Perlindungan Hukum Bagi Pemegang Merek Di Indonesia

HUKUM MEREK : Perlindungan Hukum Bagi Pemegang Merek

Dengan berlakunya UU Merek di Indonesia pencatutan, pendomplengan, penggunaan nama maupun domain name atas suatu merek yang telah terkenal merupakan musuh besar bagi perkembangan industri sebuah perusahaan. Pengaturan merek dengan Undang – Undang ini dimaksudkan untuk memberikan perlindungan secara efektif untuk mencegah segala bentuk pelanggaran yang berupa penjiplakan, penggunaan nama yang sama, pencatutan nama, atau domain name atas suatu merek. UU Merek menetapkan tujuan, untuk mendorong kelancaran dan peningkatan perdagangan barang dan jasa merek dengan mempromosikan mereknya tersebut kepada khalayak ramai agar dapat dinikmati karena merek merupakan karya atas olah pikir manusia yang dituangkan ke dalam bentuk benda immaterial.  

Perlindungan terhadap merek asing atau luar bagi pemegang merek tersebut sangatlah menentukan bagi perkembangan dan kemajuan dari industri yang ditekuni dan dijalaninya agar merek yang dimilikinya tidak disalahgunakan oleh orang – orang yang tidak mempunyai itikad baik dalam menggunakan mereknya untuk mengelabui konsumen yang telah lama memakai mereknya dengan mendaftarkan dan menggunakan nama yang sama pada pendaftarannya.

Pelanggaran terhadap merek acapkali terjadi di Indonesia, terutama dalam hal penggunaan dan pendomplengan nama maupun penjiplakan dari merek terkenal. Sebuah merek sangatlah gampang untuk ditiru bagi produsen – produsen perusahaan untuk meningkatkan daya jual ke pasaran dengan menggandeng ketenaran dari merek perusahaan yang telah ada di pasaran sebelumnya.

Pada Usaha Kecil Menengah (UKM) pada saat dilakukan mereka memamerkan produk – produk yang dimiliki oleh mereka yang belum didaftarkan. Hanya dengan melihat dan memotret produk tesebut kemudian membuatnya kembali produk tersebut dan didaftarkan. Cara seperti ini secara tidak langsung yang dimana produk buatan seseorang tadi yang seharusnya miliknya dapat dengan mudah ditiru oleh orang lain dan mendaftarkannya sebagai merek dari produknya.

Pelanggaran atas merek tidak hanya pada UKM saja, perusahaan yang telah tenar dan mereknya yang sudah dikenal khalayak ramai tidak luput dari pihak yang ingin menyabotase ketenarannya itu dengan mendompleng nama dari merek perusahaan tersebut. Dengan membuat nama mirip atau dari pengucapan yang serupa walaupun pada dasarnya berbeda jenis barangnya. Oknum tadi dengan mudah dapat meraup keuntungan dengan merek yang digunakannya tersebut sehingga menimbulkan keragu – raguan pada khalayak ramai terhadap produk yang dipakai oleh mereka dan telah beredar di pasaran.

Jika ini hal ini tidak ditindaklanjuti secara serius maka akan terus menyebar dan orang akan melakukan tindakan seenaknya saja demi mendapatkan keuntungan yang berlebih. Keadaan ini menjadi tidak kondusif bagi si pemilik merek dan lambat laun akan menjadi sebuah mesin yang dapat membunuh bagi pemilik merek, sehingga seorang pemilik merek akan berkurang minatnya dalam berkreasi menciptakan produk – produk baru agar bisa bersaing dengan produk – produk lainnya di pasaran.

UU Merek mengatur cara perlindungan hukum terhadap pelanggaran atau sengketa yang terjadi terhadap suatu merek. Perlindungan hukum tersebut dapat dilakukan melalui instrumen hukum yang diklasifikasikan berdasarkan instrumen perlindungan hukum yang bersifat Preventif dan Represif.

