Pernikahan Sirri Ditinjau Dari Hukum

KEPASTIAN HUKUM DALAM PERNIKAHAN SIRRIPerkawinan atau pernikahan adalah merupakan suatu kebutuhan bagi makhluk hidup, karena dengan perkawinan setiap makhluk dapat mempertahankan atau meneruskan garis keturunannya. Hal ini tentu merupakan fitrah dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, sang Khaliq yang telah menciptakan serta memberikan kehidupan. Manusia sebagai makhluk Allah Subhanahu wa Ta’ala,di ciptakan serta dijadikan sebagai Khalifah di muka bumi.

Manusia sebagai khalifah di muka bumi, yang juga sebagai makhluk perlu meneruskan garis keturunan guna menjalankan amanat dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Agama Islam mengajarkan bahwa apabila seseorang ingin dapat meneruskan garis keturunan, maka hal tersebut dapat dicapai dengan melalui perkawinan/pernikahan.
Pernikahan adalah sebuah ikatan perjanjian (komitmen) antara laki-laki dan perempuan untuk menjalani hidup berumah tangga dalam mencapai tujuan bersama, yaitu bahagia di dunia dan akhirat,[1] termasuk di dalamnya guna meneruskan garis keturunan. Seiring dengan dinamika perjalanan manusia dan perkembangan zaman, tata cara pernikahan pun juga mengalami perkembangan sesuai dengan lingkungannya.
Di Wilayah Negara Republik Indonesia, terdapat Kantor Urusan Agama (KUA) yang mana salah satu fungsinya adalah sebagai lembaga yang mencatatkan serta menerbitkan buku pernikahan. Pencatatan tersebut merupakan amanat dari Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang mana pencatatan tersebut dimaksudkan guna memberikan kepastian hukum juga sebagai bukti bahwa telah terjadinya akad pernikahan. Sehingga dimata hukum, pernikahan/perkawinan yang dicatakan adalah sah menurut hukum, ditambah dengan adanya bukti berupa buku/akta nikah. Berkaitan dengan pencatatan pernikahan di KUA, tentu akan menjadi perdebatan panjang jika dihadapkan dengan nikah sirri yang mana nikah sirri adalah nikah tanpa dicatatkan di KUA.
Berdasarkan uraian-uraian yang telah disebutkan di atas, maka dapat dirumuskan perumusan masalah yaitu, Bagaimana kepastian hukum dalam nikah sirri?

 Pembahasan

Di Indonesia yang mayoritas penduduknya adalah beragama Islam. Bagi penduduk yang beragama Islam maka syarat dan rukun pernikahannya sama dengan yang diatur dalam Syari’at Islam (sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974). Dalam ajaran Agama Islam sendiri, syarat sah nikah adalah :
  1. Adanya seorang wali yang sah yang menikahkan. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yaitu “Pernikahan tidak sah tanpa wali (yang sah).” (HR. Khamsah selain an-Nasai, dishahihkan oleh Ahmad dan Ibnu Main, al-Irwa’ no : 1839).
  2. Adanya akad pernikahan. Akad nikah atau dikenal juga dengan ijab qabul, ialah ucapan ijab qabul calon suami kepada wali calon istrinya ketika akad pernikahan.
  3. Disaksikan minimal dua orang saksi. Saat akad pernikahan, dihadiri minimal dua orang saksi dari kalangan laki-laki muslim yang adil pada dirinya dan orang lain. Hal ini juga berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alalihi wasallam yaitu “Pernikahan tidak sah tanpa wali yang sah dan dua orang saksi yang adil” (HR. al-Baihaqi, dishahihkan oleh Syeikh al-Bani dalam Shahihul Jami no : 7557).
  4. Adanya mahar. Mahar atau dikenal juga dengan nama mas kawin, yaitu sesuatu yang diberikan seorang suami kepada istri. Hal ini berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala yaitu “Berikanlah mas kawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan” (Q.s an-Nisa : 4).[2]
Jika telah terpenuhi empat syarat tersebut, maka secara syari’at Islam pernikahan tersebut telah sah. Sehingga jika nikah sirri adalah nikah yang tidak didaftarkan, maka apabila syarat-syarat nikah tersebut dipenuhi pernikahan sirri pun sah walaupun tidak didaftarkan di KUA, karena syarat sah nikah adalah adanya wali yang sah yang menikahkan, adanya mahar, adanya saksi minimal dua orang, dan adanya akad pernikahan (ijab qabul).
Sistem hukum di Indonesia tidak mengatur secara khusus dalam sebuah peraturan mengenai perkawinan/pernikahan sirri. Meski secara agama dianggap sah, namun perkawinan yang dilakukan di luar pengetahuan dan pengawasan pegawai pencatat perkawinan tidak memiliki kekuatan hukum. Sehingga perempuan yang dinikah sirri tidak mungkin memiliki akta nikah dari KUA. Karena tidak memiliki akta nikah, maka nikah sirri dapat berdampak sangat merugikan bagi para isteri dan perempuan pada umumnya, termasuk anak-anak yang diperoleh dari hasil perkawinan sirri. Akibat-akibat yang dapat terjadi karena nikah sirri adalah sebagai berikut :[3]

Terhadap isteri

Hukum positif memandang, perempuan yang dinikah sirri tidak dianggap sebagai isteri yang sah. Karena itu isteri sirri tidak berhak atas nafkah dan harta warisan suami jika suami meninggal dunia. Isteri sirri tidak berhak atas harta gono gini jika terjadi perceraian. Isteri sirri tidak berhak mendapat tunjangan istri dan tunjangan pensiun dari suami, karena namanya tidak tercatat di kantor suami. Atas dasar hal tersebut, perempuan yang dinikah sirri rentan untuk dipermainkan oleh laki-laki yang tidak bertanggung jawab karena mereka tidak memiliki kekuatan hukum untuk menggugat, mudah ditelantarkan, tidak diberi nafkah dengan cukup dan tidak ada kepastian status dari suami, karena nikah sirri tidak diakui oleh hukum.

