Perlindungan terhadap Warga Muslim Rohingya dalam Pelanggaran HAM Berat di Myanmar dari Aspek Hukum Internasional wilayah ASEAN
Bentuk-bentuk
pelanggaran HAM yang dilakukan pemerintah Myanmar terhadap etnis Rohingya
antara lain :
Dalam Konferensi Dunia pertama untuk
Memberantas Rasisme dan Diskriminasi
Rasial, negara-negara didesak untuk menghapuskan diskriminasi karena latar
belakang etnis atau kebangsaan diantara warga negaranya, dan melindungi serta
mempromosikan hak asasi manusia etnis minoritas dan kebangsaan. Dalam pasal 1
ayat 1 International Convention
on the Elimination of All Forms
of Racial Discrimination[1],
diskriminasi rasial diartikan sebagai :“… any distinction,exclusion,
restriction or preference based on race, colour, descent, or national or ethnic
origin which has the purpose or effect of nullifying or impairing the
recognition, enjoyment or exercise, on an equal footing, of human rights and
fundamental freedoms in the political, economic, social, cultural or any other
field of public life.”
Daftar Pustaka
Dalam
kasus Rohingya, pemerintah Myanmar telah melakukan tindakan diskriminasi
terhadap etnis Rohingya yang didasarkan atas ras, etnis, warna kulit dan agama.
International Convention on the
Elimination of All Forms of Racial
Discrimination memberikan perlindungan terhadap kebebasan dari
diskriminasi. Pasal 5 Konvensi ini menyatakan :
”… States Parties undertake to prohibit and to
eliminate racial discrimination in all its forms and
to guarantee the
right of everyone, without
distinction as to race,
colour, or national or ethnic origin, to equality
before the law, notably in the enjoyment
of the following rights:
- The right to equal treatment before the tribunals and all other organs administering justice
- The right to security of person and protection by the State against violence or bodily harm, whether inflicted by government officials or by any individual group or institution
- Political rights, in particular the right to participate in elections- to vote and to stand for election-on the basis of universal and equal suffrage, to take part in the Government as well as in the conduct of public affairs at any level and to have equal access to public service
“In those
States in which ethnic, religious or linguistic minorities exist, persons belonging to such minorities shall
not be denied the right, in community with the other members of their group, to
enjoy their own culture, to profess and practice their own religion, or to use
their own language.”
Pasal
27 ini menjamin hak atas identitas nasional, etnis, agama, atau bahasa, dan hak
untuk mempertahankan ciri-ciri yang ingin dipelihara dan dikembangkan oleh
kelompok tersebut. Dalam pasal ini tidak dibedakan perlakuan yang diberikan
negara kepada kelompok minoritas yang
diakui atau tidak. Sehingga ketentuan
ini berlaku bagi kelompok minoritas yang diakui oleh suatu negara maupun
kelompok minoritas yang tidak mendapat pengakuan resmi negara.
Tidak Diberikan Kebebasan Beragama
Declaration on The Rights of
Persons Belonging to National or Ethnic, Religious and Linguistic Minorities[3] menyebutkan
hak khusus bagi kelompok minoritas dalam kasus ini adalah etnis Rohingya
yang tidak diberikan
kebebasan untuk beragama.