Instrumen hukum yang pertama kita kenal, yaitu perlindungan hukum yang bersifat Preventif, menurut Penjelasan Umum UU No 14 Tahun 1997, perlindungan terhadap merek terkenal didasarkan pada pertimbangan bahwa peniruan merek terkenal milik orang lain pada dasarnya dilandasi itikad tidak baik, terutama untuk mengambil kesempatan dari ketenaran merek orang lain, sehingga tidak seharusnya mendapat perlindungan hukum. Berdasarkan undang – undang ini, mekanisme perlindungan merek terkenal, selain melalui inisiatif pemilik merek tersebut sebagaimana telah diatur dalam Pasal 56 ayat (3) UU Nomor 19 Tahun 1992, dapat pula ditempuh melalui penolakan oleh Kantor Merek terhadap permintaan pendaftaran merek yang sama pada pokoknya dengan merek terkenal. Perlindungan hukum merek yang diberikan kepada merek asing atau lokal, terkenal atau tidak terkenal hanya diberikan kepada merek terdaftar.[1]

Sedangkan instrumen perlindungan hukum yang kedua, yaitu perlindungan hukun secara Represif yaitu, diberikan kepada seseorang apabila telah terjadi pelanggaran hak atas merek. Pemilik merek terdaftar mendapat perlindungan atas pelanggaran hak atas merek yang dimilikinya baik itu dalam bentuk gugatan ganti rugi (dan gugatan pembatalan pendaftaran merek) maupun berdasarkan tuntutan hukum pidana melalui aparat penegak hukum.[2]

1.      Instrumen Perlindungan Hukum Preventif
Instrumen hukum yang bersifat Preventif dapat dilakukan dengan cara pendaftaran merek ke Direktorat Jendaral HAKI dengan prosedur yang ditentukan dalam UU Merek yaitu dengan membayar biaya dan oleh pemohon atau kuasanya yang isinya harus memuat tanggal, bulan, dan tahun surat permohonan tersebut dibuat, nama, alamat lengkap, dana kewarganegaraan dari pemohon, pemohon dan kuasa jika permohonan diajukan melalui kuasanya. Pendaftaran tersebut juga harus dilampiri dengan keterangan warna – warna atau unsur – unsur warna yang terdapat dan melekat pada merek yang dimohonkan pendaftar, surat kuasa khusus apabila dalam pengajuan permohonan melalui kuasa dan surat pernyataan bahwa merek yang dimohonkan adalah milik pemohon, atau juga dapat melalui Lisensi yang diberikan oleh Pemegang hak merek kepada pihak lain berdasarkan perjanjian Lisensi untuk melaksanakan perbuatan menggunakan menggunakan merek tersebut, baik untuk seluruh atau sebagian jenis barang dan / atau jasa yang didaftarkan dalam jangka waktu dan syarat tertentu.

Lisensi dapat dilakukan secara ekslusif yang mana licensor tidak memberi kepada siapa pun lisensinya yang meliputi seluruh ruang lingkup kegiatan dan dapat juga mencadangkan pada kemungkinan untuk mengeksploitasi hak – hak, atau juga dengan nonekslusif, licensor menahan hak – hak tersebut kemudian diberikan lisensi pada objek yang sama maupun area lain dalam lisensi.[3]

Dalam prakteknya terdapat dua perjanjian lisensi. Pertama adalah perjanjian lisensi yang bersifat ekslusif, pihak yang menerima lisensi merupakan satu – satunya pihak yang berhak menerima lisensi merek tersebut. Kedua adalah perjanjian lisensi yang bersifat nonekslusif dimana pihak yang menerima lisensi bukan satu – satunya pihak yang secara ekslusif memiliki hak atas merek tersebut.
Dalam perjanjian lisensipun dapat pula diperjanjikan bahwa penerima lisensi boleh memberikan lisensi kepada orang lain. Setelah merek itu diserahkan kepada orang lain, maka pemilik hak merek tetap dapat menggunakan sendiri atau memberi lisensi berikutnya kepada pihak ketiga lainnya, kecuali bila diperjanjikan lain. Artinya jika telah diperjanjikan bahwa pemilik hak merek setelah pemberian lisensi itu tidak menggunakan sendiri dan tidak memberikan lisensi berikutnya kepada orang lain, maka ia harus mematuhinya.

