Sosiologi sejatinya adalah ilmu pengetahuan yang
membahas dan mempelajari kehidupan manusia dalam masyarakat. Oleh karena obyek
kajian sosiologi adalah masyarakat maka yang dilihat dari sudut hubungan antar
manusia tersebut ada di dalam masyarakat. Jadi, pada dasarnya sosiologi
mempelajari masyarakat dan perilaku sosial manusia dengan meneliti kelompok
yang dibangunnya. Sosiologi mempelajari perilaku dan interaksi kelompok,
menelusur asal-usul pertumbuhannya serta menganalisis pengaruh kegiatan
kelompok terhadap anggotanya.
Ilmu sosial modern melihat kehidupan sosial sebagai
suatu proses yang dinamis, kehidupan sosial dilihat sebagai suatu keadaan ekuilibrium
yang dinamis sifatnya. Menurut konsepsi
ini tindakan seseorang tidak mungkin dilakukan hanya karena didorong oleh
pertimbangan individual saja. Tindakan seseorang di dalam masyarakat dilakukan
selalu dengan memperhitungkan apa yang diharapkan oleh orang lain daripadanya.
Tindakan seseorang tidak berdiri sendiri tetapi terangkai di dalam suatu
rangkaian sistem peranan yang diharapkan (role expectiation).
Sosiologi Hukum membahas hukum
sebagai alat untuk mengubah masyarakat, dalam arti bahwa hukum mungkin dipergunakan
sebagai suatu alat oleh agent of change.
Agent of change atau pelopor
perubahan adalah seseorang atau kelompok orang yang mendapatkan kepercayaan dari
masyarakat sebagai pemimpin satu atau lebih lembaga-lembaga kemasyarakatan.
Pelopor perubahan memimpin masyarakat dalam mengubah sistem sosial dan di dalam
melaksanakan hal itu langsung tersangkut dalam tekanan-tekanan untuk mengadakan
perubahan, dan bahkan mungkin menyebabkan perubahan-perubahan pula pada
lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya. Suatu perubahan-perubahan sosial yang
dikehendaki atau direncanakan, selalu berada di bawah pengendalian serta
pengawasan pelopor perubahan tersebut. Cara-cara untuk mempengaruhi masyarakat
dengan sistem yang teratur dan direncanakan terlebih dahulu, dinamakan social
engineering atau social planning[1].
Apabila ditinjau bentuk
hakikatnya, maka kaedah merupakan perumusan suatu pandangan mengenai perilaku
atau sikap hidup. Menurut Prof. Pumadi Purbacaraka, SH dan Prof. Dr. Soerjono
Soekanto, SH, MA, dari aspek hidup, kaedah mencakup :
1. Kaedah
kepercayaan
2. Kaedah
kesusilaan
3. Kaedah
sopan san tun
4. Kaedah hukum.[2]
Di dalam kaedah hukum ditentukan
apa yang menjadi hak dan kewajiban anggota masyarakat di dalam pergaulan
hidupnya, yaitu menetapkan cara bertingkah laku manusia di dalam masyarakat
serta keharusan untuk mentaatinya. Jika ketaatan pada hukum ini hanya diserahkan
kepada kemauan bebas manusia sepenuhnya, maka tujuan hukum itu akan sulit
dicapai. Karenanya perlu diiringi dengan sanksi untuk mempengaruhi kemauan
bebas itu yang berarti memaksa anggota masyarakat untuk taat pada hukum.
Pemaksaan ketaatan akan hukum ini membawa kita kepada masalah kekuasaan, dalam
arti kemampuan untuk menegakkan daya paksanya. Dengan perkataan lain manusia
memerlukan terselenggaranya kehidupan yang tertib dan teratur di dalam suatu
masyarakat dalam mengatur tingkah laku manusia, maka diperlukan peraturan
tingkah laku yang penataannya tidak dapat diserahkan sepenuhnya kepada kemauan
bebas manusia. Walaupun harus disadari bahwa hukum itu akan membawa kepada
berbagai pembatasan dan pengorbanan dalam beberapa segi kehidupan manusia
tetapi hal ini dinilai jauh lebih baik jika dibandingkan keadaan tanpa hukum,
ini berarti bahwa hukum akan mungkin berjalan dengan sempurna apabila semua
pertentangan yang timbul di dalam masyarakat dapat diselesaikan melalui jalur
hukum yang benar-benar ditegakkan secara jujur dan adil untuk mencapai kemanfaatan
dalam masyarakat.
Sebagaimana telah
dikemukakan di atas dalam konsepsi Max Weber
mengenai rasionalisasi hukum dikemukakan perbedaan antara hukum formal dan
hukum substansial. Pada hukum yang memiliki sifat irrasionalitas yang formal,
pernbentuk undang-undang dan hakim berpedoman pada norma-norma hukum di luar
dan ramalan saja. Hukum dengan irrasionalitas yang substansial terdapat apabila
pembentuk undang-undang dan hakim dalam membuat putusannya hanya didasarkan
pada nilai-nilai emosionalnya tanpa mendasarkan pada studi norma hukum
tertentu. Pada hukum yang bersifat rasional-substansial keputusan-keputusan
pembuat undang-undang dan hakim menunjuk pada suatu kitab suci, kebijakan
penguasa atau ideologi tertentu. Sedangkan hukum yang bersifat rasional-formal
dibentuk hanya berdasarkan asas-asas hukum dan konsepsi-konsepsi abstrak yang
berasal dari ilmu pengetahuan hukum.
Bahwa diperlakukan adanya
masyarakat untuk adanya hukum, bila tidak ada masyarakat sudah barang tentu
tidak ada hukum. Hukum pada dasarnya merupakan sarana mengakomodasi konflik
atau benturan dalam masyarakat. Konflik-konflik di mana para pesertanya
merasa bahwa mereka semata-mata merupakan wakil dari kolektivitas-kolektivitas
atau kelompok-kelompok yang diwakilinya, sangat mungkin lebih radikal serta tak
kenal ampun ketimbang mereka yang berjuang hanya untuk alasan-alasan pribadi.
Penghapusan unsur-unsur pengubah dimana faktor-faktor pribadi biasanya akan
dimasukkan. Gerakan kaum buruh marxis modem misalnya tak ubahnya sebagai efek
radikal dari keobyektifan konflik. Ikatan ideologis yang ketat lebih mungkin
terjadi dalam struktur yang kaku ketimbang dalam struktur yang mampu mengadakan
penyesuaian dan fleksibel.[3]
Pada umumnya mereka
memberikan pengertian hukum dari segi normalitasnya saja jadi hanya dari satu
segi saja. Sedangkan pengertian hukum dan Mochtar Kusumaatmadja melihatnya dari
dua segi dan dua aliran yaitu :
1. Melihat hukum dalam artian yang normatif yaitu
sebagai suatu perangkat kaedah dan asas-asas yang mengatur kehidupan manusia
dalam masyarakat yang tercakup dalam aliran Rechts
Positivisme.
2. Melihat hukum dalam artian sosiologi yaitu hukum
harus pula mencakup lembaga atau institusi atau proses yang diperlukan untuk
mewujudkan hukum itu dalam kenyataan dan yang tercakup dalam aliran Sosiological Juris Prudence.[4]
Beranjak dari penjabaran hukum
dari paparan sosiologis diatas, sudah sepantasnya jika kita mempertanyakan
dimana peranan hukum dan perilaku hukum dalam perubahan sosial? Karena hukum
ada jika ada masyarakat, sementara karakteristik masyarakat itu selalu berubah
maka sudah sewajarnya pula jika peran hukum dalam masyarakat serta perilaku
hukum pun berubah mengikuti wadahnya. Untuk menjawab pertanyaan diatas kita
harus kembali lagi pada ilmu sosiologi hukum yang berusaha menghubungkan hukum
dengan struktur sosial dimana hukum itu berlaku. Hukum dipergunakan sebagai alat
diagnosa untuk menemukan syarat-syarat struktural bagi perkembangan solidaritas
masyarakat..
Peran hukum dan perilaku
hukum dalam perubahan sosial bisa dibilang sangat bergantung pada dua komponen
yaitu lembaga yang menegakkannya dan masyarakat sebagai subyek pemberlakuan
hukum tersebut. Komponen pertama, lembaga yang menegakkan hukum di Indonesia,
seperti halnya di negara-negara demokratis lainnya dibagi kedalam tiga
institusi yaitu pengacara, kepolisian, kejaksaan dan kehakiman. Sementara untuk
komponen kedua, masyarakat, secara jenisnya tentu dapat dipilah kedalam
berbagai stratifikasi sosial, namun secara keseluruhan masyarakat sebagai
subyek pemberlakuan hukum memiliki karakeristik yang sama, yaitu selalu
berubah-ubah. Perubahan sosial merupakan perubahan yang bersifat
fundamental, menyangkut perubahan nilai sosial, pola perilaku, juga menyangkut
perubahan institusi sosial, interaksi sosial dan norma-norma sosial. Adanya
perubahan sosial yang cepat tapi hukumnya belum bisa mengikuti disebut hukum
sebagai Sosial Lag yaitu hukum tidak
mampu melayani kebutuhan sosial masyarakat, atau disebut juga disorganisasi,
aturan lama sudah pudar tapi aturan pengganti belum ada. Namun apabila hukum
tersebut mampu menampung perubahan-perubahan sosial yang terjadi di masyarakat
maka dapat dikatakan bahwa hukum tersebut bersifat futuristik. Namun pada
prakteknya, dalam kehidupan bernegara di Indonesia, sangat sering hukum berada
ketinggalan dibelakang perubahan masyarakat.
Salah satu contoh dari perubahan sosial terjadi di
masyarakat yang dapat mempengaruhi perubahan hukum di Indonesia adalah dalam
persidangan kasus korupsi anggota DPR Al Amin. Dalam proses persidangan tersebut
terdapat dua hal yang tidak lazim dalam proses persidangan pada umumnya, yakni
hadirnya istri terdakwa sebagai saksi dan penggunaan rekaman suara sebagai
salah satu bukti dalam persidangan. Jika diamati secara teoritis dan praktis,
dua hal tersebut merupakan penyimpangan dalam teori dan praktik hukum acara
pidana yang berlaku di Indonesia, bisa juga dibilang sebagai terobosan hakim
dalam suatu upaya menemukan kebenaran materiil dalam persidangan.
