PEMBAHASAN
Menurut pasal 1 ayat (7) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008, mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator.
Mediasi adalah satu diantara sekian banyak Alternatif Penyelesaian Sengketa atau biasa dikenal dengan istilah Alternative Dispute Resolution (ADR). Mediasi merupakan salah satu bentuk penyelesaian sengketa di luar pengadilan (non-litigasi) yang merupakan salah satu bentuk dari Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) atau Alternative Dispute Resolutions (ADR) akan tetapi dapat juga berwujud mediasi peradilan sebagaimana amanat Pasal 130 HIR atau Pasal 154 Rbg. Bertitik tolak pada ketentuan pasal 130 HIR maupun pasal 154 R.Bg, untuk lebih memberdayakan dan mengefektifkannya, Mahkamah Agung menuangkan ketentuan tersebut ke dalam suatu bentuk yang bersifat memaksa, yaitu dengan mengaturnya kedalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi, akan tetapi kemudian keluar Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 tentang prosedur mediasisebagai penyempurna dari Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2003.
Lahirnya
mediasi
dilatar belakangi oleh proses penyelesaian sengketa dipengadilan yang berjalan cukup lama sehingga sangat menguras waktu,
biaya, dan tenaga. Maka, mediasi
muncul sebagai jawaban atas ketidakpuasan
pihak-pihak yang brsengketa melalui pengadilan. Mediasi sendiri dapat
dibagi menjadi dua kategori, yaitu
:
1.
Mediasi di pengadilan (Litigasi), dan
Namun dalam prakteknya, mediasi merupakan bagian
dari proses litigasi karena hakim akan meminta para pihak untuk menyelesaikan sengketa mereka dengan terlebih dahulu menggunakan
proses mediasi sebelum proses pengadilan dilanjutkan. Dengan begitu, mediasi menjadi salah satu solusi
karena,1) Mediasi dapat mengurangi penumpukan perkara di pengadilamn,
karena melalui pengadilan penyelesaian sengketa akan berlangsung lama karena
dapat melewati pengadilan tingkat pertama, banding kurang, dan kasasi,
selain itu juga dapat mengajukan peninjauan kembali.
Maka apabila melewayi semua tahap tersebut, tentu saja penyelesaian sengketa
akan berlangsung sangat lama, dan, 2) Mediasi
dapat memperkuat
dan memaksimalkan fungsi lembaga pengadilan dalam menyelesaikan sengketa.
Pada dasarnya, mediasi adalah penyelesaian sengketa yang biasanya dilakukan secara informal yang membutuhkan peran pihak ke tiga yang netral untuk membantu para pihak untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi diantara para pihak yang sedang mengalami sengketa. Dengan kata lain, mediasi adalah salah satu bentuk negoisasi antara dua individu (atau kelompok) yang saling bersengketa dengan melibatkan pihak ketiga dengan tujuan membantu tercapainya penyelesaian yang bersifat kompromi. Maka dalam penyelesaian sengketa melalui mediasi tidak terlepas dari peran mediator di dalamnya. Mediator sangat berperan selama berlangsungnya proses penyelesesaian sengketa mediasi tersebut. Penunjukan pihak ketiga yang sebagai mediator[1] dapat terjadi karena :
Pada dasarnya, mediasi adalah penyelesaian sengketa yang biasanya dilakukan secara informal yang membutuhkan peran pihak ke tiga yang netral untuk membantu para pihak untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi diantara para pihak yang sedang mengalami sengketa. Dengan kata lain, mediasi adalah salah satu bentuk negoisasi antara dua individu (atau kelompok) yang saling bersengketa dengan melibatkan pihak ketiga dengan tujuan membantu tercapainya penyelesaian yang bersifat kompromi. Maka dalam penyelesaian sengketa melalui mediasi tidak terlepas dari peran mediator di dalamnya. Mediator sangat berperan selama berlangsungnya proses penyelesesaian sengketa mediasi tersebut. Penunjukan pihak ketiga yang sebagai mediator[1] dapat terjadi karena :
a.
Kehendaknya sendiri (mediator mencalonkan diri sendiri)
b.
Ditunjuk oleh penguasa (misalnya hakim)
c.
Diminta oleh kedua belah pihak.
Mediator dapat
bertindak atas inisiatif sendiri dengan menawarkan jasanya sebagai mediator,
menerima tawaran untuk menjalankan fungsinya atas permintaan dari salah satu
atau kedua belah pihak yang bersengketa, atau atas penunjukan oleh penguasa.
Yang terpenting adalah, mediator disepakati oleh para pihak yang bersengketa.
Berdasarkan Peraturan
Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur mediasidi Pengadilan, Pasal
1 ayat (6) mengatakan bahwa “Mediator
adalah pihak netral yang membantu para pihak dalam proses perundingan guna
mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa tanpa menggunakan cara
memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian”, sehingga dapat dikatakan
bahwa pada proses mediasi, mediator memegang peranan yang sangat penting,
karena mediasi tidak akan terlaksana tanpa usaha seorang mediator untuk
mempertemukan keinginan para pihak dan mencari solusi yang sama-sama
menguntungkan atas permasalahan yang terjadi.
