Hukum Dan Keadilan

Otoritas Semu - Keadilan yang bisa diperoleh melalui pengadilan formal di mana saja disebut “keadilan hukum.” Keadilan hukum itu cukup sederhana, yaitu apa yang sesuai dengan hukum dianggap adil sedang yang melanggar hukum dianggap tidak adil. Jika terjadi pelanggaran hukum, maka harus dilakukan pengadilan untuk memulihkan keadilan. Dalam hal terjadinya pelanggaran pidana atau yang dalam bahasa sehari-hari disebut “kejahatan” maka harus dilakukan pengadilan yang akan melakukan pemulihan keadilan dengan menjatuhkan hukuman kepada orang yang melakukan pelanggaran pidana atau kejahatan tersebut.

Untuk menegakkan keadilan kata Hakim Mohammed Suffian, diperlukan usaha kerja sama antara unsur-unsur dibawah ini:
  1. Pembentukan Undang-undang yang adil.
  2. Rakyat yang biasa taat kepada hukum (law abiding).
  3. Pers yang beringasan dan yang tepat menunjukkan kekurangan-kekurangan dalam           sistem peradilan.
  4. Golongan pengacara yang bebas
  5. Hakim yang tidak berpihak
Dalam hal terjadinya pelanggaran pidana atau yang dalam bahasa sehari-hari disebut “kejahatan” maka harus dilakukan pengadilan yang akan melakukan pemulihan keadilan dengan menjatuhkan hukuman kepada orang yang melakukan pelanggaran pidana atau kejahatan tersebut. Pengertian yang sempit demikian sejalan dengan tujuan dari hukum itu sendiri yakni mengatur hubungan antara individu dengan individu dan atau antara individu dengan negara selaku penguasa.
Bahwa kemudian seseorang atau suatu golongan yang merasa tidak mendapat keadilan dari suatu proses hukum hal tersebut karena di masyarakat ada pengertian tentang "keadilan sosial" yang notabene memiliki perbedaan yang jauh dari pengertian tentang "keadilan hukum". Dari perspektif keadilan sosial, keadilan hukum belum tentu adil. Perspektif keadilan sosial yang tumbuh dan berkembang di masyarakat selalu mengartikan bahwa setiap orang berhak atas “kebutuhan manusia yang mendasar” tanpa memandang perbedaan “buatan manusia” seperti ekonomi, kelas, ras, etnis, agama, umur, dan sebagainya. Inilah menyulitkan memaknai "keadilan" dalam suatu proses hukum. Seorang yang haknya telah dilukai dalam suatu kejahatan tentunya akan kecewa sekali ketika mengetahui bahwa si pelaku kejahatan mendapatkan hukuman yang ringan. Si korban sudah pasti menghendaki hukuman yang seberat-beratnya untuk si pelaku.[1]
Upaya untuk membebaskan konsep hukum dari ide keadilan bukanlah persoalan mudah, sebab kedua konsep tersebut selalu dicampuradukan di dalam pemikiran politik yang tidak ilmiah dan juga dalam pembicaraan umum, dan karena percampuradukan kedua konsep ini berkaitan dengan kecenderungan ideologis untuk membuat hukum positif tampak adil.

Keadilan Sebagai Pertimbangan Nilai yang Bersifat Subjektif

Jelaslah bahwa tidak mungkin ada tatanan yang “adil”, yakni tatanan yang memberikan kebahagiaan kepada setiap orang, bila kita mendefinisikan konsep kebahagiaan menurut pegertian aslinya yang sempit tentang kebahagiaan perseorangan, mengartikan kebahagiaan seseorang sebagai apa yang menurutnya memang demikian.
Jadi, tidak mungkin pula adanya suatu tatanan yang adil meskipun atas dasar anggapan bahwa tatanan ini berusaha menciptakan bukan kebahagiaan setiap orang perorangan, melainkan kebahagiaan sebesar-besarnya bagi sebanyak mungkin individu.
Kebahagiaan yang dapat dijamin oleh suatu tatanan sosial hanya bisa berupa kebahagiaan dalam arti kelompok, yakni, terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan tertentu, yang oleh penguasa masyarakat, yakni pembuat hukum, dianggap sebagai kebutuhan-kebutuhan yang patut dipenuhi, seperti kebutuhan pangan, sandang, dan papan.
Kriteria keadilan, seperti kriteria kebenaran, tidak bergantung pada banyaknya pertimbangan tentang realitas atau pertimbangan nilai yang dibuat. Karena umat manusia terbagi ke dalam banyak bangsa, golongan, agam, profesi, dan sebagainya, yang seringkali berbeda-beda satu sama lainnya, maka begitu banyak gagasan tentang keadilan, terlalu banyak bagi kita untuk sekedar berbicara tentang “keadilan”.