Urutan yang ada dalam pasal 184 KUHAP tentang alat
bukti bukanlah letak atau urutan kekuatan pembuktian sebagaimana yang ada dalam
ukum acara perdata. Urutan tersebut hanyalah merupakan urutan untuk memudahkan
pemeriksaan di persidangan. Karena sifat hukum pidana yang mencari kebenaran
materiil, maka dimungkinkan untuk mencari alat bukti selain alat bukti yang
diakui dalam KUHAP. Mengenai penggunaan rekaman suara dalam kasus tindak pidana
korupsi dikecualikan dalam undang-undang, yaitu dengan undang-undang No.20
tahun2001 tentang Perubahan Tindak Pidana Korupsi yang memperbolehkan khusus
untuk pembuktian dalam tindak pidana korupsi. Sementara keterangan istri
terdakwa sebagai saksi memang tidak dapat diakui sebagai sebagai bukti, namun
tetap keterangannya dapat dijadikan tambahan informasi bagi hakim demi mencari
kebenaran materiil.
PEMBAHASAN
A.
Penemuan
Hukum dalam Perubahan Sosial
Dalam pameo ubi Societas ibi ius yang bermakna dimana ada masyarakat, disitu
ada hukum maka perlu digambarkan hubungan antara perubahan sosial dan penemuan
hukum. Masyarakat ada dan menciptakan hukum, masyarakat berubah, maka hukumpun
berubah. Perubahan hukum dilalui melalui dua bentuk, yakni masyarakat berubah
terlebih dahulu, baru hukum datang mengesahkan perubahan itu (perubahan pasif)
dan bentuk lain yakni hukum sebagai alat untuk mengubah ke arah yang lebih baik
(law as a tool of social engineering).
Masalah pemenuhan hukum dalam perubahan sosial memunculkan dua pandangan yang
berlawanan berkaitan dengan bagaimana seharusnya hukum berperan. Disatu pihak,
pandangan yang mengemukakan bahwa hukum seyogyanya mengikuti, tidak memimpin
dan bahwa hal itu harus dilakukan perlahan-lahan sebagai respon terhadap
perasaan hukum masyarakat yang sudah terumuskan secara jelas. Pandangan ini
diwakili oleh Von Savigny yang berpendapat bahwa, hukum itu ditemukan, bukan
diciptakan. Pendapat berlainan dikemukakan oleh Jeremy Betham yang berkeyakinan
bahwa hukum daat dikonstruksi secara rasional dan dengan demikian akan mampu
berperan dalam mereformasi masyarakat.[5]
Pandangan kedua ini secara progresif
dikembangkan oleh Prof.Mochtar Kusumaatmadja dengan konsep hukumnya yang
memandang hukum sebagai sarana pembaharuan
masyarakat disamping saran untuk menjamin ketertiban dan kepastian
hukum. Konsepsi dan definisi hukum yang dikemukakan oleh Prof. Mochtar
Kusumaatmadja dalam tataran praktis menghendaki adanya inisiati dari pembentuk
undang-undang untuk melakukan penemuan hukum dalam rangka mengarahkan dan
mengantisipasi dampak negatif dari perubahan sosial yang terjadi di Indonesia.
Menurut Achmad Ali, tidak perlu
diperdebatkan bagaimana hukum neyesuaikan dengan perubahan masyarakat dan
bagaimana hukum menjadi penggerak ke arah perubahan masyarakat. Kenyataannya,
dimanapun dalam kegiatan perubahan hukum, hukum telah berperan dalam perubahan
tersebut dan hukum telah berperan dalam mengarahkan masyarakat kepada kehidupan
yang lebih baik. Hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia.
Perubahan hukum yang terjadi merupakan kosekuensi logis dari hukum yang
bersifat dinamis. Perubahan tersebut, baik melalui konsep masyarakat yang
berubah dahulu maupun konsep law as tool
social engineering mempunyai tujuan untuk membentuk dan memfungsikan sistem
hukum nasional yang berusmber pada dasar negara Pancasila dan konstitusi
negara. Perubahan hukum hendaknya dilaksanakan secara komprehensif yang
meliputi lembaga-lembaga hukum, peraturan-peraturan hukum dan juga
memperhatikan kesadaran hukum masyarakat.
Mempelajari perubahan hukum dalam
perubahan sosial adalah proses yang tidak cukup berhenti pada satu kesimpulan. Karena
sosiologi hukum dalam hubungannya dengan masyarakat selalu timbal balik yakni
pengaruh hukum terhadap masyarakat di satu sisi dan pengaruh perubahan
masyarakat terhadap hukum disisi yang lain.[6] Kegunaan sosiologi secara umum adalah untuk merumuskan norma dan hukum umum
yang membentuk tata hukum nasional, mengungkap aspirasi-aspirasi masyarakat,
memberikan informasi tentang dasar-dasar sosial bidang-bidang hukum tertentu,
sebagai katalisator pendekatan interdisipliner dan dapat pula sebagai pengetahuan
yang luas bagi hakim dalam menjalankan keputusan.
Namun mengingat sifatnya, sosiologi
merupakan ilmu pengetahuan murni bukan terapan, maka diperlukan disiplin ilmu
lain untuk menjabarkannya kedalam praktek. Sosiologi merupakan ilmu pengetahuan
yang abstrak dan bukan konkret, Sosiologi bertujuan untuk menghasilkan
pengertian-pengertian dan pola-pola umum. Untuk itu diperlukan disiplin ilmu
terapan seperti ilmu hukum pidana, perdata, tata negara, dsb. Namun tetap dalam
penerapannya masih memerlukan sosiologi hukum sebagai alat bantu. Misalnya, dalam penyusunan peraturan
perundang-undangan yang bersifat demokratis harus mempresentasikan peran hukum
sebagai alat untuk mendinamisasikan masyarakat. Dengan demikian fungsi vital
hukum dalam negara yang berubah dapat mengakomodasikan semua dinamika
masyarakat yang kompleks seperti Indonesia. Tanpa peran sosiologi hukum, maka
penyusunan peraturan perundang-undangan tersebut hanya murni logika dan kemungkinan
besar akan gagal menampung aspirasi masyarakat, mendapat penolakan hingga
menyebabkan antipati.
Di dalam praktek, keefektifitasan
hukum tergantung sepenuhnya pada para kalangan profesional hukum dalam
penyelesaian kasus hukum yaitu pengacara (lawyers),
Hakim (Judge) dan Klien (Client). Sudah bukan rahasia lagi bagi
para praktisi hukum bahwa terdapat inkonsistensi antara substansi hukum yang
diajarkan dalam penyelenggaraan pendidikan hukum dengan tantangan dan tuntutan
praktek hukum di Indonesia. Kesenjangan tersebut lebih sering terjadi karena
kurangnya pembinaan kesadaran hukum, khususnya sikap para pelaksana hukum. Untuk memupuk dan membina pertumbuhan
kesadaran masyarakat, para penegak hukum mempunyai peranan yang amat besar. Hal
ini penting dilakukan, mengingat institusi hukum itu sendiri dipandang sebagai
sarana penting untuk memelihara ketertiban dan perdamaian dalam masyarakat.
Suatu
bangsa yang ingin melihat terciptanya suatu ketertiban dan perdamaian dalam
masyarakat akan terus berusaha untuk mengatur dan mengarahkan tingkah laku
seluruh warga masyarakat menurut pola-pola tertentu. Salah satu cara yang dapat
dipakai untuk meperlancar interaksi antara para warga masyarakat adalah dengan
mengeluarkan norma-norma hukum tertentu. Melalui hukum inilah antara lain
ditetapkan peranan-peranan yang seharusnya dilakukan oleh warga masyarakat.
Namun, berdasarkan pengamatan maupun beberapa hasil penelitian menunjukkan
adanya ketidakcocokan antara apa yang diharapkan oleh hukum dan tingkah laku
nyata warga masyarakat.
Jadi,
tegaknya suatu peraturan hukum baru akan menjadi kenyataan bilamana, didukung
oleh adanya kesadaran hukum dari segenap warga masyarakat. Kesadaran terhadap
berlakunya hukum adalah dasar bagi dilaksanakannya hukum itu sendiri. Semakin
merata kesadaran terhadap berlakunya hukum, semakin kecil pula kemungkinan
munculnya tingkah laku yang tidak sesuai dengan hukum. Persoalannya sekarang
adalah bagaimana menumbuhkan kesadaran hukum masyarakat? Persoalan lanjutannya
adalah langkah-langkah apakah yang semestinya dilakukan untuk membina kesadaran
hukum masyarakat itu?
Mengawali
pembahasan ini, ada baiknya dijelaskan terlebih dulu terminologi dari kesadaran
hukum. Kesadaran hukum dalam konteks ini berarti kesadaran untuk bertindak
sesuai dengan ketentuan hukum. Kesadaran hukum masyarakat merupakan semacam
jembatan yang menghubungkan antara peraturan-peraturan hukum dengan tingkah
laku hukum anggota masyarakat. Lawrence Friedman 1ebih condong
menyebutnya sebagai bagian dari "kultur hukum", yaitu nilai-nilai,
sikap-sikap yang mempengaruhi bekerjanya hukum.
Secara
lebih detail Van Schmid sebagaimana dikutip oleh Sunaryati Hartono, membedakan
pengertian antara "perasaan hukum" dan "kesadaran
hukum." Untuk menunjukkan letak
perbedaan antara kedua istilah itu, Sunaryati Hartono mencoba menjelaskannya
dengan menggunakan contoh berikut ini: Di Sulawesi Selatan misalnya, terjadi
pembunuhan akibat pemutusan pertunangan yang menimbulkan malu keluarga bakal
pengantin wanita. Demikian pula di Bali, seorang ahli waris yang sah membunuh
orang yang membagi-bagikan warisan, karena ia tidak diberi bagian warisan.
