Prinsip Most Favoured Nation dan National Treatment di Indonesia

Latar Belakang
Perdagangan memberikan andil bagi pertumbuhan dan pembangunan ekonomi suatu Negara yang berdampak pada peningkatan struktur dan pondasi ekonomi  negara tersebut. Ekspansi perdagangan oleh suatu negara dapat memunculkan peluang dan harapan dalam memakmurkan dan mensejahterakan rakyatnya. Semangat melakukan ekspansi perdagangan tersebut yang nantinya akan menjadi dasar terbentuknya Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization, selanjutnya disebut WTO).
General Agreement on Tariff and Trade (selanjutnya disebut GATT), merupakan persetujuan internasional yang lahir untuk mengatasi potensi kesenjangan di antara masyarakat internasional. Persetujuan yang lahir pada tahun 1947 tersebut bertujuan untuk mengupayakan perdagangan dunia agar semakin terbuka, sehingga arus perdagangan dunia dapat berkembang diiringi dengan berkurangnya hambatan-hambatan baik dalam bentuk tarif maupun non-tarif. Keterbukaan pasar yang  semakin luas tersebut akan menjadi faktor pendukung dalam mencapai peningkatan kesejahteraan ekonomi masing-masing negara.
Prinsip-prinsip yang melandasi pengaturan hubungan perdagangan bagi seluruh negara anggota WTO dikenal sebagai prinsip Most Favoured Nations Treatment (MFN), yaitu prinsip yang menekankan perlakuan yang sama bagi seluruh negara anggota WTO, serta prinsip National Treatment (NT) yaitu prinsip perlakuan nasional yang tidak boleh berbeda dengan negara anggota lainnya.[1] Prinsip utama yang menjadi kerangka pondasi GATT dikenal dengan sebutan Non Discrimination Pimples, yaitu yang melarang adanya perlakuan diskriminasi di antara negara-negara anggota WTO. Prinsip non-diskriminasi dalam GATT dikenal sebagai prinsip most favoured nation atau MFN (Pasal 1 GATT). MFN menegaskan bahwa konsesi yang diberikan kepada satu negara mitra dagang harus berlaku pula bagi semua negara lainnya. Satu negara tidak boleh diberi perlakuan lebih baik atau lebih buruk daripada negara lain. Dengan demikian, maka semua negara harus turut menikmati peluang yang sama dalam liberalisasi perdagangan internasional dan memikul tanggung jawab yang sama pula. Selain MFN, dalam prinsip non-diskriminasi dikenal juga prinsip perlakuan nasional atau National Treatment atau NT (Pasal III GATT), prinsip ini mensyaratkan suatu negara untuk memperlakukan barang-barang, jasa-jasa, atau modal yang telah memasuki pasar dalam negerinya dengan cara yang sama sebagaimana negara tersebut memperlakukan produk-produk tersebut ketika dibuat, dimiliki, atau diawasi oleh warga negaranya. Adanya prinsip Most Favoured Nation dan National Treatment, khususnya berkenaan dengan perdagangan internasional pada hakekatnya bertujuan untuk meniadakan sikap diskriminasi di antara semua anggota dalam setiap transaksi perdagangan.
Sebagai tindak lanjut dari keikutsertaan Indonesia sebagai anggota WTO, melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 Indonesia telah meratifikasi persetujuan WTO. Pada intinya negara anggota WTO wajib mentaati standar perdagangan internasional, namun demikian tetap memberikan pengecualian khususnya bagi negara berkembang dan negara terbelakang untuk mengatur secara khusus hal-hal yang dianggap penting dan sangat berkaitan dengan kebutuhan negaranya dalam koridor perkembangan perdagangan internasional.
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dapat dirumuskan perumusan masalah sebagai berikut :
  • Bagaimana Substansi Prinsip MFN dan NT dalam GATT-WTO?
  • Bagaimana Implikasi Prinsip MFN dan NT di Indonesia?
PEMBAHASAn
Substansi Prinsip NT dan MFN Dalam GATT-WTO
Untuk mencapai tujuan-tujuannya, GATT berpedoman pada 5 prinsip utama, 2 (dua) diantara 5 prinsip tersebut adalah :[2]
a.      Prinsip Most Favoured Nation (MFN).