Penegakkan Hukum Dalam Keadilan

Indonesia sedang mengalami suatu perubahan yang sering disebut sebagai masa “keadilan transisional” dari rezim otoriter. Dalam proses transisi, biasanya rakyat biasanya menuntut pertanggung jawaban dari rezim otoriter sebelumnya atas praktek korupsi, pemerasan dan banyak “skandal” politik lainnya. Transisi seperti ini akan menjadi lebih controversial apabila rezim sebelumnya terlibat dalam pelanggaran berat HAM, terutama kejahatan terhadap kemanusiaan.

Demokratisasi diseluruh lapisan masyarakat dapat dipercepat apabila kekuatan demokratis dapat mengambil alih kekuasaan dari kekuatan otoriter dengan cepat dan setelah itu menjadi kekuatan yang dominan.[2]

Mengkonsolidasikan kebijakan pemerintah Indonesia mengenai akses terhadap hukum dan keadilan menjadi strategi nasional yang jelas, koheren dan diikuti dengan rencana kerja diharapkan akan:
  1. Membangun lembaga hukum yang lebih kuat
  2. Menanggulangi kemiskinan dan memberdayakan masyarakat agar mampu mengelola kehidupannya sendiri; serta, pada gilirannya.
  3. Memperkuat kemanan nasional.
Sebuah strategi nasional akses terhadap hukum dan keadilan akan melengkapi berbagai upaya refromasi lembaga hukum yang sedang berjalan. Meskipun penguatan terhadap sektor keadilan formal merupakan aspek penting dalam mendorong akses hukum dan keadilan, berbagai upaya tersebut belum bisa optimal jika masyarakat sendiri belum memiliki kesadaran atas hak-hak mereka, atau mengakses lembaga-lembaga hukum akibat hambatan geografis, finansial atau pengetahuan. Penguatan akses keadilan juga harus mempertimbangkan fakta bahwa proses penyelesaian sengketa di masyarakat pada umumnya diselesaikan melalui mekanisme informal.

Dengan kata lain, reformasi keadilan yang komprehensif mengandaikan adanya dua strategi yang dijalankan bersamaan yang menghubungkan antara reformasi kelembagaan dari tingkat pusat (supply) dan aspirasi dari masyarakat untuk mendapat akses dan pelayanan hukum yang lebih baik (demand). Strategi tersebut diyakini dapat membawa keadilan lebih dekat bagi masyarakat. Pendekatan tersebut akan menjawab persoalan rendahnya kepercayaan dan bisa hukum sebagaimana persepsi banyak orang, terutama oleh masyarakat miskin, saat berupaya mencari keadilan. Strategi nasional akan menyediakan kerangka kerja yang kuat untuk “mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh masyarakat Indonesia,” salah satu mandat yang ditegaskan dalam Undang Undang Dasar 1945.

Reformasi peradilan, adalah bagian dari reformasi kehidupan ketatanegaraan sebagai hasil dari gerakan moral rakyat terhadap penguasa Orde Baru yang otoriter dan antidemokrasi. Ciri pokok dari kekuasaan ini adalah dijalankannya kekuasaan dengan sentralistik, anti demokrasi, kontrol yang ketat terhadap semua lembaga negara, partai politik dan organisasi masyarakat, serta tidak transparan. Dalam situasi demikian, korupsi memperoleh lahan yang subur. Proses peradilan dalam penegakan hukum dan keadilan sepenuhnya dibawah pengaruh kekuasaan.

Dewasa ini, setelah reformasi, semua tatanan kehidupan politik, sosial dan ekonomi harus diletakkan dalam paradigma baru yang mendasarkan pada cita-cita kemerdekaan sebagaimana Pembukaan UUD Th 1945 dengan memperhatikan dan merespon tuntutan keadilan sosial (hukum, politik, ekonomi, pendidikan, lingkungan, keamanan dan budaya).[3]

Penegakan hukum adalah kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan dalam kaidah-kaidah, pandangan-pandangan yang mantap dan mengejawantahkannya dalam sikap, tindak sebagai serangakaian penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan kedamaian pergaulan hidup (Soejono Soekamto, 1983). Kepastian hukum hanya dibuat untuk dalih meraih keuntungan sepihak. Yang dikatakan ”demi kepastian hukum” sering hanya retorika untuk membela kepentingan pihak tertentu. Akhirnya, proses hukum di luar dan di dalam pengadilan menjadi eksklusif milik orang tertentu yang berkecimpung dalam profesi hukum. Proses hukum menjadi ajang beradu teknik dan keterampilan. Siapa yang lebih pandai menggunakan hukum akan keluar sebagai pemenang dalam berperkara. Bahkan, advokat dapat membangun konstruksi hukum yang dituangkan dalam kontrak sedemikian canggihnya sehingga kliennya meraih kemenangan tanpa melalui pengadilan. (Tubagus Ronny Rahman Nitibaskara, Kompas).