Penilaian rakyat yang timbul secara spontan ini kiranya merupakan
"perasaan hukum" masyarakat. Namun, bila hal tersebut dirumuskan
dalam pengertian-pengertian hukum, maka menurut kesadaran hukum masyarakat Bali
dan Sulawesi Selatan "penghinaan berat harus ditebus dengan nyawa".
Secara lebih abstrak lagi dapat dikatakan, bahwa "kesalahan dan hukuman
harus seimbang".
Menurut
Sunaryati Hartono, betapapun kesadaran hukum itu berakar di dalam masyarakat,
ia merupakan abstraksi yang lebih rasional daripada perasaan hukum yang hidup
di dalam masyarakat. Dengan kata lain, kesadaran hukum merupakan suatu
pengertian yang menjadi hasil ciptaan para sarjana hukum. Hal ini tidak dapat
dilihat secara langsung di dalam kehidupan masyarakat, melainkan keberadaannya
hanya dapat disimpulkan dari pengalaman hidup sosial melalui suatu cara
pemikiran dan cara penafsiran tertentu. Selain itu, ada juga mengatakan bahwa
kesadaran hukum itu bukanlah semata-mata sesuatu yang tumbuh secara spontan dalam
hati sanubari masyarakat. Akan tetapi, ia juga merupakan sesuatu yang harus
dipupuk secara sadar, agar dapat tumbuh dalam hati sanubari masyarakat. Von
Savigny menjelaskan hal ini dengan mengatakan, ist and wird mit dem volke.
Uraian di atas telah menjelaskan tentang berbagai
pendapat tentang terminologi kesadaran hukum. Tampak bahwa konsep kesadaran
hukum itu sendiri mengandung unsur nilai yang tentunya sudah dihayati oleh
warga masyarakat semenjak kecil dan sudah melembaga serta mendarah daging.
Proses pelembagaan ini akhirnya menjadi pedoman yang dipertahankan oleh
masyarakat dan ditanamkan melalui proses sosialisasi. Selanjutnya, apa yang
dihayati dan dilembagakan itu diwujudkan dalam bentuk norma-norma yang menjadi
patokan bagi warga masyarakatnya dalam bertingkah laku. Jadi, sebenarnya
tingkah laku warga masyarakat mengandung unsur nilai yang sudah lama
dihayatinya; dan ini pulalah yang mempengaruhi bekerjanya hukum di dalam
masyarakat.
B.
Peran
Hukum dalam Proses Perubahan Sosial
Peran hukum dalam proses perubahan
sosial menyangkut fungsi dan peranan pengadilan dalam menangani kasus-kasus
bermasalah, adjusment terhadap perubahan-perubahan sosial dan penanganan suatu
kasus. Dalam proses
bekerjanya hukum, setiap anggota masyarakat dipandang, sebagai adresat
hukum. Chamblis dan Seidman menyebut adresat hukum itu sebagai
"pemegang peran" (role occupant). Sebagai pemegang peran ia
diharapkan oleh hukum untuk memenuhi harapan‑harapan tertentu sebagaimana
dicantumkan di dalam peraturan-peraturan. Dengan demikian, anggota masyarakat
diharapkan untuk memenuhi peran yang tertulis di situ (role expectation).
Oleh
karena pengaruh berbagai faktor yang bekerja atas diri orang tersebut sebagai
pemegang peran, maka dapat saja terjadi suatu penyimpangan antara peran yang diharapkan
dan peran yang dilakukan. Itu artinya, telah terjadi ketidakcocokan antara isi
peraturan dan tingkah laku warga masyarakat. Di sini, ada kemungkinan besar
bahwa anggota masyarakat tersebut tetap bertingkah laku sesuai dengan nilai
budaya yang telah lama dikenal dan dihayatinya. Sudah cukup banyak penelitian
yang menemukan bahwa kesadaran hukum masyarakat terhadap peraturan‑peraturan
hukum yang dibuat oleh negara masih jauh dari harapan. Perilaku yang
bertentangan dengan hukum itu lebih disebabkan oleh sikap moral (mores) masyarakat
yang tidak sejalan dengan isi peraturan hukum tersebut. Menurut Sumner, mores
atau sikap moral masyarakat itu selalu berada dalam posisi mendahului dan
menjadi penentu bekerjanya hukum. Sulit bagi kita untuk mengubah mores masyarakat
secara besar-besaran dan mendadak, apa pun rencana dan alat yang dipakai. Mores
memang dapat diubah, tetapi dengan cara perlahan-lahan dan dengan suatu
usaha yang terus-menerus serta bervariasi.
Ini
berarti, kekuatan utama kontrol sosial bukan terletak pada adanya pasal-pasal
peraturan hukum yang dibuat secara formal dan tertulis. Walaupun, tidak dapat
dipungkiri bahwa bagaimanapun juga peraturan-peraturan hukum formal dan
tertulis itu masih bisa memberikan pengarahan, pengaruh dan efek-efek kekuatan
pada pelaksanaannya. Sekalipun ada unsur-unsur baru dalam peraturan hukum,
namun beberapa hasil penelitian menunjukan bahwa anggota masyarakat yang
dikatakan sebagai pemegang peran tetap berpola tingkah laku yang sesuai dengan
kesadaran hukumnya sendiri. Apa yang menjadi cita-cita pembuat undang-undang
itu rupanya belum terwujud. Lain halnya kalau peraturan hukum itu hanya
bersifat memperkokoh nilai-nilai yang telah ada dan sudah diresapi oleh anggota
masyarakatnya. Karakteristik peraturan hukum seperti itu jelas tidak akan
menimbulkan masalah kesadaran hukum masyarakat, karena sesungguhnya aspek ini
sudah sejak semula menyatu dengan peraturan-peraturan hukum itu sendiri.
Peran
hukum dalam proses perubahan sosial, sebagaiman telah dijelaskan, akhirnya
terbagi menjadi dua karakteristik. Pertama, hukum berfungsi sebagai alat
perubah (bersifat aktif) atau sering disebut sebagai law as a tool of social engineering. Kedua, hukum berfungsi sebagai wadah perubahan
(bersifat pasif) yakni masyarakat berubah terlebih
dahulu, baru hukum datang mengesahkan perubahan itu. Bagaimanapun caranya,
tetap peran hukum menentukan bagaimana arah perubahan sosial tersebut menuju. Saat ini hukum bukan hanya dipakai untuk mempertandingkan
pola-pola hubungan serta kaidah-kaidah yang telah ada. Hukum yang diterima
sebagai konsep yang modern memiliki fungsi untuk melakukan suatu perubahan
sosial. Bahkan, lebih dari itu hukum dipergunakan untuk menyalurkan hasil-hasil
keputusan politik. Hukum bukan lagi mengukuhkan pola-pola kebiasaan dan tingkah
laku yang telah ada, tetapi juga berorientasi kepada tujuan-tujuan yang
diinginkan, yaitu menciptakan pola-pola perilaku yang baru. Di dalam
menjalankan fungsinya, hukum senantiasa berhadapan dengan nilai-nilai maupun
pola-pola perilaku yang telah mapan dalam masyarakat.
Hukum
senantiasa dibatasi oleh situasi atau lingkungan di mana ia berada, sehingga
tidak heran kalau terjadi ketidak-cocokan antara apa yang seharusnya (das
sollen) dengan apa yang senyatanya (das sein). Dengan perkataan lain,
muncul diskrepansi antara law in the books dan law in action. Oleh
sebab itu Chamblis dan Seidman dalam mengamati keadaan yang demikian itu
menyebutkan The myth of the operation
of the law to given the lie daily.
Selanjutnya,
apabila kita melihat penegakan hukum merupakan suatu proses untuk mewujudkan
tujuan-tujuan hukum menjadi kenyataan, maka proses itu selalu melibatkan para
pembuat dan pelaksana hukum, serta juga masyarakatnya. Masing-masing komponen.
ingin mengembangkan nilai-nilai yang ada di lingkungan yang sarat dengan
pengaruh faktor-faktor non-hukum lainnya. Apabila kita hendak melihat hukum
sebagai suatu sistem sebagaimana telah diuraikan terdahulu, maka penegakan
hukum sebagai suatu proses akan melibatkan berbagai macam komponen yang saling
berhubungan, dan bahkan ada yang memiliki tingkat ketergantungan yang cukup
erat. Akibatnya, ketiadaan salah satu komponen dapat menyebabkan inefficient
maupun useless sehingga tujuan hukum yang dicita-citakan itu sulit
terwujud.
Bisa
disimpulkan, peran hukum (undang-undang) dalam perubahan sosial bisa dikatakan
tidak bebas nilai. Setiap undang-undang sekali dikeluarkan akan berubah baik
melalui perubahan formal maupun melalui cara-cara yang ditempuh birokrasi
ketika bertindak. Ia berubah disebabkan oleh adanya perubahan kekuatan sosial,
budaya, ekonomi, politik dan lain-lain yang melingkupinya. Perubahaan itupun
terutama disebabkan oleh pemegang peran terhadap pembuat undang-undang dan
terhadap birokrasi penegakan, dan demikian pula sebaliknya. Setiap peraturan
hukum selalu menghendaki bagaimana seseorang itu diharapkan bertindak. Dan
bagan tersebut menunjukkan bahwa tingkah laku seseorang tidak hanya ditentukan
oleh hukum, melainkan juga oleh kekuatan-kekuatan lainnya yang muncul dalam
lingkungan. Gambaran di muka memberikan suatu pemahaman yang lebih baik tentang
hukum dan proses bekerjanya yang tidak bebas nilai.
C. Penegakan
Hukum
Pada
Masyarakat
Demokratis
Penegakkan
hukum pada masyarakat demokratis berkaitan dengan budaya hukum dan pembangunan
masyarakat. Dalam setiap usaha untuk merealisasikan tujuan pembangunan, maka
sistem hukum itu dapat memairikan peranan sebagai pendukung dan penunjangnya.
Suatu sistem hukum yang tidak efektif tentunya akan menghambat terealisasinya
tujuan yang ingin dicapai itu. Sistem hukum dapat dikatakan efektif bila
perilaku-perilaku manusia di dalam masyarakat sesuai dengan apa yang telah
ditentukan di dalam aturan-aturan hukum yang berlaku.
