KONFIGURASI POLITIK, PERSPEKTIF TEORITIK - Prinsip (atau sekedar semboyan) yang menyatakan politik dan hukum harus bekerja sama dan saling menguatkan melalui ungkapan “hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan, kekuasaan tanpa hukum adalah kelaliman”, menjadi semacam utopia belaka. Hal itu terjadi karena di dalam praktiknya hukum kerapkali menjadi cermin dari kehendak pemegang kekuasaan pollitik sehingga tidak sedikiti orang yang memandang bahwa hukum sama dengan kekuasaan.
Dahrendorf mencatat
ada enam ciri kelompok dominan atau kelompok pemegang kekuasaan politik.
1.
Jumlahnya
selalu lebih kecil dari jumlah kelompok yang dikuasai.
2. Memiliki
kelebihan kekayaan khusus untuk tetap memelihara dominasinya berupa kekayaan
materil, intelektual dan kehormatan moral.
3.
Dalam
pertentangan selalu terorganisasi lebih baik daripada kelompok yang
ditundukkan.
4. Kelas
penguasa hanya terdiri dari orang-orang yang memegang posisi dominan dalam
bidang politik sehingga elite penguasa diartikan sebagai elite penguasa dalam
bidang politik.
5. Kelas
penguasa selalu berupaya memonopoli dan mewariskan kekuasaan politiknya kepada
kelas/kelompoknya sendiri.
6.
Ada
reduksi perubahan sosial terhadap perubahan komposisi kelas penguasa.
Konfigurasi
politik suatu negara akan melahirkan karakter produk hukum tertentu di negara
tersebut. Di dalam negara yang konfigurasi politiknya otoriter, maka produk
hukumnya berkarakter ortodoks/konservatif/elitis.
Perubahan konfigurasi politik dari otoriter ke demokratis atau sebaliknya
berimplikasi pada perubahan karakter produk hukum.[1]
Konfigurasi Politik dan Karakter Produk Hukum dalam Konteks Negara Hukum
1. Periode Demokrasi
Liberal (1945-1959)
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Aristoteles, bahwa ada tiga unsur
dari pemerintah yang berkonstitusi, yaitu Pertama; pemerintah dilaksanakan
untuk kepentingan umum, Kedua; pemerintah dilaksanakan menurut hukum yang
berdasarkan ketentuan-ketentuan umum, bukan hukum yang dibuat secara
sewenang-wenang yang menyampingkan konvensi dan konstitusi, ketiga; pemerintah
berkonstitusi berarti pemerintah yang dilaksanakan atas kehendak rakyat, bukan
berupa paksaan atau tekanan seperti dilaksanakan pemerintahan despotis.
Pemikiran Aristoteles ini jelas sekali merupakan cita negara hukum yang dikenal
sekarang, karena ketiga unsur yang dikemukakan oleh Aristoteles tersebut dapat
ditemukan di semua negara hukum (Azhari, 1995: 20).
Ketika Indonesia secara konstitusional
berubah menjadi negara serikat (federal) sesuai dengan hasil Konferensi Meja
Bundar (KMB), Konstitusi RIS 1949 yang berlaku memberikan dasar konstitusional
tertulis atas system parlementer. Konfigurasi politik terlihat demokratis,
selain dari system pemerintahan yang parlementer, juga dapat dilihat dari
pengertian federalisme itu sendiri yang dalam mekanisme hubungan antara pusat
dan daerah (negara bagian) meletakkan pemerintah pusat dan pemerintah
negara-negara bagian dalam susunan yang sederajat.
Sebagaimana diketahui bahwa sesuai dengan
kehendak rakyat, maka susunan federasi tidak berlangsung lama. Pada tanggal 17
Agustus 1950 Negara Republik Indonesia kembali menjadi negara kesatuan dengan
UUDS 1950 sebagai konstitusi tertulisnya, dengan demikian Indonesia menganut
system demokrasi parlementer penuh, baik dalam arti pemberian dasar dalam
konstitusi maupun praktek ketatanegaraannya.
Secara praktis konfigurasi liberal-demokratis ini ditandai oleh
dominannya parlemen dalam spectrum politik, sehingga selama kurun waktu
berlakunya UUDS 1950 yang terjadi adalah instabilitas pemerintahan, karena
pemerintah seringkali dijatuhkan oleh parlemen melalui mosi.
