penelitian kekerasan pada istri di Aceh yang dilakukan
oleh Flower tahun 1998 mengidentifikasi
dari 100 responden tersebut ada 76 orang merespon dan hasilnya 37 orang
mengatakan pernah mengalami tindak kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan
berupa psikologis (32 orang), kekerasan seksual (11 orang), kekerasan ekonomi
(19 orang), kekerasan fisik (11 orang). Temuan lain sebagian responden
tidak hanya mengalami satu kekerasan saja. Dari 37 responden, 20
responden mengalami labih dari satu kekerasan, biasanya dimulai dengan
perbedaan pendapat antara istri (korban) dengan suami lalu muncul
pernyataan-pernyataan yang menyakitkan korban, bila situasi semakin panas maka
suami melakukan kekerasan fisik.[7]
Data yang menarik
diambil dari LBH APIK JakartaSejak disahkannya UU No.23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga pada 22 September 2004 dan
diberlakukan satu bulan kemudian, tidak banyak kasus yang dapat diproses secara
hukum. Hal ini dapat dilihat dari sekian banyak data pengaduan kasus KDRT yang
diterima LBH APIK Jakarta, kebanyakan korban mengambil keputusan yang ekstrim
untuk memutus rantai KDRT, yakni dengan mengajukan perceraian ke Pengadilan. Di
tahun 2005, dari 325 kasus KDRT yang diadukan ke LBH APIK Jakarta, terdiri dari
19 kasus diproses secara hukum (dilaporkan ke polisi), dan 142 kasus diproses
dengan mengajukan perceraian. Sedangkan di tahun 2006, sampai dengan bulan
Agustus, terdapat 239 kasus KDRT, dengan penyelesaian perceraian sebanyak 124
kasus, dan 5 kasus dilaporkan ke polisi.[8]
Demikian juga hasil penelitian dari Komisi Perempuan pada
tahun 2005.Hasil penelitian tersebut mengindikasikan 72% dari perempuan
melaporkan tindak kekerasan sudah menikah dan pelakunya selalu suami
mereka. Mitra Perempuan (2005) 80% dari perempuan yang melapor pelakunya
adalah para suami, mantan suami, pacar laki-laki, kerabat atau orang tua, 4,5%
dari perempuan yang melapor berusia dibawah 18 tahun.[9]
Sementara Pusat Krisis Perempuan di Jakarta pada tahun 2005 memilki data 9 dari
10 perempuan yang memanfaatkan pelayanan mengalami lebih dari satu jenis
kekerasan (fisik, fisiologi, seksual, kekerasan ekonomi, dan pengabaian),
hampir 17% kasus tersebut berpengaruh terhadap kesehatan reproduksi perempuan. [10]
Hasil penelitian kekerasan pada istri di Aceh yang dilakukan
oleh Flower tahun 1998 mengidentifikasi
dari 100 responden tersebut ada 76 orang merespon dan hasilnya 37 orang
mengatakan pernah mengalami tindak kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan
berupa psikologis (32 orang), kekerasan seksual (11 orang), kekerasan ekonomi
(19 orang), kekerasan fisik (11 orang). Temuan lain sebagian responden
tidak hanya mengalami satu kekerasan saja. Dari 37 responden, 20
responden mengalami labih dari satu kekerasan, biasanya dimulai dengan
perbedaan pendapat antara istri (korban) dengan suami lalu muncul
pernyataan-pernyataan yang menyakitkan korban, bila situasi semakin panas maka
suami melakukan kekerasan fisik.[11]
Dari data yang
penulis himpun dari berbagai penelitian mengenai kekerasan dalam rumah tangga
yang dialami oleh perempuan, dapat penulis ambil kesimpulan bahwa setiap tahun
angka kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga relatif menunjukkan angka yang meningkat. Bahkan
hal tersebut tetap terjadi setelah diberlakukannnya Undang – Undang Nomor 23
tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga oleh pemerintah.
Keberlakuan undang – undang tersebut ternyata tidak mampu menekan angka jumlah
kekerasan tersebut. Oleh sebab itu maka dapat disimpulkan bahwa eksisitensi penegakan
Undang –Undang Nomor 23 tahun 2004 tidak efektif dalam upaya penghapusan
kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga. Terhadap permasalahan tersebut
penulis kemudian mencoba meneliti dan manganalisa faktor - faktor apakah yang
menyebabkan terjadinya kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga.