Berbicara
penegakkan hukum pada masyarakat demokratis kita tidak bisa hanya menumpukan
harapan hanya kepada para penegak hukum. Karena hukum yang dipakai sebagai
sarana untuk merubah tingkah-laku, tentunya mengandung nilai-nilai yang berbeda
dengan nilai‑nilai yang telah dikenal oleh masyarakat terutama masyarakat
pedesaan. Mengingat pengetahuan masyarakat desa sangat rendah dan bahkan masih
banyak yang buta aksara, maka sulit diharapkan mereka bisa mengerti, bahkan
memahami aturan yang ada. Untuk itu, peranan birokrasi pelaksana, dalam hal ini
adalah kepala desa, sangat penting artinya.
Harus
disadari bahwa sekitar 80 % rakyat Indonesia hidup di pedesaan. Penduduk
pedesaan ini bermukim menyebar di sekitar 60.415 desa di seluruh Indonesia.
Dada umumnya taraf hidup rakyat desa tergolong miskin, demikian pula tingkat
pengetahuannya tergolong rendah. Bagaimana mungkin kita dapat menuntut rakyat
desa tersebut untuk bertingkah laku sesuai dengan makna peraturan hukum. Di
samping mereka tidak dapat mengetahui isinya karena sulit mengerti bahasa
hukum, komunikasi hukum pun semata-mata hanya sekedar untuk memenuhi syarat
formal, yaitu dengan dimuatnya dalam Lembaran Negara. Saluran komunikasi yang
tidak terorganisasi secara baik dan rapi akan berdampak pada kekeliruan
informasi mengenai isi peraturan hukum yang ingin disampaikan kepada
masyarakat.
Sebagai
akibat lanjutannya, timbul perbedaan antara apa yang dikehendaki oleh
undang-undang dengan praktek yang dijalankan oleh masyarakat. Bagaimana
seseorang dapat diharapkan untuk bertingkah-laku sesuai dengan perubahan yang
dikehendaki oleh hukum, apabila ia tidak mengerti perbuatan yang bagaimana
sesungguhnya harus dilakukannya. Apabila tiadanya komunikasi tentang makna
peraturan, maka rakyat tetap bertingkah laku sesuai dengan apa yang telah
menjadi pandangan maupun nilai-nilai yang telah melembaga sebelumnya.
Kegagalan untuk mewujudkan salah satu dari nilai‑nilai
tersebut dapat menimbulkan hasil-hasil yang tidak sesuai dengan apa yang
menjadi harapan dari isi peraturan itu. Namun demikian, sebaik apapun hukum
yang dibuat, tapi pada akhirnya sangat ditentukan oleh budaya hukum masyarakat
yang bersangkutan. Berbicara mengenai budaya hukum adalah berbicara mengenai
bagaimana sikap-sikap, pandangan-pandangan serta nilai-nilai yang dimiliki oleh
masyarakat. Semua komponen budaya hukum itulah yang sangat menentukan berhasil
tidaknya kebijaksanaan yang telah dituangkan dalam bentuk hukum itu.
D. Budaya
Hukum
dan Pembangunan
Masyarakat
Hampir
setiap bidang kehidupan sekarang ini diatur oleh peraturan-peraturan hukum.
Melalui penormaan terhadap tingkah laku manusia ini hukum menelusuri hampir
semua bidang kehidupan manusia. Campur tangan hukum yang semakin meluas ke
dalam bidang kehidupan masyarakat menyebabkan masalah efektivitas penerapan
hukum menjadi semakin penting untuk diperhitungkan. Itu artinya, hukum harus
bias menjadi institusi yang bekerja secara efektif di dalam masyarakat.
Bagi
suatu masyarakat yang sedang membangun hukum selalu dikaitkan dengan
usaha-usaha untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat ke arah yang lebih
baik. Menghadapi keadaan demikian, maka peranan hukum semakin menjadi penting
dalam mewujudkan tujuan itu. Fungsi hukum tidak cukup hanya sebagai kontrol
sosial, melainkan lebih dari itu. Fungsi hukum yang diharapkan dewasa ini
adalah melakukan usaha untuk menggerakkan rakyat agar bertingkah laku sesuai
dengan cara-cara baru untuk mencapai suatu tujuan yang dicita-citakan. Untuk
bertindak atau bertingkah laku sesuai dengan ketentuan hukum inilah perlu ada
kesadaran hukum dari masyarakat, karena faktor tersebut merupakan jembatan yang
menghubungkan antara peraturan-peraturan hukum dengan tingkah laku
anggota-anggota masyarakat. Kesadaran hukum masyarakat itu; oleh Lawrence M
Friedman, terkait erat dengan masalah budaya hukum. Dimaksudkan
dengan budaya hukum di sini adalah berupa kategori nilai‑nilai,
pandangan-pandangan serta sikap-sikap yang mempengaruhi bekerjanya hukum.
Keadaan
yang demikian itu seolah-olah menggambarkan, bahwa sesungguhnya fungsi hukum
sekararig ini sudah mengalami pergeseran, yakni secara lebih aktif melakukan
pernbahan-perubahan yang diinginkan. Lon. L. Fuller melihat hukum itu sebagai
usaha untuk mencapai tujuan tertentu. Pembangunan yang menempati kedudukan yang
utama di Indonesia memang menghendaki agar hukum dapat dijadikan sandaran dan
kerangka acuan. Itu berarti, hukum harus bisa mendukung usaha-usaha yang sedang
dilakukan untuk membangun masyarakat, baik secara fisik maupun spiritual. Hukum
menjadi sarana bagi mereka yang mempunyai kekuasaan dalam pemerintahan untuk
menetapkan dan menyalurkan berbagai kebijaksanaan pembangunan.
Dengan
demikian, segala kebijaksanaan pemerintah dapat dirumuskan dengan jelas dan
terbuka melalui institusi yang namanya hukum itu. Di sini, hukum menjadi
sandaran bagi semua pihak, terutama instansi yang terlibat di dalam proses
pembangunan atau pelaksanaan keputusan-keputusan pembangunan. Namun, harus
diakui bahwa pembuat kebijaksanaan mempunyai kedudukan sosial yang berbeda dengan mereka
yang menjadi sasaran kebijaksanaan itu, dan bahkan posisi para pembuat
kebijaksanaanlah yang lebih strategis dan menentukan. Kestrategisan posisi itu,
pulalah yang membuat mereka "cenderung" menetapkan keputusan yang
lebih mencerminkan nilai-nilai dan keinginan‑keinginan dari golongan mereka.
Kebijaksanaan menyangkut peningkatan kesejahteraan hanyalah merupakan suatu
tanggungjawab mereka sebagai golongan elite yang sedang berkuasa.
Dengan
demikian, para pengambil kebijaksanaan dapat, dengan leluasa berbuat apa saja,
termasuk menjatuhkan pilihannya kepada sistem hukum yang modern rasional
sebagai saluran legitimasi. Sementara, seluruh hal yang diputuskan itu tidak
selalu sejalan dengan kesiapan masyarakat untuk menerimanya. Akibatnya, apa
yang diputuskan melalui hukum itu tidak dapat dilaksanakan dengan baik dalam
masyarakat, karena tidak sejalan dengan nilai-nilai, sikap-sikap serta
pandangan-pandangan yang telah dihayati oleh anggota-anggota masyarakat.
KESIMPULAN
Sosiologi hukum bertugas mempelajari hukum dalam
hubungannya dengan masyarakat serta timbal balik yakni pengaruh hukum terhadap
masyarakat disatu sisi dan perngaruh perubahan masyarakat terhadap hukum disisi
lain. Hukum memiliki hubungan
timbal-balik dengan masyarakatnya, karena hukum itu sendiri merupakan sarana
pengatur masyarakat den bekerja di dalam masyarakat. Itulah sebabnya, hukum
tidak terlepas dari gagasan maupun pendapat-pendapat yang hidup di kalangan
anggota masyarakat. Struktur masyarakat dapat menjadi penghambat sekaligus
dapat memberikan sarana-sarana sosial, sehingga memungkinkan hukum dapat
diterapkan dengan sebaik‑baiknya.
Hukum modern yang
memiliki ciri formal dan rasional hanya dapat terlaksana, apabila ada dukungan
administrasi yang juga semakin rasional pula. Demikian pula, penegakan hukum
yang demikian itu menjadi efektif apabila masyarakat yang menjadi basis sosial
bekerjanya hukum itu pun merupakan masyarakat yang tidak lagi bersifat
tradisional atau kharismatis.
Hukum
dan perilaku hukum dalam perubahan sosial sangat ditentukan oleh bagaimana
kultur hukum itu hidup di masyarakat. Kultur hukum merupakan sikap-sikap dan
nilai-nilai yang yang dimiliki oleh masyarakat yang berhubungan dengan hukum,
dan lembaga-lembaganya, baik yang bersifat positif maupun negatif. Unsur kultur
hukum inilah yang akan menentukan mengapa seseorang itu patuh atau tidak patuh
.terhadap peraturan yang ada.
Daftar Pustaka
[1]
Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta , 1988, hal 106
[2]
Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Perilaku Kaedah Hukum. PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung
1993, hal 8.
[3]
Margareth M, Poloma, Sosiologi Kontemporer, Raja Grafindo Persada, Jakarta , 2000
[4]
Lili Rasidi dan B. Arief Sidharta, Filsafat Hukum, Mazhab dan Refleksinya. PT.
Remaja Rosda Karya, Bandung ,
1989, hal 141.
[5] Bernard
Arief Sidharta, 2000 : 7
[6] Soeryono, Kegunaan : 14, mengenal: 11)
Sosiologi sejatinya adalah ilmu pengetahuan yang
membahas dan mempelajari kehidupan manusia dalam masyarakat. Oleh karena obyek
kajian sosiologi adalah masyarakat maka yang dilihat dari sudut hubungan antar
manusia tersebut ada di dalam masyarakat. Jadi, pada dasarnya sosiologi
mempelajari masyarakat dan perilaku sosial manusia dengan meneliti kelompok
yang dibangunnya. Sosiologi mempelajari perilaku dan interaksi kelompok,
menelusur asal-usul pertumbuhannya serta menganalisis pengaruh kegiatan
kelompok terhadap anggotanya.
