Hukum VS Penguasa HPH Di Indonesia

HUKUM BAGI PENGUASA HPH (Hak Pengelolaan Hutan) APABILA MELAKUKAN TINDAK PIDANA -  

Indonesia dikenal sebagai sebuah negara yang terdiri dari banyak pulau dan juga memiliki kawasan hutan terbesar dari negara lainnya. Sebagai negara yang memiliki hutan yang sangat luas maka Indonesia pernah di kategorikan sebagai negara dengan paru - paru dunia terbesar di dunia. Namun sangat disayangkan hutan yang dimiliki berangsur - angsur habis karena pemberian HPH kepada pengusaha - pengusaha yang memiliki anggaran dana yang besar sehingga mereka dapat mengelola hutan tanpa batas dan tidak mengembalikan fungsi hutan itu kembali sebagaimana mestinya.

Bencana asap yang terjadi di beberapa wilayah memiliki dampak yang luar biasa bagi kita semua. Sebagaimana kita ketahui dampak itu bukan merupakan faktor alam, namun merupakan ulah para tangan - tangan jahil yang dengan sengaja membakar lahan maupun hutan untuk perluasan wilayah maupun untuk pembukaan lahan.

Tanggal 30 Desember 2015 sebuah fakta mengejutkan bagi kita bahwa hukum tidak sanggup mengatasi apa yang telah terjadi dan seakan - akan hukum memiliki keterpihakan kepada penguasa HPH tersebut. Ini terbukti dengan dijatuhkan vonis hukuman bebas di Pengadilan Negeri Palembang oleh seorang Hakim terhadap pembakar lahan yang dilakukan oleh sebuah perusahaan. Terlihat jelas bahwa hukum yang ada itu hanya sebuah lelucon saja bagi mereka yang dimana hukum tersebut dapat dibeli dengan sebuah nominal.

Miris sekali kelihatannya ketika hukum tidak dapat berdiri tegak tanpa adanya intimidasi dan intervensi dari siapapun. Apabila hukum bernasib seperti ini sudah pasti hukum tidak akan berjalan seimbang dan dianggap lemah.

Dari penjabaran diatas akan dicoba memberikan penjelasan bagaimana konsekuensi hukum apabila terjadi pelanggaran seperti permasalahan diatas. Saya mencoba untuk menelaah melalui produk - produk hukum yang ada seperti Undang- Undang maupun yang produk hukum yang lainnya.

  • Tinjauan Menurut UU No 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Telah dijelaskan di dalam UU No 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup "bahwa lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi setiap warga negara Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28H Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945" dan negara harusnya menjamin akan hal itu.

Dan di dalam Pasal 3 dijelasakan pula bahwa tujuan Perlindungan dan pengelolaan lingkungan untuk
  1. melindungi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dari pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup;
  2. menjamin keselamatan, kesehatan, dan kehidupan manusia;
  3. menjamin kelangsungan kehidupan makhluk hidup dan kelestarian ekosistem;
  4. menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup;
  5. mencapai keserasian, keselarasan, dan keseimbangan lingkungan hidup; 
  6. menjamin terpenuhinya keadilan generasi masa kini dan generasi masa depan;
  7. menjamin pemenuhan dan perlindungan hak atas lingkungan hidup sebagai bagian dari hak asasi manusia;
  8. mengendalikan pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana;
  9. mewujudkan pembangunan berkelanjutan; dan 
  10. mengantisipasi isu lingkungan global.
Terlihat jelas bahwa Undang - Undang mengisyaratkan bahwa tujuan memberikan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup agar tidak dicemari atau dirusak oleh siapapun.

Negara harusnya menginventarisasi atau melakukan pemetaan serta mengkotak - kotakan berapa luas suatu wilayah dapat dikelola agar lingkungan hidup yang ada tidak tercemar dan terjadi kerusakan dengan bekerjasama dengan pemerintah daerah setempat. Dan apabila rusak harus cepat memberikan respon bagaimana memulihkan kembali lingkungan hidup tersebut dan memberikan sangsi hukum bagi yang melakukan kerusakan tersebut tanpa terkecuali. Apabila tidak mampu menanggulangi jalin kerjasama dengan lembaga - lembaga NGO yang ada sehingga sehingga kerusakan tersebut tidak semakin besar dan memburuk. Dikarenakan hal tersebut merupakan faktor maupun yang disengaja bukan karena faktor cuaca ataupun faktor yang tidak disengaja.

