Hukum Dalam Pembangunan Ekonomi - Untuk mendefinisikan mengenai pembangunan ekonomi tiada satu ketentuan pun yang sama sekali dapat memuaskan. Oleh karena masing - masingnya mempunyai pendapat sendiri-sendiri.
Mier dan Baldwin T.W. Schultz
berpendapat bahwa pembangunan ekonomi adalah suatu proses, dengan proses manaa
pendapat nasional rill suatu perekonomian bertambah suatu periode waktu yang
panjang.
Pembangunan ekonomi mempunyai
arti praktis yang sangat penting. Hal tersebut disebabkan tidak saja karena
banyak negara yang menderita kekurangan yang tersebar luas, tetapi juga karena
negara-negara ini sendiri sedang mengalami pertambahan penduduk yang dapat
dibayangkan begitu cepatnya, sedangkan perkembangan negara tersebut hanya cukup
untuk mengimbangi pertambahan penduduk, sehingga pendapatan per Capita hanya
sedikit naiknya bahkan boleh dikatakan tidak seimbang dengan pertambahan jumlah
penduduk.[1]
Pembangunan ekonomi yang
seimbang bagi Indonesia dapat meliputi:
- Keseimbangan antara pembangunan dalam bidang pertanian dan bidang industri.
- Keseimbangan antara pembagian penduduk yang lebih merata dan tersebar diperbagai kepulauan Indonesia.
- Keseimbangan antara pertambahan produksi pangan dan pertambahan penduduk.
Dengan peningkatan produksi dibidang
pertanian pangan, ini akan berpengaruh besar pada pertumbuhan ekonomi
Indonesia, oleh karena dengan demikian harga pangan dalam negeri dapat
dimantapkan sehingga memberi pengaruh yang positif pada stabilitas ekonomi.
Disamping peningkatan produksi pertanian dibidang pangan, maka tidak kurang
pentingnya peningkatan produksi pertanian dibidang perkebunan, sehingga
memungkinkan peningkatan hasil-hasil ekspor, sebab hasil-hasil perkebunan untuk
bagian terbesar diekspor dan ini akan merupakan penambahan devisa yang selalu
menguntungkan.[2]
Ada tiga tahapan atau tingkatan pembangunan
yang dialami oleh suatu negara mulai dari negara berkembang sampai menjadi
negara maju, yaitu tahap pertama unifikasi (unification)
dengan titik berat bagaimana mencapai integrasi politik untuk menciptakan
persatuan dan kesatuan nasional, tahap kedua industrialisasi (industrialization) dengan fokus
perjuangan untuk pembangunan ekonomi dan modernisasi politik, dan tahap ketiga
negara kesejahteraan (social welfare)
dimana tugas negara terutama adalah melindungi rakyat dari sisi negatif
industrialisasi, membetulkan kesalahan pada tahap sebelumnya, dengan fokus
utama kesejahteraan rakyat.[3]
Fungsi Hukum dalam Pembangunan
Hukum dan pembangunan itu
adalah terjemahan dari Law and
Development, yang mulai berkembang di Amerika Serikat sesudah perang dunia
kedua. Jika merunut pada pengertian yang dikembangkan di Amerika khususnya yang
berhubungan dengan organisasi United
States Agency for Interantional Development (USAID) dan lembaga seperti Ford Foundation atau Rockefeller Foundation, maka
perkembangan hukum dan pembangunan dapat dibaca dari upaya lembaga-lembaga ini
dalam mempengaruhi dan memperkenalkan kepada negara-negara berkembang dalam
melakukan pembangunan ekonomi dan pembangunan infrastruktur. Hal ini dimulai
dengan melakukan pengiriman dan reseach oleh ahli hukum dari Amerika. Bahkan
pada tahun 1966 Kongres Amerika mengundangkan “Foreign Asistence Act of 1966” untuk membantu Negara-negara
berkembang di Asia, Afrika dan Amerika Latin memperbaharui dan memperkuat sistem
hukum. Pengiriman para ahli hukum Amerika ini merupakan bagian yang tak
terpisahkan dari agenda bantuan.
Peranan ahli hukum dalam
pembangunan ekonomi mempunyai kedudukan yang sentral. Keberadaan ahli hukum
adalah untuk memberikan perlindungan dari kesalahan dalam penyusunan
undang-undang atau peraturan yang dibuat, tidak terbatas pada kesalahan teknis,
tetapi juga kesalahan philosophies. Keahlian para ahli hukum ini diperlukan
terutama pada kegiatan merancangan undang-undang tertentu, seperti
undang-undang bidang politik, hak azasi manusia, perdagangan dan lain-lain.
