Permohonan Pernyataan Pailit Debitor Dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Ditinjau Dari Politik Hukum
Otoritas Semu - Undang-Undang Kepailitan yang berfungsi untuk menghindari terjadinya penyitaan dan eksekusi perseorangan atas harta kekayaan Debitor yang tidak mampu melunasi utang-utangnya. Undang-Undang Kepailitan tentu mengatur tatacara untuk dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit sebagai petunjuk pelaksanaan dari undang-undang tersebut.
Untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit harus
memenuhi ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yaitu bahwa untuk dapat
mengajukan permohonan pernyataan pailit, Debitor harus memiliki minimal dua
Kreditor dan memiliki sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat
ditagih.[1]
Selain harus memenuhi ketentuan Pasal 2 ayat (1)
tersebut, syarat untuk dapat menyatakan pailit Debitor adalah jika memiliki
sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo, dan hal tersebut dapat dibuktikan
secara sederhana, dan apabila ketentuan Pasal 2 ayat (1) dapat dibuktikan
secara sederhana, maka permohonan pernyataan paiit harus dikabulkan. Hal ini
diatur dalam Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang berbunyi “Permohonan pernyataan pailit harus
dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana
bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (1) telah dipenuhi”.
Politik Hukum menurut Plato, adalah ajaran mengenai
penggunaan hukum sebagai sarana keadilan. Berangkat dari idealismenya tentang
Negara ideal dimana tiap orang berkesempatan menikmati keadilan.[2]
Hukum yang membawa misi keadilan itu, haruslah :[3]
a. Aturan-aturan
hukum mesti dihimpun dalam satu kitab, supaya tidak muncul kekacauan hukum;
b. Setiap
undang-undang harus didahului preambule
tentang motif dan tujuan UU tersebut. Manfaatnya adalah setiap orang dapat
mengetahui dan memahami kegunaan menaati hukum itu;
c. Tugas
hukum adalah membimbing para warga Negara pada suatu hidup yang saleh dan
sempurna;
d. Orang
yang melanggar undang-undang harus dihukum, namun hukuman itu bukan balas
dendam, melainkan memperbaiki sikap moral si penjahat.
Implikasi
dari teori politik hukum menurut Plato bagi Indonesia adalah :[4]
- Kehadiran para pengambil keputusan (decision maker) yang arif dan bijaksana dalam merumuskan arah kebijakan di bidang politik hukum yang menempatkan tujuan bersama sebagai core politik hukum;
- Pentingnya kepemimpinan dan tatanan hukum yang memungkinkan rakyat berpartisipasi dalam keadilan;
- Keadilan harus menjadi alat perjuangan;
PEMBAHASAN
Kreditor memberikan pinjaman kepada Debitor dengan
resiko Debitor tidak selalu dapat membayarkan utangnya kepada Kreditor.
Sehingga satu hal yang harus
disiapkan adalah adanya perangkat hukum yang jelas. Artinya
dalam hubungan utang piutang antara Kreditor dan Debitor, walaupun utang
piutang tersebut berada dalam ranah asas kebebasan berkontrak, akan tetapi
tetap diperlukan/dibutuhkan suatu peraturan yang dapat memberikan perlindungan
hukum kepada Debitor maupun Kreditor.
UU Kepailitan hadir bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum terhadap
Kreditor dan Debitor, bentuk perlindungan tersebut adalah :
- Menjamin
pembagian yang sama terhadap harta kekayaan Debitor diantara para Kreditornya
(pembagian harta sesuai dengan hak Kreditor, Kreditor Konkuren, Kreditor Separatis,
Kreditor Preferen);
- Mencegah agar
Debitor tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat merugikan kepentingan
para Kreditor (Actio Pauliana);
- Memberikan
perlindungan kepada Debitor yang beritikad baik dari para Kreditomya, dengan
cara memperoleh pembebasan utang.
Politik Hukum syarat mengajukan
pailit tersebut, jika ditinjau dengan menggunakan pendekatan historis, syarat
mengajukan pailit tersebut dimaksudkan agar Kreditor yaitu Investor Asing dapat
dengan mudah untuk menarik kembali modalnya dari Debitor yang mana hal tersebut
dipicu oleh krisis moneter yang melanda dan megguncang dengan hebat stabilitas
ekonomi di Indoensia. Karena dengan mengajukan pailit Kreditor lebih mudah
untuk mendapatkan kembali hartanya yang ada pada Debitor, sedangkan jika tidak
dengan cara tersebut, Kreditor akan kesulitan untuk mendapatkan pngembalian
atas hartanya yang ada pada Debitor.