Pemerintah Daerah, masyarakat dan organisasi maupun lembaga -lembaga berhak mengajukan gugatan apabila hal ini terjadi seperti yang tercantum di dalam Pasal 90, 91 dan 92. Jika hal ini dilakukan saya rasa putusan yang ada mungkin tidak akan terjadi.

Sangsi pidana terhadap para pelaku perusakan lingkungan hidup di dalam Undang - Undang ini sebenarnya tidak main - main. Ini dapat kita lihat dari pasal - pasal yang ada di bawah ini:

Pasal 108
Setiap orang yang melakukan pembakaran lahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf h, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

Pasal 98
  1. Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
  2. Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang luka dan/atau bahaya kesehatan manusia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling sedikit Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan paling banyak Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah).
  3. Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang luka berat atau mati, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).

Pasal 99
  1. Setiap orang yang karena kelalaiannya mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
  2. Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang luka dan/atau bahaya kesehatan manusia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).
  3. Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang luka berat atau mati, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 9 (sembilan) tahun dan denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp9.000.000.000,00 (sembilan miliar rupiah).

Pasal 116
(1) Apabila tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh, untuk, atau atas nama badan usaha, tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhkan kepada:
  • badan usaha; dan/atau
  • orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana tersebut.

(2) Apabila tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang, yang berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain yang bertindak dalam lingkup kerja badan usaha, sanksi pidana dijatuhkan terhadap pemberi perintah atau pemimpin dalam tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan tindak pidana tersebut dilakukan secara sendiri atau bersama-sama.


Pasal 117
Jika tuntutan pidana diajukan kepada pemberi perintah atau pemimpin tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1) huruf b, ancaman pidana yang dijatuhkan berupa pidana penjara dan denda diperberat dengan sepertiga.

Pasal 119
Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini, terhadap badan usaha dapat dikenakan pidana tambahan atau tindakan tata tertib berupa:
  1. perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana;
  2. penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha dan/atau kegiatan;
  3. perbaikan akibat tindak pidana;
  4. pewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau
  5. penempatan perusahaan di bawah pengampuan paling lama 3 (tiga) tahun.
  • Tinjauan Menurut UU No 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Perusakan Hutan
Mengapa kita meninjau menurut Undang - Undang ini??karena hal yang dilakukan sebuah perusahaan tersebut selaku pemilik HPH sudah tentu berkaitan erat dengan Undang - Undang ini. Pembakaran yang mereka lakukan tersebut untuk membuat bersih lahan yang akan mereka garap nantinya dengan menghancurkan pepohonan yang ada. Land Clearing tidak hanya berupa bersih dari sengketa maupun tuntutan dari masyarakat tapi juga bersih dari apapun yang ada di lahan yang digarap nantinya.

Hutan yang ada itu akan dihancurkan dan diganti  dengan yang lain dapat kita katakan yang biasa masyarakat ketahui dengan sebutan HTI (Hutan Tanaman Industri). Dengan embel - embel inilah sebuah perusahaan atau pengusaha selalui mengelabui masyarakat yang membuat masyarakat tidak gusar sementara masyarakat tidak mengetahui bahwa tanaman yang akan ditanam tersebut akan merusak ekosistem yang ada baik itu tanah, air, dan lain sebagainya. Tidak semua HTI itu buruk dan tidak semua HTI itu menjadi baik kita harus mengkaji lebih dalam tentang tanaman pengganti tersebut sehingga kita memahami dampak apa yang akan terjadi nantinya.

Di dalam Undang - Undang ini telah dijelaskan bahwa "bahwa pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan harus dilaksanakan secara tepat dan berkelanjutan dengan mempertimbangkan fungsi ekologis, sosial, dan ekonomis serta untuk menjaga keberlanjutan bagi kehidupan sekarang dan kehidupan generasi yang akan datang" jadi apabila tidak mempertimbangkan hal tersebut maka hal ini merupakan perusakan hutan.