Berhasilnya penyelesaian sengketa melalui mediasi juga karena terdapat
peran mediator. Karena mediator sangat berpean selama berlangsugnnya proses
mediasi tersebut, maka seorang mediator sangat membutuhkan kemampuan personal
yang memungkinkannya berhubungan secara menyenangkan dengan para pihak.
Kemampuan pribadi yang terpenting adalah sifat tidak menghakimi, tidak memihak,
bijaksana, serta dengan berbagai kemampuan yang dimilikinya, mediator diharapkan
dapat menjalankan perannya untuk menganalisis dan mendiagnosa sengketa yang
ada. Kemudian mendisain dan mengendalikan proses mediasi untuk menuntun para
pihak mencapai suatu kesepakatan. Adapun hal-hal yang perlu dilakukan oleh
seorang mediator antara lain sebagai berikut :
a.
Melakukan diagnosis konflik
b.
Mengidientifikasi masalah serta kepentingan-kepentingan
kritis para pihak
c.
Menyusun agenda
d.
Memperlancar dan mengendalikan komunikasi
e.
Mengajar para pihak dalam proses dan keterampilan
tawar- menawar
f.
Membantu para pihak mengumpulkan informasi penting,
dan menciptakan pilihan-pilihan untuk memudahkan penyelesaian problem.
Mediator bertugas mengarahkan dan memfasilitasi lancarnya komunikasi serta
membantu para pihak agar memperoleh pengertian tentang perselisihan secara
keseluruhan sehingga memungkinkan setiap pihak membuat penilaian. Sehingga dengan
bantuan dan bimbingan mediator, para pihak bergerak kearah negosiasi
penyelesaian sengketa mereka. Menurut Fuller[2]
salah seorang pakar hukum menyebutkan bahwa fungsi dari seorang mediator ada 7,
yakni :
- Sebagai “katalisator”,
mengandung pengertian bahwa kehadiran mediator dalam proses perundingan
mampu mendorong lahirnya suasana yang konstruktif bagi diskusi.
- Sebagai “pendidik”, berarti
seorang harus berusaha memahami aspirasi, prosedur kerja, keterbatasan
politis, dan kendala usaha dari para puhak.
- Sebagai “penerjemah”,
berarti mediator harus berusaha menyampaikan dan merumuskan usulan pihak
yang satu kepada pihak yang lainnya melalui bahasa atau ungkapan yang baik
dengan tanpa mengurangi sasaran yang dicapai oleh pengusul.
- Sebagai “nara sumber”
berarti seorang mediator harus mendayagunakan sumber-sumber informasi yang
tersedia.
- Sebagai “penyandang berita
jelek”, berarti seorang mediator harus menyadari bahwa para pihak dalam
proses perundingan dapat bersikap emosional. Untuk itu, mediator harus
mengadakan pertemuan terpisah dengan pihak-pihak terkait untuk menampung
berbagai usulan.
- Sebagai “agen realitas”,
berarti mediator harus berusaha memberikan pengertian secara jelas kepada
salah satu pihak bahwa sasarannya tidak mungkin/ tidak masuk akal tercapai
melalui perundingan.
- Sebagai “kambing hitam”,
berarti seorang mediator harus siap disalahkan, misalnya dalam membuat
kesepakatan hasil perundingan.
Tercapai atau tidaknya kesepakatan sangat
tergantung dari itikad baik para pihak untuk menyelesaikan sengketa dalam
proses mediasi. Jika tidak ada itikad baik dalam proses mediasi dari kedua
belah pihak, kesepakatan tidak akan pernah tercapai dan konflik pun tidak dapat
terselesaikan. Sehingga, mediator tidak selalu berhasil mencapai titik temu
sehingga kompromi tidak tercapai. Dengan demikian para pihak kemudian menempuh
cara penyelesaian lainnya, seperti melalui pengadilan. Disamping itu, kepatuhan
para pihak dalam menaati kesepakatan yang dibuat dan pengaruh mediator dalam
proses mediasi sangat mempengaruhi kesepakatan yang akan dicapai oleh
pihak-pihak yang bersengketa.
Tujuan dari proses mediasi adalah dapat
tercapainya kesepakatan diantara para
pihak yang
berkonflik atau paling tidak dapat terjalin komunikasi diantara para pihak yang berkonflik mengenai
permasalahan yang sedang mereka hadapi. Sedangkan fungsi mediasi adalah untuk
merencanakan suatu penyelesaian yang dapat memuaskan para pihak.
Peran Mediasi dalam penyelesaian sengketa sangat penting karena :
- Untuk mengatasi masalah
penumpukan perkara. Kalau para pihak menyelesaikan sendiri sengketanya
tanpa diadili oleh hakim, maka tugas hakim untuk memeriksa perkara menjadi
berkurang. Apabila selesai dengan damai, akan mengurangi perkara banding,
kasasi dan PK.
- Penyelesain sengketa lebih
cepat dan lebih murah. Kalau diselesaikan dengan proses litigasi, maka
kemungkinan pihak yang kalah mengajukan upaya hukum banding , kasasi atau
PK dan dengan sendirinya proseskan lebih panjang dan memakan waktu yang
lama, disamping biayanya akan lebih besar.