Prinsip Most Favoured Nation (MFN) termuat dalam pasal I GATT. Prinsip MFN menyatakan bahwa suatu kebijakan perdagangan harus dilaksanakan atas dasar non-diskriminatif. Menurut prinsip ini, semua negara anggota terikat untuk memberikan negara-negara lainnya perlakuan yang sama dalam pelaksanaan dan kebijakan impor dan ekspor serta yang menyangkut biaya-biaya lainnya.[3]
Perlakuan yang sama tersebut harus dijalankan dengan segera dan tanpa syarat (immediately and unconditionally) terhadap produk yang berasal atau yang diajukan kepada semua anggota GATT.[4] Sehingga suatu negara tidak boleh memberikan perlakuan istimewa kepada negara lainnya, atau melakukan tindakan diskriminasi terhadapnya. Prinsip ini tampak dalam Pasal 4 perjanjian yang terkait dengan hak kekayaan intelektual (TRIPs) dan tercantum pula dalam Pasal 2 Perjanjian mengenai Jasa (GATS).
Pada pokoknya, semua negara harus diperlakukan atas dasar yang sama dan semua negara menikmati keuntungan dari suatu kebijaksanaan perdagangan. Maka berdasarkan prinsip tersebut, negara anggota dapat menuntut untuk diperlakukan sama terhadap produk impor dan ekspornya di negara-negara anggota lain. Namun dalam hal pelaksanaannya, prinsip ini mendapat pengecualian-pengecualian, khususnya menyangkut kepentingan negara berkembang.
Pengecualian tersebut sebagian ada yang ditetapkan dalam pasal-pasal GATT itu sendiri, dan sebagian lagi ada yang ditetapkan dalam putusan-putusan dalam konverensi-konverensi GATT melalui suatu penanggalan (waiver) dan prinsip-prinsip GATT berdasarkan Pasal XXV. Pengecualian yang dimaksud adalah:
1)      Keuntungan yang diperoleh karena jarak lalu lintas (frontier traffic advantage), tidak boleh dikenakan terhadap anggota GATT lainnya (Pasal VI);
2)      Perlakuan preferensi di wilayah-wilayah tertentu yang sudah ada (misalnya kerjasama ekonomi dalam British Commonwealth; the French Union (Perancis dengan negaranegara bekas koloninya); dan Banelux (Banelux Economic Union), tetap boleh terus dilaksanakan namun tingkat batas preferensinya tidak boleh dinaikan (Pasal I ayat 2-4);
3)      Anggota-anggota GATT yang membentuk suatu Customs Union atau Free Trade Area yang memenuhi persyaratan Pasal XXIV tidak harus memberikan perlakuan yang sama kepada negara anggota lainnya.
Untuk negara-negara yang membentuk pengaturanpengaturan preferensial regional dan bilateral yang tidak memenuhi persyaratan Pasal XXIV, dapat membentuk pengecualian dengan menggunakan alasan penanggalan (waiver) terhadap ketentuan GATT.
Penanggalan ini dapat pula dilakukan atau diminta oleh suatu negara anggota. Menurut prinsip ini suatu negara dapat, manakala ekonominya atau keadaan perdagangannya dalam keadaan yang sulit, dapat memohon pengecualian dari kewajiban tertentu yang ditetapkan oleh GATT.
4)      Pemberian prefensi tarif olef negara-negara maju kepada produk impor dari negara yang sedang berkembang atau negara-negara yang kurang beruntung (least developed) melalui fasilitas Generalised System of Preference (sistem preferensi umum).[5]
Pengecualian lainnya adalah apa yang disebut dengan ketentuan pengamanan (safeguard rule). Pengecualian ini mengakui bahwa suatu pemerintah, apabila tidak mempunyai upaya lain, dapat melindungi atau memproteksi untuk sementara waktu industri dalam negerinya.
Pengaturan safeguard ini yang diatur dalam Pasal XIX, memperbolehkan kebijakan demikian namun hanya dipakai dalam keadaan-keadaan tertentu saja. Suatu negara anggota dapat membatasi atau menangguhkan suatu konsesi tarif pada produk-produk yang diimpor dalam suatu jumlah (kuantitas) yang meningkat dan yang menyebabkan kerusakan serius (serious injury) terhadap produsen dalam negeri.
b.      Prinsip National Treatment.
