Otoritas Semu - Keadilan yang bisa diperoleh melalui pengadilan formal di mana saja disebut “keadilan hukum.” Keadilan hukum itu cukup sederhana, yaitu apa yang sesuai dengan hukum dianggap adil sedang yang melanggar hukum dianggap tidak adil. Jika terjadi pelanggaran hukum, maka harus dilakukan pengadilan untuk memulihkan keadilan. Dalam hal terjadinya pelanggaran pidana atau yang dalam bahasa sehari-hari disebut “kejahatan” maka harus dilakukan pengadilan yang akan melakukan pemulihan keadilan dengan menjatuhkan hukuman kepada orang yang melakukan pelanggaran pidana atau kejahatan tersebut.
Untuk
menegakkan keadilan kata Hakim Mohammed Suffian, diperlukan usaha kerja sama
antara unsur-unsur dibawah ini:
- Pembentukan Undang-undang yang adil.
- Rakyat yang biasa taat kepada hukum (law abiding).
- Pers yang beringasan dan yang tepat menunjukkan kekurangan-kekurangan dalam sistem peradilan.
- Golongan pengacara yang bebas
- Hakim yang tidak berpihak
Dalam hal terjadinya
pelanggaran pidana atau yang dalam bahasa sehari-hari disebut “kejahatan”
maka harus dilakukan pengadilan yang akan melakukan pemulihan keadilan dengan
menjatuhkan hukuman kepada orang yang melakukan pelanggaran pidana atau
kejahatan tersebut. Pengertian yang sempit demikian sejalan dengan tujuan dari
hukum itu sendiri yakni mengatur hubungan antara individu dengan individu dan
atau antara individu dengan negara selaku penguasa.
Bahwa kemudian
seseorang atau suatu golongan yang merasa tidak mendapat keadilan dari suatu
proses hukum hal tersebut karena di masyarakat ada pengertian tentang "keadilan
sosial" yang notabene memiliki perbedaan yang jauh dari pengertian
tentang "keadilan hukum". Dari perspektif keadilan sosial,
keadilan hukum belum tentu adil. Perspektif keadilan sosial yang tumbuh dan
berkembang di masyarakat selalu mengartikan bahwa setiap orang berhak atas “kebutuhan
manusia yang mendasar” tanpa memandang perbedaan “buatan manusia”
seperti ekonomi, kelas, ras, etnis, agama, umur, dan sebagainya. Inilah
menyulitkan memaknai "keadilan" dalam suatu proses hukum.
Seorang yang haknya telah dilukai dalam suatu kejahatan tentunya akan kecewa
sekali ketika mengetahui bahwa si pelaku kejahatan mendapatkan hukuman yang
ringan. Si korban sudah pasti menghendaki hukuman yang seberat-beratnya untuk
si pelaku.[1]
Upaya untuk membebaskan konsep hukum dari ide
keadilan bukanlah persoalan mudah, sebab kedua konsep tersebut selalu
dicampuradukan di dalam pemikiran politik yang tidak ilmiah dan juga dalam
pembicaraan umum, dan karena percampuradukan kedua konsep ini berkaitan dengan
kecenderungan ideologis untuk membuat hukum positif tampak adil.
Keadilan Sebagai Pertimbangan Nilai yang Bersifat Subjektif
Jelaslah bahwa tidak
mungkin ada tatanan yang “adil”, yakni tatanan yang memberikan kebahagiaan
kepada setiap orang, bila kita mendefinisikan konsep kebahagiaan menurut
pegertian aslinya yang sempit tentang kebahagiaan perseorangan, mengartikan
kebahagiaan seseorang sebagai apa yang menurutnya memang demikian.
Jadi, tidak mungkin
pula adanya suatu tatanan yang adil meskipun atas dasar anggapan bahwa tatanan
ini berusaha menciptakan bukan kebahagiaan setiap orang perorangan, melainkan
kebahagiaan sebesar-besarnya bagi sebanyak mungkin individu.