- Memperluas akses para pihak
untuk memperoleh rasa keadilan. Rasa keadilan tidak selalu diperoleh
melalui proses litigasi, tetapi dapat juga diperoleh melalui proses
musyawarah mufakat.
- Institusionalisasi proses
mediasi kedalam sistim peradilan dapat memperkuat dan memaksimalkan fungsi
lembaga peradilan dalam penyelesain sengketa. Kalau dahulu fungsi
peradilan yang menonjol adalah memutus, maka setelah berlakunya PERMA No.
1 Tahun 2008, fungsi memutus berjalan seiring dengan fungsi mendamaikan.
- Mediator sebagai penengah dapat memberikan usulan-usulan
kompromi diantara para pihak.
- Mediator dapat memberikan usaha-usaha atau jasa-jasa
lainnya, seperti member bantuan dalam melaksanakan kesepakatan, bantuan
keuangan, mengawasi pelaksanaan kesepakatan, dan lain-lain.
KESIMPULAN
DAN SARAN
Mediasi adalah
satu diantara sekian banyak Alternatif Penyelesaian Sengketa atau biasa dikenal
dengan istilah Alternative Dispute Resolution (ADR). Mediasi merupakan salah satu bentuk penyelesaian sengketa di
luar pengadilan (non-litigasi) yang
merupakan salah satu bentuk dari Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) atau
Alternative Dispute
Resolutions (ADR)
akan tetapi dapat juga berwujud mediasi peradilan sebagaimana amanat Pasal 130 HIR atau Pasal 154 Rbg.
Mediasi merupakan cara penyelesaian yang sangat
diharapkan untuk dapat menyelesaikan sengketa secara adil. Hal ini disebabkan
karena proses mediasi merupakan musyawarah antar para pihak yang bersengketa,
sehingga jika mediasi membuahkan hasil, hasilnya adalah win-win solutions, sehingga para pihak puas dengan hasil
musyawarah.
Mediasi dapat
menjadi salah satu
solusi dalam penyelesaian sengketa karena :
1.
Untuk mengatasi masalah penumpukan perkara. Kalau
para pihak menyelesaikan sendiri sengketanya tanpa diadili oleh hakim, maka
tugas hakim untuk memeriksa perkara menjadi berkurang. Apabila selesai dengan
damai, akan mengurangi perkara banding, kasasi dan PK, sehingga waktu yang
dibutuhkan untuk penyelesaian sengketa sangat lama dan biaya perkara juga akan
menjadi mahal.
2.
Memperluas akses para pihak untuk memperoleh rasa
keadilan. Rasa keadilan tidak selalu diperoleh melalui proses litigasi, tetapi
dapat juga diperoleh melalui proses musyawarah mufakat, yang mana musyawarah
mediasi mengedepankan hasil win-win
solution.
3.
Institusionalisasi proses mediasi kedalam sistim
peradilan dapat memperkuat dan memaksimalkan fungsi lembaga peradilan dalam
penyelesain sengketa. Kalau dahulu fungsi peradilan yang menonjol adalah
memutus, maka setelah berlakunya PERMA No. 1 Tahun 2008, fungsi memutus
berjalan seiring dengan fungsi mendamaikan.
4.
Mediator sebagai penengah dapat memberikan
usulan-usulan kompromi diantara para pihak. Akan tetapi, walaupun mediasi memiliki maksud dan
tujuan yang baik, mediasi tidak begitu diminati oleh pihak yang bersengketa
sebagaimana minat mereka terhadap pengadilan, sehingga walaupun mediasi yang
menjadi syarat untuk dilakukan sebelum memasuki sidang pengadilan hanya
dilakukan sebatas formalitas untuk memenuhi ketentuan Pasal 4 Peraturan
Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008. Pasal 4 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1
Tahun 2008 yang hanya dilakukan sebagai formalitas oleh pihak yang bersengketa
dikarenaka maindset (pola pikir) dan
keinginan pihak yang bersengketa selalu tertuju kepada kemenangan/ win-lose solution daripada mengedepankan
kepentingan bersama. Sehingga pola pikir yang mengutamakan kepentingan sepihak harus
digeser, karena manusia sebagai makhluk sosial harus dapat hidup bersama dan
saling mengedepankan kepentingan bersama, sehingga mediasi dapat berperan lebih
besar daripada pengadilan.
Daftar Pustaka
[1] Menurut
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 Pasal 1 ayat (6), mediator adalah
pihak netral yang membantu para pihak dalam proses perundingan kesepakatan guna
mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa tanpa menggunakan cara
memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian
[2] Dikutip dalam buku Suyud
Margono, “Alternative Dispute Resolution (ADR) dan Arbitrase”. Cetakan
ke-2, Ghalia
Indonesia, Jakarta, 2004, hlm.
60-61.
Comments
Post a Comment
Dilarang keras melakukan spam, meletakkan suatu link dalam komentar dan diharapkan bertutur kata atau menulis dengan santun. Terima kasih