Deklarasi ini mengatur tentang perlindungan negara atas eksistensi dan
identitas kebangsaan, sukubangsa, budaya, agama dan bahasa mereka[4],
hak untuk menganut dan menjalankan agama mereka[5],
hak untuk berpartisipasi dalam dalam kehidupan agama mereka[6],
hak untuk mendirikan dan mempertahankan perkumpulan mereka sendiri[7],
hak untuk melaksanakan hak mereka tanpa diskriminasi, baik secara individu
maupun dalam masyarakat dengan
anggota-anggota lain dalam kelompok
mereka.[8]
Kejahatan Genosida (Genocide) atau ethnic
cleansing
Masalah
pembersihan etnis secara khusus
dituangkan dalam Convention on the Prevention and
Punishment of the Crime of Genocide.[9] Pasal 2 Konvensi ini mendefinisikan Genosida
serupa dan segambar dengan
yang tertuang dalam
Pasal 5 Statuta Roma yang disebutkan di bab sebelumnya. Dalam kasus Rohingya
ini, pemerintah Myanmar
telah terbukti melakukan hal-hal yang disebutkan dalam Pasal 2 Convention on the Prevention and
Punishment of the
Crime of Genocide
dan Pasal 5
Statuta Roma. Dimana
pemerintah Myanmar telah melakukan tindakan yang dapat menyebabkan
punahnya sebagian atau keseluruhan anggota etnis Rohingya, seperti membunuh
anggota-anggota etnis Rohingya, merusak
jasmani atau mental
anggota-anggota etnis Rohingya,
dengan sengaja mengakibatkan penderitaan pada kondisi kehidupan etnis
Rohingya yang diperkirakan menimbulkan kerusakan jasmani seluruhnya atau
sebagian. Berdasarkan Pasal IV Konvensi
Pencegahan dan Hukuman atas Kejahatan
Genosida mengatakan :
“Orang-orang yang melakukan
pemusnahan suatu bangsa dengan sengaja atau sesuatu perbuatan lain yang
disebutkan dalam pasal III harus dihukum, apakah mereka penguasa yang
bertanggung jawab secara konstitusional, pejabat, maupun perorangan,.”
Kemudian
Pasal VI Konvensi Pencegahan dan Hukuman
atas Kejahatan Genosida mengatakan :
“Orang-orang yang
dituduh melakukan tindakan
pemusnahan suatu bangsa
atau perbuatan lainnya yang disebutkan dalam pasal III harus dapat
diperiksa oleh pengadilan yang berwenang
dari negara di wilayah
tempat tindakan itu dilaksanakan, atau
oleh pengadilan internasional dengan yurisdiksi yang di terima oleh para
peserta konvensi”
Konvensi
ini dengan jelas menyatakan pelaku genosida maupun yang merencanakan genosida
baik mereka adalah pemimpin yang bertanggung jawab secara konstitusional, pejabat
publik, atau individu, dapat diadili melalui pengadilan di negara terjadinya
genosida maupun melalui pengadilan internasional yang memiliki yurisdiksi.
Berdasarkan
Pasal 17 Statuta Roma, yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional dapat berlaku
apabila terjadi kurangnya penyelidikan dan penuntututan nasional
yang sungguh-sungguh, maupun
adanya keengganan dan
ketidakmampuan negara tempat pelaku
atau perbuatan pelanggaran HAM dilakukan, untuk memproses pelanggaran
tersebut.[10]
Kesan
bahwa Burma (Myanmar) membiarkan pembantaian atas komunitas muslim
Rohingya di negara itu, sangat kuat di masyarakat internasional dan kental
dalam persepsi ASEAN.
Hal ini dikarenakan rezim militer yang berkuasa di Myanmar terkenal sebagai
kelompok pemerintah yang tidak ragu melakukan pelanggaran terhadap Hak Asasi
Manusia (HAM). Mereka juga dinilai tidak terbiasa menghormati demokrasi.
Komunitas muslim Rohingnya ini
tergolong kelompok minoritas yang tidak pernah dilaporkan tentang bagaimana
suasana kehidupan mereka secara komprehensif. Jumlah mereka hanya sekitar 800
ribu jiwa. Sehingga secara kuantitas dan kualitatif, Rohingya tak punya posisi
tawar sama sekali.
Badan Pengungsi PBB sendiri
mencatat, Rohingya merupakan kelompok minoritas yang tertindas di permukaan bumi.
Secara kewarganegaraan, mereka tidak punya status sama sekali (stateless).
Dengan status seperti itu, sulit bagi PBB meminta pertanggung-jawaban Myanmar
untuk berbuat sesuatu yang positif bagi keselamatan warganya. Dari segi
kelahiran, seharusnya Rohingya merupakan warga negara Burma (Myanmar),
berhubung mereka lahir secara bergenerasi di negara tersebut. Tapi karena
mereka memeluk agama Islam dan perkampungan mereka berada di dekat perbatasan
Bangladesh, maka Myanmar yang mayoritas penduduknya pemeluk Buddha, lebih
memandang mereka sebagai pengungsi dari negara Islam Bangladesh yang mencari
penghidupan.