Prinsip National Treatment terdapat dalam Pasal III GATT. Menurut prinsip ini, produk dari suatu negara yang diimpor ke dalam suatu negara harus diperlakukan sama seperti halnya produk dalam negeri.[6] Prinsip ini sifatnya berlaku luas. Prinsip ini juga berlaku terhadap semua macam pajak dan pungutan-pungutan lainnya, selain itu berlaku pula terhadap perundang-undangan, pengaturan dan persyaratan-persyaratan (hukum) yang mempengaruhi penjualan, pembelian, pengangkutan, distribusi atau penggunaan produk-produk di pasar dalam negeri. Prinsip ini juga memberikan perlindungan terhadap proteksionisme sebagai akibat upaya-upaya atau kebijakan administratif atau legislatif.[7]
Prinsip Most Favoured Nation dan Prinsip National Treatment merupakan prinsip sentral dibandingkan dengan prinsip-prinsip lainnya dalam GATT. Kedua prinsip ini menjadi prinsip pada pengaturan bidang-bidang perdagangan yang kelak lahir di dalam perjanjian putaran Uruguay. Misalnya, prinsip ini tercantum dalam Pasal 3 Perjanjian TRIPs. Kedua prinsip diberlakukan pula dalam the General Agreement on Trade in Service (GATS). Dalam GATS, negara-negara anggota WTO diwajibkan untuk memberlakukan perlakuan yang sama terhadap jasa-jasa atau para pemberi jasa dari suatu negara dengan negara lainnya.
Meskipun demikian, perjanjian WTO membolehkan suatu negara untuk meminta pembebasan dari penerapan kewajiban MFN ini yang mencakup upaya-upaya dan syarat-syarat tertentu. Untuk maksud tersebut, manakala suatu negara meminta pembebasan kewajiban MFN, maka permintaan tersebut akan ditinjau setiap lima tahun. Pembebasan dari penerapan kewajiban MFN ini hanya boleh dilakukan untuk jangka waktu 10 tahun.
Prinsip National Treatment merupakan suatu kewajiban dalam GATS yang mana negara-negara secara eksplisit harus menerapkan prinsip ini terhadap jasa-jasa atau kegiatan jasa-jasa tertentu. Oleh karena itulah prinsip National Treatment atau perlakuan nasional ini pada umumnya merupakan hasil dari negosiasi atau perundingan di antara negara-negara anggota.
Keberadaan Prinsip MFN dan NT dalam pengaturan sistem hukum Indonesia
a.      Kesiapan Indonesia dalam Menghadapi Prinsip Most Favoured Nation dan National Treatment
Sebagai negara yang sedang memacu ekspornya, Indonesia sangat berkepentingan atas hasil dari Putaran Uruguay. Perkembangan industri yang terjadi membutuhkan akses untuk memasuki dunia pasar yang luas. Industri Indonesia sekarang menuntut adanya tingkatan yang lebih luas dalam pasar internasional. Putaran Uruguay tidak hanya berarti terbukanya pasar dunia tetapi juga terbukanya pasar domestik Indonesia. Hal ini berarti pasar Indonesia akan lebih mudah ditembus barang impor dengan ketentuan tarif yang harus diturunkan yang dalam jangka panjang. Hambatan-hambatan bukan tarif, seperti pelarangan impor, kouta impor dan sebagainya harus dihilangkan dan dikurangi. Dengan demikian persaingan yang terjadi harus fair dan tidak memihak.
Adanya kesepakatan penerapan prinsip Most Favoured Nation (MFN) dan National Treatment (NT) dalam globalisasi perdagangan mengakibatkan pemerintah Indonesia harus sangat berhati-hati dan cermat dalam menghadapinya. Indonesia harus pintar memanfaatkan segala kelebihan-kelebihan yang dimiliknya untuk dapat bersaing dengan negara-negara lain dalam rangka meningkatkan posisi tawar terkait adanya persaingan bebas tersebut. Untuk mengantisipasi adanya implikasi negatif dari prinsip Most Favoured Nation dan National Treatment memerlukan peranan pemerintah, hal tersebut sesuai dengan kondisi Indonesia yang masih berkembang dan memerlukan penyesuaian atau adaptasi dalam menghadapi pemberlakuan prinsip-prinsip tersebut.