Terjadinya pergulatan
melawan Belanda, maka pemerintah mengalami kesulitan dalam menerapkan UU No.22
Tahun 1948 tersebut, serta ketimpangan-ketimpangan yang juga masih ditemui
dalam pelaksanaannya. Dengan adanya masukan-masukan dari berbagai pihak dan
demi pelaksanaan ide demokrasi, maka keluarlah UU No.1 Tahun 1957 tentang
Pokok-pokok Pemerintahan Daerah. Dari undang-undang ini terlihat keinginan
pemerintah untuk menerapkan otonomi yang seluas-luasnya, dengan pengertian
bahwa daerah leluasa untuk mengurus rumah tangganya sendiri tanpa ada campur
tangan dari pusat, demikian juga halnya dengan pemilihan Kepala Daerah yang
dipilih secara langsung oleh rakyat.
Sesuai dengan konfigurasi politik yang demokratis pada periode ini,
maka produk hukum tentang pemerintahan daerah juga menunjukkan karakter yang
responsif, yang memperhatikan aspirasi dan kemauan masyarakat. Adanya kombinasi
yang seimbang antara politik dan hukum tersebut menggambarkan bahwa roda
kenegaraan yang dijalankan sesuai dengan kaedah yang berlaku dalam suatu negara
hukum.
Dari
upaya-upaya yang dilakukan oleh pemerintah dalam merespon kehendak masyarakat
tersebut, merupakan tindakan yang sesuai dengan bingkai negara hukum yang
senantiasa memperhatikan suara-suara rakyat, hak-hak rakyat serta perlindungan
hokum terhadap rakyat sesuai dengan asas demokrasi dan keadilan bagi seluruh
rakyat Indonesia.
2. Periode Demokrasi
Terpimpin (1959-1966)
Dengan keluarnya Dekrit
Presiden 5 Juli 1959, maka berakhirlah langgam system politik liberal dan
digantikan oleh system demokrasi yang menurut Soekarno lebih berwarna
Indonesia, yakni demokrasi terpimpin, yang seklaigus melahirkan konfigurasi
politik baru yang lebih bersifat otoriter.
Konfigurasi politik pada era demokrasi
terpimpin ditandai oleh tarik tambang antara tiga kekuatan politik utama, yaitu
Soekarno, Angkatan Darat dan Partai Komunis Indonesia (PKI), dan di antara
ketiganya sekaligus saling memanfaatkan. Soekarno memerlukan PKI untuk
menghadapi kekuatan Angkatan Darat yang gigih menyainginya, PKI memerlukan
Soekarno untuk mendapatkan perlindungan dari presiden dalam melawan Angkatan
Darat, sedangkan Angkatan Darat membutuhkan Soekarno untuk mendapatkan
legitimasi bagi keterlibatannya di dalam politik.
Di sini
terlihat bahwa konfigurasi politik yang terjadi pada masa demokrasi terpimpin
sangat tidak sesuai dengan bingkai negara hukum, yang senantiasa memberikan
perlindungan kepada masyarakat secara keseluruhan, malahan dilaksanakan
sebaliknya, bahwa roda kenegaraan dijalankan untuk melindungi kepentingan
individu atau kelompok tertentu.
3. Periode Orde Baru
(1966-1998)
Orde
Baru dimulai sejak tanggal 12 Maret1966 bersamaan dengan pembubaran Partai
Komunis Indonesia (PKI), sehari setelah keluarnya Surat Perintah Sebelas Maret
(Supersemar). Pemerintah Orde Baru bertekad untuk mengoreksi penyimpangan
politik yang terjadi pada era Orde Lama, dengan memulihkan tertib politik
berdasarkan Pancasila sekaligus meletakkan program rehabilitasi dan konsolidasi
ekonomi. Pada awal eksistensinya, jelas sekali bahwa Orde Baru memberi bobot
yang lebih besar terhadap perkembangan ekonomi dalam kerangka pembangunan nasionalnya.