Ditambah lagi, rata-rata postur
tubuh mereka lebih mirip dengan warga Bangladesh, membuat warga Myanmar tidak
merasa punya ikatan emosional dengan masyarakat Rohingya. Sebagai muslim,
masyarakat Bangladesh sebetulnya lebih patut menerima kehadiran Rohingya.
Tetapi nyatanya, tidak demikian. Bangladesh justru ikut memusuhi Rohingya.
Setiap kali kelompok radikal-rasialis di Myanmar mengusir masyarakat Rohingya,
mereka berusaha menyelamatkan diri ke Bangladesh. Tetapi ironisnya pemerintah
Bangladesh, selalu menutup semua pintu perbatasannya. Penolakan Bangladesh
bukan tanpa alasan. Negara Islam di Asia Selatan ini, juga merupakan salah satu
negara termiskin di dunia. Dengan status seperti itu, maka kehadiran Rohingya
di Bangladesh akan menjadi beban berat. Itulah sebabnya posisi Rohingya ikut
terjepit. Posisi mereka selalu terpojok.
Kesan bahwa pembantaian terhadap
muslim Rohingya sengaja dibiarkan Myanmar terbentuk, karena bukan hanya rezim totaliter
itu yang tidak peduli. Dengan “bersatunya” pemerintah Myanmar dan kelompok
oposisi dalam menghadapi isu muslim Rohingya, membuat dunia internasional
berpandangan negara yang mayoritas penduduknya pemeluk agama Buddha itu, telah
bersikap primordialis. Yang mungkin tidak disadari Myanmar, sikapnya yang
terkesan membiarkan pembantaian terhadap kelompok muslim minoritas di negeri
itu, telah menggoyang sumbu solidaritas ASEAN. Disengaja atau tidak, sikap
dingin pemerintah Myanmar itu membuat Indonesia dan Malaysia yang mayoritas
penduduknya merupakan pemeluk Islam, bakal berpikir ulang. Apa keuntungan yang
bisa dipetik Indonesia dan Malaysia dari Myanmar.
Pada dasarnya, ASEAN sudah mengadopsi prinsip-prinsip
penegakan hak asasi manusia melalui dibentuknya ASEAN Intergovermental
Commission on Human Rights (AICHR) pada tahun 2009. Selain itu juga tercantum
dalam Piagam ASEAN mengenai proses pembangunan komunitas ASEAN yang melindungi
hukum, hak asasi manusia dan terwujudnya stabilitas dan perdamaian di Asia
Tenggara. Institusionalisasi isu hak asasi manusia merupakan upaya yang
dilakukan ASEAN untuk melakukan penanganan yang lebih serius mengenai krisis
pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di Asia Tenggara. AICHR dihadapkan
dengan kecendrungan organisasi pada norma konservatif akan kedaulatan negara
dan prioritas negara anggota akan investasi asing yang lebih mengutamakan
pertumbuhan ekonomi daripada perlindungan hak asasi manusia. Salah satu fungsi
pembentukan AICHR adalah untuk memberikan informasi dari negara anggota untuk
mendorong promosi dan perlindungan akan hak asasi manusia.
Dilema penegakan hak asasi manusia
dalam skala kawasan muncul dikarenakan Piagam ASEAN menyediakan landasan hukum
bagi prinsip non-intervensi yang menjadikan ASEAN tidak memiliki legitimasi dan
otoritas yang cukup untuk mengintervensi masalah konflik dan pelanggaran hak
asasi manusia internal negara-negara anggotanya. Prinsip non-intervensi
terdapat dalam pasal 2 piagam ASEAN[11] :
- non-interference in the internal affairs of ASEAN Member States,
- respect for the right of every Member State to leads its national existence free from external interference, subversion and coersion.
