PENGERTIAN MALPRAKTIK
Medical malpractice atau disingkat malpractice (Malpraxis)
secara umum berarti praktek buruk (bad
practice) yang dapat dikatakan terhadap orang yang menjalankan profesinya
dengan memakai cara atau ilmunya secara tidak wajar, sehingga hal ini tidak
berlaku bagi profesi medis saja tetapi juga berlaku bagi profesi lainnya
seperti notaris, advokat, akuntan dan lain sebagainya.[1]
Malapraktek berasal dari kata “mala” dan “praktek”, kata mala mempunyai arti petaka, kecelakaan, bencana, sedangkan kata praktek diartikan dengan cara melakukan apa yang disebut dalam teori atau menjalankan pekerjaan. Sehingga secara umum kata malapraktek dapat diartikan sebagai menjalankan pekerjaan dengan tidak baik.[2]
Black's Law Dictionary mendefinisikan malpraktik sebagai
"professional misconduct or unreasonable lack of skill" atau
"failure of one rendering professional services to exercise that degree
of skill and learning commonly applied under all the circumstances in the
community by the average prudent reputable member of the profession with the
result of injury, loss or damage to the recipient of those services or to those
entitled to rely upon them".
Pengertian malpraktik di atas bukanlah
monopoli bagi profesi medis, melainkan juga berlaku bagi profesi hukum
(misalnya mafia peradilan), akuntan, perbankan (misalnya kasus BLBI), dan
lain-lain. Pengertian malpraktik medis menurut World Medical Association (1992)
adalah: "medical malpractice involves the physician's
failure to conform to the standard of care for treatment of the patient's
condition, or lack of skill, or negligence in providing care to the patient,
which is the direct cause of an injury to the patient."[3]
Jika
memperhatikan pengertian diatas jelas perbuatan malpraktik bukan monopoli dari
profesi medis (dokter). Ini berlaku juga bagi profesi hukum (misalnya advokat, hakim)
atau perbankan (semisal akuntan). Jika dihubungkan dengan profesi medis barulah
disebut malpraktik medik. Namun entah mengapa jika membicarakan istilah
malpraktik ini selalu yang dimaksudkan adalah tindakan buruk yang dilakukan
dokter.
Istilah
malpraktik medik ini pertama kali digunakan oleh Sir William Blackstone tahun
1768 yang menyatakan bahwa malapraxis is great misdemeanor and
offence at common law, whether it be for curiousity or experiment or by
neglect: because it breaks the trust which the party had place in his
physician and tend to the patient’s destruction. Sedangkan menurut M. Yusuf
Hanafiah malpraktek medis adalah kelalaian seorang dokter untuk mempergunakan
tingkat keterampilan dan ilmu pengetahuan yang lazim dipergunakan dalam
mengobati pasien atau orang yang terluka menurut ukuran di lingkungan yang sama.
Pengertian yang dikemukakan oleh World
Medical Association, menunjukkan bahwa malpraktik medik dapat terjadi
karena tindakan yang disengaja (intentional)
seperti pada misconduct terntentu, tindakan kelalaian (negligence) ataupun suatu kekurangmahiran/ketidakkompeten yang
tidak beralasan.[4]
Sedangkan Prof.dr. M. Jusuf Hanafiah, SpOG(K) memberikan
pengertian tentang malpraktek medik yaitu ‘kelalaian seorang dokter untuk
mempergunakan tingkat keterampilan dan ilmu pengetahuan yang lazim dipergunakan
dalam mengobati pasien atau orang yang terluka menurut ukuran di lingkungan
yang sama’. Yang dimaksud dengan kelalaian disini ialah sikap kurang
hati-hati melakukannya dengan wajar, atau sebaliknya melakukan apa yang
seseorang --dengan sikap hati-hati --tidak akan melakukannya dalam situasi
tersebut. Kelalaian diartikan pula dengan melakukan tindakan kedokteran di
bawah standar pelayanan medik.[5]
- HAK-HAK
DAN KEWAJIBAN PROFESI SEORANG DOKTER
Dalam
setiap profesi termasuk profesi tenaga kesehatan berlaku norma etika dan norma
hukum. Oleh sebab itu, apabila timbul dugaan adanya kesalahan praktek sudah
seharusnyalah diukur atau dilihat dari sudut pandang kedua norma tersebut.
