HUKUM PROGRESIF : UPAYA PENEGAKAN HUKUM YANG SEBENARNYA
Sejarah Hukum Progresif
Hukum progresif lahir karena keadaan Indonesia
pada masa lalu. Ada berbagai pergulatan pemikiran, berkaitan dengan usaha dari
pemikir hukum untuk menawarkan gagasannya agar persoalan hukum di negeri ini
tidak menemui “jalan buntu”.
Salah satu gagasan pemikiran yang penting dalam
lingkup ini adalah hukum progresif tersebut. Pemikir penting yang berada di
belakang gagasan tersebut, adalah Profesor Satjipto Rahardjo, guru besar
Emiritus Sosiologi Hukum di Universitas Diponegoro, Semarang. Di kalangan
kolega dan mahasiswanya, ia dikenal dan dipanggil dengan Prof. Tjip.
Keadaan hukum Indonesia yang carut-marut,
seperti menjadi cambuk bagi lahirnya gagasan hukum progresif tersebut. Proses
ini tidak berlangsung dalam waktu singkat. Pergulatan gagasan dan pemikiran ini
sudah berlangsung lama, makanya energi yang dilahirkan demikian menggumpal
hingga mencapai puncak gagasan hukum progresif ini pada tahun 2002.
Hukum progresif tidak muncul sekonyong-konyong, namun mempunyai anteseden. Adalah kepribadian Satjipto Rahardjo terhadap keadaan hukum di Indonesia. Para pengamat hukum dengan jelas mengatakan bahwa kondisi penegakan hukum di Indonesia sangat memperhatikan. Pada tahun 1970-an sudah ada istilah “mafia peradilan” dalam kosa kata hukum Indonesia pada Orde Baru hukum sudah bergeser dari social engineering ke dark engineering karena digunakan untuk mempertahankan kekuasaan. Pada Era Reformasi dunia hukum makin mengalami komersialisasi. Menurut Satjipto Rahardjo, inti dari kemunduran di atas adalah makin langkanya kejujuran, empati, dan dedikasi dalam menjalankan hukum.
Hukum progresif tidak muncul sekonyong-konyong, namun mempunyai anteseden. Adalah kepribadian Satjipto Rahardjo terhadap keadaan hukum di Indonesia. Para pengamat hukum dengan jelas mengatakan bahwa kondisi penegakan hukum di Indonesia sangat memperhatikan. Pada tahun 1970-an sudah ada istilah “mafia peradilan” dalam kosa kata hukum Indonesia pada Orde Baru hukum sudah bergeser dari social engineering ke dark engineering karena digunakan untuk mempertahankan kekuasaan. Pada Era Reformasi dunia hukum makin mengalami komersialisasi. Menurut Satjipto Rahardjo, inti dari kemunduran di atas adalah makin langkanya kejujuran, empati, dan dedikasi dalam menjalankan hukum.
Pikiran progresif sarat dengan keinginan dan
harapan. Ada satu hal yang penting, bahwa lahirnya hukum progresif dalam
khazanah pemikiran hukum, berkaitan dengan upaya mengkritisi realitas pemahaman
hukum yang sangat positivistik.
Memahami istilah progresivisme dalam konteks hukum
progresif dapat dijabarkan sebagai berikut:
1.
Progresivisme bertolak dari pandangan bahwa pada dasarnya manusia
adalah baik, dengan demikian hukum progresif mempunyai kandungan moral yang
kuat. Progresivisme ingin menjadikan hukum sebagai institusi yang bermoral.
2.
Hukum progresif mempunyai tujuan berupa kesejahteraan dan
kebahagiaan manusia, maka sebagai konsekuensinya hukum selalu dalam proses
menjadi. Oleh karena itu hukum progresif selalu peka terhadap perubahan
masyarakat disegala lapisan.
3.
Hukum progresif mempunyai watak menolak status quo ketika situasi
ini menimbulkan kondisi sosial yang dekanden dan korup. Hukum progresif
memberontak terhadap status quo, yang berujung pada penafsiran hukum yang
progresif.
4. Hukum progresif
mempunyai watak yang kuat sebagai kekuatan pembebasan dengan menolak status
quo. Paradigma “hukum untuk manusia’ membuatnya merasa bebas untuk mencari dan
menemukan format, pikiran, asa, serta aksi yang tepat untuk mewujudkannya.[1]
Perkembangan Hukum Progresif
Bila merujuk ke belakang, maka dapat diketahui
bahwa gagasan hukum progresif (2002) muncul disebabkan oleh kegalauan
menghadapi kinerja hukum yang banyak gagal untuk menyelesaikan
persoalan-persoalan bangsa ini. Prof. Tjip, sebagai pencetus dan yang
mengembangkan gagasan ini, melihat lebarnya kesenjangan antara kenyataan dan
realitas. Ada harapan besar untuk hukum sebagai juru penolong ketika kekuasaan
Presiden Soeharto runtuh, sampai-sampai dianggap supremasi hukum sebagai panacea,
obat mujarab bagi semua persoalan. Sedangkan prestasi tidak memuaskan (Satjipto
Rahardjo, April 2007).