Konfigurasi Politik Pada Era Orde Baru dan Orde Lama
Secara umum proses
perjalanan bangsa dapat dibagi dalam dua bagian yaitu, periode Orde Lama dan
periode Orde Baru. Orde Lama telah dikenal prestasinya dalam memberi identitas,
kebanggaan nasional dan mempersatukan bangsa Indonesia. Namun demikian, Orde Lama
pula yang memberikan peluang bagi kemungkinan kaburnya identitas tersebut
(Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945). Beberapa peristiwa pada Orde Lama
yang mengaburkan identitas nasional kita adalah; Pemberontakan PKI pada tahun
1948, Demokrasi Terpimpin, Pelaksanaan UUD Sementara 1950, Nasakom dan
Pemberontakan PKI 1965. Namun sejarah juga menunjukkan rezim Orde Baru yang
dianggap memberikan perbaikan dan menyelamatkan keadaan bangsa saat itu selama
masa pemerintahannya melakukan pemasungan terhadap hak-hak politik warga
negara, pembangunan memang dapat berjalan dengan cukup baik dimana tingkat
pertumbuhan ekonomi bahkan pernah mencapai 7 % (tujuh persen) namun
keberhasilan itu hanya bersifat semu karena semua pembangunan dibiayai dari
hutang luar negeri yang berakibat timbulnya krisis moneter dan tumbuh sehatnya
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.[2]
Konfigurasi politik,
menurut Dr. Moh. Mahfud MD, SH, mengandung arti sebagai susunan atau konstelasi
kekuatan politik yang secara dikotomis dibagi atas dua konsep yang bertentangan
secara diametral, yaitu konfigurasi politik demokratis dan konfigurasi politik
otoriter. Konfigurasi politik di pecah
menjadi variable politik demokrasi dan variable politik otoriter sedangkan
produk hukum di bedakan atas produk hukum yang berkarakter responsif dan produk
hukum yang berkarakter konserpatif atau ortodok. Indikator untuk menilai bahwa
suatu bangsa itu demokrasi atau otoriter indikator yang di gunakan adalah:
1. Peranan lembaga perwakilan rakyat
2. Peran pers
3. Peranan eksekutif
Sedangkan untuk menilai produk hukum indikator yang digunakan
adalah.
1. Proses pembuatannya
2. Pemberian fungsinya
3. Peluang penafsirannya[3]
Konfigurasi politik yang
ada pada periode orde lama membawa bangsa Indonesia berada dalam suatu rezim
pemerintahan yang otoriter dengan berbagai produk-produk hukum yang konservatif
dan pergeseran struktur pemerintahan yang lebih sentralistik melalui ketatnya
pengawasan pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah. Pada masa ini pula
politik kepartaian sangat mendominasi konfigurasi politik yang terlihat melalui
revolusi fisik serta sistem yang otoriter sebagai esensi feodalisme.
Sedangkan dibawah
kepemimpinan rezim Orde Baru yang mengakhiri tahapan tradisional tersebut
pembangunan politik hukum memasuki era lepas landas lewat proses Rencana
Pembangunan Lima Tahun yang berkesinambungan dengan pengharapan Indonesia dapat
menuju tahap kedewasaan (maturing society)
dan selanjutnya berkembang menuju bangsa yang adil dan makmur.[4]
1.
Konfigurasi Politik Demokratis
Adalah susunan sistem
politik yang membuka kesempatan (peluang) bagi partisipasi rakyat secara penuh
untuk ikut aktif menentukan kebijaksanaan umum. Partisipasi ini ditentukan atas
dasar mayoritas oleh wakil-wakil rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala yang
didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana
terjadinya kebebasan politik. Di negara yang menganut sistem demokrasi atau
konfigurasinya demokratis terdapat pluralitas organisasi dimana
organisasi-organisasi penting relatif otonom.
2.
Konfigurasi Politik Otoriter
Adalah susunan sistem
politik yang lebih memungkinkan negara berperan sangat aktif serta mengambil
hampir seluruh inisiatif dalam pembuatan kebijaksanaan negara. Konfigurasi ini
ditandai oleh dorongan elite kekuasaan untuk memaksakan persatuan, penghapusan
oposisi terbuka, dominasi pimpinan negara untuk menentukan kebijaksanaan negara
dan dominasi kekuasaan politik oleh elite politik yang kekal, serta di balik
semua itu ada satu doktrin yang membenarkan konsentrasi kekuasaan.[5]
3. Produk hukum responsif atau otonom adalah
karakter produk hukum yang mencerminkan pemenuhan atas aspirasi
masyarakat, baik individu maupun berbagai kelompok sosial,
sehingga secara relatif lebih mampu mencerminkan rasa keadilan di
dalam masyarakat. Proses normatifikasinya mengundang secara terbuka
partisipasi dan aspirasi masyarakat. Lembaga peradilan dan
peraturan hukum berfungsi sebagai instrument pelaksana bagi kehendak
masyarakat, sedangkan rumusannya biasanya cukup diperinci sehingga
tidak terlalu terbuka untuk ditafsirkan dan diinterpretasikan berdasarkan
kehendak dan visi penguasa/pemerintah secara sewenang-wenang.