Kesalahan dari sudut pandang etika disebut ethical malpractice dan dari
sudut pandang hukum disebut yuridical malpractice. Hal ini perlu
dipahami mengingat profesi tenaga perawatan berlaku norma etika dan norma
hukum, sehingga apabila ada kesalahan praktek perlu dilihat domain apa yang
dilanggar. Karena antara etika dan hukum ada perbedaan-perbedaan yang mendasar
menyangkut substansi, otoritas, tujuan dan sangsi, maka ukuran normatif yang
dipakai untuk menentukan adanya ethical malpractice atau yuridical
malpractice dengan sendirinya juga berbeda. Yang jelas tidak setiap ethical
malpractice merupakan yuridical malpractice akan tetapi semua bentuk
yuridical malpractice pasti merupakan ethical malpractice.
Profesi Kedokteran
Jiwa memiliki kekhasan dibandingkan dengan profesi di bidang kedokteran
lainnya, sebagian oleh karena tingginya sifat hubungan paternalistik antara
dokter dengan pasien, tingginya ketergantungan pasien kepada dokter, penggunaan
obat-obatan psikotropik dan ketidak-kompetenannya pasien. Keadaan tersebut
memberikan peluang bagi para dokter “nakal” untuk melakukan berbagai pelanggaran etik ataupun
malpraktek, seperti perlakuan salah dengan menggunakan kewenangannya – baik
secara fisik, emosional ataupun seksual, pelanggaran hak-hak sipil pasien,
penelantaran, pelanggaran wajib simpan rahasia kedokteran dan kelalaian medis
lainnya.[6]
Dalam perjanjian
melakukan jasa tertentu antara dokter dan pasien, para pihak kedudukannya sama,
tidak terdapat hubungan diperatas dan tidak ada tuntutan untuk menciptakan hal
yang baru atau hasil yang baru melainkan dikehendaki adanya pekerjaan untuk
mencapai tujuan tertentu.[7]
Peraturan perundang-undangan mengenai perjanjian untuk melakukan jasa-jasa
tertentu hanya terdapat dalam satu pasal saja, yaitu pasal 1601 KUH Perdata.
Sedangkan berdasarkan pasal 1338 (1) KUH Perdata dikatakan bahwa setiap orang
mempunyai kebebasan untuk membuat kontrak dengan bentuk apapun, termasuk
perjanjian untuk melakukan pemberian jasa berdasarkan keinginan para pihak.
Dari sudut sumbernya,
kewajiban dan hak dokter ada dua macam, yaitu:
- Kewajiban dan hak yang bersumber pada kesepakatan.
- Kewajiban dan hak yang bersumber pada peraturan perundang-undangan.
Kewajiban dan hak dokter ditetapkan
dalam peraturan perundang-undangan, yakni UU No. 29/2004 tentang Praktik
Kedokteran dan UU No. 23/1992 tentang Kesehatan. Dalam kode Etik Kedokteran Indonesia,
terdapat kewajiban-kewajiban dokter yang dibedakan menjadi empat, yaitu
kewajiban umum, kewajiban terhadap penderita, kewajiban terhadap teman sejawat,
dan kewajiban terhadap diri sendiri.
ASPEK-ASPEK HUKUM TERHADAP MALPRAKTEK
- Aspek
Hukum Perdata
Dari sudut hukum perdata, hubungan hukum
dokter dan pasien berada dalam suatu perikatn hukum (verintenis). Perikatan hukum adalah suatu ikatan antara dua subjek
hukum atau lebih untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu
memberikan sesuatu (Pasal 1313 jo 1234 BW) yang disebut prestasi. Dari sudut
perdata, malpraktik kedokteran terjadi apabila perlakuan salah yang dilakukan
oleh dokter dalam hubungannya dengan pemberian prestasi pelayanan medis pada
pasien menimbulkan kerugian perdata.[8]
Unsur adanya kerugian kesehatan fisik,
jiwa, maupun nyawa pasien akibat dari salah perlakuan oleh dokter merupakan
unsur esensial malpraktik kedokteran dari sudut hukum perdata termasuk hukum
pidana. Dengan timbulnya akibat kerugian perdata pasien itulah dasar terbentuknya
pertanggung jawaban hukum perdata bagi dokter terhadap kerugian yang timbul.
Suatu
tuntutan hukum perdata, dalam hal ini sengketa antara pihak dokter dan rumah
sakit berhadapan dengan pasien dan keluarga atau kuasanya, dapat diselesaikan
melalui dua cara, yaitu cara litigasi (melalui proses peradilan) dan cara non
litigasi (di luar proses peradilan).
