Eksistensi BASYARNAS Dalam Penyelesaian Sengketa Perbankan Syari’ah


Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) adalah sebuah wadah alternatif diluar pengadilan (non-litigasi) di dalam penyelesaian sengketa atau perkara diperbankan syariah dan Lembaga Keuangan Syariah (LKS) lainnya.[1] Keberadaan Basyarnas saat ini sangat dibutuhkan oleh umat Islam Indonesia, terlebih dengan semakin marak dan berkembangnya perusahaan perbankan dan keuangan syariah di Indonesia dewasa ini. Oleh karena itu, pertumbuhan ekonomi dan bisnis syariah yang pesat dan kompleks tersebut sangat berpotensi untuk melahirkan berbagai macam bentuk kerjasama atau transaksi bisnis. Maka, dengan semakin meningkatnya kerjasama bisnis tersebut, secara tidak langsung akan mendorong terjadinya persengketaan bisnis yang lebih tinggi diantara para pihak yang terlibat di dalamnya.
Kegiatan bisnis tentunya diharapkan akan mendatangkan keuntungan para pihak sesuai dengan asas kesepatakan. Namun demikian dari apa yang telah disepakati para pihak, terkadang menimbulkan sengketa yang tentunya akan mendatangkan kerugian salah satu pihak. Untuk menegakkan hak-hak para pihak tersebut, maka terdapat dua jalan yang bisa ditempuh oleh para pihak, yaitu melalui jalur pengadilan atau melalui musyawarah. Tetapi ilmu hukum mempunyai alternatif lain yaitu melalui suatu lembaga yang dinamakan Arbitrase.[2]
Proses penyelesaian sengketa dilembaga arbitrase lebih mengedepankan kebebasan para pihak dalam menetapkan bentuk lain dari proses yang serupa, namun melalui mekanisme yang lebih sederhana dan diharapkan di dalam mekanisme tersebut tidak terjadi distorsi pada penegakan hukum sehingga hasilnya dapat memenuhi rasa keadilan masyarakat. Berbeda halnya dengan mekanisme penyelesaian sengketa di pengadilan yang mengikuti pola terstruktur, sarat dengan beban formalitas, prosedur, birokrasi, serta cara-cara yang ketat, sehingga menimbulkan ketidakpuasan pihak-pihak terhadap pengadilan. Oleh karena itu, pengadilan sebagai saran pendistribusian keadilan menjumpai banyak hambatan dan distribusi keadilan yang diperoleh masyarakat tidak lain adalah keadilan birokratis.
Di Indonesia terdapat bermacam-macam badan arbitrase yang dikhususkan dengan kewenangannya dalam menyelesaikan perkara tertentu dan orang-orang tertentu. Akan tetapi perlu digaris bawahi, bahwa nama sebuah badan arbitrase tidak berarti menunjukkan kompetensi absolut dari suatu lembaga arbitrase, melainkan lebih menunjukkan bidang keahlian (expert) yang dimiliki. Berkaitan dengan itu, Basyarnas yang sebelumnya bernama Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI), yang menandai kehadiran lembaga arbitrase Islam pertama kali di Indonesia, dan Basyarnas sendiri merupakan salah satu perangkat dari organisasi MUI.