Kebahagiaan yang dapat
dijamin oleh suatu tatanan sosial hanya bisa berupa kebahagiaan dalam arti
kelompok, yakni, terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan tertentu, yang oleh penguasa
masyarakat, yakni pembuat hukum, dianggap sebagai kebutuhan-kebutuhan yang
patut dipenuhi, seperti kebutuhan pangan, sandang, dan papan.
Kriteria keadilan,
seperti kriteria kebenaran, tidak bergantung pada banyaknya pertimbangan
tentang realitas atau pertimbangan nilai yang dibuat. Karena umat manusia
terbagi ke dalam banyak bangsa, golongan, agam, profesi, dan sebagainya, yang
seringkali berbeda-beda satu sama lainnya, maka begitu banyak gagasan tentang
keadilan, terlalu banyak bagi kita untuk sekedar berbicara tentang “keadilan”.
Penegakkan Hukum Dalam Keadilan
Indonesia sedang
mengalami suatu perubahan
yang sering disebut sebagai masa “keadilan transisional” dari rezim otoriter.
Dalam proses transisi, biasanya rakyat biasanya menuntut pertanggung jawaban dari rezim otoriter
sebelumnya atas praktek korupsi, pemerasan dan banyak “skandal” politik
lainnya. Transisi seperti ini akan menjadi lebih controversial apabila rezim
sebelumnya terlibat dalam pelanggaran berat HAM, terutama kejahatan terhadap
kemanusiaan.
Demokratisasi diseluruh
lapisan masyarakat dapat dipercepat apabila kekuatan demokratis dapat mengambil
alih kekuasaan dari kekuatan otoriter dengan cepat dan setelah itu menjadi
kekuatan yang dominan.[2]
Mengkonsolidasikan kebijakan
pemerintah Indonesia mengenai akses terhadap hukum dan keadilan menjadi
strategi nasional yang jelas, koheren dan diikuti dengan rencana kerja diharapkan
akan:
- Membangun lembaga hukum yang lebih kuat
- Menanggulangi kemiskinan dan memberdayakan masyarakat agar mampu mengelola kehidupannya sendiri; serta, pada gilirannya.
- Memperkuat kemanan nasional.
Sebuah strategi nasional akses terhadap hukum
dan keadilan akan melengkapi berbagai upaya refromasi lembaga hukum yang sedang
berjalan. Meskipun penguatan terhadap sektor keadilan formal merupakan aspek
penting dalam mendorong akses hukum dan keadilan, berbagai upaya tersebut belum
bisa optimal jika masyarakat sendiri belum memiliki kesadaran atas hak-hak
mereka, atau mengakses lembaga-lembaga hukum akibat hambatan geografis, finansial
atau pengetahuan. Penguatan akses keadilan juga harus mempertimbangkan fakta bahwa
proses penyelesaian sengketa di masyarakat pada umumnya diselesaikan melalui mekanisme
informal.
Dengan kata lain, reformasi keadilan yang
komprehensif mengandaikan adanya dua strategi yang dijalankan bersamaan yang
menghubungkan antara reformasi kelembagaan dari tingkat pusat (supply) dan aspirasi dari masyarakat
untuk mendapat akses dan pelayanan hukum yang lebih baik (demand). Strategi tersebut diyakini dapat membawa keadilan lebih
dekat bagi masyarakat. Pendekatan tersebut akan menjawab persoalan rendahnya
kepercayaan dan bisa hukum sebagaimana persepsi banyak orang, terutama oleh
masyarakat miskin, saat berupaya mencari keadilan. Strategi nasional akan
menyediakan kerangka kerja yang kuat untuk “mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh
masyarakat Indonesia,” salah satu mandat yang ditegaskan dalam Undang Undang
Dasar 1945.