Ilmu sosial modern melihat kehidupan sosial sebagai
suatu proses yang dinamis, kehidupan sosial dilihat sebagai suatu keadaan ekuilibrium
yang dinamis sifatnya. Menurut konsepsi
ini tindakan seseorang tidak mungkin dilakukan hanya karena didorong oleh
pertimbangan individual saja. Tindakan seseorang di dalam masyarakat dilakukan
selalu dengan memperhitungkan apa yang diharapkan oleh orang lain daripadanya.
Tindakan seseorang tidak berdiri sendiri tetapi terangkai di dalam suatu
rangkaian sistem peranan yang diharapkan (role expectiation).
Sosiologi Hukum membahas hukum
sebagai alat untuk mengubah masyarakat, dalam arti bahwa hukum mungkin dipergunakan
sebagai suatu alat oleh agent of change.
Agent of change atau pelopor
perubahan adalah seseorang atau kelompok orang yang mendapatkan kepercayaan dari
masyarakat sebagai pemimpin satu atau lebih lembaga-lembaga kemasyarakatan.
Pelopor perubahan memimpin masyarakat dalam mengubah sistem sosial dan di dalam
melaksanakan hal itu langsung tersangkut dalam tekanan-tekanan untuk mengadakan
perubahan, dan bahkan mungkin menyebabkan perubahan-perubahan pula pada
lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya. Suatu perubahan-perubahan sosial yang
dikehendaki atau direncanakan, selalu berada di bawah pengendalian serta
pengawasan pelopor perubahan tersebut. Cara-cara untuk mempengaruhi masyarakat
dengan sistem yang teratur dan direncanakan terlebih dahulu, dinamakan social
engineering atau social planning[1].
Apabila ditinjau bentuk
hakikatnya, maka kaedah merupakan perumusan suatu pandangan mengenai perilaku
atau sikap hidup. Menurut Prof. Pumadi Purbacaraka, SH dan Prof. Dr. Soerjono
Soekanto, SH, MA, dari aspek hidup, kaedah mencakup :
1. Kaedah
kepercayaan
2. Kaedah
kesusilaan
3. Kaedah
sopan san tun
4. Kaedah hukum.[2]
Di dalam kaedah hukum ditentukan
apa yang menjadi hak dan kewajiban anggota masyarakat di dalam pergaulan
hidupnya, yaitu menetapkan cara bertingkah laku manusia di dalam masyarakat
serta keharusan untuk mentaatinya. Jika ketaatan pada hukum ini hanya diserahkan
kepada kemauan bebas manusia sepenuhnya, maka tujuan hukum itu akan sulit
dicapai. Karenanya perlu diiringi dengan sanksi untuk mempengaruhi kemauan
bebas itu yang berarti memaksa anggota masyarakat untuk taat pada hukum.
Pemaksaan ketaatan akan hukum ini membawa kita kepada masalah kekuasaan, dalam
arti kemampuan untuk menegakkan daya paksanya. Dengan perkataan lain manusia
memerlukan terselenggaranya kehidupan yang tertib dan teratur di dalam suatu
masyarakat dalam mengatur tingkah laku manusia, maka diperlukan peraturan
tingkah laku yang penataannya tidak dapat diserahkan sepenuhnya kepada kemauan
bebas manusia. Walaupun harus disadari bahwa hukum itu akan membawa kepada
berbagai pembatasan dan pengorbanan dalam beberapa segi kehidupan manusia
tetapi hal ini dinilai jauh lebih baik jika dibandingkan keadaan tanpa hukum,
ini berarti bahwa hukum akan mungkin berjalan dengan sempurna apabila semua
pertentangan yang timbul di dalam masyarakat dapat diselesaikan melalui jalur
hukum yang benar-benar ditegakkan secara jujur dan adil untuk mencapai kemanfaatan
dalam masyarakat.
Sebagaimana telah
dikemukakan di atas dalam konsepsi Max Weber
mengenai rasionalisasi hukum dikemukakan perbedaan antara hukum formal dan
hukum substansial. Pada hukum yang memiliki sifat irrasionalitas yang formal,
pernbentuk undang-undang dan hakim berpedoman pada norma-norma hukum di luar
dan ramalan saja. Hukum dengan irrasionalitas yang substansial terdapat apabila
pembentuk undang-undang dan hakim dalam membuat putusannya hanya didasarkan
pada nilai-nilai emosionalnya tanpa mendasarkan pada studi norma hukum
tertentu. Pada hukum yang bersifat rasional-substansial keputusan-keputusan
pembuat undang-undang dan hakim menunjuk pada suatu kitab suci, kebijakan
penguasa atau ideologi tertentu. Sedangkan hukum yang bersifat rasional-formal
dibentuk hanya berdasarkan asas-asas hukum dan konsepsi-konsepsi abstrak yang
berasal dari ilmu pengetahuan hukum.
Bahwa diperlakukan adanya
masyarakat untuk adanya hukum, bila tidak ada masyarakat sudah barang tentu
tidak ada hukum. Hukum pada dasarnya merupakan sarana mengakomodasi konflik
atau benturan dalam masyarakat. Konflik-konflik di mana para pesertanya
merasa bahwa mereka semata-mata merupakan wakil dari kolektivitas-kolektivitas
atau kelompok-kelompok yang diwakilinya, sangat mungkin lebih radikal serta tak
kenal ampun ketimbang mereka yang berjuang hanya untuk alasan-alasan pribadi.
Penghapusan unsur-unsur pengubah dimana faktor-faktor pribadi biasanya akan
dimasukkan. Gerakan kaum buruh marxis modem misalnya tak ubahnya sebagai efek
radikal dari keobyektifan konflik. Ikatan ideologis yang ketat lebih mungkin
terjadi dalam struktur yang kaku ketimbang dalam struktur yang mampu mengadakan
penyesuaian dan fleksibel.[3]
Pada umumnya mereka
memberikan pengertian hukum dari segi normalitasnya saja jadi hanya dari satu
segi saja. Sedangkan pengertian hukum dan Mochtar Kusumaatmadja melihatnya dari
dua segi dan dua aliran yaitu :
1. Melihat hukum dalam artian yang normatif yaitu
sebagai suatu perangkat kaedah dan asas-asas yang mengatur kehidupan manusia
dalam masyarakat yang tercakup dalam aliran Rechts
Positivisme.
2. Melihat hukum dalam artian sosiologi yaitu hukum
harus pula mencakup lembaga atau institusi atau proses yang diperlukan untuk
mewujudkan hukum itu dalam kenyataan dan yang tercakup dalam aliran Sosiological Juris Prudence.[4]
Beranjak dari penjabaran hukum
dari paparan sosiologis diatas, sudah sepantasnya jika kita mempertanyakan
dimana peranan hukum dan perilaku hukum dalam perubahan sosial? Karena hukum
ada jika ada masyarakat, sementara karakteristik masyarakat itu selalu berubah
maka sudah sewajarnya pula jika peran hukum dalam masyarakat serta perilaku
hukum pun berubah mengikuti wadahnya. Untuk menjawab pertanyaan diatas kita
harus kembali lagi pada ilmu sosiologi hukum yang berusaha menghubungkan hukum
dengan struktur sosial dimana hukum itu berlaku. Hukum dipergunakan sebagai alat
diagnosa untuk menemukan syarat-syarat struktural bagi perkembangan solidaritas
masyarakat..
Peran hukum dan perilaku
hukum dalam perubahan sosial bisa dibilang sangat bergantung pada dua komponen
yaitu lembaga yang menegakkannya dan masyarakat sebagai subyek pemberlakuan
hukum tersebut. Komponen pertama, lembaga yang menegakkan hukum di Indonesia,
seperti halnya di negara-negara demokratis lainnya dibagi kedalam tiga
institusi yaitu pengacara, kepolisian, kejaksaan dan kehakiman. Sementara untuk
komponen kedua, masyarakat, secara jenisnya tentu dapat dipilah kedalam
berbagai stratifikasi sosial, namun secara keseluruhan masyarakat sebagai
subyek pemberlakuan hukum memiliki karakeristik yang sama, yaitu selalu
berubah-ubah. Perubahan sosial merupakan perubahan yang bersifat
fundamental, menyangkut perubahan nilai sosial, pola perilaku, juga menyangkut
perubahan institusi sosial, interaksi sosial dan norma-norma sosial. Adanya
perubahan sosial yang cepat tapi hukumnya belum bisa mengikuti disebut hukum
sebagai Sosial Lag yaitu hukum tidak
mampu melayani kebutuhan sosial masyarakat, atau disebut juga disorganisasi,
aturan lama sudah pudar tapi aturan pengganti belum ada. Namun apabila hukum
tersebut mampu menampung perubahan-perubahan sosial yang terjadi di masyarakat
maka dapat dikatakan bahwa hukum tersebut bersifat futuristik. Namun pada
prakteknya, dalam kehidupan bernegara di Indonesia, sangat sering hukum berada
ketinggalan dibelakang perubahan masyarakat.
Salah satu contoh dari perubahan sosial terjadi di
masyarakat yang dapat mempengaruhi perubahan hukum di Indonesia adalah dalam
persidangan kasus korupsi anggota DPR Al Amin. Dalam proses persidangan tersebut
terdapat dua hal yang tidak lazim dalam proses persidangan pada umumnya, yakni
hadirnya istri terdakwa sebagai saksi dan penggunaan rekaman suara sebagai
salah satu bukti dalam persidangan. Jika diamati secara teoritis dan praktis,
dua hal tersebut merupakan penyimpangan dalam teori dan praktik hukum acara
pidana yang berlaku di Indonesia, bisa juga dibilang sebagai terobosan hakim
dalam suatu upaya menemukan kebenaran materiil dalam persidangan.