B Faktor – faktor penyebab terjadinya
kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga
Terdasapat
berebrapa faktor yang menyebabkan masih tingginya angka kekerasan terhadap
premapuan dalam rumah tangga, dari hasil analisa dan penelitian penulis maka
dapat di rangkum hal – hal sebagai berikut :
1
Adanya budaya patriaki dimasyarakat
Kekerasan
dapat terjadi di dalam lingkup anggota rumah tangga secara keseluruhan, bukan
hanya kekerasan suami terhadap isteri. Namun dari data yang diperoleh baik
hasil penelitian maupun laporan kasus dari berbagai lembaga yang peduli
terhadap perempuan, menunjukkan bahwa mayoritas kasus dalam rumah tangga adalah
kekerasan suami terhadap isteri.
Pasal
1 ayat (1) UU No. 3 Tahun 2004
menyatakan bahwa :
Kekerasan dalam rumah
tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan yang
berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis
dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan
pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah
tangga.
Lebih
ekplisit lagi, Pasal 5 UU Nomor 23 Tahun
2004 menyatakan bahwa :
Setiap orang di
larang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup
rumah tangga dengan cara (a) kekeraan fisik, (b) kekerasan psikis, (c) kekerasan
seksual, dan (d) penelantaran rumah tangga.
Dari
definisi tersebut di atas terlihat UU ini tidak semata-mata untuk kepentingan perempuan
tetapi juga untuk mereka yang tersubordinasi. Jadi bukan hanya perempuan dewasa
maupun anak-anak, tapi juga laki-laki baik dewasa maupun anak-anak. Hanya selama
ini fakta menunjukkan bahwa korban yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga
adalah perempuan. Hal ini penting untuk dipahami bersama, karena masih ada anggapan
dari sebagian besar masyarakat yang memandang sinis terhadap peraturan di atas,
seolah-olah tuntutan tersebut terlalu dibuat-buat oleh perempuan. Menghapus lingkaran
kekerasan merupakan masalah yang kompleks, bukan hanya melihat efektif tidaknya
suatu peraturan perundangan yang sudah ada, namun budaya yang telah tertanam kuat
di masyarakat dapat menjadi landasan perilaku seseorang.[12]
Kesetaraan gender belum muncul secara optimal di masyarakat, ditambah
lagi dengan budaya patriarki yang terus langgeng membuat perempuan
berada di dalam kelompok yang tersubordinasi menjadi rentan terhadap kekerasan.
Di sini laki-laki dalam posisi dominan atau superior dibandingkan dengan
perempuan. Anggapan isteri milik suami dan seorang suami memiliki kekuasaan yang
lebih tinggi daripada anggota keluarga yang lain, menjadikan laki-laki
berpeluang melakukan kekerasan.[13]
Kekerasan yang dilakukan dalam rumah tangga akan berpengaruh pada anak
karena sifat anak yang suka meniru segala sesuatu yang dilakukan orang terdekatnya,
dalam hal ini ayah dan ibunya. Anak akan menganggap wajar kekerasan yang
dilakukan ayahnya, sehingga anak laki-laki yang tumbuh dalam lingkungan seperti
itu cenderung akan meniru pola yang sama ketika ia bersiteri kelak.[14]
Latar budaya patriarki dan ideologi gender berpengaruh pula terhadap
produk perundang-undangan. Misalnya pasal 31 ayat (3) UU No.1 tahun 1974
tentang perkawinan menyatakan bahwa:
“Suami adalah kepala keluarga & istri ibu rumah tangga.”
Hal ini menimbulkan pandangan dalam masyarakat seolah-olah kekuasaan laki
- laki sebagai suami sangat besar sehingga dapat memaksakan semua kehendaknya
termasuk melakukan
kekerasan. Ada kecenderungan dari masyarakat yang selalu menyalahkan korbannya, hal
ini karena dipengaruhi oleh nilai masyarakat yang selalu ingin harmonis Walaupun
kejadiannya dilaporkan usaha untuk melindungi korban dan menghukum pelakunya,
sering mengalami kegagalan karena KDRT khususnya terhadap perempuan tak pernah
dianggap sebagai pelanggaran terhadap hak asasi manusia.[15]
2. Rendahnya pendidikan dan pengetahuan perempuan sebagai isteri
Faktor
rendahnya pendidikan isteri membuat seumai merasa selalu memilki kedudukan lebih
dalam rumah tangga. Para suami menganggap isteri hanyalah hanyalah pelaku
kegiatan rumah tangga sehari hari. Selain itu juga ada suami yang malu
mempunyai istri yang pendidikannya rendah, lalu melakukan perselingkuhan.[16]
Ketika diketahui oleh istrinya, malah istri mendapat perlakuan kekerasan dari
suami.