Apabila
dipilih penyelesaian melalui proses pengadilan, maka penggugat akan mengajukan
gugatannya ke pengadilan negeri di wilayah kejadian, dapat dengan menggunakan
kuasa hukum (pengacara) ataupun tidak. Dalam proses pengadilan umumnya ingin
dicapai suatu putusan tentang kebenaran suatu gugatan berdasarkan bukti-bukti
yang sah (right-based) dan kemudian putusan tentang jumlah uang ganti rugi yang
"layak" dibayar oleh tergugat kepada penggugat. Dalam menentukan
putusan benar-salahnya suatu perbuatan hakim akan membandingkan perbuatan yang
dilakukan dengan suatu norma tertentu, standar, ataupun suatu kepatutan
tertentu, sedangkan dalam memutus besarnya ganti rugi hakim akan
mempertimbangkan kedudukan sosial-ekonomi kedua pihak (pasal 1370-1371 KUH
Perdata).[9]
Apabila
dalam perlakuan medis terdapat kesalahan dengan mnimbulkan akibat kerugian maka
pasien berhak menuntut adanya penggantian kerugian berdasarkan perbuatan
melawan hukum (Pasal 1365 BW). Pasal 1365 BW merumuskan “Tiap perbuatan
melanggar hukum yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang
karena salahnya menimbulkan kerugian itu untuk mengganti kerugian tersebut”.[10]
Berdasarkan
perbuatan melawan hukum seperti itu dan rumusan Pasal 1365 BW maka ada empat
syarat yang harus dipenuhi untuk menuntut kerugian adanya perbuatan melawan
hukum. Syarat tersebut adalah:
- Adanya perbuatan (daad) yang termasuk kualifikasi perbuatan melawan hukum.
- Adanya kesalahan (doleus maupun culpos) si pembuat.
- Adanya kerugian (schade).
- Adanya hubungan perbuatan dengan akibat kerugian (oorzakelijk verband atau casual verband) orang lain.
Malpraktik kedokteran bisa masuk
lapangan hukum pidana, apabila memenuhi syarat-syarat tertentu dalam tiga
aspek, yaitu:
- Syarat dalam sikap bathin dokter
- Syarat dalam perlakuan medis
Perbuatan
yang dilakukan
- Syarat mengenai hal akibat [11]
Malpraktik kedokteran pidana harus
berupa akibat yang sesuai dengan yang ditentukan dalam UU. Malpraktik
kedokteran hanya terjadi pada tindak pidana materiil. Kematian, luka berat,
rasa sakit, atau luka yang mendatangkan penyakit, atau luka yang menghambat
tugas dan mata pencaharian sebagai unsur malpraktik pidana dokter.
KUHP membedakan lima macam penganiayaan,
yakni penganiayaan bentuk standar, atau sering disebut bentuk pokok (Pasal
351), atau biasa (gewone mishandeling);
penganiayaan ringan (Pasal 352); penganiayaan berencana (Pasal 353);
penganiayaan berat (Pasal 354); dan penganiayaan berat berencana (Pasal 355).
Ada dua kelompok tindak pidana bidang
kesehatan dilihat dari sudut sumbernya, yaitu:
- Tindak pidana bidang kesehatan yang bersumber pada peraturan perundang-undangan di bidang kesehatan atau yang berhubungan dengan kesehatan, yaitu bersumber pada UU No. 29/2004 tentang Praktik Kedokteran dan UU No. 23/1992 tentang Kesehatan.
- Tindak pidana bidang kesehatan yang bersumber di luar peraturan perundang-undangan bidang kesehatan. Secara konvensional dapat ditunjuk tindak pidana tertentu dalam KUHP, terutama pasal-pasal 351-357, 359,360 KUHP.
Pekerjaan
profesi bagi setiap kalangan terutama dokter tampaknya harus sangat
berhati-hati untuk mengambil tindakan dan keputusan dalam menjalankan
tugas-tugasnya karena sebagaimana yang telah diuraikan di atas. Tuduhan
malpraktik bukan hanya ditujukan terhadap tindakan kesengajaan (dolus) saja.
Tetapi juga akibat kelalaian (culpa) dalam menggunakan keahlian, sehingga
mengakibatkan kerugian, mencelakakan, atau bahkan hilangnya nyawa orang lain.
Selanjutnya, jika kelalaian dokter tersebut terbukti merupakan tindakan medik
yang tidak memenuhi SOP yang lazim dipakai, melanggar Kode Etik Kedokteran
Indonesia (Kodeki), serta Undang-undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan,
maka dokter tersebut dapat terjerat tuduhan malpraktik dengan sanksi pidana.