4.
Produk hukum konservatif atau ortodoks adalah
karakter produk hukum yang mencerminkan visi politik pemegang
kekuasaan negara yang sangat dominan, sehingga dalam proses pembuatannya
tidak akomodatif terhadap partisipasi dan aspirasi masyarakat secara
sungguh-sungguh. Prosedur pembuatan yang dilakukan biasanya hanya
bersifat formalitas. Di dalam produk hukum yang demikian, biasanya hukum
berjalan dengan sifat positivis instrumentalis atau sekedar menjadi
alat justifikasi bagi pelaksanaan ideologi dan program pemerintah.[6]
KONFIGURASI POLITIK DALAM PEMBENTUKAN UU PEMILIHAN PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN
Pemilihan umum (Pemilu) merupakan instrument
penting dalam negara demokrasi yang menganut sistem perwakilan. Pemilu
berfungsi sebagai alat penyaring bagi “politikus-politikus” yang akan mewakili dan
membawa suara rakyat di dalam lembaga perwakilan. Pada tahun 1953 pemerintahan
bersama DPR menyetujui UU tentang Pemilihan Umum (Pemilu) untuk anggota
konstituante dan Dewan Perwakilan Rakyat, yaitu UU No.7 Tahun 1953.[7]
Munculnya Rancangan Undang-undang (RUU) Pemilu
untuk menggantikan UU No.4 Tahun 1999, selayaknya dimaknai sebagai bagian dari
upaya mendorong ke arah tatanan kehidupan yang lebih baik. Selain itu,
perubahan sistem politik yang dibangun melalui amandemen UUD 1945 memang tidak
bisa tidak, akan mendorong pula pada perubahan UU Pemilu. Ada beberapa hal yang
perlu dibangun dalam kerangka menciptakan Undang-undang Pemilu yang mendorong
proses terbangunnya pemilu yang demokratis.
Pertama, berkaitan dengan hak-hak suara. Setiap
warga negara mempunyai hak untuk memberikan suara di dalam pemilihan umum atas
dasar non diskriminasi, setiap warga negara yang dewasa memiliki hak untuk
memperoleh akses pada prosedur yang efektif, tidak memihak dan nondiskriminatif
untuk mengikuti pendaftaran pemilih.
Setiap individu yang dihambat haknya untuk
memberikan suaranya harus diberi ruang untuk mengajukan gugatan melalui
pengadilan yang berkompeten. Setiap individu mempunyai hak yang sama untuk
mendapatkan akses yang sama dalam rangka menjalankan haknya memberikan suara.
Hak mamberikan suara secara rahasia adalah absolut dan tidak boleh dibatasi
dengan cara apa pun.
Kedua, berkaitan dengan pencalonan, hak-hak dan
tanggung jawab partai. Setiap orang mempunyai hak untuk berpartisipasi dalam
pemerintahan negaranya dan harus memiliki kesempatan sama untuk menjadi calon
dalam pemilu. Setiap orang berhak untuk mendirikan partai politik dengan siapa
saja untuk bersaing dalam pemilihan umum.
Setiap individu dan atau partai politik yang hak-hak pencalonannya dihambat,
berhak untuk mengajukan gugatan melalui pengadilan yang berwewenang.
Ketiga, berkaitan dengan kampanye. Setiap individu atau parpol
berhak untuk bergerak bebas di dalam negeri dalam rangka kampanye pemilu,
melakukan kampanye atas dasar persamaan dengan partai politik yang lainnya,
termasuk dengan partai yang sedang berkuasa. Setiap individu atau parpol
memiliki hak yan sama untuk akses ke media massa. Terutama media komunikasi
massa, agar mereka dapat mengemukakan pandangan-pandangan politiknya.Keempat,
berkaitan dengan sistem pemilu. Sistem yang dibangun harus mendorong ke arah
perwakilan yang rasional dan akuntabilitas publik. Mendorong ke arah intimitas
antara wakil rakyat dan yang diwakili. Mendorong partisipasi publik untuk
memilih dan menentukan calon wakil rakyat, jadi bukan menggantung pada otoritas
DPP partai politik.