Ada anggapan
bahwa kekerasan dalam rumah tangga merupakan urusan intern suami istri yang
hubungan hukumnya terikat di dalam perkawinan yang merupakan lingkup hukum keperdataan.
Isteri yang mengalami kekerasan yang berpendidikan rendah juga buta terhadap
pengetahuan di bidang hukum.
Dengan
demikian tatkala terjadi pelanggaran dalam hubungan antar individu tersebut penegakkan
hukumnya diselesaikan dengan mengajukan gugatan ke pengadilan oleh si isteri
yang merasa dirugikan. Dalam hal ini hakim biasanya menyelesaikan dengan
merujuk pada UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Undang-undang perkawinan
tidak mengatur sanksi yang dapat dijatuhkan kepada pelaku KDRT seperti halnya hukum publik (hukum pidana).[17]
Karena sanksi tersebut tidak ada maka tidak ada efek jera bagi suami sebagai
pelau kekerasan, sehingga kekerasan tersebut tetap saja terjadi untuk
seterusnya.
3. Diskriminasi dan ketergantungan secara ekonomi
Diskriminasi dan pembatasan kesempatan bagi wanita untuk
bekerja mengakibatkan wanita (istri) ketergantungan terhadap suami, dan ketika
suami kehilangan pekerjaan maka istri mengalami tindakan kekerasan. Jadi, meskipun kekerasan yang dialami
terkadang tergolong dalam KDRT berat, korban tidak ingin pelaku
dihukum/dipenjara, mereka hanya mengharapkan pelaku (suami) dapat merubah
perilakunya tersebut. Sehingga, tak jarang korban baru menempuh proses pidana
atau perdata ketika kekerasan tersebut benar-benar sudah berat dan berulangkali
terjadi. Sebagaimana yang dialami oleh salah satu mitra (klien) LBH APIK
Jakarta mengadukan kasus KDRT yang dia alami selama berpuluh-puluh tahun dan
mengajukan perceraian ketika usianya 75 tahun dan anak-anaknya sudah dewasa
semua.[18]
Adanya
ketergantungan si isteri tehadap suami mengakibatkan terkadang isteri
membiarkan saja kekerasan tersebut terjadi (lumping it). Karena sang
isteri tidak memilki keterampilan dan pendidikan yang layak mereka menjadi
takut apabila sang suami pergi atau masuk penjara apabila melaporkan ke pihak
berwajib atas terjadinya KDRT.[19]
Contoh lainnya
lagi adalah sebagaimana yang dailami oleh ibu Meta salah satu korban KDRT. Korban
memilih untuk tidak ditempuhnya jalur hukum karena biasanya kekerasan dalam
rumah tangga mempunyai kondisi yang berbeda dengan kekerasan lainnya. Dalam
KDRT, antara pelaku dan korban umumnya mempunyai kedekatan personal dalam
artian mempunyai relasi intim, ketergantungan secara emosi dan ekonomi. Ini
yang membuat korban terkadang enggan memproses kekerasan yang dialaminya secara
hukum dan lebih memilih jalur di luar hukum seperti mediasi atau pisah/cerai.