Pada prinsipnya, pendaftaran atas merek merupakan salah satu bentuk perlindungan dari UU Merek, karena sistem yang digunakan di Indonesia adalah first to file principle, siapa yang mendaftar pertama maka ia yang berhak atas merek tersebut dan akan mendapatkan hak esklusifnya selama 10 tahun, dengan konsekuensi tidak ada seorang pun yang boleh menggunakan merek tersebut untuk kepentingan komersial dari hak ekslusif tersebut tanpa seizin pemilik atau pemegang hak merek.

Berdasarkan ketentuan yang berlaku pada Pasal 3 UU Merek Tahun 2001 Tentang Merek bahwa hak atas merek adalah hak ekslusif pemilik merek terdaftar yang diperoleh dari negara. Dengan kata lain, diperolehnya hak atas merek adalah sebagai satu konsekuensi telah didaftarkan merek tersebut pada Kantor Direktorat Jendral HAKI. Pendaftaran adalah syarat mutlak bagi seseorang jika merek tersebut diakui secara sah bahwa ia adalah pemilik dari merek tersebut. Tanpa pendaftaran, maka tidak ada hak atas merek tersebut dan juga perlindungan yang diberikan atas merek tersebut.

Adanya suatu kepentingan pandaftaran merek merupakan kepentingan hukum bagi pemilik maupun pemegang hak merek untuk memberikan suatu jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum terhadap merek yang dimilikinya. Hal tersebut untuk mengantisipasi kemungkinan pelanggaran hukum atas merek yang terjadi di Indonesia, walaupun pada prinsipnya perlindungan tersebut diberikan sejak tanggal penerimaan dan merek tersebut tidak memiliki daya pembeda, persamaan pada pokonya atau keseluruhannya dengan apa yang telah ada sebelumnya. Dengan demikian perlindungan terhadap merek secara konkrit apabila telah terdaftar pada instansi yang berwenang mengurus bidang hak kekayaan intelektual. Maka dari itu perlindungan lebih mudah dilakukan bila suatu merek terdaftar, artinya setiap merek terdaftar perlu didaftarkan agar memudahkan pemberian perlindungan terhadap merek tersebut.

Terdapat dua macam sistem dalam pendaftaran merek yaitu sistem pendaftaran deklaratif dan sistem konstitutif. Yang dimaksud dengan sistem pendaftaran deklaratif dan konstitutif ialah:[4]
  1. Sistem deklaratif adalah sistem yang menyatakan hak merek itu terbit dengan adanya pemakaian yang pertama. Bahwa fungsi pendaftaran itu tidaklah memberikan hak, melainkan hanya memberikan dugaan atau sangkaan menurut undang – undang bahwa orang yang mereknya terdaftar itu merupakan yang berhak sebenarnya sebagai pemakai pertama dari merek yang didaftarkan.
  2. Sistem konstitutif adalah suatu sistem yang mengatakan hak merek itu baru terbit setelah dilakukan pendaftaran yang telah mempunyai kekuatan. Sistem konstitutif ini untuk memperoleh hak merek tergantung pendaftarannya.

2. Instrumen Perlindungan Represif
Pada instrumen ini dapat kita lihat bahwa perlindungan yang dapat diberikan bagi pemegang merek tidak hanya berdasarkan pada pendaftaran saja melainkan perlindungan dalam wujud gugatan ganti rugi (dan gugatan pembatalan pendaftaran merek) maupun dalam bentuk pidana melalui aparat penegak hukumya. Penyelesaian hukum melalui instrumen hukum perdata dapat dilakukan melalui pengadilan (ligitasi) dengan gugatan ganti kerugian tadi dan menghentikan semua perbuatan membuat, memakai, menjual dan / atau mengedarkan barang – barang yang diberi hak merek, ataupun diluar pengadilan (non ligitasi) yang memungkinkan para pihak dapat menyelesaikan sengketa tersebut melalui arbitrase atau Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR) dengan jalan negoisasi, mediasi dan konsoliasi.