Doktrin ini kemudian menghambat penerapan hukum hak asasi
manusia dalam lingkup regional dan memungkinkan negara untuk melakukan
penyalahgunaan terhadap perlindungan hak asasi manusia tanpa adanya pengawasan
dan hukuman oleh ASEAN.[12]
Terkait permasalahan Rohingya jajaran
kementerian luar negeri negara anggota ASEAN telah mengeluarkan pernyataan
sikap, yaitu :
- Mendorong pemerintahan Myanmar untuk terus bekerja dengan PBB dalam menangani krisis kemanusiaan di Arakan.
- Menyatakan keseriusan organisasi regional ASEAN untuk menyediakan bantuan kemanusiaan
- Menggarisbawahi bahwa upaya mendorong harmoni nasional di Myanmar merupakan bagian integral dari proses demokratisasi di negara tersebut.
Selain itu juga ASEAN sebagai organisasi regional
memiliki tanggung jawab untuk menangani kasus pelanggaran hak asasi manusia
yang terjadi di Myanmar sesuai dengan doktrin Responbility to Protect yang telah diadopsi negara-negara anggota
PBB pada United Nations World Summit 2005.
Meskipun doktrin Responbility to Protect telah diadopsi oleh negara-negara anggota
ASEAN, doktrin ini belum diterima secara penuh di Asia dan penerapannya juga
belum dilakukan secara serius. Khususnya dalam kasus yang terjadi di Myanmar,
prinsip non-intervensi dalam urusan internal negara anggota ASEAN yang
tercantum dalam piagam ASEAN membatasi ruang ASEAN untuk bertindak melakukan
penegakan dan perlindungan hak asasi manusia dalam skala regional. ASEAN tidak
mampu untuk melakukan penegakan hukum terhadap pemerintah Myanmar karena tidak
memiliki legitimasi hukum dalam skala regional yang memiliki kewenangan di atas
hukum nasional negara anggotanya. Meskipun memiliki hambatan ini, ASEAN
memiliki mekanisme yang disebut sebagai ASEAN Regional Forum (ARF) dan ASEAN Intergovermental
Commission on Human Rights (AICHR),
yang berkaitan dan dapat digunakan sebagai mekanisme dalam penerapan prinsip Responbility to Protect. Negara-negara
mayoritas muslim seperti Indonesia dan Malaysia seharusnya dapat mengambil
peran penting melalui ASEAN dalam melakukan advokasi atas kasus Rohingya.[13]
Sebagai organisasi regional di kawasan
Asia Tenggara, ASEAN seharusnya dapat memainkan peranan sentral dalam melakukan
tekanan politik kepada pemerintahan Myanmar dalam mencegah eskalasi konflik
antar etnis di Arakan. ASEAN dalam kemitraannya dengan PBB seharusnya menjadi
saluran utama dalam memperluas bantuan kemanusiaan kepada seluruh penduduk yang
terkena dampak dan menjadi korban dari konflik di area tersebut. ASEAN juga
dapat memberikan sanksi dan blokade ekonomi kepada Myanmar untuk memberikan
perlindungan HAM.
ASEAN juga dapat menggunakan berbagai
mekanisme untuk memberikan bantuan kemanusiaan ke Myanmar dalam penanganan
masalah Rohingya. ASEAN dapat berperan aktif dalam mencari dan menemukan akar
permasalahan konflik antar etnis di Arakan melalui pembangunan kapasitas dalam
perdamaian, mediasi konflik, pencegahan konflik, manajemen keamanan perbatasan,
masalah migrasi, penguatan kapabilitas pemerintahan lokal dalam manajemen
perdamaian dan ketertiban sosial.
ASEAN juga dapat membantu parlemen
Myanmar dalam mengkaji dan mengamandemen undang-undang yang ada mengenai
kewarganegaraan, pengungsi, dan orang-orang tanpa kewarganegaraan dengan
perubahan yang memungkinkan pemerintah pusat dan otoritas lokal menangani
masalah ini. Pemerintah Myanmar telah terbuka dengan gagasan pemberian status
kewarganegaraan kepada orang Rohingya yang memenuhi kualifikasi di Arakan, ini
adalah sebuah kesempatan positif yang seharusnya dapat dioptimalkan oleh ASEAN.