Reformasi peradilan, adalah bagian dari
reformasi kehidupan ketatanegaraan sebagai hasil dari gerakan moral rakyat
terhadap penguasa Orde Baru yang otoriter dan antidemokrasi. Ciri pokok dari
kekuasaan ini adalah dijalankannya kekuasaan dengan sentralistik, anti
demokrasi, kontrol yang ketat terhadap semua lembaga negara, partai politik dan
organisasi masyarakat, serta tidak transparan. Dalam situasi demikian, korupsi
memperoleh lahan yang subur. Proses peradilan dalam penegakan hukum dan keadilan
sepenuhnya dibawah pengaruh kekuasaan.
Dewasa ini, setelah reformasi, semua tatanan
kehidupan politik, sosial dan ekonomi harus diletakkan dalam paradigma baru yang
mendasarkan pada cita-cita kemerdekaan sebagaimana Pembukaan UUD Th 1945 dengan
memperhatikan dan merespon tuntutan keadilan sosial (hukum, politik, ekonomi,
pendidikan, lingkungan, keamanan dan budaya).[3]
Penegakan
hukum adalah kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan dalam
kaidah-kaidah, pandangan-pandangan yang mantap dan mengejawantahkannya dalam
sikap, tindak sebagai serangakaian penjabaran nilai tahap akhir untuk
menciptakan kedamaian pergaulan hidup (Soejono Soekamto, 1983). Kepastian hukum
hanya dibuat untuk dalih meraih keuntungan sepihak. Yang dikatakan ”demi
kepastian hukum” sering hanya retorika untuk membela kepentingan pihak
tertentu. Akhirnya, proses hukum di luar dan di dalam pengadilan menjadi
eksklusif milik orang tertentu yang berkecimpung dalam profesi hukum. Proses
hukum menjadi ajang beradu teknik dan keterampilan. Siapa yang lebih pandai
menggunakan hukum akan keluar sebagai pemenang dalam berperkara. Bahkan,
advokat dapat membangun konstruksi hukum yang dituangkan dalam kontrak
sedemikian canggihnya sehingga kliennya meraih kemenangan tanpa melalui
pengadilan. (Tubagus Ronny Rahman Nitibaskara, Kompas).
Sistem
hukum yang baik harus dimulai dari moral penegak hukum yang baik. Ada adagium
yang melekat dalam proses hukum kita, yaitu kalau berurusan dengan hukum,
ketika kehilangan kambing maka akan kehilangan sapi. Karena baik polisi, jaksa,
hakim, maupun pengacara terlibat dalam suatu mafia peradilan. Mereka melakukan
proses jual beli, berdagang hukum diantara pelaku hukum tersebut. Itulah
tantangan besar bagi masyarakat untuk memperjuangkan hukum yang bersih,
independen, dan bebas dari kepentingan politik ataupun kepentingan lainnya. Itu
agenda yang teramat penting dan seharusnya dipelopori oleh institusi penegak
hukum. (Munarman, Hukum Dimainkan Politik, dalam kumpulan wawancara perspektif
baru 2003 – 2005).
Penegakan
hukum dalam mewujudkan keadilan harus selaras dengan mentalitas yang bermoral
bagi aparat penegak hukum. Hukum sebagai panglima mewujudkan keadilan menjadi
barometer dalam kemajuan bidang lainnya. Sehingga kemajuan sektor lainnya dapat
berjalan dalam koridor hukum yang baik. Penegakan hukum dalam masyarakat yang
pluralis harus memperkuat tatanan kehidupan sesuai Pancasila, UUD 1945,
semangat bhinneka tunggal ika, dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia dalam
memperkuat keutuhan NKRI.
Proses
ini harus dikontrol oleh rakyat secara aktif dalam bentuk partisipasi politik
mereka. Martabat manusia tidak boleh dilanggar oleh siapapun termasuk oleh
negara, kepastian ini harus diatur dalam perundang-undangan yang pembuatannya
melibatkan partisipasi rakyat.