Dalam
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) kelalaian yang mengakibatkan celaka
atau bahkan hilangnya nyawa orang lain. Pasal 359, misalnya menyebutkan,
“Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain, diancam dengan
pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun”.
Sedangkan kelalaian yang mengakibatkan terancamnya keselamatan jiwa seseorang
dapat diancam dengan sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 360
Kitab-Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), (1) “Barang siapa karena kealpaannya
menyebabkan orang lain mendapat luka-luka berat, diancam dengan pidana penjara
paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun”. (2) Barang siapa
karena kealpaannya menyebabkan orang lain luka-luka sedemikian rupa sehingga
timbul penyakit atau halangan menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharian
selama waktu tertentu, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan
atau kurungan paling lama enam bulan atau denda paling tinggi tiga ratus
rupiah.
Pemberatan
sanksi pidana juga dapat diberikan terhadap dokter yang terbukti melakukan
malpraktik, sebagaimana Pasal 361 Kitab-Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP),
“Jika kejahatan yang diterangkan dalam bab ini dilakukan dalam menjalankan
suatu jabatan atau pencarian, maka pidana ditambah dengan sepertiga dan yang
bersalah dapat dicabut hak untuk menjalankan pencarian dalam mana dilakukan
kejahatan dan hakim dapat memerintahkan supaya putusannya diumumkan.” Namun,
apabila kelalaian dokter tersebut terbukti merupakan malpraktik yang
mengakibatkan terancamnya keselamatan jiwa dan atau hilangnya nyawa orang lain
maka pencabutan hak menjalankan pencaharian (pencabutan izin praktik) dapat
dilakukan.
Berdasarkan
Pasal 361 Kitab-Undang-Undang Hukum Pidana (KUH Pidana) dan aturan kode etik
profesi praktik dokter. Tindakan malpraktik juga dapat berimplikasi pada
gugatan perdata oleh seseorang (pasien) terhadap dokter yang dengan sengaja
(dolus) telah menimbulkan kerugian kepada pihak korban, sehingga mewajibkan
pihak yang menimbulkan kerugian (dokter) untuk mengganti kerugian yang dialami
kepada korban, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1365 Kitab-Undang-Undang
Hukum Perdata (KUHPerdata), “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa
kerugian pada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan
kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.” Sedangkan kerugian yang di akibatkan
oleh kelalaian (culpa) diatur oleh Pasal 1366 yang berbunyi: “Setiap orang
bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya,
tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan kelalaian atau kurang hati-hatinya.”[12]
3. Aspek
Hukum Administrasi Malpraktek Kedokteran
Pelanggaran hukum administrasi
kedokteran bukanlah malprakti. Akan tetapi, pelanggaran hukum administrasi
kedokteran menjadi sifat melawan hukum perbuatan malpraktik apabila menimbulkan
akibat buruk pada pasien. Akibat kerugian pasien merupakan unsur esensial tidak
dapat dihilangkan sebagai unsur penentunya.
Pelanggaran kewajiban administrasi tidak
selamanya bersanksi administrasi, seperti pencabutan izin praktik dan
sebagainya. Beberapa pelanggaran hukum administrasi kedokteran, kini menjadi
tindak pidana. Lihat pasal 75, 76 7, 78 UU No. 29/2004 tentang Praktik Kedokteran.
Pada dasarnya, tindakan pidana bermula dari pelanggaran hukum administrasi.
Pelanggaran hukum administrasi praktik
dokter pada dasarnya adalah pelanggaran terhadap kewajiban-kewajiban hukum
administrasi kedokteran. Kewajiban administrasi dokter dapat dibedakan menjadi
dua, yaitu:
- Kewajiban administrasi yang berhubungan dengan kewenangan sebelum dokter berbuat.
- Kewajiban administrasi pada saat dokter sedang melakukan pelayanan medis.
Oleh karena ada dua macam kewajiban
administrasi maka pelanggaran administrasi juga dapat dibedakan menjadi dua.
Pelanggaran terhadap kewajiban-kewajiban administrasi tersebut dapat menjadi
malpraktik kedokteran, apabila setelah pelayanan yang dijalankan menimbulkan
kerugian kesehatan atau jiwa pasien. Dua macam pelanggaran administrasi
tersebut adalah sebagai berikut:
- Pelanggaran hukum administrasi tentang kewenangan praktik kedokteran (dokter atau dokter gigi).
- Pelanggaran administrasi mengenai pelayanan medis.