Pasal 72 ayat (1) UU Merek 2001 menjelaskan bahwa merek memberikan hak kepada pemilik merek terdaftar untuk mengajukan gugatan terhadap orang atau badan hukum yang secara tanpa hak menggunakan merek yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhan dengan mereknya. Gugatan tadi di dalam Pasal 72 ayat (2) UU Merek 2001 diajukan melalui Pengadilan Niaga. Agar tuntutan ganti rugi memenuhi syarat sebagai dalil gugat, harus memenuhi tiga unsur berikut ini yaitu:[5]
  1.   Merek yang digunakan tergugat mempunyai persamaan pada pokoknya atau pada keseluruhan dengan merek orang lain.
  2.       Dan merek orang lain itu, sudah terdaftar dalam DUM.
  3.       Serta penggunaan tanpa hak.
Gugatan ganti rugi dapat berupa ganti rugi materiil dan ganti rugi immateriil. Ganti rugi materiil berupa kerugian yang nyata dan dapat dinilai dengan uang. Sedangkan ganti rugi immaterial berupa tuntutan ganti rugi yang disebabkan oleh pemakaian merek dengan tanpa hak sehingga pihak berhak menderita kerugian secara moril. Oleh karena itu, sepanjang mengenai tuntutan ganti rugi yang didasarkan kepada kedua peristiwa di atas berlaku juga ketentuan yang termuat di dalam KUH Perdata. Yang disebut terakhir ini berfungsi sebagai Lex Generalis, sedangkan UUM 2001 sendiri sebagai Lex Specialis.[6]

Hak atas merek merupakan hak milik perseorangan, tetapi tidak menyebabkan hapusnya tuntutan hukuman pidana terhadap pelanggar hak atas merek terdaftar.[7]

Pada tuntutan pidana dapat kita lihat di dalam Pasal 90 UU Merek Tahun 2001 yang menetukan bahwa “Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan merek yang sama pada keseluruhannya dengan merek terdaftar milik orang lain untuk barang dan/atau jasa sejenis yang diproduksi dan/atau diperdagangkan, dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan denda paling banyak Rp 1.000.000.000,- (satu miliar).

Yang dimaksud dengan kata tanpa hak dalam Pasal 90 tersebut adalah merek yang digunakan “tidak terdaftar” dan sama pada keseluruhannya dengan merek terdaftar milik orang untuk barang dan/atau jasa sejenis. Ini sesuai dengan sistem yang dianut dalam Undang – Undang Merek Nomor 15 Tahun 2001, yaitu sistem konstitutif yang menentukan bahwa hak atas merek diberikan kepada pemilik merek terdaftar bukan kepada merek tidak terdaftar. Sedangkan yang dimaksudkan dengan barang atau jasa sejenis dalam Pasal 90 dijelaskan bahwa kelompok barang dan/atau jasa yang mempunyai persamaan dalam sifat, cara pembuatan, dan tujuan penggunaannya.

Seorang pemilik merek atau penerima lisensi (licensee) atas sebuah merek dapat menuntut seseorang yang tanpa izin, telah menggunakan merek yang memiliki persamaan pada pokoknya dengan merek orang lain yang berhak dalam bidang perdagangan dan jasa yang sama.[8]

Terhadap banyaknya pelanggaran yang terjadi pada merek ini terdapat beberapa jalan dalam menyelesaikan permasalahan yang ada selain tuntutan secara perdata dan pidana yang dikarenakan kegagalan dalam proses mencapai suatu kesepakatan.