Kemerdekaan
pengadilan dan hakim dari intervensi siapa pun atau apapun merupakan syarat
mutlak suatu negara yang berdasarkan hukum. Dan partisipasi rakyat dalam
pembuatan perundangan-undangan yang akan dijalankan oleh pengadilan adalah mutlak
sebagai pengejawantahan dari hak menentukan nasib sendiri.[4]
Tujuan
Hukum Menurut Teori Etis (Aristoteles) Hukum hanya semata-mata bertujuan untuk
mewujudkan rasa keadilan, sedangkan keadilan dibedakan menjadi dua yaitu :
- Keadilan komutatif, yang menyamakan prestasi dan kontra prestasi.
- Keadilan Distributif, keadilan yang membutuhkan distribusi atau penghargaan.[5]
Strategi Nasional Untuk Akses Hukum dan Keadilan
Terdapat dasar hukum yang kuat dalam peraturan
perundangan di Indonesia bagi pengembangan strategi nasional akses hukum dan
keadilan:
- UUD 1945 – Pasal 28D (1) yang menyatakan “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum dan kesetaraan di muka hukum.”
- UU 12/2005 yang menegaskan konvensi internasional mengenai Hak Sipil dan Politik, menjadi payung hukum bagi persidangan yang adil, perlakuan yang sama dimuka pengadilan, hak atas bantuan hukum, hak banding dsb.
- UU 7/1984 yang menegaskan konvensi internasional mengenai Pengurangan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, menjamin perlindungan hukum dan kebebasan atas diskriminasi perempuan.
- PP No.7/2005 mengenai Rencana Pembangunan Jangka Menengah (2004-09) menegaskan peran penting akses hukum dan keadilan dalam menjembatani kepentingan ekonomi dan pembangunan sosial nasional, menggarisbawahi upaya “keadilan dan demokrasi Indonesia” sebagai satu dari tiga agenda pembangunan.
Terdapat tiga dasar pemikian utama unutk
mengkonsolidasikan kebijakan pemerintah dan peraturan hukum dalam sebuah
strategi nasional yang jelas dan koheren:
- Reformasi Kelembagaan: reformasi kelembagaan seharusnya responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Sebuah strategi nasional akan menghubungkan permintaan masyarakat akan pelayanan hukum yang lebih baik guna menjawab kebutuhan segenap masyarakat Indonesia, mencakup lembaga keadilan formal dan informal.
- Keadilan & Kemiskinan: meningkatkan akses hukum dan keadilan akan melengkapi upaya pemerintah untuk menanggulangi kemiskinan dan pemberdayaan masyarakat.
- Justice & Security: meningkatkan efektifitas dan kepercayaan terhadap sistem hukum yang pada giliranya dapat mengurangi konflik dan memperbaiki jaminan keamanan masyarakat.[6]
Dunia penegakan hukum dan keadilan yang
berkeadaban, bukan saja menjadi agenda dan kewajiban serta tanggungjawab insan
penegak hukum (hakim) saja. Hakim, bukan elit sosial yang memilik privilese
yang eksklusif dan bebas kontrol. Ia tidak hidup dan bekerja dalam ruang hampa
kritik dan sapaan. Disinilah posisi akademisi hukum. Saatnya kini, para “dewa”
akademisi hukum, turun dari kayangan dan mengambil posisi dan sikap kritis melakukan transendensi ilmu. Sebagaimana fungsi
teori kritis diatas, penegakan sistem hukum dan keadilan memerlukan pendekatan
dengan paradigma Ilmu Sosial Profetik.