Dalam tradisi Barat peranan
ahli hukum itu sangat penting, sebagaimana dikatakan oleh Wolfgang G. Friedman,
“Dalam tradisi Barat, ahli hukum telah menyumbangkan sesuatu pada perkembangan
sistem hukum, dan dengan demikian turut serta dalam mengembangkan masyarakat,
terutama sebagai hakim, pembela dan sarjana. Ahli hukum juga memberikan
perhatian terhadap perubahan legislatif sebagai anggota komite perubahan
hukum,…..sebagai ahli pada departemen pemerintah, atau sebagai perancang di
parlemen”.[4]
Hukum dalam Pembangunan
mempunyai empat fungsi, yaitu:
- Hukum
sebagai sarana pemeliharaan ketertiban dan keamanan.
- Hukum
sebagai sarana pembangunan.
- Hukum
sebagai sarana penegak keadilan.
- Hukum
sebagai sarana pendidikan masyarakat.
Ada lima kualitas hukum yang
kondusif bagi perencanaan dan pelaksanaan pembangunan, yaitu:
- Stabilitas (stability)
- Dapat
diramalkan (predictability)
- Keadilan
(fairness)
- Pendidikan
(education)
- Pengembangan
profesi hukum (the special
development abilities of the lawyer).
Stabilitas
dan predictability adalah merupakan
prasyarat untuk berfungsinya sistem ekonomi.[5]
Dua hal yang pertama adalah prasyarat bagi sistim ekonomi apa saja untuk
berfungsi Termasuk dalam fungsi stabilitas (stability)
adalah potensi hukum menyeimbangkan dan mengakomodasi kepentingan-kepentingan
yang saling bersaing. Kebutuhan fungsi hukum untuk dapat meramalkan (predictability)
akibat dari suatu langkah-langkah yang diambil khususnya penting bagi negeri
yang sebagian besar rakyatnya untuk pertama kali memasuki hubungan-hubungan ekonomi
melampaui lingkungan sosial yang traditional. Aspek keadilan (fairness), seperti
perlakuan yang sama dan standard pola tingkah laku Pemerintah adalah perlu
untuk menjaga mekanisme pasar dan mencegah birokrasi yang berlebihan.[6]
Pembentukan Hukum dalam Pembangunan Hukum Nasional
Dalam suasana pembangunan
Nasional yang berencana menuju pembentukan sistem Hukum Nasional, para
pembentuk hukum dan perencana undang-undang tidak lagi hanya perlu meningkatkan
status kebiasaan yang sudah berlaku di dalam masyarakat menjadi undang-undang
atau hukum, melainkan lebih daripada itu dimana pembentuk hukum dan perencana
undang-undang harus mampu menemukan kaidah-kaidah hukum bagi hubungan-hubungan
antar manusia di dalam suatu masyarakat yang masih belum terbentuk, tetapi yang
menjadi cita-cita bangsa.
Pembangunan bidang hukum
dilakukan dengan jalan:
- Peningkatan
dan penyempurnaan pembinaan hukum nasional dengan antara lain mengadakan
pembaharuan, kodifikasi serta unifikasi hukum di bidang-bidang tertentu
dengan jalan memperhatikan kesadaran hukum dalam masyarakat.
- Menertibkan
fungsi lembaga-lembaga hukum menurut proporsinya masing-masing.
- Peningkatan
kemampuan dan kewibawaan penegak hukum.
Dalam rangka mencapai tujuan
tersebut akan disempurnakan hukum dan perundang-undangan prioritas diberikan
pada penyiapan peraturan perundangan yang segera diperlukan untuk menunjang
kebutuhan pembangunan nasional, khususnya yang menunjang pembangunan ekonomi
dan mendorong perubahan sosial kea rah modernisasi serta memantapkan kehidupan
politik.
Dalam segenap kebijaksanaan dan langkah
Pembangunan Hukum Nasional tersebut, harkat manusia baik sebagai subyek maupun
sebagai objek hukum akan senantiasa diperhatikan.[7]
Globalisasi Hukum Mengiringi Globalisasi Ekonomi
Globalisasi ekonomi
sebenarnya sudah terjadi sejak lama, masa perdagangan rempah-rempah, masa tanam
paksa (culture stelsel) dan masa
dimana modal swasta Belanda zaman colonial dengan buruh paksa. Pada ketiga
periode tersebut hasil bumi Indonesia sudah sampai ke Eropa dan Amerika.