Sistem hukum yang baik harus dimulai dari moral penegak hukum yang baik. Ada adagium yang melekat dalam proses hukum kita, yaitu kalau berurusan dengan hukum, ketika kehilangan kambing maka akan kehilangan sapi. Karena baik polisi, jaksa, hakim, maupun pengacara terlibat dalam suatu mafia peradilan. Mereka melakukan proses jual beli, berdagang hukum diantara pelaku hukum tersebut. Itulah tantangan besar bagi masyarakat untuk memperjuangkan hukum yang bersih, independen, dan bebas dari kepentingan politik ataupun kepentingan lainnya. Itu agenda yang teramat penting dan seharusnya dipelopori oleh institusi penegak hukum. (Munarman, Hukum Dimainkan Politik, dalam kumpulan wawancara perspektif baru 2003 – 2005).

Penegakan hukum dalam mewujudkan keadilan harus selaras dengan mentalitas yang bermoral bagi aparat penegak hukum. Hukum sebagai panglima mewujudkan keadilan menjadi barometer dalam kemajuan bidang lainnya. Sehingga kemajuan sektor lainnya dapat berjalan dalam koridor hukum yang baik. Penegakan hukum dalam masyarakat yang pluralis harus memperkuat tatanan kehidupan sesuai Pancasila, UUD 1945, semangat bhinneka tunggal ika, dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia dalam memperkuat keutuhan NKRI.

Proses ini harus dikontrol oleh rakyat secara aktif dalam bentuk partisipasi politik mereka. Martabat manusia tidak boleh dilanggar oleh siapapun termasuk oleh negara, kepastian ini harus diatur dalam perundang-undangan yang pembuatannya melibatkan partisipasi rakyat.

Kemerdekaan pengadilan dan hakim dari intervensi siapa pun atau apapun merupakan syarat mutlak suatu negara yang berdasarkan hukum. Dan partisipasi rakyat dalam pembuatan perundangan-undangan yang akan dijalankan oleh pengadilan adalah mutlak sebagai pengejawantahan dari hak menentukan nasib sendiri.[4]
Tujuan Hukum Menurut Teori Etis (Aristoteles) Hukum hanya semata-mata bertujuan untuk mewujudkan rasa keadilan, sedangkan keadilan dibedakan menjadi dua yaitu :
  1. Keadilan komutatif, yang menyamakan prestasi dan kontra prestasi.
  2. Keadilan Distributif, keadilan yang membutuhkan distribusi atau penghargaan.[5]