Urutan yang ada dalam pasal 184 KUHAP tentang alat
bukti bukanlah letak atau urutan kekuatan pembuktian sebagaimana yang ada dalam
ukum acara perdata. Urutan tersebut hanyalah merupakan urutan untuk memudahkan
pemeriksaan di persidangan. Karena sifat hukum pidana yang mencari kebenaran
materiil, maka dimungkinkan untuk mencari alat bukti selain alat bukti yang
diakui dalam KUHAP. Mengenai penggunaan rekaman suara dalam kasus tindak pidana
korupsi dikecualikan dalam undang-undang, yaitu dengan undang-undang No.20
tahun2001 tentang Perubahan Tindak Pidana Korupsi yang memperbolehkan khusus
untuk pembuktian dalam tindak pidana korupsi. Sementara keterangan istri
terdakwa sebagai saksi memang tidak dapat diakui sebagai sebagai bukti, namun
tetap keterangannya dapat dijadikan tambahan informasi bagi hakim demi mencari
kebenaran materiil.
PEMBAHASAN
A.
Penemuan
Hukum dalam Perubahan Sosial
Dalam pameo ubi Societas ibi ius yang bermakna dimana ada masyarakat, disitu
ada hukum maka perlu digambarkan hubungan antara perubahan sosial dan penemuan
hukum. Masyarakat ada dan menciptakan hukum, masyarakat berubah, maka hukumpun
berubah. Perubahan hukum dilalui melalui dua bentuk, yakni masyarakat berubah
terlebih dahulu, baru hukum datang mengesahkan perubahan itu (perubahan pasif)
dan bentuk lain yakni hukum sebagai alat untuk mengubah ke arah yang lebih baik
(law as a tool of social engineering).
Masalah pemenuhan hukum dalam perubahan sosial memunculkan dua pandangan yang
berlawanan berkaitan dengan bagaimana seharusnya hukum berperan. Disatu pihak,
pandangan yang mengemukakan bahwa hukum seyogyanya mengikuti, tidak memimpin
dan bahwa hal itu harus dilakukan perlahan-lahan sebagai respon terhadap
perasaan hukum masyarakat yang sudah terumuskan secara jelas. Pandangan ini
diwakili oleh Von Savigny yang berpendapat bahwa, hukum itu ditemukan, bukan
diciptakan. Pendapat berlainan dikemukakan oleh Jeremy Betham yang berkeyakinan
bahwa hukum daat dikonstruksi secara rasional dan dengan demikian akan mampu
berperan dalam mereformasi masyarakat.[5]
Pandangan kedua ini secara progresif
dikembangkan oleh Prof.Mochtar Kusumaatmadja dengan konsep hukumnya yang
memandang hukum sebagai sarana pembaharuan
masyarakat disamping saran untuk menjamin ketertiban dan kepastian
hukum. Konsepsi dan definisi hukum yang dikemukakan oleh Prof. Mochtar
Kusumaatmadja dalam tataran praktis menghendaki adanya inisiati dari pembentuk
undang-undang untuk melakukan penemuan hukum dalam rangka mengarahkan dan
mengantisipasi dampak negatif dari perubahan sosial yang terjadi di Indonesia.
Menurut Achmad Ali, tidak perlu
diperdebatkan bagaimana hukum neyesuaikan dengan perubahan masyarakat dan
bagaimana hukum menjadi penggerak ke arah perubahan masyarakat. Kenyataannya,
dimanapun dalam kegiatan perubahan hukum, hukum telah berperan dalam perubahan
tersebut dan hukum telah berperan dalam mengarahkan masyarakat kepada kehidupan
yang lebih baik. Hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia.
Perubahan hukum yang terjadi merupakan kosekuensi logis dari hukum yang
bersifat dinamis. Perubahan tersebut, baik melalui konsep masyarakat yang
berubah dahulu maupun konsep law as tool
social engineering mempunyai tujuan untuk membentuk dan memfungsikan sistem
hukum nasional yang berusmber pada dasar negara Pancasila dan konstitusi
negara. Perubahan hukum hendaknya dilaksanakan secara komprehensif yang
meliputi lembaga-lembaga hukum, peraturan-peraturan hukum dan juga
memperhatikan kesadaran hukum masyarakat.
Mempelajari perubahan hukum dalam
perubahan sosial adalah proses yang tidak cukup berhenti pada satu kesimpulan. Karena
sosiologi hukum dalam hubungannya dengan masyarakat selalu timbal balik yakni
pengaruh hukum terhadap masyarakat di satu sisi dan pengaruh perubahan
masyarakat terhadap hukum disisi yang lain.[6] Kegunaan sosiologi secara umum adalah untuk merumuskan norma dan hukum umum
yang membentuk tata hukum nasional, mengungkap aspirasi-aspirasi masyarakat,
memberikan informasi tentang dasar-dasar sosial bidang-bidang hukum tertentu,
sebagai katalisator pendekatan interdisipliner dan dapat pula sebagai pengetahuan
yang luas bagi hakim dalam menjalankan keputusan.
Namun mengingat sifatnya, sosiologi
merupakan ilmu pengetahuan murni bukan terapan, maka diperlukan disiplin ilmu
lain untuk menjabarkannya kedalam praktek. Sosiologi merupakan ilmu pengetahuan
yang abstrak dan bukan konkret, Sosiologi bertujuan untuk menghasilkan
pengertian-pengertian dan pola-pola umum. Untuk itu diperlukan disiplin ilmu
terapan seperti ilmu hukum pidana, perdata, tata negara, dsb. Namun tetap dalam
penerapannya masih memerlukan sosiologi hukum sebagai alat bantu. Misalnya, dalam penyusunan peraturan
perundang-undangan yang bersifat demokratis harus mempresentasikan peran hukum
sebagai alat untuk mendinamisasikan masyarakat. Dengan demikian fungsi vital
hukum dalam negara yang berubah dapat mengakomodasikan semua dinamika
masyarakat yang kompleks seperti Indonesia. Tanpa peran sosiologi hukum, maka
penyusunan peraturan perundang-undangan tersebut hanya murni logika dan kemungkinan
besar akan gagal menampung aspirasi masyarakat, mendapat penolakan hingga
menyebabkan antipati.
Di dalam praktek, keefektifitasan
hukum tergantung sepenuhnya pada para kalangan profesional hukum dalam
penyelesaian kasus hukum yaitu pengacara (lawyers),
Hakim (Judge) dan Klien (Client). Sudah bukan rahasia lagi bagi
para praktisi hukum bahwa terdapat inkonsistensi antara substansi hukum yang
diajarkan dalam penyelenggaraan pendidikan hukum dengan tantangan dan tuntutan
praktek hukum di Indonesia. Kesenjangan tersebut lebih sering terjadi karena
kurangnya pembinaan kesadaran hukum, khususnya sikap para pelaksana hukum. Untuk memupuk dan membina pertumbuhan
kesadaran masyarakat, para penegak hukum mempunyai peranan yang amat besar. Hal
ini penting dilakukan, mengingat institusi hukum itu sendiri dipandang sebagai
sarana penting untuk memelihara ketertiban dan perdamaian dalam masyarakat.
Suatu
bangsa yang ingin melihat terciptanya suatu ketertiban dan perdamaian dalam
masyarakat akan terus berusaha untuk mengatur dan mengarahkan tingkah laku
seluruh warga masyarakat menurut pola-pola tertentu. Salah satu cara yang dapat
dipakai untuk meperlancar interaksi antara para warga masyarakat adalah dengan
mengeluarkan norma-norma hukum tertentu. Melalui hukum inilah antara lain
ditetapkan peranan-peranan yang seharusnya dilakukan oleh warga masyarakat.
Namun, berdasarkan pengamatan maupun beberapa hasil penelitian menunjukkan
adanya ketidakcocokan antara apa yang diharapkan oleh hukum dan tingkah laku
nyata warga masyarakat.
Jadi,
tegaknya suatu peraturan hukum baru akan menjadi kenyataan bilamana, didukung
oleh adanya kesadaran hukum dari segenap warga masyarakat. Kesadaran terhadap
berlakunya hukum adalah dasar bagi dilaksanakannya hukum itu sendiri. Semakin
merata kesadaran terhadap berlakunya hukum, semakin kecil pula kemungkinan
munculnya tingkah laku yang tidak sesuai dengan hukum. Persoalannya sekarang
adalah bagaimana menumbuhkan kesadaran hukum masyarakat? Persoalan lanjutannya
adalah langkah-langkah apakah yang semestinya dilakukan untuk membina kesadaran
hukum masyarakat itu?
Mengawali
pembahasan ini, ada baiknya dijelaskan terlebih dulu terminologi dari kesadaran
hukum. Kesadaran hukum dalam konteks ini berarti kesadaran untuk bertindak
sesuai dengan ketentuan hukum. Kesadaran hukum masyarakat merupakan semacam
jembatan yang menghubungkan antara peraturan-peraturan hukum dengan tingkah
laku hukum anggota masyarakat. Lawrence Friedman 1ebih condong
menyebutnya sebagai bagian dari "kultur hukum", yaitu nilai-nilai,
sikap-sikap yang mempengaruhi bekerjanya hukum.
Secara
lebih detail Van Schmid sebagaimana dikutip oleh Sunaryati Hartono, membedakan
pengertian antara "perasaan hukum" dan "kesadaran
hukum." Untuk menunjukkan letak
perbedaan antara kedua istilah itu, Sunaryati Hartono mencoba menjelaskannya
dengan menggunakan contoh berikut ini: Di Sulawesi Selatan misalnya, terjadi
pembunuhan akibat pemutusan pertunangan yang menimbulkan malu keluarga bakal
pengantin wanita. Demikian pula di Bali, seorang ahli waris yang sah membunuh
orang yang membagi-bagikan warisan, karena ia tidak diberi bagian warisan.
Penilaian rakyat yang timbul secara spontan ini kiranya merupakan
"perasaan hukum" masyarakat. Namun, bila hal tersebut dirumuskan
dalam pengertian-pengertian hukum, maka menurut kesadaran hukum masyarakat Bali
dan Sulawesi Selatan "penghinaan berat harus ditebus dengan nyawa".
Secara lebih abstrak lagi dapat dikatakan, bahwa "kesalahan dan hukuman
harus seimbang".