Namun, ternyata pilihan yang dianggap baik ini juga tidak menghentikan
kekerasan yang dialami korban. [20]
Sebagai ilustrasi,
kasus ibu Meta, seorang stylist yang mendapat kekerasan dari suami selama 10
tahun perkawinannya. Dan keputusan untuk hidup berpisah dengan suaminya, yang
sudah dilakukan selama 1,5 tahun terakhir ini bersama anak-anaknya (3 anak),
ternyata bukan jalan terbaik dalam menyelesaikan/memutus kekerasan yang
dialaminya. Bahkan terakhir, ibu Meta mendapatkan kekerasan fisik berat yang
menyebabkan kepala dan dahinya terluka serta harus mendapatkan jahitan sekitar
15 cm karena mendapatkan serangan senjata tajam (dengan cutter) oleh suaminya. Bahkan akibat luka ini, ibu meta sempat dirujuk ke
beberapa rumah sakit karena parahnya luka yang dideritanya.[21]
Ketika mengadukan
ke sebuah Lembaga Bantuan Hukum (LBH), ibu Meta hanya menginginkan penyelesaian
secara hukum, rasa aman bagi dia dan anak-anaknya, serta nafkah bagi anak-anak.
Selain itu, dari informasi yang tergali, ternyata salah satu penyebab kekerasan
tersebut adalah karena stigma pekerjaan yang dijalani ibu Meta (sebagai
stylist) yang membuat dia dekat dengan banyak orang dan mengharuskan ibu Meta
pulang malam. [22]
4. Lemahnya pemahaman dan penanganan dari aparat penegak hukum
Untuk
kasus-kasus yang diselesaikan secara pidana pun banyak kendala yang dihadapi.
Di sini polisi menyarankan untuk berdamai saja. Apabila mau diproses laporan harus
sudah dilakukan tiga kali. Hal ini berakibat lemahnya barang bukti, karena
jarak antara penganiayaan dan pelaporan sudah lama terjadi. Jadi visum et
repertum tidak mendukung sebagai bukti. Disamping itu menganggap KDRT
persoalan pribadi bukan diselesaikan oleh aparat[23].
Disamping itu ada kendala lain yaitu Kesulitan menghadirkan saksi,
karena aparat penegak hukum (polisi, jaksa, hakim) selalu memaksakan agar
korban menghadirkan saksi yang benar-benar melihat terjadinya pemukulan atau
tindakan penganiayaan lainnya. Untuk hal ini tentu akan sulit untuk menghadirkan
saksi karena biasanya penganiayaan terjadi di ruang yang tertutup seperti kamar
tidur. Andai pun ada yang mengetahui, mereka akan takut untuk bersaksi.[24]
Kendala lain
adalah bahwa dalam pelaksanaan dan penerapan pasal-pasal dalam UU PKDRT. Antara
lain penafsiran beberapa pasal kekerasan dalam rumah tangga yang berbeda antara
penegak hukum maupun masyarakat sendiri. Seperti contoh kasus yang dialami oleh Ny. M. Putusan hukuman yang
hanya 2 bulan dikarenakan hakim menafsirkan bahwa KDRT fisik yang dilakukan
oleh suami hanya diakomodir pada pasal 44 ayat 4 saja, serta luka yang dialami
korban adalah luka ringan yang tidak mengganggu kegiatan sehari-hari dan tidak
mendapatkan perawatan yang intensif (opname). Padahal,
berdasarkan visum et repertum dari rumah sakit, korban mengalami patah tulang
serta kehilangan indra penciumannya. Hal ini juga dikuatkan saksi ahli dimana
memberitahukan bahwa luka tersebut harus dievaluasi lagi satu tahun kemudian,
jika tidak pulih indra penciumannya, berarti korban mengalami cacat permanent.[25] Hal inilah yang menjadi
kendala bagi korban untuk menggapai keadilan. Selain itu, masalah pembuktian
maupun belum adanya Peraturan Pemerintah yang mengatur pelaksanaan pemberian
perlindungan maupun penanganan masih menjadi penghambat bagi korban maupun
penegak hukum. [26]
Kesimpulan
Kekerasan
dalam rumah tangga adalah salah satu jenis kekerasan yang berbasis gender
disamping kekerasan jenis lainnya seperti perkosaan, pelacuran, pornografi, pelecehan
seksual, dsb. Dari berbagai hasil penelitian maupun laporan kasus dri lembaga-lembaga
yangpeduli terhadap perempuan menunjukkan korban kekerasan dalam rumah tangga
terus meningkat.