Bahwa dalam realitanya, banyak
Kreditor yang menyalahgunakan Undang-Undang Nomor 37
Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
tersebut, hal ini dapat dilihat dengan maraknya perusahaan sehat yang
dinyatakan pailit yang mana hal itu merupakan bentuk kejahatan ekonomi dan
berpotensi menjadi malapetaka bagi iklim dunia usaha dengan melakukan
penyimpangan terhadap UU Kepailitan. Selain itu banyak Kreditor yang mengajukan
permohonan pailit dengan jumlah utang yang sedikit dan tidak sebanding dengan
harta Debitor yang mana Debitor tersebut juga berpeluang untuk menyelesaikan
utang piutangnya. Hal ini disebabkan karena syarat untuk mengajukan permohonan pailit
Debitor yang aturannya kurang rinci. Syarat untuk mengajukan permohonan pailit
Debitor hanyalah dengan membuktikan bahwa Debitor mempunyai dua atau lebih
Kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu
dan dapat ditagih, namun tidak mengatur mengenai Debitor yang dalam kondisi
seperti apa yang dapat diajukan pailit. Sehingga atas hal tersebut Debitor yang
berpeluang untuk membayar utangnya dapat dengan mudah diajukan pailit jika
telah memenuhi ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 8 ayat (4).
Menurut Plato,
politik hukum adalah penggunaan hukum sebagai sarana keadilan. Oleh karena itu
setiap orang berhak menerima keadilan, sehingga bentuk keadilan sebagaimana
yang dijelaskan oleh Plato adalah perlindungan hukum bagi Debitor yang
berpeluang melunaskan utang piutangnya perlu dilindungi didalam sebuah aturan
hukum yang berbentuk undang-undang, pengamanatan undang-undang atau kitab
tersebut haruslah dimaknai dengan tujuan yang memuat motif dan aim kitab tersebut. Sehingga Debitor
yang berpeluang selamat dari utang piutang tidak perlu dipailitkan sehingga
stabilitas dunia ekonomi bisnis terjaga.
Bahwa
undang-undang tersebut adalah bertujuan untuk membimbing masyarakat untuk hidup
dalam sebuah keteraturan dimana terdapat sebuah frasa “ubi sociatas ibi ius” yang berarti bahwa dalam sebuah kumpulan
masyarakat pastilah terdapat aturan yang mengatur masyarakat tersebut. Fungsi
aturan tersebut ialah untuk menimbulkan gesekan-gesekan serta ketidakteraturan
tataran kehidupan sehingga menimbulkan ketimpangan dimata hukum. Pada dasarnya
tujuan hukum adalah untuk mewujudkan keadilan.
Namun,
Pasal 2 ayat (1) sebagai syarat untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit
merupakan suatu syarat yang mudah untuk dipenuhi, dan atas dasar tersebutlah
banyak Debitor yang berkesempatan untuk bangkit dari utang-untangnya dinyatakan
pailit. Dengan mudahnya syarat untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit,
tentu Debitor yang memiliki peluang untuk bangkit dari utangnya tidak
mendapatkan keadilan karena mudahnya syarat untuk mengajukan pailit sesuai Pasal
2 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan.
KESIMPULAN
Bahwa terhadap hal tersebut, dalam aturan
tentang syarat mengajukan permohonan pernyataan pailit sebagaimana pada
pengaplikasian Undang-Undang
Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
dapat ditarik sebuah kesimpulan, bahwasanya ada
sebuah ketimpangan aturan, dimana ketimpagan tersebut dapat dilihat dengan
mudahnya para Kreditor mengajukan permohonan pailit terhadap Debitor, dimana
hal tersebut juga dapat menghancurkan/mempailitkan Debitor yang berpeluang
melunasi utangnya. Hal ini tentu tidak menguntungkan bagi Debitor karena
Debitor tidak dilindungi oleh UU Kepailitan. Maka upaya untuk melindungi
Debitor tersebut, sudah seharusnya bila UU Kepailitan perlu diperbaiki dan
menambahkan aturan mengenai syarat atau kondisi-kondisi Debitor yang dapat
diajukan pailit.
Daftar Pustaka
[1] Pasal 2 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang yang berbunyi “Debitor
yang mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu
utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan
putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu
atau lebih kreditornya”.
[2] Bernard L Tanya,
Politik Hukum Agenda Kepentingan Bersama,
(Yogyakarta: Genta Publishing, 2011), hlm. 47
[3] Ibid, hlm. 49
[4] Ibid, hlm.50.
Comments
Post a Comment
Dilarang keras melakukan spam, meletakkan suatu link dalam komentar dan diharapkan bertutur kata atau menulis dengan santun. Terima kasih