Terhadap anak

Hukum positif memandang, anak-anak yang berasal dari perkawinan yang tidak dicatatkan, maka kelahiran juga tidak dicatatkan secara hukum. Jika kelahiran anak tidak dapat dicatatkan secara hukum, berarti melanggar hak asasi anak. Anak-anak tersebut berstatus sebagai anak diluar perkawinan, yang berstatus sebagai anak tidak sah dan tidak memiliki hubungan perdata dengan ayahnya. Anak tersebut hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya (Pasal 42 dan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan). Akibat tidak memiliki akta kelahiran, sulit baginya untuk mendaftar di sekolah negeri. Kalaupun akte kelahirannya diterbitkan, yang dicantumkan sebagai orangtuanya adalah nama ibu yang melahirkannya. Selain itu, bisa saja suatu waktu ayahnya menyangkal bahwa anak tersebut bukan anak kandungnya dan hal tersebut tidak dapat dibuktikan karena tidak memiliki buku/akta nikah. Akibatnya, anak jadi terlantar dan tidak dapat bertumbuh dengan baik.

Terhadap laki - laki atau suami

Suami bisa berkelit dan menghindar dari kewajiban untuk memberi nafkah kepada istri maupun dan anak-anaknya, karena hal tersebut tidak dapat dibuktikan karena tidak memiliki buku/akta nikah. Suami juga tidak berkewajiban secara hukum untuk membagi harta gono gini, nafkah, harta warisan dan sebagainya.
Nikah sirri adalah sah jika telah memenuhi syarat-syarat nikah, akan tetapi walaupun nikah sirri sah secara syari’at, namun tetap perlu dan penting untuk didaftarkan/dicatatkan pada Kantor Urusan Agama (KUA). Alasan pentingnya untuk mendaftarkan/mencatatkan pernikahan di KUA adalah :
  1. Dengan adanya catatan nikah sebagai akta otentik, maka pernikahan dapat dibuktikan dan tidak dapat mengingkari apabila terdapat suami yang mau melepaskan tanggung jawabnya atas istrinya. Jika tidak dicatatkan maka suami akan leluasa untuk meninggalkan sang istri karena sang istri pun tidak dapat membuktikan adanya/telah terjadinya pernikahan.
  2. Catatan resmi ini merupakan bukti otentik yang tidak bisa digugat untuk mendapatkan hak-hak seperti hak waris, jalur nasab anak, nafkah, dan lain sebagainya
  3. Jika terjadi sengketa dalam keluarga baik antara suami istri maupun dengan walinya, catatan resmi tersebut dapat menjadi bukti dan tidak dapat diingkari apabila salah satunya mengingkari suatu hak untuk kepentingan sedangkan saksi telah wafat.
  4. Catatan dan tulisan akan bertahan lama, sehingga sekalipun yang bertanda tangan telah meninggal dunia namun catatan masih berlaku.
  5. Catatan nikah akan menjaga suatu pernikahan dari pernikahan yang tidak sah, karena akan diteliti terlebih dahulu beberapa syarat dan rukun pernikahan serta penghalang-penghalangnya.
  6. Menutup pintu pengakuan dusta dalam pengadilan. Karena bisa saja sebagian orang yang hatinya rusak telah mengaku telah menikahi seorang wanita secara dusta untuk menjatuhkan lawannya dan mencemarkan kehormatan hanya karena mudahnya suatu pernikahan dengan saksi palsu.
Berdasarkan alasan-alasan tersebut, dengan mencatatkan/mendaftarkan pernikahan di KUA akan lebih banyak membawa maslahat. Dalam ajaran Agama Islam sendiri, hal-hal yang memilikimaslahat atau yang maslahatnya lebih besar lebih diutamakan untuk dilaksanakan.
  • Kesimpulan
Nikah sirri tidak berbeda dengan pernikahan Syar’i, hanya berbeda antara dianggap resmi karena telah didaftarkan/dicatatkan di KUA dan tidak resmi karena belum didaftarkan/dicatatkan di KUA. Nikah sirri adalah sah jika telah memenuhi syarat-syarat nikah, akan tetapi walaupun nikah sirri sah secara syari’at, syarat yang sama dengan pernikahan Syar’i.
Namun walaupun nikah sirri sah secara Syari’at, tetap perlu dicatatkan/didaftarkan di KUA karena maslahatnya yang besar. Dengan dicatatkan/didaftarkannya pernikahan di KUA, maka pernikahan tersebut lebih memiliki kepastian hukum.

Daftar Pustaka
[1] http://www.republika.co.id/berita/jurnalisme-warga/wacana/12/05/10/m3qpvi-dilema-nikah-siri-1-ketiga-dimensi-dalam-ikatan-pernikahan diakses pada hari Minggu tanggal 24 Agustus 2014.
[2] http://aslibumiayu.wordpress.com/2014/03/18/apa-saja-syarat-sah-nikah-silahkan-baca-rukun-dan-adab-adab-pernikahan/ diakses pada hari Minggu tanggal 24 Agustus 2014.
[3] http://syarnubi.wordpress.com/2008/12/07/nikah-sirri-merugikan-perempuan-menguntungkan-laki-laki/ diakses pada hari Minggu tanggal 24 Agustus 2014.

Comments