Dengan
keluarnya Undang - Undang Nomor 23 Tahun 2004 menunjukkan kepedulian pemerintah
terhadap perempuan khususnya, penghapusan kekerasan dalam rumah tangga. Bahkan
dengan keluarnya Undang-Undang ini ada pergeseran dari masalah hukum privat ke
hukum publik. Artinya dalam meningkatkan perlindungan perempuan, negara ikut
campur menentukan hukuman bagi pelaku kekerasan. Namun kenyataan di lapangan
peraturan tersebut belum secara efektif dilaksanakan. Penulis menyimpulkan
secara garis besar dalam kenyataan dilapangan ada berberapa hal yang
menyebabakan KDRT tetap terjadi meski sudah ada peraturan hukum yang mencoba
mengatasi hal tersebut. Hal tersebut adalah sebagai berikut :
1
Adanya budaya patriaki dimasyarakat
2
Rendahnya pendidikan dan pengetahuan perempuan
sebagai isteri
3
Dikriminasi dan ketergantungan secara ekonomi
4
Lemahnya pemahaman dan penaganan dari aparat
penegak hukum
Secara sosiologis solidaritas wanita di seluruh dunia maupun di setiap
negara cenderung menunjukkan peningkatan baik dari sisi kelembagaan maupun dari
sisi praktisnya. Hal ini terjadi karena kesadaran perempuan akan hak-haknya
semakin meningkat. Dewasa ini sudah banyak perempuan yang berani tampil, bukan
saja mempertahankan hak-haknya, tapi mengadukan kepada yang berwajib tatkala
mengalami perlakuan sejenis kekerasan yang akhirnya menjatuhkan martabat
kemanusiaan, walaupun mengandung berbagai resiko.
Saran
Keberadaan Undang – Undang
Nomor 23 tahun 2004 yang mengalami berbagai permasalahan dalam penerapan
menurut penulis perlu untuk ditinjau kembali. Karena secara materi undang –
undang ini masih terlalu banyak kelemahan di sana – sini, sehingga penegakan
hukumnya di masyarakat masih sangat sulit. Apabila kita kaji secara teoritis
berdasarkan teori pemberlakuan hukum, maka Undang – Undang Nomor 23 tahun 2004
ini masih lemah dalam pemberlakuannya secara filosofis dan sosilogis.
Sebagaimana kita pahami bersama bahwa undang - undang yang baik hendaknya tidak
bertentangan dengan nilai filosofis serta antara das sein dengan das
solen tidak memilki rentang yang terlalu jauh
Daftar Pustaka
[1] Soerjono
Soekanto,1983, Berberapa Permasalahan Hukum Dalam Kerangka Pembangunan di
Indonesia, UI Press, Jakarta, hlm 34
[2] Hans
Kelsen,2007,Teori Hukum Murni,Nusamedia, Jakarta, hlm 206
[3] J.H.A
Logemann, 1954, Over de Theorie Van Een Steeling Staatrecht,
P.T.Penerbit, Jakarta
[5] Ibid
[6]
Keumalahayati, Kekerasan Terhadap Perempuan Dalam Rumah Tangga
Menyebabkan Gangguan Reproduksi, pada http://152.118.148.220/pkko/files,
diakses 29 April 2011.
[7] Ibid
[8] Estu
Affany 2007, Keberadaan UU KDRT belum mengahpuskan kekerasan dalam rumah
tangga, diakses dari blog pribadi Esti Affany.
[9] Komisi
Nasional perempuan, 2006, Peta Kekerasan Pengalaman Perempuan Indonesia,
Penerbit Ameepro, Jakarta
[10]
Keumalahayati, Op Cit
[11] Ibid
[12]Nani
Kurniasih, Kajian Sosio Yuridis Terhadap Kekerasan Yang Berbasis Gender,
pada situs http://www.uninus.ac.id, diakses pada 29 April
2011.
[13] Ibid
[14] Ibid
[15] Ibid
[16] Pikiran Rakyat, 21 April 2007,Laporan P2TP2 Kota
Bandung,, pada www.pikiranrakyat.com, diakses 29 April 2011.
[17] Nani
Kurniasih, Op Cit
[18] Estu
Affany, Op Cit
[19] Nani
Kurniasih, Op Cit
[20] Estu
Affany. Op Cit
[21] Ibid
[22]
Ibid
[23] Ibid
[24]
Ibid
[25] Estu
Affany, Op Cit
[26] Ibid
Comments
Post a Comment
Dilarang keras melakukan spam, meletakkan suatu link dalam komentar dan diharapkan bertutur kata atau menulis dengan santun. Terima kasih