Kelima, berkaitan dengan hak dan tanggung jawab negara. Negara
harus menetapkan prosedur yang efektif, tidak memihak dan nondiskriminasi dalam
semua tingkat kepanitiaan pemilu. Menetapkan persyaratan dasar bagi kompetisi
dalam pemilu atas dasar persamaan. Negara harus menetapkan langkah-langkah
kebijakan dan institusional untuk menjamin tercapainya tujuan-tujuan pemilu,
termasuk melalui pembentukan mekanisme manajemen pemilu yang netral, tidak
memihak dan nondiskriminatif.[8]
Selama demokrasi terpimpin, tidak pernah dikeluarkan
peraturan-peraturan perundang-undangan Pemilu. Lembaga perwakilan yang
mula-mula dipakai pada awal periode ini adalah DPR yang anggota-anggotanya
dibentuk berdasarkan hasil Pemilu 1955. Akan tetapi, kendati dengan istilah
penghentian pelaksanaan tugas, DPR ini telah dibubarkan dengan Penetapan
Presiden No.3 Tahun 1960. Diktum Penpres tersebut adalah sebagai berikut:
a. Menghentikan pelaksanaan tugas dan pekerjaan
anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat.
b. Mengusahakan pembaruan susunan Dewan Perwakilan
Rakyat berdasrkan Undang-Undang Dasar 1945 dalam waktu singkat.
Bunyi diktum kedua yang lebih berupa janji untuk membentuk DPR yang
sesuai dengan tuntutan UUD 1945 adalah rencana Pemilu. Pertarungan partai
politik di DPR dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Pemilihan Presiden (RUU
Pilpres) kian terbelenggu oleh kepentingan pragmatis partai politik.[9]
Momentum perubahan politik tahun 1998, yang
dikenal dengan reformasi, ditandai dengan turunnya Soeharto dari tampuk kursi
kepresidenan Indonesia yang telah dikuasainya selama lebih dari tigapuluh
tahun. Jatuhnya rejim otoritarian Orde Baru diikuti dengan perubahan konstitusi
negara, yaitu amandemen UUD 1945 hingga empat tahapan. Hasil dari perubahan
konstitusi tersebut adalah perubahan secara signifikan sistem ketatanegaraan
R.I. Struktur lembaga negara yang tidak diperlukan dibubarkan, kemudian atas tuntutan
perkembangan politik dan masyarakat dibentuk lembaga negara baru. DPA dibubarkan,
dibentuk MK dan DPD sebagai lembaga tinggi negara.
Reformasi juga menjangkau hingga pada
pengaturan tentang sistem kepartaian di Indonesia. Masyarakat diberikan
kebebasan yang sangat luas untuk membentuk partai politik, dan bagaikan jamur
dimusim hujan sejak itu lebih dari seratus partai politik yang terdaftar di Departemen
Hukum dan HAM. Sekalipun demikian untuk mengikuti pemilu partai politik harus
memenuhi persyaratan tertentu yang tidak mudah. Tetapi harus diingat bahwa
partisipan pemilu pasca reformasi selalu diikuti oleh lebih dari 20 partai
politik. Bahkan pada pemilu legislatif 2009 yang baru lalu diikuti oleh 40
partai politik.
Konfigurasi politik pasca reformasi menunjukkan
pola keterbukaan yang membuka peluang bagi berperannya seluruh potensi rakyat
secara maksimal untuk turut aktif menentukan kebijakan negara. Di dalam
konfigurasi politik yang demikian maka pemerintah lebih berperan sebagai
pelayan yang harus melaksanakan kehendak masyarakatnya, yang dirumuskan secara
demokratis oleh badan perwakilan rakyat dan partai politik berfungsi secara proporsional.[10]
Dalam
Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 2004, untuk pertama kalinya rakyat Republik
Indonesia yang sudah memiliki hak pilih akan melangsungkan prosesi demokrasi,
yakni Pemilu Presiden.[11]
Praktek Pengisian Jabatan Presiden dan Wakil Presiden
Pengisian jabatan presiden berkaitan dngan
bentuk pemerintahan, bentuk negara, sistem pemerintahan, dan sistem politik
suatu negara. Pengisian jabatan presiden dan wakil presiden dapat dibedakan:
a.