Adanya UU No.29/2004 tentang Praktik Kedokteran,
disamping UU No. 23/1992 tentang Kesehatan semakin sempurna penataan pelayanan
kesehatan dari sudut hukum administrasi.
KESIMPULAN
Dokter dapat dianggap
melakukan malpraktik kedokteran apabila menyalahi standar profesi atau standar
prosedur operasional. Hal
yang perlu dipahami mengingat profesi tenaga perawatan berlaku norma etika dan
norma hukum, sehingga apabila ada kesalahan praktek perlu dilihat domain apa
yang dilanggar.
Dari sudut perdata,
malpraktik kedokteran terjadi apabila perlakuan salah yang dilakukan oleh
dokter dalam hubungannya dengan pemberian prestasi pelayanan medis pada pasien menimbulkan
kerugian perdata, yang sesuai dengan Pasal 1365 BW KUH Perdata.
Pemberatan sanksi
pidana juga dapat diberikan terhadap dokter yang terbukti melakukan malpraktik,
sebagaimana Pasal 361 Kitab-Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Kewajiban hukum
administrasi kedokteran mengenai dan berhubungan dengan perbuatan/pelayanan
medis yang harus dipenuhi. Pelanggaran kewajiban hukum administrasi ini dapat
menjadi malpraktik apabila menimbulkan kerugian keehatan atau kematian pasien.
Namun, apabila kelalaian dokter tersebut terbukti merupakan malpraktik yang mengakibatkan terancamnya keselamatan jiwa dan atau hilangnya nyawa orang lain maka pencabutan hak menjalankan pencaharian (pencabutan izin praktik) dapat dilakukan.
Namun, apabila kelalaian dokter tersebut terbukti merupakan malpraktik yang mengakibatkan terancamnya keselamatan jiwa dan atau hilangnya nyawa orang lain maka pencabutan hak menjalankan pencaharian (pencabutan izin praktik) dapat dilakukan.
Daftar Pustaka
[1] Mahkamah Agung RI, Uraian Teoritis Dan kutipan Kepustakaan
Tentang Medical Malpratice, Jilid II A, 1992, hlm 2
[2] http://imam249.wordpress.com/2009/07/08/penegakan-hukum-dalam-kasus-malapraktek-kedokteran/,
diakses 29 April 2011
[3] http://www.freewebs.com/malprate/malpraktikkedokteran.htm,
diakses 29 April 2011
[4] http://docs.google.com/gview?a=v&q=cache:OmP4qg9m-b8J:pkditjenpdn.depdag.go.id/download/index.php%3FPerlindungan%2520Korban%2520Malapraktik.pdf+perlindungan+terhadap+korban+malpraktik&hl=id&gl=id, diakses 29 April 2011.
[4] http://docs.google.com/gview?a=v&q=cache:OmP4qg9m-b8J:pkditjenpdn.depdag.go.id/download/index.php%3FPerlindungan%2520Korban%2520Malapraktik.pdf+perlindungan+terhadap+korban+malpraktik&hl=id&gl=id, diakses 29 April 2011.
[5] http://id.acehinstitute.org/index.php?option=com_content&view=article&id=246:perlindungan-masyarakat-dari
malpraktek&catid=54:kesehatan&Itemid=87, diakses 29 April 2011.
[6] http://www.freewebs.com/malpraktekkedokteranjiwa/index.htm,
diakses 29 April 2011.
[7] R. Abdoel
Djamali, SH dan Lenawati Tedjapermana, SH, Tanggung
Jawab Hukum Seorang Dokter Dalam Menangani Pasien, CV. Abardin, Maret 1988,
hal 93.
[8] Drs. H.
Adami Chazawi, SH, Malpraktik Kedokteran
Tinjauan Norma dan Dokrin Hukum, Bayumedia Publishing, Malang, Maret 2007,
hal 41
[9]
http://www.freewebs.com/malprate/penangananmalpraktik.htm, diakses 29 April
2011.
[10] Prof. R. Subekti, SH dan R. Tjitrosudibio,
Kitab Undang-undang Hukum Perdata,
Pradya Paramita, Jakarta, 2006, hlm 346.
[11] Drs. H.
Adami Chazawi, SH,……….,
Op Cit, hlm 81.
[12] http://www.harian-aceh.com/opini/85-opini/3050-malpraktik.html,
diakses 29 April 2011.
Comments
Post a Comment
Dilarang keras melakukan spam, meletakkan suatu link dalam komentar dan diharapkan bertutur kata atau menulis dengan santun. Terima kasih