b.      Implikasi  Prinsip Most Favoured Nation dan National Treatment
Implikasi  yang ditimbulkan sekaligus konsekuensi dari adanya  prinsip most favoured nation dan national treatment dari World Trade Organization (WTO) bagi perdagangan Internasional khususnya di Indonesia :
·         Implikasi Positif
a)      Persamaan dan Pemerataan Kebebasan
Setiap negara akan memiliki kebebasan yang sama dalam melakukan kegiatan transaksi perdagangan. Tindakan yang bersifat memproteksi yang biasanya kerap diterapkan untuk meraih keuntungan suatu negara baik eksportir maupun importir tidak akan terjadi. Kesepakatan ini akan membatasi langkah-langkah yang dilakukan secara sepihak oleh suatu negara dalam rangka melindungi kepentingannya dalam pelaksanaan transaksi perdagangan. Bagi Indonesia, konstruksi ini dapat memberikan suatu keadilan dan kemanfaatan karena pihak eksportir Indonesia dapat dengan leluasa memasarkan produknya di luar negeri tanpa adanya faktor-faktor yang memberatkan seperti pajak yang berlebihan ataupun persyaratan-persyaratan teknis yang bersifat protektif. Sebaliknya pihak importir asing pun dapat dengan leluasa memasarkan produknya di Indonesia, dan Indonesia tidak bisa memberikan ataupun menetapkan kebijakan yang dapat menghambat mereka dalam menjalankan aktivitas perdagangannya.
b)     Deregulasi dan Debirokratisasi Transaksi Perdagangan
Keuntungan lain yang dapat diperoleh adalah semakin terbukanya sistem transaksi perdagangan  suatu negara melalui deregulasi dan debirokratisasi yang selama ini senantiasa menjadi penghalang bagi suatu pihak yang akan memasarkan produk yang bersifat transnasional. Dengan demikian, setiap negara akan memiliki kesempatan yang lebih besar dalam memasarkan produknya, dan tidak perlu khawatir dengan adanya birokrasi ataupun peraturan-peraturan yang berbelit-belit atau saling tumpang tindih satu sama lain.
c)      Terbukanya Blok-Blok Perdagangan Dunia
Semakin terbukanya blok-blok dunia merupakan implikasi positif lainnya dengan adanya penerapan prinsip Most Favored Nation dan National Treatment. Blok-blok dunia seperti Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE), ASEAN, ataupun North America Free Trade Area (NAFTA) dll, yang dulunya cenderung tertutup dan saling berkonfrontasi, akan membuka keeksklusifannya dan bekerjasama secara lebih luas dalam melakukan transaksi perdagangan internasional.
d)     Peningkatan Pilihan atau Alternatif bagi Masyarakat Sebagai Konsumen
Dengan adanya sederet keuntungan di atas dari diterapkannya prinsip Most Favoured Nation dan National Treatment, maka masyarakat sebagai konsumen akhir juga menjadi pihak yang diuntungkan. Terbukanya akses perdagangan menyebabkan segala macam produk dan hasil perdagangan baik dari lokal maupun asing hadir di pasaran. Dengan demikian,  masyarakat akan  memiliki pilihan dan menentukan pilihannya dalam memiliki suatu hasil produk yang benar-benar berkualitas sesuai dengan daya belinya.
·         Implikasi Negatif
a)      Kekuatan Negara yang Tidak Merata
Selain mendatangkan implikasi  positif, penerapan prinsip Most Favored Nation (MFN) dan National Treatment juga mendatangkan implikasi negatif yang bahkan justru lebih besar dari implikasi positif yang didapat. Faktor yang paling mendasar adalah setiap negara dianggap sama-sama kuat untuk bersaing satu sama lain. Asumsi  ini jelas tidak benar di suatu dunia di mana terdapat bangsa kaya dan miskin, negara maju dan terbelakang. Kekuatan negara yang tidak merata ini pada akhirnya akan menimbulkan jurang perbedaan yang besar di antara negara-negara yang kuat dengan yang lemah. Sehingga transaksi perdagangan internacional akan lebih banyak dipengaruhi oleh keinginan dan kepentingan negara-negara maju dengan segala kelebihan yang dimilikinya.