Pengisian jabatan dengan pemilihan (election)
b.
Pengisian jabatan dengan pengangkatan (appointment)
c. Pengisian jabatan yang sekaligus mengandung
pengangkatan dan pemilihan (yang berfungsi sebagai pernyataan dukungan)
Semua jabatan, pengisian jabatan, dan pemangku
jabatan dalam republic pada dasarnya memerlukan keikutsertaan publik, termasuk
pertanggungjawaban, pengawasan, dan pengendalian. Bentuk negara dibedakan antar
negara kesatuan dan federal. Bentuk negara dapat menimbulkan perbedaan corak
dalam pengisian jabatan Presiden dan Wakil Presiden. Dari berbagai faktor yang
mungkin berpengaruh, pengisian jabatan Presiden dan Wakil Presiden dibedakan
menjadi dua cara utama:
1. Pemilihan
langsung (popular vote)
Rakyat
secara langsung memilih calon-calon Presiden yang diajukan atau memajukan diri
dalam pemilihan.
2. Pemilihan
tidak langsung (indirect popular vote)
Pemilihan
tidak langsung dapat dibedakan antara:
a. Presiden
dan Wakil Presiden dipilih oleh badan perwakilan rakyat seperti Parlemen atau
Dewan Perwakilan Rakyat
b. Presiden
dipilih oleh badan atau lembaga pemilih (electoral
college) yang sengaja “dibentuk” melalui pemilihan langsung oleh rakyat
untuk setiap kali pemilihan Presiden dan Wakil Presiden
c. Presiden
dan Wakil Presiden dipilih oleh badan perwakilan rakyat pusat bersama-sama
dengan badan perwakilan rakyat negara bagian.
d. Presiden
dipilih oleh badan perwakilan rakyat pusat dan oleh anggota-anggota yang khusus
dipilih oleh badan perwakilan rakyat negara bagian.[12]
Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Menurut UU No.7 tahun 1953
UU No 27 tahun 1948 tentang Pemilu, yang
kemudian diubah dengan UU No. 12 tahun 1949 tentang Pemilu. Di dalam UU No
12/1949 diamanatkan bahwa pemilihan umum yang akan dilakukan adalah bertingkat
(tidak langsung). Sifat pemilihan tidak langsung ini didasarkan pada alasan
bahwa mayoritas warganegara Indonesia pada waktu itu masih buta huruf, sehingga
kalau pemilihannya langsung dikhawatirkan akan banyak terjadi distorsi.
Setelah Kabinet Natsir jatuh 6 bulan kemudian,
pembahasan RUU Pemilu dilanjutkan oleh pemerintahan Sukiman Wirjosandjojo, juga
dari Masyumi. Pemerintah ketika itu berupaya menyelenggarakan pemilu karena
pasal 57 UUDS 1950 menyatakan bahwa anggota DPR dipilih oleh rakyat melalui
pemilihan umum.
Tetapi pemerintah Sukiman juga tidak berhasil
menuntaskan pembahasan undang-undang pemilu tersebut. Selanjutnya UU ini baru
selesai dibahas oleh parlemen pada masa pemerintahan Wilopo dari PNI pada tahun
1953. Maka lahirlah UU No. 7 Tahun 1953 tentang Pemilu. UU inilah yang menjadi
payung hukum Pemilu 1955 yang diselenggarakan secara langsung, umum, bebas dan
rahasia. Dengan demikian UU No. 27 Tahun 1948 tentang Pemilu yang diubah dengan
UU No. 12 tahun 1949 yang mengadopsi pemilihan bertingkat (tidak langsung) bagi
anggota DPR tidak berlaku lagi.
Patut dicatat dan dibanggakan bahwa pemilu yang
pertama kali tersebut berhasil diselenggarakan dengan aman, lancar, jujur dan
adil serta sangat demokratis. Pemilu 1955 bahkan mendapat pujian dari berbagai
pihak, termasuk dari negara-negara asing. Pemilu ini diikuti oleh lebih 30-an
partai politik dan lebih dari seratus daftar kumpulan dan calon perorangan.