Strategi Nasional Untuk Akses Hukum dan Keadilan

Terdapat dasar hukum yang kuat dalam peraturan perundangan di Indonesia bagi pengembangan strategi nasional akses hukum dan keadilan:
  • UUD 1945 – Pasal 28D (1) yang menyatakan “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum dan kesetaraan di muka hukum.”
  • UU 12/2005 yang menegaskan konvensi internasional mengenai Hak Sipil dan Politik, menjadi payung hukum bagi persidangan yang adil, perlakuan yang sama dimuka pengadilan, hak atas bantuan hukum, hak banding dsb.
  • UU 7/1984 yang menegaskan konvensi internasional mengenai Pengurangan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, menjamin perlindungan hukum dan kebebasan atas diskriminasi perempuan.
  • PP No.7/2005 mengenai Rencana Pembangunan Jangka Menengah (2004-09) menegaskan peran penting akses hukum dan keadilan dalam menjembatani kepentingan ekonomi dan pembangunan sosial nasional, menggarisbawahi upaya “keadilan dan demokrasi Indonesia” sebagai satu dari tiga agenda pembangunan.
Terdapat tiga dasar pemikian utama unutk mengkonsolidasikan kebijakan pemerintah dan peraturan hukum dalam sebuah strategi nasional yang jelas dan koheren:
  1. Reformasi Kelembagaan: reformasi kelembagaan seharusnya responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Sebuah strategi nasional akan menghubungkan permintaan masyarakat akan pelayanan hukum yang lebih baik guna menjawab kebutuhan segenap masyarakat Indonesia, mencakup lembaga keadilan formal dan informal.
  2. Keadilan & Kemiskinan: meningkatkan akses hukum dan keadilan akan melengkapi upaya pemerintah untuk menanggulangi kemiskinan dan pemberdayaan masyarakat.
  3. Justice & Security: meningkatkan efektifitas dan kepercayaan terhadap sistem hukum yang pada giliranya dapat mengurangi konflik dan memperbaiki jaminan keamanan masyarakat.[6]
Dunia penegakan hukum dan keadilan yang berkeadaban, bukan saja menjadi agenda dan kewajiban serta tanggungjawab insan penegak hukum (hakim) saja. Hakim, bukan elit sosial yang memilik privilese yang eksklusif dan bebas kontrol. Ia tidak hidup dan bekerja dalam ruang hampa kritik dan sapaan. Disinilah posisi akademisi hukum. Saatnya kini, para “dewa” akademisi hukum, turun dari kayangan dan mengambil posisi dan sikap kritis melakukan transendensi ilmu. Sebagaimana fungsi teori kritis diatas, penegakan sistem hukum dan keadilan memerlukan pendekatan dengan paradigma Ilmu Sosial Profetik.
Dalam pandangan Kuntowijoyo, ilmu sosial profetik menemukan pijakan etik-ilmiahya dalam misi manusia sebagai wakil Tuhan yakni bahwa manusia sebagai ummat yang terpilih yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh menegakkan keadilan dan kebenaran dan memeranngi ketidakadilan. Dikatakan, bahwa ilmu sosial profetik ialah pross humanisasi, liberasi dan transendensi (Kuntowijoyo: Muslim Tanpa Masjid). Dengan rumusan lain, misi kampus dan penegak keadilan adalah penguatan HAM, membebaskan masyarakat dari ketidakadilan, dan intervensi nilai-nilai wahyu dalam proses-proses hukum.[7]

Produk Hukum dan Kadilan Masyarakat

Dalam kehidupan bermasyarakat sebuah aturan sangat dibutuhkan untuk  mewujudkan ketertiban, keamanan, ketentraman, serta tercapainya keadilan  ditengah masyarakat . Hal ini merupakan salah satu fungsi hukum yang harus di kedepankan secara bersama-sama disetiap sendi kehidupan umat manusia. Dalam pembuatan suatu produk hukum, tidak hanya memandang dari segi yuridisnya saja. Artinya pembentukan sebuah produk hukum tidak hanya  berdasarkan nilai hukum yang harus ditetapkan namun juga harus memandang aspek  filosofis dan aspek sosiologis. Kedua aspek ini tentu bertujuan supaya hukum mengakar serta diterima oleh masyarakat. Pertimbangan terhadap aspek filosofis dan aspek sosiologis akan mendapat respon hukum dari masyarakat, mereka tidak akan memandang hukum sebagai kepentingan, namun masyarakat akan menyadari makna dari kebutuhan hukum tersebut.

Produk hukum responsif adalah produk hukum yang mencerminkan rasa keadilan dan memenuhi harapan masyarakat. Dalam proses pembuatannya memberikan peranan besar dan partisipasi penuh kelompok-kelompok sosial atau individu dalam masyarakat. Hasilnya akan bersifat respon terhadap kepentingan seluruh elemen, baik dari segi masyarakat ataupun dari segi penegak hukum. Hasil dari produk hukum tersebut mengakomodir kepentingan rakyat dan penguasanya. Prinsip check and balance akan selalu tumbuh terhadap dinamika kehidupan masyarakat.

Lawan dari hukum responsif adalah produk hukum konservatif atau hukum refresif yang merupakan produk hukum yang isinya mencerminkan visi sosial elit politik, lebih mencerminkan keinginan pemerintah, bersifat positif instrumentalis, yakni menjadi alat pelaksana idiologi dari program negara. Berlawanan dengan hukum responsif, hukum konservatif lebih tertutup terhadap tuntutan-tuntutan kelompok maupun individu-individu dalam masyarakat. Dalam pembuatannya peranan dan partisipasi masyarakat relatif kecil.[8]

Ada yang beranggapan, bahwa ukuran keadilan itu "subyektif" dan "relatif". "Subyektif", karena ditentukan oleh manusia yang mempunyai wewenang memutuskan itu tidak mungkin memiliki kesempurnaan yang absolut. "Relatif", karena bagi seseorang dirasakan sudah adil, namun bagi orang lain dirasakan sama sekali tidak adil.