Menurut
Sunaryati Hartono, betapapun kesadaran hukum itu berakar di dalam masyarakat,
ia merupakan abstraksi yang lebih rasional daripada perasaan hukum yang hidup
di dalam masyarakat. Dengan kata lain, kesadaran hukum merupakan suatu
pengertian yang menjadi hasil ciptaan para sarjana hukum. Hal ini tidak dapat
dilihat secara langsung di dalam kehidupan masyarakat, melainkan keberadaannya
hanya dapat disimpulkan dari pengalaman hidup sosial melalui suatu cara
pemikiran dan cara penafsiran tertentu. Selain itu, ada juga mengatakan bahwa
kesadaran hukum itu bukanlah semata-mata sesuatu yang tumbuh secara spontan dalam
hati sanubari masyarakat. Akan tetapi, ia juga merupakan sesuatu yang harus
dipupuk secara sadar, agar dapat tumbuh dalam hati sanubari masyarakat. Von
Savigny menjelaskan hal ini dengan mengatakan, ist and wird mit dem volke.
Uraian di atas telah menjelaskan tentang berbagai pendapat tentang terminologi kesadaran hukum. Tampak bahwa konsep kesadaran hukum itu sendiri mengandung unsur nilai yang tentunya sudah dihayati oleh warga masyarakat semenjak kecil dan sudah melembaga serta mendarah daging. Proses pelembagaan ini akhirnya menjadi pedoman yang dipertahankan oleh masyarakat dan ditanamkan melalui proses sosialisasi. Selanjutnya, apa yang dihayati dan dilembagakan itu diwujudkan dalam bentuk norma-norma yang menjadi patokan bagi warga masyarakatnya dalam bertingkah laku. Jadi, sebenarnya tingkah laku warga masyarakat mengandung unsur nilai yang sudah lama dihayatinya; dan ini pulalah yang mempengaruhi bekerjanya hukum di dalam masyarakat.
Uraian di atas telah menjelaskan tentang berbagai pendapat tentang terminologi kesadaran hukum. Tampak bahwa konsep kesadaran hukum itu sendiri mengandung unsur nilai yang tentunya sudah dihayati oleh warga masyarakat semenjak kecil dan sudah melembaga serta mendarah daging. Proses pelembagaan ini akhirnya menjadi pedoman yang dipertahankan oleh masyarakat dan ditanamkan melalui proses sosialisasi. Selanjutnya, apa yang dihayati dan dilembagakan itu diwujudkan dalam bentuk norma-norma yang menjadi patokan bagi warga masyarakatnya dalam bertingkah laku. Jadi, sebenarnya tingkah laku warga masyarakat mengandung unsur nilai yang sudah lama dihayatinya; dan ini pulalah yang mempengaruhi bekerjanya hukum di dalam masyarakat.
B.
Peran
Hukum dalam Proses Perubahan Sosial
Peran hukum dalam proses perubahan
sosial menyangkut fungsi dan peranan pengadilan dalam menangani kasus-kasus
bermasalah, adjusment terhadap perubahan-perubahan sosial dan penanganan suatu
kasus. Dalam proses
bekerjanya hukum, setiap anggota masyarakat dipandang, sebagai adresat
hukum. Chamblis dan Seidman menyebut adresat hukum itu sebagai
"pemegang peran" (role occupant). Sebagai pemegang peran ia
diharapkan oleh hukum untuk memenuhi harapan‑harapan tertentu sebagaimana
dicantumkan di dalam peraturan-peraturan. Dengan demikian, anggota masyarakat
diharapkan untuk memenuhi peran yang tertulis di situ (role expectation).
Oleh
karena pengaruh berbagai faktor yang bekerja atas diri orang tersebut sebagai
pemegang peran, maka dapat saja terjadi suatu penyimpangan antara peran yang diharapkan
dan peran yang dilakukan. Itu artinya, telah terjadi ketidakcocokan antara isi
peraturan dan tingkah laku warga masyarakat. Di sini, ada kemungkinan besar
bahwa anggota masyarakat tersebut tetap bertingkah laku sesuai dengan nilai
budaya yang telah lama dikenal dan dihayatinya. Sudah cukup banyak penelitian
yang menemukan bahwa kesadaran hukum masyarakat terhadap peraturan‑peraturan
hukum yang dibuat oleh negara masih jauh dari harapan. Perilaku yang
bertentangan dengan hukum itu lebih disebabkan oleh sikap moral (mores) masyarakat
yang tidak sejalan dengan isi peraturan hukum tersebut. Menurut Sumner, mores
atau sikap moral masyarakat itu selalu berada dalam posisi mendahului dan
menjadi penentu bekerjanya hukum. Sulit bagi kita untuk mengubah mores masyarakat
secara besar-besaran dan mendadak, apa pun rencana dan alat yang dipakai. Mores
memang dapat diubah, tetapi dengan cara perlahan-lahan dan dengan suatu
usaha yang terus-menerus serta bervariasi.
Ini
berarti, kekuatan utama kontrol sosial bukan terletak pada adanya pasal-pasal
peraturan hukum yang dibuat secara formal dan tertulis. Walaupun, tidak dapat
dipungkiri bahwa bagaimanapun juga peraturan-peraturan hukum formal dan
tertulis itu masih bisa memberikan pengarahan, pengaruh dan efek-efek kekuatan
pada pelaksanaannya. Sekalipun ada unsur-unsur baru dalam peraturan hukum,
namun beberapa hasil penelitian menunjukan bahwa anggota masyarakat yang
dikatakan sebagai pemegang peran tetap berpola tingkah laku yang sesuai dengan
kesadaran hukumnya sendiri. Apa yang menjadi cita-cita pembuat undang-undang
itu rupanya belum terwujud. Lain halnya kalau peraturan hukum itu hanya
bersifat memperkokoh nilai-nilai yang telah ada dan sudah diresapi oleh anggota
masyarakatnya. Karakteristik peraturan hukum seperti itu jelas tidak akan
menimbulkan masalah kesadaran hukum masyarakat, karena sesungguhnya aspek ini
sudah sejak semula menyatu dengan peraturan-peraturan hukum itu sendiri.
Peran
hukum dalam proses perubahan sosial, sebagaiman telah dijelaskan, akhirnya
terbagi menjadi dua karakteristik. Pertama, hukum berfungsi sebagai alat
perubah (bersifat aktif) atau sering disebut sebagai law as a tool of social engineering. Kedua, hukum berfungsi sebagai wadah perubahan
(bersifat pasif) yakni masyarakat berubah terlebih
dahulu, baru hukum datang mengesahkan perubahan itu. Bagaimanapun caranya,
tetap peran hukum menentukan bagaimana arah perubahan sosial tersebut menuju. Saat ini hukum bukan hanya dipakai untuk mempertandingkan
pola-pola hubungan serta kaidah-kaidah yang telah ada. Hukum yang diterima
sebagai konsep yang modern memiliki fungsi untuk melakukan suatu perubahan
sosial. Bahkan, lebih dari itu hukum dipergunakan untuk menyalurkan hasil-hasil
keputusan politik. Hukum bukan lagi mengukuhkan pola-pola kebiasaan dan tingkah
laku yang telah ada, tetapi juga berorientasi kepada tujuan-tujuan yang
diinginkan, yaitu menciptakan pola-pola perilaku yang baru. Di dalam
menjalankan fungsinya, hukum senantiasa berhadapan dengan nilai-nilai maupun
pola-pola perilaku yang telah mapan dalam masyarakat.
Hukum
senantiasa dibatasi oleh situasi atau lingkungan di mana ia berada, sehingga
tidak heran kalau terjadi ketidak-cocokan antara apa yang seharusnya (das
sollen) dengan apa yang senyatanya (das sein). Dengan perkataan lain,
muncul diskrepansi antara law in the books dan law in action. Oleh
sebab itu Chamblis dan Seidman dalam mengamati keadaan yang demikian itu
menyebutkan The myth of the operation
of the law to given the lie daily.
Selanjutnya,
apabila kita melihat penegakan hukum merupakan suatu proses untuk mewujudkan
tujuan-tujuan hukum menjadi kenyataan, maka proses itu selalu melibatkan para
pembuat dan pelaksana hukum, serta juga masyarakatnya. Masing-masing komponen.
ingin mengembangkan nilai-nilai yang ada di lingkungan yang sarat dengan
pengaruh faktor-faktor non-hukum lainnya. Apabila kita hendak melihat hukum
sebagai suatu sistem sebagaimana telah diuraikan terdahulu, maka penegakan
hukum sebagai suatu proses akan melibatkan berbagai macam komponen yang saling
berhubungan, dan bahkan ada yang memiliki tingkat ketergantungan yang cukup
erat. Akibatnya, ketiadaan salah satu komponen dapat menyebabkan inefficient
maupun useless sehingga tujuan hukum yang dicita-citakan itu sulit
terwujud.
Bisa
disimpulkan, peran hukum (undang-undang) dalam perubahan sosial bisa dikatakan
tidak bebas nilai. Setiap undang-undang sekali dikeluarkan akan berubah baik
melalui perubahan formal maupun melalui cara-cara yang ditempuh birokrasi
ketika bertindak. Ia berubah disebabkan oleh adanya perubahan kekuatan sosial,
budaya, ekonomi, politik dan lain-lain yang melingkupinya. Perubahaan itupun
terutama disebabkan oleh pemegang peran terhadap pembuat undang-undang dan
terhadap birokrasi penegakan, dan demikian pula sebaliknya. Setiap peraturan
hukum selalu menghendaki bagaimana seseorang itu diharapkan bertindak. Dan
bagan tersebut menunjukkan bahwa tingkah laku seseorang tidak hanya ditentukan
oleh hukum, melainkan juga oleh kekuatan-kekuatan lainnya yang muncul dalam
lingkungan. Gambaran di muka memberikan suatu pemahaman yang lebih baik tentang
hukum dan proses bekerjanya yang tidak bebas nilai.
C. Penegakan
Hukum
Pada
Masyarakat
Demokratis
Penegakkan
hukum pada masyarakat demokratis berkaitan dengan budaya hukum dan pembangunan
masyarakat. Dalam setiap usaha untuk merealisasikan tujuan pembangunan, maka
sistem hukum itu dapat memairikan peranan sebagai pendukung dan penunjangnya.