Kelahiran BASYARNAS yang disebabkan oleh Pengadilan Agama yang belum memiliki kewenangan untuk memeriksa perkara ekonomi Islam, sehingga dibentuklah BAYARNAS karena kepentingan yang mendesak yang berfungsi untuk menyelesaikan kemungkinan terjadinya sengketa perdata diantara bank-bank syariah dengan para nasabah. Sebagaimana peranannya dalam mendirikan Bank Muamalat Indonesia, Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga memprakarsai dibentuknya Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) yang mana pada tanggal 21 Oktober 1993 Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) diresmikan.[3] Hal demikian kiranya akan dapat mendukung pertumbuhan bank syariah yang mulai berkembang.[4]
Dari pengertian Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999,[5] dapat diketahui pula bahwa dasar dari arbitrase adalah perjanjian di antara para pihak itu sendiri, yang didasarkan pada asas kebebasan berkontrak. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 1338 KUHPerdata yang menyatakan bahwa apa yang telah diperjanjikan oleh para pihak mengikat mereka sebagai undang-undang (dikenal dengan asas Pacta Sunt van Servanda, yaitu semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya).[6] Kompetensi lembaga arbitrase ditentukan oleh ada tidaknya perjanjian yang memuat klausula arbitrase baik berupa pactum de compromittendo,[7] ataupun akta kompromis.[8] Dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa menyatakan bahwa adanya suatu perjanjian arbitrase tertulis meniadakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang termuat dalam perjanjiannya pada Pengadilan Negeri. Maka, berdasarkan aturan hukum yang berlaku kewenangan absolute seluruh badan-badan peradilan negara, termasuk dalam hal ini lingkungan peradilan agama tidak dapat menjangkau sengketa atau perkara yang timbul dari perjanjian yang didalamnya terdapat klausula arbitrase.
Lembaga arbitrase dalam melaksanakan kompetensinya berdasarkan perjanjian arbitrase terealisasikan berupa pemberian pendapat hukum yang mengikat dan pemberian putusan arbitrase karena adanya suatu sengketa tertentu. Bahwa tanpa adanya suatu sengketa, lembaga arbitrase dapat menerima permintaan  yang diajukan oleh para pihak dalam suatu perjanjian untuk memberikan suatu pendapat hukum yang mengikat mengenai suatu persoalan berkenaan dengan perjanjian tersebut.
Legitimasi penyelesaian sengketa melalui arbitrase ini adalah bahwa perjanjian berlaku sebagai undang-undang bagi pihak-pihak yang membuatnya dan bahwa hukum perjanjian menganut sistem terbuka. Oleh karena itu, terdapat kebebasan dari para pihak dalam menentukan materi atau isi dari perjanjian, pelaksanaan perjanjian, dan cara menyelesaikan sengketa.[9] Sehingga secara tegas dikatakan bahwa arbitrase adalah penyelesaian sengketa diluar pengadilan umum yang didasarkan pada suatu perjanjian arbitrase, yaitu perjanjian yang dibuat sebelum terjadinya sengketa (pactum de compromittendo) maupun sesudah terjadi sengketa (akta kompromis).
BASYARNAS diharapkan sebagai dukungan dan partisipasi konkrit umat Islam terhadap upaya pemerintah Republik Indonesia dalam mewujudkan keadilan, ketentraman dan kedamaian di kalangan umat Islam. BAYARNAS memiliki fungsi diantaranya adalah:[10]
  1. Menyelesaikan perselisihan atau sengketa keperdataan dengan prinsip mengutamakan usaha-usaha perdamaian (ishlah).
  2. Menyelesaikan sengketa-sengketa bisnis yang operasionalnya menggunakan hukum islam.
  3. Menyelesaikan kemungkinan terjadinya sengketa perdata diantara bank-bank syariah dengan para nasabahnya atau pengguna jasa mereka pada khususnya dan antara sesama umat islam yang melakukan hubungan-hubungan keperdataan yang menjadikan syariat islam sebagai dasarnya.
  4. Memberikan penyelesaian yang adil dan cepat dalam sengketa-sengketa muamalah yang timbul dalam bidang perdagangan, industri, jasa dan lain-lain.
Segala ketentuan yang berhubungan dengan arbitrase tunduk pada ketentuan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999.
Penyelesaian sengketa bisnis melalui mekanisme ADR (Alternative Dispute Resolution) dalam bentuk konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi dan penilaian ahli atau melalui mekanisme arbitrase, banyak dipilih oleh para pihak yang berselisih karena beberapa alasan, diantaranya; kesukarelaan dalam proses, prosedur cepat, rahasia, hemat waktu, hemat biaya, keputusan non yudisial, fleksibel dalam merancang syarat-syarat penyelesaian sengketa, win-win solution, tetap terpeliharanya hubungan baik antar para pihak yang bersengketa. Para Arbirter adalah orang-orang yang memiliki keahlian (expertise) dan putusan arbitrase bersifat final serta mengikat para pihak. Selain itu, tidak ada kemungkinan banding dan kasasi terhadap putusan arbitrase.