Hukum progresif lahir untuk menegaskan bahwa
hukum adalah untuk manusia, dan bukan sebaliknya (Satjipto Rahardjo, April
2005). “Hukum itu bukan hanya bangunan peraturan, melainkan juga bangunan ide,
kultur, dan cita-cita.” Dalam satu dekade terakhir, berulang-ulang Prof. Tjip
menyebutkan satu hal penting, bahwa “tujuan hukum adalah membahagiakan
manusia”. Berulang kali Prof. Tjip mengingatkan bahwa letak persoalan hukum
adalah di manusianya (Satjipto Rahardjo 2007, Satjipto Rahardjo 2006, Satjipto
Rahardjo 2008).[2]
Hukum progresif adalah gagasan besar yang lahir dari pergulatan.
Tahun 2002 sebenarnya lebih tepat disebut sebagai masa penataan, dari
serangkaian tulisan (gagasan) yang sudah lama dilahirkan.[3]
Hukum progresif berangkat dari sebuah maksim
bahwa:
“hukum adalah suatu institusi yang bertujuan mengantarkan manusia kepada
kehidupan yang adil, sejahtera, dan membuat manusia bahagia”.[4]
Pernyataan ini tegas bahwa hukum adalah untuk
manusia, dalam artian hukum hanyalah sebagai “alat” untuk mencapai kehidupan
yang adil, sejahtera dan bahagia, bagi manusia. Oleh karena itu menurut hukum
progresif, hukum bukanlah tujuan dari manusia, melainkan hukum hanyalah alat.
Hukum progresif menolak segala anggapan bahwa
institusi hukum sebagai institusi yang telah final dan mutlak, sebaliknya hukum
progresif percaya bahwa institusi hukum adalah dalam keadaan menjadi.
Oleh karena itu hukum bukanlah untuk hukum, maka hukum proresif
meninggalkan paradigma hukum rechtsdogmatiek.
Maka hukum progresif merangkul beberapa aliran maupun para filsuf hukum yang
sepaham. Diantaranya adalah Nonet dan Selsznick yang berbicara tentang tipe
hukum yang responsive, Legal realism
dan Freirectslehre, Sociological Jurisprudence dari Roscoe Pound
juga berbagai paham dengan aliran Interessenjurisprudencz,
Teori-teori Hukum Alam dan Critical Legal
Studies (CLS).
Menuju Paradigma Hukum Progresif
Paradigma berasal dari bahasa Inggris “paradigm” berasal dari bahasa Yunani “paradeigma” dari suku kata “para” yang berate disamping atau
disebelah, dan kata “dekynai” yang
berarti memperlihatkan; model; contoh, dengan demikian “paradigm” diartikan sebagai contoh atau pola.
Chalmers menjelaskan beberapa
karakteristik paradigma, diantaranya sebagai berikut:
- Tersusun oleh hukum-hukum dan asumsi-asumsi teoritis yang dinyatakan secara eksplisit.
- Mencakup cara-cara standar bagi penerapan hukum-hukum tersebut dalam kondisi empiris.
- Mempunyai teknik-teknik yang bisa dipergunakan guna menjadikan hukum-hukum tersebut dapat dioperasionalkan dalam tataran empiris.
- Terdiri dari prinsip-prinsip metafisika yang memadu segala karya dan karsa dalam lingkup paradigma yang dimaksud.
- Mengandung beberapa ketentuan metodologis.[5]
Pada umumnya paradigma hukum Indonesia
saat ini adalah positivisme-legalistik, yang terlalu terpaku pada
undang-undang, prosedur, birokratisme dan logika hukum yang kaku. Dalam manifestonya
paradigma hukum progresif, sebagaimana Satjipto Rahardjo mengatakan bahwa:
Dengan demikian, bahwa komponen hukum yang
terdapat dalam paradigma hukum progresif pada intinya terdiri dari dua
komponen, yaitu:
1.
Peraturan
Komponen
peraturan adalah segala hal yang bersifat mengikat yang fungsinya kurang
lebihnya bertujuan untuk mencapai tujuan-tujuan dari masyarakat.
2.
Perilaku.
Kompenen perilaku dalam
paradigma hukum progresif dapat kita lacak pengaruhnya pada aliran Realisme
Hukum Amerika. Aliran ini menekankan pendapatnya bahwa hukum adalah
generalisasi dari orang-orang yang menjalankan hukum, lebih khusus lagi
menunjuk pada profesi hakim.