Dalam
pandangan Kuntowijoyo, ilmu sosial profetik menemukan pijakan etik-ilmiahya
dalam misi manusia sebagai wakil Tuhan yakni bahwa manusia sebagai ummat yang
terpilih yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh menegakkan keadilan dan
kebenaran dan memeranngi ketidakadilan. Dikatakan, bahwa ilmu sosial profetik
ialah pross humanisasi, liberasi dan transendensi (Kuntowijoyo: Muslim Tanpa
Masjid). Dengan rumusan lain, misi kampus dan penegak keadilan adalah penguatan
HAM, membebaskan masyarakat dari ketidakadilan, dan intervensi nilai-nilai wahyu
dalam proses-proses hukum.[7]
Produk Hukum dan Kadilan Masyarakat
Dalam kehidupan bermasyarakat sebuah aturan
sangat dibutuhkan untuk mewujudkan
ketertiban, keamanan, ketentraman, serta tercapainya keadilan ditengah masyarakat . Hal ini merupakan salah
satu fungsi hukum yang harus di kedepankan secara bersama-sama disetiap sendi
kehidupan umat manusia. Dalam pembuatan suatu produk hukum, tidak hanya
memandang dari segi yuridisnya saja. Artinya pembentukan sebuah produk hukum
tidak hanya berdasarkan nilai hukum yang
harus ditetapkan namun juga harus memandang aspek filosofis dan aspek sosiologis. Kedua aspek ini
tentu bertujuan supaya hukum mengakar serta diterima oleh masyarakat. Pertimbangan
terhadap aspek filosofis dan aspek sosiologis akan mendapat respon hukum dari
masyarakat, mereka tidak akan memandang hukum sebagai kepentingan, namun
masyarakat akan menyadari makna dari kebutuhan hukum tersebut.
Produk hukum responsif adalah produk hukum yang
mencerminkan rasa keadilan dan memenuhi harapan masyarakat. Dalam proses
pembuatannya memberikan peranan besar dan partisipasi penuh kelompok-kelompok
sosial atau individu dalam masyarakat. Hasilnya akan bersifat respon terhadap
kepentingan seluruh elemen, baik dari segi masyarakat ataupun dari segi penegak
hukum. Hasil dari produk hukum tersebut mengakomodir kepentingan rakyat dan
penguasanya. Prinsip check and balance akan selalu tumbuh terhadap dinamika
kehidupan masyarakat.
Lawan dari hukum responsif adalah produk hukum
konservatif atau hukum refresif yang merupakan produk hukum yang isinya
mencerminkan visi sosial elit politik, lebih mencerminkan keinginan pemerintah,
bersifat positif instrumentalis, yakni menjadi alat pelaksana idiologi dari
program negara. Berlawanan dengan hukum responsif, hukum konservatif lebih
tertutup terhadap tuntutan-tuntutan kelompok maupun individu-individu dalam
masyarakat. Dalam pembuatannya peranan dan partisipasi masyarakat relatif kecil.[8]
Ada yang beranggapan, bahwa ukuran keadilan itu
"subyektif" dan "relatif". "Subyektif", karena
ditentukan oleh manusia yang mempunyai wewenang memutuskan itu tidak mungkin memiliki
kesempurnaan yang absolut. "Relatif", karena bagi seseorang dirasakan
sudah adil, namun bagi orang lain dirasakan sama sekali tidak adil.
Bangsa Indonesia tetap memandang keadilan dan norma-norma
kemanusiaan yang adil dan beradab sebagai sesuatu yang luhur dan suci, yang
dapat memberi ketentraman dan ketenangan lahir dan batin, karena keadilan
memang merupakan kepentingan utama dalam
kehidupan manusia. Karena itu dapat dimengerti,
apabila terdapat perbedaan dalam melihat takaran atau ukuran keadilan.[9]
Jika terjadi pelanggaran hukum, maka harus
dilakukan pengadilan untuk memulihkan keadilan. Dalam hal terjadinya
pelanggaran pidana atau yang dalam bahasa sehari-hari disebut “kejahatan” maka
harus dilakukan pengadilan yang akan melakukan pemulihan keadilan dengan
menjatuhkan hukuman kepada orang yang melakukan pelanggaran pidana atau
kejahatan tersebut.[10]
Menurut
Sudikno Mertokusumo (2000:1), dalam menegakkan hukum ada tiga unsur yang harus
selalu diperhatikan, yaitu: kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan. Demikian
juga putusan hakim untuk menyelesaikan suatu perkara yang diajukan di
pengadilan, bahwa putusan yang baik adalah yang memerhatikan tiga nilai atau
unsur, yaitu nilai yuridis (kepastian hukum), nilai sosiologis (kemanfaatan),
dan nilai filosofis (keadilan).