Sebaliknya impor tekstil dan barang-barang manufaktur, betapapun sederhananya
telah berlangsung lama.
Globalisasi ekonomi sekarang
ini adalah manifestasi yang baru dari pembangunan kapitalisme sebagai sistem
ekonomi internasional. Seperti pada waktu yang lalu, untuk mengatasi krisis,
perusahaan multinasional mencari pasar baru dan memaksimalkan keuntungan dengan
mengekspor modal dan reorganisasi struktur produksi. Pada tahun 1950an,
investasi asing memusatkan kegiatn penggalian sumber alam dan bahan mentah
untuk pabrik-pabriknya.
Manakala ekonomi menjadi
terintegrasi, harmonisasi hukum mengikutinya. Terbentuknya WTO (World Trade Organization) telah
didahului atau diikuti oleh terbentuknya blok-blok ekonomi regional seperti
Masyarakat Eropa, NAFTA, AFTA, dan APEC.
Bagaimanapun juga
karakteristik dan hambatannya, globalisasi ekonomi menimbulkan akibat yang
besar sekali pada bidang hukum. Globalisasi ekonomi juga menyebabkan terjadinya
globalisasi hukum tersebut tidak hanya didasarkan kesepakatan internasional
antar bangsa, tetapi juga pemahaman tradisi hukum dan budaya antar Barat dan
Timur.
Globalisasi hukum terjadi melalui usaha-usaha
standarisasi hukum, antara lain melalui perjanjian-perjanjian internasional.
Globalisasi hukum akan menyebabkan peraturan-peraturan negara-negara berkembang
mengenai investasi, perdagangan, jasa-jasa dan bidang-bidang ekonomi lainnya
mendekati negara-negara maju (convergence).
Namun tidak ada jaminan peraturan-peraturan tersebut memberikan hasil yang sama
disemua tempat. Hal ini karena adanya perbedaan sistem politik, ekonomi, dan
budaya.[8]
Peranan Hukum Dalam Bidang Ekonomi
Perkembangan ekonomi adalah
pertumbuhan dan perubahan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi dapat didefinisikan
sebagai proses pertambahan riil pada kapasitas suatu negara dalam produksi
barang-barang dan jasa, sekaligus dengan ekspansi hasil produksi.
Pembangunan ekonomi adalah
usaha sistematis untuk perkembangan ekonomi, jadi untuk pertumbuhan dan
perubahan ekonomi sekaligus. Perkembangan ekonomi di Indonesia sekarang ini
seharusnya berarti pertumbuhan, artinya pertambahan riil pada kapasitas
nasional dalam produksi barang-barang dan jasa-jasa serta ekspansi hasil
produksi, sekaligus perubahan ke arah pembentukan struktur dan sistem ekonomi
yang memenuhi tuntutan Pancasila dan UUD 1945.
Kita sebagai anggota
masyarakat telah mengetahui serta mengerti bahwa bidang ekonomi sebagaimana
halnya dengan bidang-bidang sosial lainnya yang tidak dapat dipisahkan dalam
kehidupan bermasyarakat. Sedangkan masalah hukum tidak dapat dipisahkan dengan
masyarakat. Dengan demikian maka masalah hukum juga tidak dapat terpisah dari
masalah ekonomi, dalam arti bahwa selalu ada hubungan antara hukum dengan
ekonomi dalam kehidupan bermasyarakat.
Hal tersebut dapat terlihat
dari adanya berbagai bentuk dan macam peraturan perundangan yang ada kalanya
dirasa sebagai penghambat bahkan menyulitkan bagi setiap cabang perdagangan dan
perindustrian, namun di lain waktu juga dapat sebagai penunjang dalam
perkembangan ekonomi.
Dengan berpegang pada doktrin
Adam Smith tersebut yaitu “alam mengatur segala sesuatu sedemikian rupa,
sehingga sistem hukum yang adil yang diperintahkannya (yaitu diperintahkan oleh
alam) juga adalah alat pendorong perkembangan yang paling baik”, juga karena
baru dibebaskan dari kaidah-kaidah hukum feudal, dengan sendirinya pada ahli
ekonomi menentang segala campur tangan pemerintah dalam bidang perekonomian.