ASEAN seharusnya dapat membangun
supremasi hukum di atas hukum nasional negara anggota khususnya Myanmar dalam
isu perlindungan hak asasi manusia. Dengan kata lain konstitusi nasional, hukum
perundangan, kebijakan dan tindakan dari negara anggota ASEAN dapat dikoreksi
dan dianulir jika bertentangan dengan tujuan, prinsip dan kebijakan ASEAN dalam penegakan hukum dan hak asasi
manusia. Dalam konteks krisis kemanusiaan Rohingya adanya pembentukan mahkamah
konstitusi ASEAN yang memiliki wewenang dan otoritas untuk melakukan
peninjauan, pembatalan dan amandemen undang-undang dan kebijakan nasional
Myanmar menjadi suatu hal yang sangat penting dalam upaya perlindungan hak
asasi manusia di kawasan Asia Tenggara.
ASEAN kemudian mendorong pelaksanaan
doktrin Responsibility to Protect
dalam penanganan krisis kemanusiaan Rohingya. ASEAN bekerjasama dengan negara
anggota mayoritas muslim seperti Indonesia dan Malaysia dapat mengambil peranan
penting untuk mengadvokasi kasus pelanggaran hak asasi manusia yang menimpa
muslim Rohingnya. Selain itu ASEAN diharapkan dapat pro-aktif untuk berdialog
dengan negara-negara perbatasan Myanmar seperti Bangladesh, India dan Thailand
dan juga negara-negara mayoritas muslim seperti Malaysia dan Indonesia dalam
menemukan solusi bersama mengenai nasib ratusan ribu orang pengungsi Rohingya
yang sudah terusir dari Myanmar dan tersebar di berbagai negara. Masalah
penyediaan sarana kehidupan mendasar dan kejelasan mengenai status
kewarganegaraan Rohingya menjadi problem utama yang harus segera diselesaikan.
KESIMPULAN
DAN SARAN
Bentuk-bentuk pelanggaran
HAM berat menurut hukum internasional
ada 4, yaitu The crime of
genocide; Crimes against humanity; War crimes; The crime of aggression.
Pengaturannya terdapat didalam Universal Declaration of Human Rights,
International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR),
International Covenant on Civil dan Political Rights (ICCPR), Optional Protocol
to the International Covenant on Civil and Political Rights (16 Desember 1966),
Rome Statute of the International Criminal Court (Statuta Roma), Convention on
the Prevention and Punishment of the
Crime of Genocide, Convention Against
Torture and Other Cruel, in Human or Degrading Treatment
or Punishment. Namun tidak
satupun peraturan
internasional ini menjadi bagian
dari hukum Negara Myanmar. Di sarankan kepada Negara Myanmar untuk
segera meratifikasi peraturan- peraturan internasional tentang Hak Asasi
Manusia.
Berdasarkan Konvensi
tentang Status Pengungsi
tahun 1951 dan Protokol tahun 1967 status Etnis Rohingya adalah
Pengungsi, sehingga mereka dilindungi berdasarkan Hukum Pengungsi
Internasional. Peran negara asal, negara
transit, negara tujuan dan
organisasi-organisasi internasional dalam pemberian perlindungan masih belum
maksimal. Dimana masih berupa pembahasan- pembahasan formal dan belum ada
tindakan nyata. Oleh sebab itu PBB, ASEAN, OKI dan komunitas internasional
serta semua pemerintah negara-negara di dunia perlu untuk menekan
pemerintah Myanmar untuk menghentikan segala bentuk kekerasan.
Kepada
negara transit dan negara tujuan disarankan agar mengakomodasi para pengungsi
Rohingya yang terdampar di negaranya dengan pelayanan yang sesuai standar
kemanusiaan serta tidak mengembalikan mereka ke Myanmar apabila kondisi
keamanannya belum kondusif.