Asas pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan tercantum di dalam Pasal 2 yang berbunyi 
  • keadilan dan kepastian hukum;
  • keberlanjutan;
  • tanggung jawab negara;
  • partisipasi masyarakat;
  • tanggung gugat;
  • prioritas; dan
  • keterpaduan dan koordinasi.
Yang bertujuan seperti yang tercantum di dalam Pasal 3 sebagai berikut:
  1. menjamin kepastian hukum dan memberikan efek jera bagi pelaku perusakan hutan;
  2. menjamin keberadaan hutan secara berkelanjutan dengan tetap menjaga kelestarian dan tidak merusak lingkungan serta ekosistem sekitarnya;
  3. mengoptimalkan pengelolaan dan pemanfaatan hasil hutan dengan memperhatikan keseimbangan fungsi hutan guna terwujudnya masyarakat sejahtera; dan
  4. meningkatnya kemampuan dan koordinasi aparat penegak hukum dan pihak-pihak terkait dalam menangani pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan.
Di dalam Pasal 5 disebutkan bahwa Pemerintah dan atau Pemerintah Daerah memiliki kewajiban melakukan pencegahan terhadap kerusakan hutan serta di dalam Pasal 7 selain Pemerintah atau Pemerintah Daerah pencegahan tersebut dilakukan oleh masyarakat, badan hukum, atau korperasi yang memiliki izin pemanfaatan hutan tersebut.

Apabila tetap melakukan perbuatan seperti yang tercantum di dalam Undang - Undang ini, terdapat sangsi pidana yang akan diberikan kepada pelaku tercantum di dalam pasal 82 - 109.

  • Tinjauan Menurut Kitab Undang - Undang Hukum Pidana
Di dalam Kitab Undang - Undang Hukum Pidana perbuatan yang dilakukan oleh perusahaan tersebut termasuk dalam kejahatan yang membahayakan keamanan umum bagi orang atau barang yang terdapat di dalam Pasal 187 ayat (ke-2 dan ke-3) yang bebunyi sebagai berikut:
"Barang siapa dengan sengaja menimbulkan kebakaran, ledakan atau banjir, diancam:
  • ke-2 dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun, jika karenanya timbul bahaya bagi nyawa orang lain.
  • ke-3 dengan pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun, jika karenanya timbul bahaya bagi nyawa orang lain dan mengakibatkan kematian.
Dapat kita lihat bersama bahwa Undang - Undang yang ada diatas tidak memiliki keterpihakan kepada siapapun bagi pelanggarnya. Namun apa yang terjadi keputusan seorang hakim yang dimana notabene nya sebagai seorang ujung tombak tegaknya sebuah hukum pembakaran hutan tidak termasuk kategori merusak lingkungan hidup dengan alasan masih bisa ditanam kembali. Apakah begini sikap seorang hakim yang dimana dia sebagai seorang penentu dalam perkara yang ada. Lantas bagaimana terhadapa nyawa adik - adik kami yang telah direnggut oleh mereka?apakah bisa hidup kembali?

Seharusnya hakim tersebut tidak hanya menggunakan logika yang dimilikinya namun lihat juga fakta yang terjadi di lapangan. Apakah hal tersebut memberikan dampak buruk yang lebih besar atau tidak bagi orang lain. Mungkin hal ini yang harusnya hakim pertimbangkan sebelum memberikan sebuah putusan yang inkracht (putusan yang memiliki kekuatan hukum tetap).

Apabila seluruh hakim seperti ini, dijamin pasti negara ini penuh dengan ketidakpastian hukum. Hukum dianggap hanya sebuah peraturan tertulis yang bisa diubah kembali sesuai keinginan para penguasa dan pengusaha. Proses penindakan hukum dari aparat hukum terhadap pelaku juga masih belum seperti apa yang kita harapkan dan kita angan - angankan. Masih jauh dari apa yang kita inginkan.

Comments