Berkaitan dengan prosedur, arbitrase adalah suatu prosedur penyelesaian sengketa di luar pengadilan berdasarkan persetujuan para pihak yang berkepentingan untuk menyerahkan sengketa mereka kepada seorang wasit atau arbiter.[11] Sedangkan yang dimaksud dengan prosedur berperkara melalui badan arbitrase adalah keseluruhan proses yang harus ditempuh sejak awal pendaftaran perkara dari segi administratif, penunjukan arbiter/majelis arbiter, persidangan, pemeriksaan perkara, pembuktian dan kesimpulan, kemudian diputuskan.
Mengenai prosedur beracara maupun pelaksanaan putusannya, menurut Ketua Basyarnas, Yudo Paripurno, pada prinsipnya tidak ada perbedaan dengan lembaga serupa seperti Badan Arbitrase Nasional Indonesia.[12] Yaitu harus didasarkan pada Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Adapun ketentuan-ketentuan umum yang terkait prosedur penyelesaian sengketa Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 adalah sebagai berikut:
a.       Pemeriksaan sengketa harus diajukan secara tertulis, namun demikian dapat juga secara lisan apabila disetujui para pihak dan dianggap perlu oleh Arbiter atau Majelis Arbiter.
b.      Arbirter atau Majelis Arbirter terlebih dahulu mengusahakan perdamaian antara pihak yang bersengketa.
c.       Pemeriksaan atas sengketa harus diselesaikan dalam waktu paling lama 180 hari sejak Arbiter atau Majelis Arbiter terbentuk, namun demikian dapat diperpanjang apabila diperlukan dan disetujui para pihak.
d.      Putusan Arbitrase harus memuat kepala putusan yang berbunyi “Demi keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” nama sengkat sengketa, uraian singkat sengketa, pendirian cara pihak, nama lengkat dan alamat Arbiter atau Majelis Arbiter mengenai keselurhan sengketa, pendapat masing-masing Arbiter dalam hal terdapat perbedaan pendapat dalam Majelis Arbitrase, amar putusan, tempat dan tanggal putusan, dan tanatangan Arbiter atau Majelis Arbiter.
e.       Dalam putusan ditetapkan suatu jangka waktu putusan tersebut harus dilaksanakan.
f.       Apabila pemeriksaan sengketa telah selesai, pemeriksaan harus ditutup dan ditetapkan sidang mengucapkan putusan arbitrase dan diucapkan dalam waktu paling lama 30 hari setelah pemeriksaan ditutup.
g.      Dalam waktu paling lama 14 hari setelah putusan diterima, para pihak dapat mengajukan permohonan kepada Arbiter atau Majelis Arbiter untuk melakukan koreksi terhadap kekeliruan administrasi dan atau menambah atau mengurangi seuatu  tuntutan putusan.
Ketentuan-ketentuaun prosedur di atas, dimaksudkan untuk menjaga agar jangan sampai penyelesaian sengketa melalui arbitrase termasuk juga arbitrase syariah menjadi berlarut-larut. Putusan yang sudah tandatangani arbiter bersifat final and binding artinya putusan BASYARNAS mempunyai kekuatan mengikat dan tidak dapat dilakukan upaya hukum apapun. Setelah putusan  tersebut sudah mempunyai kekuatan hukum tetap, maka salinan otentik putusan diserahkan dan didaftarkan dipanitera Pengadilan Negeri. Apabila putusan tidak dilakukan secara sukarela, maka dilaksanakan berdasarkan perintah ketua Pengadilan Negeri. Berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 8 Tahun 2008 Perubahan Nomor 2 Tahun 2008 tentang Eksekusi Putusan Badan Arbitrase Syariah, disebutkan bahwa dalam hal putusan Badan Arbitrase Syariah tidak dilaksanakan secara sukarela, maka putusan tersebut berdasarkan perintah Pengadilan Agama.
Namun, terhadap keputusan arbitrase, para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur sebagai berikut:
a.     surat dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu.
b.      setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan, atau
c.       putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang diakui oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa.