Bangsa Indonesia tetap memandang keadilan dan norma-norma kemanusiaan yang adil dan beradab sebagai sesuatu yang luhur dan suci, yang dapat memberi ketentraman dan ketenangan lahir dan batin, karena keadilan memang merupakan kepentingan utama dalam
kehidupan manusia. Karena itu dapat dimengerti, apabila terdapat perbedaan dalam melihat takaran atau ukuran keadilan.[9]

Jika terjadi pelanggaran hukum, maka harus dilakukan pengadilan untuk memulihkan keadilan. Dalam hal terjadinya pelanggaran pidana atau yang dalam bahasa sehari-hari disebut “kejahatan” maka harus dilakukan pengadilan yang akan melakukan pemulihan keadilan dengan menjatuhkan hukuman kepada orang yang melakukan pelanggaran pidana atau kejahatan tersebut.[10]

Menurut Sudikno Mertokusumo (2000:1), dalam menegakkan hukum ada tiga unsur yang harus selalu diperhatikan, yaitu: kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan. Demikian juga putusan hakim untuk menyelesaikan suatu perkara yang diajukan di pengadilan, bahwa putusan yang baik adalah yang memerhatikan tiga nilai atau unsur, yaitu nilai yuridis (kepastian hukum), nilai sosiologis (kemanfaatan), dan nilai filosofis (keadilan).

Kepastian hukum menekankan agar hukum atau peraturan itu ditegakkan sebagaimana yang dinginkan oleh bunyi hukum/peraturannya. Fiat justitia et pereat mundus (meskipun dunia ini runtuh hukum harus ditegakkan). Adapun nilai sosiologis menekankan kepada kemanfaatan bagi masyarakat. Masyarakat mengharapkan bahwa pelaksanaan hukum harus memberi manfaat, karena memang hukum adalah untuk manusia, maka dalam melaksanakan hukum jangan sampai justru menimbulkan keresahan dalam masyarakat.

Demikian juga, hukum dilaksanakan bertujuan untuk mencapai keadilan, sehingga dengan ditegakkannya hukum akan memberikan keadilan bagi masyarakat. Meskipun sebenarnya keadilan itu sendiri bersifat subyektif dan individualistis. Dalam memutus suatu perkara, ketiga unsur di atas secara teoritis, harus mendapat perhatian secara proporsional dan seimbang, meskipun dalam prakteknya tidak selalu mudah untuk mengusahakan kompromi terhadap unsur-unsur tersebut.[11]

Kode Etik Penegakkan Hukum

Di mana-mana, di seluruh dunia; keadilan selalu dilambangkan dengan sebuah neraca timbangan yang mempunyai dua lengan sejajar (al-mîzân). Kecuali di Indonesia, yang mengurus masalah kehakiman atau pengadilan selalu mempunyai lambang Neraca Timbangan. Juga kecuali di Indonesia, kementerian yang mengurus masalah hukum selalu disebut Kementerian Keadilan (Ministry of Justice, Wizârah al-'Adl) dan bukan Kementerian Kehakiman.  

Simbol Neraca Timbangan juga digunakan oleh al-Qur'an untuk melambangkan keadilan. Allah Ta'alaa menyatakan bahwa Ia mengangkat langit (meninggikan) dan meletakkan neraca perimbangan. Manusia sebagai hambanya diminta untuk tidak melanggar neraca timbangan dan menegakkan timbangan berdasarkan keadilan serta tidak mengurangi neraca timbangan tersebut (Q.S. Ar-Rahmân [55] : 7-9).