Agar terciptanya proses penyelesaian suatu sengketa yang efektif, prasyarat yang harus dipenuhi oleh kedua belah pihak harus sama – sama memperhatikan atau menjunjung tinggi hak untuk mendengar dan hak untuk di dengar.
Ada tiga faktor utama yang mempengaruhi proses penyelesaian sengketa, yaitu[9] :
a.       kepentingan (interest).
b.      hak – hak (rights), dan
c.       status kekuasaan (power).
Cara penyelesaian sengketa melalui Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa telah diatur dalam Undang – Undang Nomor 30 Tahun 1999 yang dikenal dengan beberapa cara penyelesaian sengketa, yaitu:
1.      arbitrase;
2.      konsultasi;
3.      negoisasi;
4.      mediasi;
5.      konsiliasi; atau penilaian ahli,
Di antara keenam cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan tersebut, hanya penyelesaian sengketa melalui arbitrase yang menghasilkan putusan memaksa yang dijatuhkan oleh pihak ketiga, yaitu arbiter atau mejelis arbiter, sedangkan cara penyelesaian sengketa, penyelesaiannya diserahkan kepada para pihak, paling tidak yang memfasilitasi perundingan antara pihak.[10]

Bentuk – bentuk ADR yang meliputi negoisasi, konsiliasi, dan arbitrase dapat diterapkan dalam kasus – kasus sengketa di bidang HAKI, termasuk merek. Dalam negoisasi, penyelesaian sengketa pada dasarnya diupayakan oleh para pihak yang bersangkutan. mediasi dana konsiliasi saling menggantikan karena pada hakikatnya adalah sama yaitu, penyelesaian dengan jalan merundingkan suatu kesepakatan tentang penyelesaian yang mengikat dengan bantuan pihak ketiga yang tidak berpihak kepada salah satu pihak yang bersengketa tadi. Arbitrase merupakan ADR dalam bentuk luas yang dimana arbitrase ini menempatkan peranan orang ketiga dalam menyelesaikan sengketa yang dimana pada akhirnya pihak ketiga tersebut yang memberikan putusan yang mengikat para pihak untuk dilaksanakan sama seperti halnya putusan yang ada di pengadilan.

Realitanya setiap permasalahan HAKI yang terjadi lebih banyak diselenggarakan secara perdata dan bukan pidana jika dilihat dari segi keuntungannya lebih menguntungkan jika tidak menggunakan instrumen hukum pidana perlindungan dan penegakan merek. karena lebih banyak mengeluarkan budget lebih besar untuk membayar polisi, hakim, dan jaksa, serta merupakan tindakan yang berlebihan karena aspek kepentingan hukum yang dilindungi dalam delik tersebut lebih merupakan kepentingan pribadi daripada kepentingan umum. Hanya merupakan kepentingan pemilik merek atau pemegang hak atas merek tersebut.

Gugatan yang dilakukan secara perdata terhadap orang yang melakukan pelanggaran tidak menghapus tuntutan pidana jika terdapat alasan untuk itu. Apabila terdapat kuat dugaan telah terjadinya tindak pidana pelanggaran hak merek, maka Penyidik Pegawai Pejabat Negeri Sipil (penyidik PPNS) yang diberi wewenang khusus sebagai penyidik melakukan penyidikantindak pidana di bidang merek. Tuntutan pidana dalam tipa delik yang ditetapkan UUM 1997 ini adalah merupakan hak negara. Sebagaimana telah dijelaskan terdahulu, tuntutan pidana ini juga dimaksudkan sebagai suatu bukti bahwa hak merek itu mempunyai ciri hak kebendaan (hak absolut). Pihak yang tidak berhak yang mencoba atau melakukan gangguan terhadap hak tersebut diancam dengan hukuman pidana.