Syarat-syarat sebuah paradigma sebagaimana
yang dikatakan oleh Kuhn di antaranya adalah seperangkat kerangka piker yang
digunakan dalam ilmu, dalam hal ini ilmu hukum, yang digunakan untuk
menganalisis masalah yang dihadapinya.
Pengakuan Satjipto Rahardjo sendiri
mengenai hukum progresif memanglah belum final, masih dalam masa pembuatan, dan
beliau sendiri belum secara tegas mengatakan bahwa hukum progresif adalah
sebuah paradigma hukum. Jika kita posisikan paradigma hukum progresif dalam
konteks paradigma sebagai “normal science”,
dalam artian sebagai seperangkat nilai penuntun bagi timbulnya
persoalan-persoalan dalam ilmu hukum, maka paradigma hukum progresif bisa
dikategorikan ke dalamnya.
Kekuatan hukum progresif akan mencari
berbagai cara guna mematahkan kekuatan status
quo. Ini adalah paradigma aksi, bukan peraturan. Dengan demikian, peraturan
dan sistem bukan satu-satunya yang menentukan. Manusia masih bisa menolong
keadaan buruk yang ditimbulkan oleh sistem yang ada. Di sini semangat memberikan
keadilan kepada rakyat (bringing justice
to the people) dirasakan amat kuat. Inilah yang menyebabkan munculnya sikap
kritis terhadap sistem normatif yang ada.
Progresivisme membutuhkan dukungan
pencerahan pemikiran hukum dan itu bisa dilakukan oleh komunitas akademi yang
progresif. Karena itu, bila dunia akademi tak segera berbenah diri, secara
berseloroh ia bisa ditunjuk sebagai bagian "mafia status quo" juga.
Friedmann membagi sistem hukum ke dalam
tiga komponen, yaitu komponen struktur hukum, substansi hukum dan kultur hukum,
terkait dengan komponen sistem hukum friedmann, maka terdapat berbagai pilihan
paradigma hukum dalam menjalankan sistem hukum, entah itu paradigma hukum
legalisme, progresivisme maupun pilihan paradigma hukum lainnya.
Manusia dalam paradigma hukum progresif
merupaka “core” dari hukum. Menurut
Satjipto Rahardjo, “faktor manusia ini
adalah simbol daripada unsur-unsur greget (compassion, empathy, sincerety,
edication, commitment, dare dan determination)”. Peranan manusia dalam hukum
sangatlah penting, hukum berpusat pada manusia. Manusia dengan segala
kompleksitasnya adalah pusat dari hukum, beberapa faktor-faktor yang ada dalam
diri manusia seperti empati, ketulusan, keberanian inilah yang menjadi motor
penggerak dalam menjalankan hukum.
Satjipto Rahardjo mengatakan bahwa “paradigma hukum progresif–tidak bergerak
pada aras legalistik-dogmatis, analitis–positivistik, tetapi lebih pada aras
sosiologis. Hukum tidak mutlak digerakkan oleh hukum positif atau hukum
perundang-undangan saja, tetapi ia juga bergerak pada aras non-formal.
Dengan demikian perubahan besar telah terjadi, yaitu pusat
hukumtidak lagi berada pada peraturan, namun berada pada manusia. Tidak
mengherankan jika kemudian paradigma hukum progresif lebih menekankan pada
keadilan hukum yang sifatnya substansial, daripada menekankan keadilan hukum
yang sifatnya prosedural.
Menyelami Semangat Hukum Progresif
Sebagaimana kondisi objektif komponen sistem hukum di
Indonesia, dalam hal ini menenggarai bahwa komponen hukum yang bekerja tidak
dalam kondisi prima adalah komponen struktural dan kultural. Untuk menyelami
semangat hukum progresif perlu kiranya dilakukan analisis terlebih dahulu
kekuatan serta kelemahan hukum progresif.
Ada beberapa kekuatan
hukum progresif, yaitu:
- Ada dalam ranah teoritis,
keunggulan paradigma hukum progresif dalam konteks ini adalah melihat
hukum secara lebih menyeluruh dan tajam jika dibandingkan dengan paradigma
hukum yang lain. Paradigma hukum progresif tidak hanya melihat hukum
sebagai kumpulan peraturan saja, namun jauh melampaui peraturan, yaitu
memandang hukum pada tataran yang lebih luas sebagai bagian dari realitas
sosial yang kompleks.
- Berada dalam konteksfaktisitas
hukum serta pilihan nilai yang coba dicapai oleh paradigma hukum progresif.