Suatu sistem hukum yang tidak efektif tentunya akan menghambat terealisasinya
tujuan yang ingin dicapai itu. Sistem hukum dapat dikatakan efektif bila
perilaku-perilaku manusia di dalam masyarakat sesuai dengan apa yang telah
ditentukan di dalam aturan-aturan hukum yang berlaku.
Berbicara
penegakkan hukum pada masyarakat demokratis kita tidak bisa hanya menumpukan
harapan hanya kepada para penegak hukum. Karena hukum yang dipakai sebagai
sarana untuk merubah tingkah-laku, tentunya mengandung nilai-nilai yang berbeda
dengan nilai‑nilai yang telah dikenal oleh masyarakat terutama masyarakat
pedesaan. Mengingat pengetahuan masyarakat desa sangat rendah dan bahkan masih
banyak yang buta aksara, maka sulit diharapkan mereka bisa mengerti, bahkan
memahami aturan yang ada. Untuk itu, peranan birokrasi pelaksana, dalam hal ini
adalah kepala desa, sangat penting artinya.
Harus
disadari bahwa sekitar 80 % rakyat Indonesia hidup di pedesaan. Penduduk
pedesaan ini bermukim menyebar di sekitar 60.415 desa di seluruh Indonesia.
Dada umumnya taraf hidup rakyat desa tergolong miskin, demikian pula tingkat
pengetahuannya tergolong rendah. Bagaimana mungkin kita dapat menuntut rakyat
desa tersebut untuk bertingkah laku sesuai dengan makna peraturan hukum. Di
samping mereka tidak dapat mengetahui isinya karena sulit mengerti bahasa
hukum, komunikasi hukum pun semata-mata hanya sekedar untuk memenuhi syarat
formal, yaitu dengan dimuatnya dalam Lembaran Negara. Saluran komunikasi yang
tidak terorganisasi secara baik dan rapi akan berdampak pada kekeliruan
informasi mengenai isi peraturan hukum yang ingin disampaikan kepada
masyarakat.
Sebagai
akibat lanjutannya, timbul perbedaan antara apa yang dikehendaki oleh
undang-undang dengan praktek yang dijalankan oleh masyarakat. Bagaimana
seseorang dapat diharapkan untuk bertingkah-laku sesuai dengan perubahan yang
dikehendaki oleh hukum, apabila ia tidak mengerti perbuatan yang bagaimana
sesungguhnya harus dilakukannya. Apabila tiadanya komunikasi tentang makna
peraturan, maka rakyat tetap bertingkah laku sesuai dengan apa yang telah
menjadi pandangan maupun nilai-nilai yang telah melembaga sebelumnya.
Kegagalan untuk mewujudkan salah satu dari nilai‑nilai
tersebut dapat menimbulkan hasil-hasil yang tidak sesuai dengan apa yang
menjadi harapan dari isi peraturan itu. Namun demikian, sebaik apapun hukum
yang dibuat, tapi pada akhirnya sangat ditentukan oleh budaya hukum masyarakat
yang bersangkutan. Berbicara mengenai budaya hukum adalah berbicara mengenai
bagaimana sikap-sikap, pandangan-pandangan serta nilai-nilai yang dimiliki oleh
masyarakat. Semua komponen budaya hukum itulah yang sangat menentukan berhasil
tidaknya kebijaksanaan yang telah dituangkan dalam bentuk hukum itu.
D. Budaya
Hukum
dan Pembangunan
Masyarakat
Hampir
setiap bidang kehidupan sekarang ini diatur oleh peraturan-peraturan hukum.
Melalui penormaan terhadap tingkah laku manusia ini hukum menelusuri hampir
semua bidang kehidupan manusia. Campur tangan hukum yang semakin meluas ke
dalam bidang kehidupan masyarakat menyebabkan masalah efektivitas penerapan
hukum menjadi semakin penting untuk diperhitungkan. Itu artinya, hukum harus
bias menjadi institusi yang bekerja secara efektif di dalam masyarakat.
Bagi
suatu masyarakat yang sedang membangun hukum selalu dikaitkan dengan
usaha-usaha untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat ke arah yang lebih
baik. Menghadapi keadaan demikian, maka peranan hukum semakin menjadi penting
dalam mewujudkan tujuan itu. Fungsi hukum tidak cukup hanya sebagai kontrol
sosial, melainkan lebih dari itu. Fungsi hukum yang diharapkan dewasa ini
adalah melakukan usaha untuk menggerakkan rakyat agar bertingkah laku sesuai
dengan cara-cara baru untuk mencapai suatu tujuan yang dicita-citakan. Untuk
bertindak atau bertingkah laku sesuai dengan ketentuan hukum inilah perlu ada
kesadaran hukum dari masyarakat, karena faktor tersebut merupakan jembatan yang
menghubungkan antara peraturan-peraturan hukum dengan tingkah laku
anggota-anggota masyarakat. Kesadaran hukum masyarakat itu; oleh Lawrence M
Friedman, terkait erat dengan masalah budaya hukum. Dimaksudkan
dengan budaya hukum di sini adalah berupa kategori nilai‑nilai,
pandangan-pandangan serta sikap-sikap yang mempengaruhi bekerjanya hukum.
Keadaan
yang demikian itu seolah-olah menggambarkan, bahwa sesungguhnya fungsi hukum
sekararig ini sudah mengalami pergeseran, yakni secara lebih aktif melakukan
pernbahan-perubahan yang diinginkan. Lon. L. Fuller melihat hukum itu sebagai
usaha untuk mencapai tujuan tertentu. Pembangunan yang menempati kedudukan yang
utama di Indonesia memang menghendaki agar hukum dapat dijadikan sandaran dan
kerangka acuan. Itu berarti, hukum harus bisa mendukung usaha-usaha yang sedang
dilakukan untuk membangun masyarakat, baik secara fisik maupun spiritual. Hukum
menjadi sarana bagi mereka yang mempunyai kekuasaan dalam pemerintahan untuk
menetapkan dan menyalurkan berbagai kebijaksanaan pembangunan.
Dengan
demikian, segala kebijaksanaan pemerintah dapat dirumuskan dengan jelas dan
terbuka melalui institusi yang namanya hukum itu. Di sini, hukum menjadi
sandaran bagi semua pihak, terutama instansi yang terlibat di dalam proses
pembangunan atau pelaksanaan keputusan-keputusan pembangunan. Namun, harus
diakui bahwa pembuat kebijaksanaan mempunyai kedudukan sosial yang berbeda dengan mereka
yang menjadi sasaran kebijaksanaan itu, dan bahkan posisi para pembuat
kebijaksanaanlah yang lebih strategis dan menentukan. Kestrategisan posisi itu,
pulalah yang membuat mereka "cenderung" menetapkan keputusan yang
lebih mencerminkan nilai-nilai dan keinginan‑keinginan dari golongan mereka.
Kebijaksanaan menyangkut peningkatan kesejahteraan hanyalah merupakan suatu
tanggungjawab mereka sebagai golongan elite yang sedang berkuasa.
Dengan
demikian, para pengambil kebijaksanaan dapat, dengan leluasa berbuat apa saja,
termasuk menjatuhkan pilihannya kepada sistem hukum yang modern rasional
sebagai saluran legitimasi. Sementara, seluruh hal yang diputuskan itu tidak
selalu sejalan dengan kesiapan masyarakat untuk menerimanya. Akibatnya, apa
yang diputuskan melalui hukum itu tidak dapat dilaksanakan dengan baik dalam
masyarakat, karena tidak sejalan dengan nilai-nilai, sikap-sikap serta
pandangan-pandangan yang telah dihayati oleh anggota-anggota masyarakat.
Sosiologi hukum bertugas mempelajari hukum dalam
hubungannya dengan masyarakat serta timbal balik yakni pengaruh hukum terhadap
masyarakat disatu sisi dan perngaruh perubahan masyarakat terhadap hukum disisi
lain. Hukum memiliki hubungan
timbal-balik dengan masyarakatnya, karena hukum itu sendiri merupakan sarana
pengatur masyarakat den bekerja di dalam masyarakat. Itulah sebabnya, hukum
tidak terlepas dari gagasan maupun pendapat-pendapat yang hidup di kalangan
anggota masyarakat. Struktur masyarakat dapat menjadi penghambat sekaligus
dapat memberikan sarana-sarana sosial, sehingga memungkinkan hukum dapat
diterapkan dengan sebaik‑baiknya.
Hukum modern yang
memiliki ciri formal dan rasional hanya dapat terlaksana, apabila ada dukungan
administrasi yang juga semakin rasional pula. Demikian pula, penegakan hukum
yang demikian itu menjadi efektif apabila masyarakat yang menjadi basis sosial
bekerjanya hukum itu pun merupakan masyarakat yang tidak lagi bersifat
tradisional atau kharismatis.
Hukum
dan perilaku hukum dalam perubahan sosial sangat ditentukan oleh bagaimana
kultur hukum itu hidup di masyarakat. Kultur hukum merupakan sikap-sikap dan
nilai-nilai yang yang dimiliki oleh masyarakat yang berhubungan dengan hukum,
dan lembaga-lembaganya, baik yang bersifat positif maupun negatif. Unsur kultur
hukum inilah yang akan menentukan mengapa seseorang itu patuh atau tidak patuh
.terhadap peraturan yang ada.
Daftar Pustaka
[1]
Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta , 1988, hal 106
[2]
Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Perilaku Kaedah Hukum. PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung
1993, hal 8.
[3]
Margareth M, Poloma, Sosiologi Kontemporer, Raja Grafindo Persada, Jakarta , 2000
[4]
Lili Rasidi dan B. Arief Sidharta, Filsafat Hukum, Mazhab dan Refleksinya. PT.
Remaja Rosda Karya, Bandung ,
1989, hal 141.
[5] Bernard
Arief Sidharta, 2000 : 7
[6] Soeryono, Kegunaan : 14, mengenal: 11)
Comments
Post a Comment
Dilarang keras melakukan spam, meletakkan suatu link dalam komentar dan diharapkan bertutur kata atau menulis dengan santun. Terima kasih