Permohonan pembatalan tersebut harus diajukan secara tertulis ditujukan kepada Ketua Pengadilan, dalam waktu paling lama 30 hari terhitung sejak hari penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase kepada Panitera Pengadilan. Jika permohonan pembatalan tersebut dikabulkan, maka Ketua Pengadilan dalam waktu paling lama 30 hari sejak permohonan pembatalan diajukan, menjatuhkan putusan pembatalan.
BASYARNAS memiliki keunggulan-keunggulan dalam penyelesaian sengketa dibandingkan pengadilan, di antaranya adalah:
1.      Memberikan kepercayaan kepada para pihak, karena penyelesaiannya secara terhormat dan bertanggung jawab.
2.      Para pihak menaruh kepercayaan yang besar pada arbiter, karena ditangani oleh orang-orang yang ahli dibidangnya (expertise).
3.      Proses pengambilan putusannya cepat, dengan tidak melalui prosedur yang berbelit-belit serta dengan biaya yang murah.
4.      Para pihak menyerahkan penyelesaian sengketanya secara sukarela kepada orang-orang (badan) yang dipercaya, sehingga para pihak juga secara sukarela akan melaksanakan putusan arbiter sebagai konsekuensi atas kesepakatan mereka mengangkat arbiter, karena hakekat kesepakatan itu mengandung janji dan setiap janji itu harus ditepati.
5.      Di dalam proses arbitrase pada hakekatnya terkandung perdamaian dan musyawarah. Sedangkan musyawarah dan perdamaian merupakan keinginan nurani setiap orang.
6.      Khusus untuk kepentingan Muamalat Islam dan transaksi melalui Bank Muamalat Indonesia maupun BPR Islam, Arbitrase Muamalat (BASYARNAS) akan memberi peluang bagi berlakunya hukum Islam sebagai pedoman penyelesaian perkara, karena di dalam setiap kontrak terdapat klausul diberlakuannya penyelesaian melalui BASYARNAS.
Disamping keunggulan-keunggulan di atas juga terdapat beberapa kelemahan. Apabila melihat perkembangan BASYARNAS yang belum maksimal untuk mengimbangi pesatnya perkembangan lembaga keuangan syariah di Indonesia, sebaiknya BASYARNAS membenahi manajemen dan SDM yang ada. Apabila dibandingkan dengan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) dan Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia (BAPMI) yang relative baru berdiri, maka BASYARNAS masih harus berbenah diri.
Untuk dapat menjadi lembaga yang dipercaya masyarakat, maka harus mempunyai performance yang baik, mempunyai gedung yang representative, administrasi yang baik, kesekretariatan yang selalu siap melayani para pihak yang bersengketa, dan arbiter yang mampu membantu penyelesaian persengketaan mereka secara baik dan memuaskan. Kondisi intern yang baik tersebut akan bertambah baik apabila didukung dengan law enforcement dari pemerintah tentang putusan yang final and binding dalam penyelesaian sengketa di arbitrase.
Meski bergelut di bidang penyelesaian sengketa ekonomi syariah, namun Basyarnas cukup kekurangan dalam hal dana. Untuk menutup biaya operasional saja, Basyarnas harus menyodorkan proposal permohonan dana dari sejumlah Bank. Kepada Bank Indonesia (BI), tahun 2006 Basyarnas memohon bantuan senilai Rp 200 juta. Beruntung, Direktorat Perbankan Syariah BI mau mengucurkan dana senilai Rp 100 juta. Yudho Paripurno, Ketua Basyarnas tak menampik dana yang beredar di Basyarnas cukup minim, meski dia tak mau menyebut angkanya. Dana yang ada sudah cukup untuk menjalankan sekretariat. Tapi untuk melakukan sosialisasi ya kurang, tuturnya.[13]
Selain itu sosialisasi kebeadaan lembaga ini masih terbatas sehingga perlu adaanya upaya sosialisasi. Ketua Basyarnas, Yudo Paripurno, mengatakan sosialisasi Basyarnas kerap dilakukan melalui forum diskusi dengan mengundang pakar dan praktisi di berbagai bidang. ”Dalam program percepatan sosialisasi sistem perbankan syariah Bank Indonesia bekerja sama dengan kalangan perbankan dan lembaga Islam untuk menyelenggarakan training of trainers. Salah satu materinya adalah aspek legal dalam penyelesaian sengketa melalui sistem arbitrase syariah yang disampaikan oleh Basyarnas”.[14] Upaya sosialisasi dalam rangka penyebarluasan informasi dan meningkatkan pemahaman mengenai arbitrase syariah dapat dilakukan secara kontinyu yang melibatkan banker, alim ulama, tokoh masyarakat, pengusaha, akademisi dan masyarakat secara umum.