Hal tersebut sesuai dengan paham mengenai peranan hukum yang berlandaskan pada
azas kebebasan, yang lazimnya dikenal dengan istilah liberalism, khususnya
kebebasan berkontrak sepenuhnya antara buruh dan majikan.
Indonesia berdasarkan azas
konkordansi, maka kodifikasi hukum dagang Belanda menjadi contoh bagi
kodifikasi hukum dagang di Indonesia pada tahun 1848. Sehingga terwujud adanya
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang yang diundangkan dengan L.N.H.B. 1847 No.23,
yang terdiri dari dua buku, yaitu:
Buku I : Tentang
perdagangan pada umumnya
Buku II
: Tentang hak dan kewajiban yang ditimbulkan oleh karena perkapalan
Karena boleh dikataka bahwa
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW) dan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang
(WVK) Indonesia 1848 mempunyai sumber yang sama dengan undang-undang di negeri
Belanda dan Perancis (sesuai dengan azas konkordasi) yang menganggap hak milik
dan kebebasan berkontrak sebagai hak-hak azasi yang tidak dapat diganggu gugat,
maka dapat disimpulkan bahwa juga kaidah-kaidah KUH Perdata dan KUH Dagang
mempunyai sifat-sifat yang sama, yaitu berlandaskan faham liberalism dan dengan
itu mempunyai sifat yang sama menunjang industrialisasi pada waktu itu.
Jelaslah peranan hukum dalam
perkembangan perekonomian, bahkan boleh dikata bahwa segala macam bentuk
tindakan dalam bidang perekonomian untuk kekuatan berlakunya harus berlandaskan
pada hukum positif masing-masing, misalnya:
- Dalam
bidang keuangan/perbankan harus berlandaskan pada undang-undang yaitu
undang-undang no. 34 tahun 1967, tentang pokok-pokok perbankan;
Undang-undang no.13 tahun 1968 tentang bank Sentral; Undang-undang no.17
tahun 1968 tentang Bank Negara Indonesia; Undang-undang no.21 tahun 1968
tentang Bank Rakyat Indonesia; dan peraturan perundangan berikutnya
sebagai peraturan pelaksanaannya.
- Dalam
bidang perkoperasian, harus berlandaskan pada Undang-undang no.25 tahun
1992, tentang pokok-pokok Perkoperasian; Instrkusi Presiden no.4 tahun
1984 tentang Pembinaan dan Pengembangan Koperasi Unit Desa (KUD); dan
peraturan perundangan berikutnya sebagai peraturan pelaksanaannya.
- Dalam bidang penanaman modal harus berlandaskan pada Undang-undang no.1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing; Undang-undang no.6 tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri; dan peratura perundangan berikutnya sebagai peraturan pelaksanaanya.
Dari
uraian diatas telah menunjukkan bahwa antara sistem hukum dan sistem ekonomi
sesuatu negara terdapat hubungan yang sangat erat dan saling berpengaruh.
Yaitu, kalau pada satu pihak pembaharuan dasar-dasar pemikiran di bidang
ekonomi ikut merubah dan menentukan dasar-dasar sistem hukum yang bersangkutan,
maka penegakkan azas-azas hukum yang sesuai juga akan memperlancar terbentuknya
struktur ekonomi yang dikehendaki. Tetapi sebaliknya penegakkan azas-azas hukum
yang tidak sesuai justru akan menghambat terciptanya struktur ekonomi yang
dicita-citakan.