Pemilu
1955. Ini merupakan pemilu yang pertama dalam sejarah bangsa Indonesia. pemilu
1955 dilakukan dua kali. Yang pertama, pada 29 September 1955 untuk memilih
anggota-anggota DPR. Yang kedua, 15 Desember 1955 untuk memilih anggota-anggota
Dewan Konstituante.[13]
Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Menurut UU No.23 tahun 2003
Beberapa hal penting dalam pemilihan Presiden
dan Wakil Presiden menurut UU No.23 tahun 2003, adalah:
a. Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan
berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (Pasal 2).
b. Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan
di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai satu daerah
Pemilihan (Pasal 3 ayat 1).
c.
Pemilu Presiden dan Wakil Presiden merupakan
satu rangkaian dengan Pemilihan Umum anggota DPR, DPD, dan DPRD. (Pasal 3 ayat
3).
d. Pemilu Presiden dan Wakil Presiden harus sudah
menghasilkan Presiden dan Wakil Presiden terpilih selambat-lambatnya 14 (empat
belas) hari sebelum masa jabatan Presiden berakhir.[14]
Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Menurut UU No.42 tahun 2008
Beberapa hal penting dalam pemilihan Presiden
dan Wakil Presiden menurut UU No.42 tahun 2008, adalah:
a. Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan
secara efektif dan efisien berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia,
jujur, dan adil (Pasal 2).
b.
Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan
setiap 5 (lima) tahun sekali (Pasal 3 ayat 1).
c. Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan
di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai satu kesatuan
daerah pemilihan (Pasal 3 ayat 2).
d. Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan
setelah pelaksanaan pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD (Pasal 3 ayat 5).
e. Tahapan penyelenggaraan Pemilu Presiden dan
Wakil Presiden meliputi (Pasal 3 ayat 6):
- Penyusunan daftar
Pemilih
- Pendaftaran bakal
Pasangan Calon
- Penetapan Pasangan Calon
- Masa Kampanye
- Masa tenang
- Pemungutan dan penghitungan
suara
- Penetapan hasil Pemilu
Presiden dan Wakil Presiden
Daftar Pustaka
[1] Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Rajawali
Pers, Jakarta, 2009, hlm 20-22.
[2] http://www.legalitas.org/?q=Konfigurasi+Politik+pada+Era+Orde+Lama+dan+Orde+Baru%3A+Suatu+Telaahan+dalam+Partai+Politik
[3] http://ariflawyer.multiply.com/journal/item/3
[4] http://www.uinsuska.info/syariah/attachments/139_Firdaus,%20SH,%20MH%20Ok.pdf
[5] Moh. Mahfud MD,………., Op Cit, hlm
30.
[6]http://adisulistiyono.staff.uns.ac.id/files/2009/09/studi-tentang-pengaruh-konfigurasi-politik-terhadap-produk-hukum.pdf
[7] Moh. Mahfud MD,………., Op Cit, hlm
60 &130
[8] http://www.areainformasi.co.cc/2009/01/jurnal-politik-akibat-konfigurasi_13.html
[9]http://theindonesianinstitute.com/index.php/20081101278/Logika-Politik-dalam-RUU-Pilpres.html
[10] http://adisulistiyono.staff.uns.ac.id/files/2009/09/studi-tentang-pengaruh-konfigurasi-politik-terhadap-produk-hukum.pdf
[11]http://www.pemantauperadilan.com/opini/47-TAHAPAN%20KRITIS%20SENGKETA%20PEMILIHAN%20PRESIDEN%20DAN%20WAKIL%20PRES.pdf
[12] Prof. Dr. H. Bagir Manan, SH.
M.C.L, Teori dan Politik Konstitusi, FH
UII Press 2003.
[13]
http://kpukalbar.com/berita?showall=1
[14]
http://www.bpkp.go.id/unit/hukum/uu/2003/23-03.pdf
[15] http://www.kpu.go.id/index2.php?option=com_docman&task=doc_view&gid=45&
Comments
Post a Comment
Dilarang keras melakukan spam, meletakkan suatu link dalam komentar dan diharapkan bertutur kata atau menulis dengan santun. Terima kasih