Untuk penyidik dalam tindak pidana ini Pasal 89 UU Merek Tahun 2001 menentukan pula bahwa:
1.      Selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Polisi Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di Direktorat Jendral, diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang – Undang NO. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara PIdana, untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang merek.
2.      Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang:
a.     melakukan pemeriksaan atas kebenaran aduan berkenaan dengan tindak pidana di bidang merek;
b.      melakukan pemeriksaan terhadap orang atau badan hukum yang diduga melakukan tindak pidana di bidang merek berdasarkan aduan tersebut pada huruf a;
c.    meminta keterangan dan barang bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan tindak pidana di bidang merek;
d.  melakukan pemeriksaan atas pembukuan, catatan dan dokumen lainnya yang berkenaan dengan tindak pidana di bidang merek;
e.  melakukan pemerikasaan di tempat tertentu yang diduga terdapat barang bukti, pembukuan, catatan dan dokumen lain serta melakukan penyitaan terhadap bahan dan barang hasil pelanggaran yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana di bidang merek; dan
f.      meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penytidikan tindak pidana di bidang merek.
3.      Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan hasil penyidikannya kepada Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.
4.      Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) menyampaikan hasil penyidikannya kepada Penuntut Umum melalui Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia dengan mengingat ketentuan Pasal 107 Undang – Undang No. 8  Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.[11]

PPNS dalam melaksanakan tugasnya memberitahukan kepada Penyidik Pejabat Polri. apabila penyidikan sudah selesai. PPNS menyampaikan hasil dari penyidikannya tadi kepada Penuntut Umum melalui Penyidik Pejabat Polri dengan mengingat ketentuan Pasal 107 KUHAP. Jika terjadi tindak pidana pelanggaran Hak Merek, maka pelaku tindak pidana diancam dengan pidana yang diatur dalam Pasal 90 UU Merek yang telah disebutkan diatas.

Dengan adanya perlindungan terhadap merek melalui instrumen hukum baik yang dilakukan secara perdata maupun pidana, merupakan suatu kosekuensi hukum berupa sebuah bentuk penghargaan kepada pemilik merek yang telah membuka pikirannya dan menuangkan segala kemampuan intelektual yang dimilikinya, dengan banyaknya waktu yang terbuang dan biaya yang begitu besar, sehingga tidak salah jika semua kemampuan yang dimilikinya diberikan hak ekslusif untuk melarang orang lain yang tanpa seizinnya membuat, meniru, menjiplak, mendompleng da/atau mengedarkan dan memperdagangkan barang atau jasa yang telah diberi hak merek sebagai imbalan atas kreasi dan jerih payahnya untuk mendapatkan nama besarnya yang melekat pada barang atau jasa tersebut.


Daftar Pustaka


[1] Ridwan Khairandy, Kapita Selekta…, op.cit, hlm 103 – 104
[2] Ridwan Khairandy, Kapita Selekta…, op.cit, hlm 105.
[3] Suyud Margono, Amir Angkasa, Komersialisasi Aset Intelektual Aspek Hukum Bisnis, PT. Gramedia Widyasarana Indonesia, Jakarta 2002 hlm 59.
[4] Pipin Syarifin, Dedah Jubaedah, Peraturan Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia, Bandung, 2004 hlm 174. 
[5] M. Yahya Harahap, Tinjauan Merek Secara Umum dan Hukum Merek Di Indonesia Berdasarkan Undang – Undang No. 19 Tahun 1992, PT Citra Aditya Bakti, Bnadung 1996
[6] H. OK. Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (IntellectualProperty Law), Jakarta, 2004, hlm 401 – 402.
[7] Rachmadi Usman, Hukum Hak Kekayaan Intelektual, Bandung, 2003 hlm 370.[8]  Suyud Margono, Amir Angkasa, Komersialisasi Aset Intelektual Aspek Hukum Bisnis, PT. Gramedia Widyasarana Indonesia, Jakarta 2002 hlm 162.
[9] Suyud Margono, Amir Angkasa, Komersialisasi Aset Intelektual Aspek Hukum Bisnis, PT. Gramedia Widyasarana Indonesia, Jakarta 2002 hlm 168.
[10] Ahmadi Miru, Hukum Merek Cara Mudah Mempelajari Undang – Undang Merek, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2005 hlm 101 – 102.
[11]  H. OK. Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (IntellectualProperty Law), Jakarta, 2004, hlm 403 – 404.

Comments