Pembangunan sektor ekonomi
itu harus ditunjang oleh hukum agar berjalan tertib dan sebaliknya pembangunan
itu harus dapat menunjang tegaknya hukum. Ini disebabkan bahwa pada hakekatnya
pembangunan itu adalah merupakan suatu perubahan yang bersifat disorganisasi
yaitu suatu proses dimana di dalamnya terdapat suatu kekuatan yang bekerja
selama periode yang panjang dan mewujudkan perubahan dalam variabel-variabel
tertentu. Maka dengan kata lain masing-masingnya baik hukum merupakan variabel
yang harus diperhitungkan oleh hukum dalam pembinaannya
Itulah sebabnya maka dalam rangka usaha menuju
ke struktur ekonomi Pancasila, kaidah-kaidah hukum yang melandasinya juga
benar-benar harus mencerminkan nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh
Pancasila. Dengan kata lain, bahwa sistem Hukum Nasional kita benar-benar harus
menjadi suatu sistem Hukum Pancasila, artinya sistem hukum yang berlandaskan
pada Pancasila sebagai sumber dari segala sumber tertib hukum (Grundnorm) sedangkan Hukum Ekonomi
Nasional merupakan bagian dari hukum Pancasila tersebut.[9]
Dasar-dasar Ekonomi dan Sistem Ekonomi Menurut Pancasila dan UUD 1945
Kerangka pemikiran
pembangunan hukum selama masa Orde Baru secara nyata telah mengabaikan
cita-cita dan tujuan didirikannya Negara Republik Indonesia sebagai negara
hukum, bahkan Konsep Negara hukum dikalahkan oleh para pendukung
otoritarianisme Orde Baru. Dalam konstitusi UUD 1945 telah dinyatakan dengan
jelas bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara berdasar atas hukum (rechtsstaat), bukan negara berdasar atas
kekuasaan (machtsstaat). Hukum dan
seluruh pranata pendukungnya baik berupa peraturan pemerintah maupun peraturan
daerah adalah dasar dan kerangka bagi proses penyelenggaraan kehidupan
berbangsa dan bernegara. Hukum dan peraturan yang ada bukan sebagai alat untuk
melanggengkan kekuasaan dan mengukuhkan kepentingan sekelompok orang yang
berkuasa dan bukan pula alat dari suatu sistem yang cenderung mengabaikan
demokrasi, keadilan, dan kesejahteraan rakyat Indonesia.
Selama masa Pemerintahan Orde
Baru, program pokok dari pemerintah adalah membangun ekonomi yang ditopang oleh
tiga jangkar yaitu stabilitas, pertumbuhan dan pemerataan, akan tetapi dalam
praktik pemerintah sangat menekankan stabilitas dalam penerapan Rencana
Pembangunan Lima Tahun (Repelita) pada setiap periodenya. Stabilitas,
pertumbuhan, dan pemerataan, dikenal sebagai Trilogi Pembangunan diusahakan
pencapaiannya melalui serangkaian Repelita yang berakhir Maret 1998. Dalam
kurun wakru 1970–1996, perekonomian meningkat rata-rata tujuh persen per tahun.
Tingkat pertumbuhan ekonomi
yang tinggi selama masa pemerintahan Orde Baru menyebabkan penurunan kemiskinan
yang signifikan. Indonesia beralih dari Negara miskin menjadi negara
berpendapatan menengah. Namun, pembangunan ekonomi yang berhasil ini tidak
dibarengi dengan partisipasi politik, perlindungan hak asasi manusia, keadilan,
dan transparansi dalam pembuatan keputusan publik. Bahkan menurut Sudradjad
Djiwandono, “Kestabilan ini dicapai melalui cara-cara represi, menghilangkan
semua unsur yang berpotensi menjadi pesaing dari penguasa dengan cara apapun,
bahkan yang melanggar hak azasi. Kita melihat bahwa dalam masa itu semua
organisasi; sosial, profesi, fungsional, apalagi politik, selalu mengalami “pembinaan”
atau “digarap” oleh Pemerintah dengan berbagai cara agar menjadi tidak vokal,
tidak menyuarakan sesuatu yang berbeda dengan penguasa. Di dalam kehidupan
politik tidak dikenal oposisi. Semua ini dikatakan tidak sesuai dengan
kepribadian Indonesia. Kestabilan sosial-politik yang tercapai dengan reka yasa
ini merupakan kestabilan semu, dan tidak tahan lama.”
Tidak banyak aturan hukum
yang memihak kepada rakyat diciptakan, tetapi lebih banyak aturan hukum yang
melindungi kepentingan penguasa dan pengusaha. Akibat dari politik pembangunan
ini ada ketimpangan antara pembangunan ekonomi dan pembangunan hukum.
Pembangunan hukum selama masa Orde Baru digunakan sebagai alat penopang dan
pengaman pembangunan nasional yang secara kasar telah direduksi hanya sebagai
proses pertumbuhan ekonomi semata. Pranata-pranata hukum di masa tersebut lebih
banyak dibangun dengan tujuan sebagai sarana legitimasi kekuasaan pemerintah,
pemerintah dan aparatnya memilik kekuasaan mutlak, bukan hanya dalam mengelola
dan mengarahkan tujuan pembangunan, tetapi juga memiliki kekuasaan dalam
mengatur kehidupan social, budaya dan politik bangsa Indonesia. Hukum hanya
dijadikan sebagai sarana untuk memfasilitasi pertumbuhan ekonomi, dan sebagai
sarana untuk memfasilitasi proses rekayasa sosial. Sebagaimana dinyatakan dalam
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomer: II/MPR/1983
TENTANG GARIS-GARIS BESAR HALUAN NEGARA, Pembangunan dan pembinaan hukum
diarahkan agar dapat:
- Memantapkan hasil-hasil pembangunan yang telah dicapai.