Dalam kehidupan publik, banyak sekali orang-orang yang berada pada posisi menentukan takaran dan timbangan. Pertama sekali adalah para pemegang tiga kekuasaan legislatif, eksekutif dan legislatif dalam negara. Mereka inilah yang menjadi rujukan akhir rakyat dalam bidang bidang yang menjadi wewenang mereka. Selanjutnya adalah orang-orang yang berhubungan secara khusus dengan kekuasaan kehakiman, seperti hakim, jaksa, polisi dan pengacara. Al-Qur'an sebagai petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa memuat aturan-aturan yang menjamin tegaknya keadilan dalam kehidupan inivididu, keluarga dan masyarakat. Bila belum menjadi sumber hukum dalam negara atau belum menjadi perundang-undang negara, maka aturan-aturan ini dapat disebut etika profesi penegak hukum.[12]
Dalam keadilan ada beberapa pilar yang perlu kita ketahui yaitu :
1. Keseimbangan, yaitu dasar dari penegakan keadilan itu sendiri. Yang disebut dengan keseimbangan adalah apabila semua anggota di dalam komunitas itu menegakkan fungsi-fungsinya dan aturan-aturan yang sesuai dengan fungsinya dan bekerja sesuai dengan fungsinya maka disana akan terjadi keseimbangan yang merupakan sendi dari keadilan itu. Ada sebuah ilustrasi yang menarik dan perlu dikaji lebih mendalam, “di tangan kita ada jam pada jam tersebut ada jarum, ada yang pendek, sedang dan ada jarum yang panjang“, masing-masing jarum ini menentukan fungsi yang berbeda, kalau saja jarum jam itu berlomba berputar maka disana tidak ada keseimbangan dan tidak akan menunjukkan fungsi waktu yang benar, tetapi apabila fungsi-fungsi jarum itu bergerak, bekerja dan menurut fungsinya maka di sanalah akan terjadi keseimbangan yang menjadi sendi utama dari pada keadilan itu sendiri”. Ini kadang-kadang dalam kehidupan kita terbolak balik, bahwa penegak hukum bahkan justru melakukan pelanggaran-pelanggaran yang sangat ironis dan nista.
2.      Persamaan, kita mengetahui dalam ajaran Islam semua sama di hadapan Allah SWT, tetapi yang membedakan kita adalah nilai ketaqwaan antara yang satu dengan yang lain, tetapi dalam fungsi-fungsi keseharian kita semua sama dihadapan Allah, kemudian kembali memperhatikan ayat tadi bahwa orang-orang yang melakukan kecurangan tadi adalah orang yang mengerti hukum, kalau saja yang melakukan pelanggaran itu adalah orang-orang yang tidak mengerti tentang hukum boleh jadi orang tidak terlalu mencibir, tetapi karena orang yang melakukan itu adalah mereka yang mengetahui persis tentang hukum itu maka Allah menegaskan “sungguh hina orang-orang yang melakukan perbuatan seperti itu karena dia mengetahui tetapi mempermainkan hukum“. Banyak sekali ayat dalam Al qur’an yang kita bisa ambil hikmahnya, betapa banyak orang yang memahami sesuatu tetapi dia sendiri yang melanggarnya, sungguh sesuatu yang sangat nista sangat ironis dan sangat memprihatinkan orang-orang yang kalau melakukan sesuatu atau berbicara dan mengatakan sesuatu yang manis, tetapi dia tidak lakukan dan kemudian dianggap oleh Allah mendapat laknat dan murka.[13]


Daftar Pustaka



[1] http://advokatku.blogspot.com/2006/11/memaknai-keadilan-dalam-hukum_07.html
[2]http://www.propatria.or.id/loaddown/Paper%20Diskusi/In%20Search%20of%20Reconciliation-Penegakan%20Hukum%20dalam%20Keadilan%20Transisional%20%5BAY%5D.pdf 
[3]http://www.komisiyudisial.go.id/Artikel/OPTIMALISASI%20PERAN%20KOMISI%20YUDISIAL%20RI%20DALAM%20%20MEWUJUDKAN%20SISTEM%20PENEGAKAN%20HUKUM%20%20%20DAN%20KEADILAN%20YANG%20BERKEADABAN.pdf
[4] http://utankayu.blogspot.com/2006/12/sistem-hukum-indonesia-menegakan.html
[5]http://www.badilag.net/data/ARTIKEL/Filsafat%20Hukum%20dan%20Perannya%20dalam%20Pembentukan%20Hukum%20di%20Indonesia.pdf
[6]http://www.justiceforthepoor.or.id/documents/publikasi/lainnya/A2J%20Framework%20Paper%20Bahasa.pdf 
[7]http://www.komisiyudisial.go.id,,,,,,,,,,,,
[8] http://www.freelists.org/post/ppi/ppiindia-Produk-Hukum-dan-Keadilan-Masyarakat
[9] http://www.polarhome.com/pipermail/nusantara/2002-November/000654.html
[10] http://seumirah.multiply.com/journal/item/8
[11]http://pa-lubukpakam.net/component/content/article/37-artikel/186-kebenaran-hukum-vs-keadilan-masyarakat.html [12] http://www.ddiijakarta.or.id/index.php/buletin/april/71-april1.html
[13] http://mimbarjumat.com/archives/60

Comments