Kepastian
hukum menekankan agar hukum atau peraturan itu ditegakkan sebagaimana yang
dinginkan oleh bunyi hukum/peraturannya. Fiat justitia et pereat
mundus (meskipun dunia ini runtuh hukum harus ditegakkan). Adapun
nilai sosiologis menekankan kepada kemanfaatan bagi masyarakat. Masyarakat
mengharapkan bahwa pelaksanaan hukum harus memberi manfaat, karena memang hukum
adalah untuk manusia, maka dalam melaksanakan hukum jangan sampai justru
menimbulkan keresahan dalam masyarakat.
Demikian
juga, hukum dilaksanakan bertujuan untuk mencapai keadilan, sehingga dengan
ditegakkannya hukum akan memberikan keadilan bagi masyarakat. Meskipun
sebenarnya keadilan itu sendiri bersifat subyektif dan individualistis. Dalam
memutus suatu perkara, ketiga unsur di atas secara teoritis, harus mendapat
perhatian secara proporsional dan seimbang, meskipun dalam prakteknya tidak
selalu mudah untuk mengusahakan kompromi terhadap unsur-unsur tersebut.[11]
Kode Etik Penegakkan Hukum
Di mana-mana, di seluruh dunia; keadilan selalu dilambangkan dengan
sebuah neraca timbangan yang mempunyai dua lengan sejajar (al-mîzân).
Kecuali di Indonesia, yang mengurus masalah kehakiman atau pengadilan selalu
mempunyai lambang Neraca Timbangan. Juga kecuali di Indonesia, kementerian yang
mengurus masalah hukum selalu disebut Kementerian Keadilan (Ministry of
Justice, Wizârah al-'Adl) dan bukan Kementerian Kehakiman.
Simbol Neraca Timbangan juga digunakan oleh al-Qur'an untuk
melambangkan keadilan. Allah Ta'alaa menyatakan bahwa Ia mengangkat langit
(meninggikan) dan meletakkan neraca perimbangan. Manusia sebagai hambanya
diminta untuk tidak melanggar neraca timbangan dan menegakkan timbangan
berdasarkan keadilan serta tidak mengurangi neraca timbangan tersebut (Q.S.
Ar-Rahmân [55] : 7-9).
Dalam kehidupan publik, banyak sekali
orang-orang yang berada pada posisi menentukan takaran dan timbangan. Pertama
sekali adalah para pemegang tiga kekuasaan legislatif, eksekutif dan legislatif
dalam negara. Mereka inilah yang menjadi rujukan akhir rakyat dalam bidang bidang
yang menjadi wewenang mereka. Selanjutnya adalah orang-orang yang berhubungan secara
khusus dengan kekuasaan kehakiman, seperti hakim, jaksa, polisi dan pengacara.
Al-Qur'an sebagai petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa memuat aturan-aturan
yang menjamin tegaknya keadilan dalam kehidupan inivididu, keluarga dan
masyarakat. Bila belum menjadi sumber hukum dalam negara atau belum menjadi
perundang-undang negara, maka aturan-aturan ini dapat disebut etika profesi
penegak hukum.[12]
Dalam keadilan ada beberapa pilar yang perlu kita ketahui yaitu :
1. Keseimbangan, yaitu dasar dari penegakan keadilan itu sendiri. Yang disebut
dengan keseimbangan adalah apabila semua anggota di dalam komunitas itu
menegakkan fungsi-fungsinya dan aturan-aturan yang sesuai dengan fungsinya dan
bekerja sesuai dengan fungsinya maka disana akan terjadi keseimbangan yang
merupakan sendi dari keadilan itu. Ada sebuah ilustrasi yang menarik dan perlu
dikaji lebih mendalam, “di tangan kita ada jam pada jam tersebut ada jarum,
ada yang pendek, sedang dan ada jarum yang panjang“, masing-masing jarum
ini menentukan fungsi yang berbeda, kalau saja jarum jam itu berlomba berputar
maka disana tidak ada keseimbangan dan tidak akan menunjukkan fungsi waktu yang
benar, tetapi apabila fungsi-fungsi jarum itu bergerak, bekerja dan menurut
fungsinya maka di sanalah akan terjadi keseimbangan yang menjadi sendi utama
dari pada keadilan itu sendiri”. Ini kadang-kadang dalam kehidupan kita
terbolak balik, bahwa penegak hukum bahkan justru melakukan
pelanggaran-pelanggaran yang sangat ironis dan nista.