Paradigma hukum progresif memandang hukum sebagai bagian dari realitas
sosial yang kompleks, hukum tidak steril dari pengaruh lain seperti
misalnya politik.
- Paradigma hukum progresif
berada dalam aspek metodologis. Paradigma hukum progresif menganalisis
hukm secara lebih komprehensif dan lebih tajam dengan menggunakan ilmu
bantu lain seperti sosiologi hukum, psikologi, antropologi, sehingga
pembacaan terhadap realitas hukum menjadi lebih baik, dan solusi yang
ditawarkan pada akhirnya tidak bertumpu pada peraturan ad hoc, namun lebih luas dari itu
dengan mempertimbangkan variabel-variabel lain seperti kemanusian, sistem
sosial, sistem nilai, politik maupun ekonomi.[7]
Membangun
sebuah sistem hukum yang sesuai dengan visi budaya bangsa Indonesia memang
bukanlah pekerjan mudah, dan tentu saja tidak bisa dilakukan dalam waktu yang
singkat. Oleh karena itu tawaran paradigmatic Satjipto Rahardjo guna membangun
sistem hukum Indonesia yang berpihak pada kesejahteraan rakyat (substancial justice) melalui paradigma
hukum progresif bukanlah tanpa tantangan.
Paradigma
hukum legalistik yang saat ini menjadi mainstream
hukum Indonesia, tidak lagi mampu membaca realitas hukum yang kompleks secara
optimal, bahkan tertatih-tatih menyelesaikan masalah yang dihadapinya, namun bukan
berarti akan mudah bagi paradigma hukum progresif untuk melanggeng menjadi
alternative pengganti paradigmatic hukum Indonesia.
Ada
jalan yang panjang dan berliku akan ditemui ketika paradigma hukum progresif
akan diagendakan sebagai paradigma hukum nasional Indonesia. Sangat mungkin hal
ini dilakukan akan mendapat serangan bertubi-tubi dari berbagai pihak, terutama
dari pihak-pihak status quo.
Kekuatan
hukum progresif adalah kekuatan yang menolak dan ingin mematahkan keadaan status quo. Mempertahankan status quo adalah menerima normativitas
dan sistem yang ada tanpa ada usaha untuk melihat aneka kelemahan didalamnya,
lalu bertindak mengatasi. Mempertahankan status
quo seperti itu makin bersifat jahat saat sekaligus diiringi situasi korup
dan dekaden dalam sistem. Praktik-praktik buruk menjadi aman dalam suasana
mempertahankan status quo.
Kekuatan
hukum progresif akan mencari berbagai cara guna mematahkan kekuatan status quo. Ini adalah paradigma aksi,
bukan peraturan. Dengan demikian, peraturan dan sistem bukan satu-satunya yang
menentukan.
Progresivisme membutuhkan
dukungan pencerahan pemikiran hukum dan itu bisa dilakukan oleh komunitas
akademi yang progresif. Kekuatan hukum progresif tidak sama sekali menepis
kehadiran hukum positif, tetapi selalu gelisah menanyakan “apa yang bisa saya
lakukan dengan hukum ini untuk member keadilan kepada rakyat”. Singkat kata, ia
tak ingin menjadi tawanan sistem dan
undang-undang semata. Keadilan dan kebahagiaan rakyat ada di atas hukum.[8]
[1] Mahmud Kusuma, Menyelami Semangat Hukum Progresif, Terapi
Paradigma Bagi Lemahnya Hukum Indonesia, AntonyLib, Yogyakarta, 2009, hlm
60.
[2]
http://id.acehinstitute.org/index.php?option=com_content&view=article&id=574:hukum-progresif-di-indonesia&catid=14:politik-hukum-dan-ham&Itemid=33
[4] Satjipto Rahardjo, “Saatnya Mengubah Siasat dari Supremasi
Hukum ke Mobilisasi Hukum”, Kompas, Senin 26 Juli 2004, dalam Mahmud
Kusuma, Menyelami Semangat Hukum
Progresif, Terapi Paradigma Bagi Lemahnya Hukum Indonesia, AntonyLib,
Yogyakarta, 2009, hlm 52.
[5] Otje Salman dan Anton F.
Susanto, Teori Hukum: Mengingat,
Mengumpulkan, dan Membuka Kembali, Refika Aditama, Bandung, 2005, dalam Mahmud
Kusuma, Menyelami…….., Op Cit, hlm
164.
[7] Mahmud Kusuma, Menyelami…….., Op Cit, hlm 185.
[8] Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, SH,
Membedah HukumProgresif, Buku Kompas,
Jakarta, 2008, hlm 116.
Comments
Post a Comment
Dilarang keras melakukan spam, meletakkan suatu link dalam komentar dan diharapkan bertutur kata atau menulis dengan santun. Terima kasih