- Menciptakan kondisi yang lebih mantap, sehingga setiap anggota masyarakat dapat menikmati suasana serta iklim ketertiban dan kepastian hukum yang beritikan keadilan.
- Lebih memberi dukungan dan pengamanan kepada upaya pembangunan untuk mencapai kemakmuran.[10]
Dari sudut sistem, maka
pembangunan ekonomi untuk tegaknya sistem ekonomi menurut Pancasila dan UUD
1945 dapat dilakukan melalui beberapa jalan yang seiring, yaitu:
- Melalui kebijakan umum pada tingkat tertinggi, yaitu ketetapan-ketetapan MPR, khususnya GBHN.
- Melalui
perundang-undangan yang lebih rendah dari pada ketetapan MPR, baik yang
merupakan produk=produk legislative (DPR) maupun produk-produk eksekutif:
UU, Perpu, PP, Keppres, Peraturan-peraturan Pelaksanaan lainnya yang
merupakan kebijakan politik ekonomi pemerintah[11]
Peranan Hukum dalam Perekonomian di Negara Berkembang
Fungsi hukum dan peranan ahli
hukum biasanya berhubungan erat satu lain, sekalipun keduanya tidak perlu
saling berkaitan atau saling tergantung. Dalam tradisi Barat, ahli hukum telah
menyumbangkan sesuatu pada perkembangan sistem hukum, dan dengan demikian turut
serta dalam mengembangkan masyarakat.
Dalam bidang ekonomi, ahli
hukum berperan sebagai pembela kepentingan-kepentingan hak milik. Alasannya
sederhana, dalam masyarakat yang dikuasai perdagangan dan industri, pemilik hak
milik perorangan dan gabungan adalah klien terpenting. Dengan demikian peranan
ahli hukum pada umumnya lebih penting dalam pembentukan hukum perdata daripada
hukum publik.
Pentingnya fungsi ahli hukum sebagai pembela hak pribadi maupun hak
ekonomi melawan campur tangan yang sewenang-wenang sama sekali tidak dapat
diremehkan. Pada masa kediktatoran militer, kerapkali terjadi pemberangusan
pers dan media informasi lainnya, lumpuhnya diskusi terbuka dan terjadi
pengambilalihan kepentingan hak milik nasional maupun asing.[12]
Daftar Pustaka
[1] Sri Woelan Aziz, SH, Aspek-aspek Hukum Ekonomi Pembangunan di
Indonesia, Citra Media, Surabaya, 1996, hlm 6-8.
[2] Ibid, hlm 298-299.
[2] Ibid, hlm 298-299.
[3]
http://www.blogster.com/dansur/peranan-hukum-dan-ahli-hukum
[4]
http://maqdirismail.blogspot.com/2007/11/peranan-hukum-dalam-pembangunan-ekonomi.html
[5]
http://www.blogster.com/dansur/peranan-hukum-dan-ahli-hukum
[6] http://ermanhukum.com/Makalah%20ER%20pdf/PERANAN%20HUKUM%20DI%20INDONESIA.pdf
[7] Ibid, hlm 317-323.
[8] Prof. Erman Rajagukguk, SH, Peranan Hukum…….., Op Cit, hlm 11-19.
[9] Tom Gunadi, Ekonomi dan Sistem Ekonomi Menurut Pancasila dan UUD 1945, Buku 1
Dasar-dasar Falsafah dan Hukum, Angkasa, Bandung, 1995, hlm 308-316.
[10] http://maqdirismail.blogspot.com,,,,,,,,
Op Cit hlm 3-4.
[11] Ibid, hlm 348-349.
[12] T. Mulya Lubis dan Richard M.
Buxbaum, Peranan Hukum Dalam Perekonomian
di Negara Berkembang, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1986, hlm 8.
Comments
Post a Comment
Dilarang keras melakukan spam, meletakkan suatu link dalam komentar dan diharapkan bertutur kata atau menulis dengan santun. Terima kasih