2. Persamaan, kita mengetahui dalam ajaran Islam semua sama di hadapan Allah
SWT, tetapi yang membedakan kita adalah nilai ketaqwaan antara yang satu dengan
yang lain, tetapi dalam fungsi-fungsi keseharian kita semua sama dihadapan
Allah, kemudian kembali memperhatikan ayat tadi bahwa orang-orang yang
melakukan kecurangan tadi adalah orang yang mengerti hukum, kalau saja yang
melakukan pelanggaran itu adalah orang-orang yang tidak mengerti tentang hukum
boleh jadi orang tidak terlalu mencibir, tetapi karena orang yang melakukan itu
adalah mereka yang mengetahui persis tentang hukum itu maka Allah menegaskan “sungguh
hina orang-orang yang melakukan perbuatan seperti itu karena dia mengetahui
tetapi mempermainkan hukum“. Banyak sekali ayat dalam Al qur’an yang kita
bisa ambil hikmahnya, betapa banyak orang yang memahami sesuatu tetapi dia
sendiri yang melanggarnya, sungguh sesuatu yang sangat nista sangat ironis dan
sangat memprihatinkan orang-orang yang kalau melakukan sesuatu atau berbicara
dan mengatakan sesuatu yang manis, tetapi dia tidak lakukan dan kemudian
dianggap oleh Allah mendapat laknat dan murka.[13]
Daftar Pustaka
[1] http://advokatku.blogspot.com/2006/11/memaknai-keadilan-dalam-hukum_07.html
[2]http://www.propatria.or.id/loaddown/Paper%20Diskusi/In%20Search%20of%20Reconciliation-Penegakan%20Hukum%20dalam%20Keadilan%20Transisional%20%5BAY%5D.pdf
[3]http://www.komisiyudisial.go.id/Artikel/OPTIMALISASI%20PERAN%20KOMISI%20YUDISIAL%20RI%20DALAM%20%20MEWUJUDKAN%20SISTEM%20PENEGAKAN%20HUKUM%20%20%20DAN%20KEADILAN%20YANG%20BERKEADABAN.pdf
[4] http://utankayu.blogspot.com/2006/12/sistem-hukum-indonesia-menegakan.html
[5]http://www.badilag.net/data/ARTIKEL/Filsafat%20Hukum%20dan%20Perannya%20dalam%20Pembentukan%20Hukum%20di%20Indonesia.pdf
[6]http://www.justiceforthepoor.or.id/documents/publikasi/lainnya/A2J%20Framework%20Paper%20Bahasa.pdf
[7]http://www.komisiyudisial.go.id,,,,,,,,,,,,
[8] http://www.freelists.org/post/ppi/ppiindia-Produk-Hukum-dan-Keadilan-Masyarakat
[9] http://www.polarhome.com/pipermail/nusantara/2002-November/000654.html
[10] http://seumirah.multiply.com/journal/item/8
[11]http://pa-lubukpakam.net/component/content/article/37-artikel/186-kebenaran-hukum-vs-keadilan-masyarakat.html [12] http://www.ddiijakarta.or.id/index.php/buletin/april/71-april1.html
[13] http://mimbarjumat.com/archives/60
Comments
Post a Comment
Dilarang keras melakukan spam, meletakkan suatu link dalam komentar dan diharapkan bertutur kata atau menulis dengan santun. Terima kasih