Sebagai organisasi regional di kawasan Asia Tenggara, ASEAN seharusnya dapat memainkan peranan sentral dalam melakukan tekanan politik kepada pemerintahan Myanmar dalam mencegah eskalasi konflik antar etnis di Arakan. ASEAN dalam kemitraannya dengan PBB seharusnya menjadi saluran utama dalam memperluas bantuan kemanusiaan kepada seluruh penduduk yang terkena dampak dan menjadi korban dari konflik di area tersebut. ASEAN juga dapat memberikan sanksi dan blokade ekonomi kepada Myanmar untuk memberikan perlindungan HAM. ASEAN seharusnya dapat membangun supremasi hukum di atas hukum nasional negara anggota khususnya Myanmar dalam isu perlindungan hak asasi manusia. ASEAN seharusnya dapat mendorong pelaksanaan doktrin Responsibility to Protect dalam penanganan krisis kemanusiaan Rohingya. ASEAN bekerjasama dengan negara anggota mayoritas muslim seperti Indonesia dan Malaysia dapat mengambil peranan penting untuk mengadvokasi kasus pelanggaran hak asasi manusia yang menimpa muslim Rohingnya.
Sebagai organisasi regional di kawasan Asia Tenggara, ASEAN seharusnya dapat memainkan peranan sentral dalam melakukan tekanan politik kepada pemerintahan Myanmar dalam mencegah eskalasi konflik antar etnis di Arakan. ASEAN dalam kemitraannya dengan PBB seharusnya menjadi saluran utama dalam memperluas bantuan kemanusiaan kepada seluruh penduduk yang terkena dampak dan menjadi korban dari konflik di area tersebut. ASEAN juga dapat memberikan sanksi dan blokade ekonomi kepada Myanmar untuk memberikan perlindungan HAM. ASEAN seharusnya dapat membangun supremasi hukum di atas hukum nasional negara anggota khususnya Myanmar dalam isu perlindungan hak asasi manusia. ASEAN seharusnya dapat mendorong pelaksanaan doktrin Responsibility to Protect dalam penanganan krisis kemanusiaan Rohingya. ASEAN bekerjasama dengan negara anggota mayoritas muslim seperti Indonesia dan Malaysia dapat mengambil peranan penting untuk mengadvokasi kasus pelanggaran hak asasi manusia yang menimpa muslim Rohingnya.
Daftar Pustaka
[1] Ditetapkan
melalui Resolusi Majelis Umum 2106(XX) 21 Desember 1965
[2] Ibid., Pasal 2
[3] Ditetapkan
melalui Resolusi Majelis Umum PBB 47/135 tanggal 18 Desember 1992
[4] Declaration on The Rights of Persons
Belonging to National or Ethnic, Religious and Linguistic Minorities Pasal
1
[5] Ibid., Pasal 2
ayat 1
[6] Ibid., Pasal 2
ayat 2
[7] Ibid., Pasal 2
ayat 4
[8] Ibid., Pasal 3
[9] Ditetapkan
melalui Resolusi Majelis Umum PBB 260 A (III) 9 Desember 1948
[10] Xavier Philippe,
“Prinsip-prinsip yurisdiksi universal dan saling melengkapi : bagaimana dua
prinsip berhubungan?”, International Review of the Red Cross, Volume 88 number
862, 2006. Hlm. 8-9
[11] The ASEAN Charter, http://www.asean.org/archive/publications/ASEAN-Charter.pdf, diakses pada 30 Agustus 2014.
[12] Daniel Aguirre, Human Rights the ASEAN Way,
JURIST - Forum, Jan. 10, 2012,http://jurist.org/forum/2013/01/human-rights-the-asean-way.php, diakses pada 30 Agustus 2014.
[13] Ian G. Robinson
and Iffat S. Rahman, The
Unknown Fate of the Stateless Rohingya, Oxford Monitor of Forced Migration
Volume 2, Number 2, pp. 16-20, http://oxmofm.com/wp-content/uploads/2012/11/Robinson-and-Rahman-FINAL.pdf,
diakses pada 30 Agustus 2014.
Comments
Post a Comment
Dilarang keras melakukan spam, meletakkan suatu link dalam komentar dan diharapkan bertutur kata atau menulis dengan santun. Terima kasih