Keterbatasan Jaringan kantor BASYARNAS didaerah hal ini juga menjadi kelemahan karena BASYARNAS baru beroperasi di Jakarta, pengembangan jaringan kantor BASYARNAS diperlukan dalam rangka perluasan jangkauan pelayanan kepada masyarakat.

Penutup

Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) merupakan badan yang dapat menyelesaikan sengketa perdata/muamalat Islam dengan memutuskan suatu keputusan hukum atas masalah yang dipersengketakan dengan cara tahkim. Keputusan yang telah ditetapkan oleh BASYARNAS terhadap perkara yang diajukan kepadanya bersifat binding (mengikat) dan final (tidak ada banding atau kasasi). Namun demikian pembatalan keputusan arbitrase dapat dilakukan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 tentang arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa. Penetapan syarat-syarat arbiter dan penyelesaian sengketa perdata/muamalah Islam melalui BASYARNAS dimaksudkan untuk meningkatkan kinerja lembaga tersebut pada masa yang akan datang. Disamping itu untuk meningkatkan profesionalasme, kerahasiaan para pihak yang bersengketa, kearifan dan kepekaan arbriter, dan kecepatan serta efesiensi biaya bagi penyelesaian sengketa.




Daftat Pustaka




[1] http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2008/08/28/28273/Basyarnas-Tangani-Sengketa-Bank-Syariah- diakses pada tanggal 1 Maret 2015.
[2] Richard Burton Simatupang, Aspek Hukum Dalam  Bisnis, Jakarta: Rineka Cipta, 2003, hlm 41.
[3] Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perbankan Islam di Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002, hlm 99.
[4] Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syairah: Dari Teori ke Praktik, Cet. 1, Jakarta: Gema Insani Press – Tazkia Cendekia, 2001, hlm 214.
[5] Bunyi Pasal Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa”.
[6] Yan Pramadya Puspa, Kamus Hukum, Semarang: Aneka Ilmu, hlm 649.
[7] Suatu bentuk kesepakatan para pihak di dalam perjanjian yang memuat apabila terjadi perselisihan mereka akan menyelesaikannya melalui arbitrase atau suatu perjanjian yang tunduk pada perwasitan. Lihat Yan Pramadya Puspa, Kamus Hukum, hlm. 649.
[8] Perjanjian arbitrase yang dibuat setelah suatu sengketa terjadi. Lihat Ahmad Djauhari, Arbitrase Syari’ah di Indonesia, hlm 51.
[9] Abdul Ghofur Anshori, Penyelesaian Sengketa Perbanka Syariah: Analisis Konsep dan UU No.21 Tahun 2008, Cet. Ke-1, Yogyakarta: UGM Press, 2010, hlm 68.
[10] Rachmadi Usman, Aspek Hukum Perbankan Syariah di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2012, hlm 406.
[11] Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, Yogyakarta: Liberty, 1999, hlm 144.
[12] http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol13869/basyarnas-lebih-banyak-menangani-sengketa-perbankan diakses pada tanggal 1 Maret 2015.
[13] http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol15990/mengurai-benang-kusut-badan-arbitrase-syariah-nasional diakses pada tanggal 1 Maret 2015.
[14] http://www.republika.co.id/berita/bisnis-syariah/berita/10/09/27/136724-basyarnas-sosialisasipenyelesaian-sengketa-muamalah diakses pada tanggal 1 Maret 2015.

Comments