b)     Perluasan Lingkup Perjanjian yang Merugikan
Faktor lainnya yang perlu diperhatikan adalah dimasukkannya masalah-masalah baru seperti investasi, HaKI, dan jasa sebagai bagian integral dari WTO. Suatu tantangan besar telah menanti negara-negara berkembang dalam mempertahankan eksistensinya.  Adanya perluasan mandat dalam perjanjian tersebut menyebabkan negara-negara berkembang termasuk Indonesia harus mematuhi substansi perjanjian yang pada gilirannya berujung kepada perlakuan yang sama tanpa mempedulikan lemah atau kuatnya negara tersebut dalam struktur ekonomi dunia.
c)      Tendensi Ketergantungan dalam Transaksi Perdagangan
Akhir dari penerapan prinsip Most Favored Nation dan National Treatment bagi transaksi perdagangan secara internasional adalah semakin kuatnya pengaruh negara-negara maju terhadap negara-negara berkembang. Negara yang kuat akan semakin menunjukkan eksistensinya dengan menekan setiap kebijakan negara-negara berkembang yang dianggap merugikan dan menghambat kepentingan mereka.
Sederet pengaruh negatif tersebut mengakibatkan arus perdagangan internasional menjadi tidak seimbang dimana negara maju dengan berbagai keunggulannya dapat meningkatkan keeksklusifannya sehingga mengakibatkan perbedaan yang ada semakin signifikan antara negara maju dengan negara berkembang.
Adanya fenomena perdagangan dan pembangunan yang tidak merata ini haruslah menjadi bahan pertimbangan utama pemerintah Indonesia. Keunggulan-keunggulan yang dimiliki Indonesia selayaknya dimanfaatkan secara maksimal agar senantiasa eksis dalam perekonomian global. Beragam implikasi tersebut mengharuskan pemerintah Indonesia berhati-hati dalam mengambil setiap kebijakan-kebijakan agar tidak menjerumuskan Indonesia ke dalam jurang ketergantungan kepada negara-negara maju. Dengan segala keunggulan yang dimiliki, Indonesia haruslah memiliki kekuatan posisi tawar dengan negara lain, khususnya negara maju sehingga setidaknya penerapan prinsip Most Favored Nation (MFN) dan National Treatment dapat berimplikasi positif bagi kepentingan perdagangan di Indonesia.
KESIMPULAN
Pada dasarnya ketentuan WTO dalam Putaran Uruguay yang mencantumkan prinsip Most Favoured Nation (MFN) dan National Treatment menginginkan adanya suatu komitmen dari setiap negara dalam transaksi perdagangan internasional untuk menjalankan:
a.     Pemberlakuan sistem yang adil dan terbuka berdasarkan atas aturan multilateral yang telah disepakati bersama.
b.     Liberalisasi dan penghapusan berbagai hambatan yang ada baik  tarif ataupun non-tarif dalam transaksi perdagangan internasional.
c.       Penolakan segala bentuk proteksi atau hambatan.
d. Penghapusan segala bentuk diskriminasi antar negara dan penghapusan pendikotomian antara local dan asing dalam pelaksanaan transaksi perdagangan internasional.
e. Transparansi yang semaksimal mungkin dalam pelaksanaan kegiatan dan kebijaksanaan terkait mekanisme transaksi perdagangan.
Implikasi yang ditimbulkan dengan adanya prinsip Most Favoured Nation dan National Treatment terhadap transaksi perdagangan internasional di Indonesia antara lain :
  1. Implikasi positif yang meliputi :
1)      Kebebasan yang sama dan merata dalam transaksi perdagangan.
2)      Deregulasi dan debirokratisasi perangkat aturan perdagangan.
3) Terbukanya blok-blok dunia dalam melakukan kerjasama dan interaksi perdagangan internacional.
4)      peningkatan pilihan atau alternatif masyarakat sebagai konsumen.
    1. Implikasi negatif yang meliputi:
1)   Persaingan yang tidak adil diantara negara-negara kuat (negara maju) dan lemah (negara berkembang).
2)      Perluasan lingkup perjanjian yang merugikan nagara berkembang.
Kuatnya negara maju yang menyebabkan suatu ketergantungan dan perdagangan yang tidak merata.


Daftar Pustaka


[1] Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis: Menata Bisnis Modern di Era Global, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2008, hlm 309.
[2] Hata, Perdagangan Internasional dalam Sistem GATT dan WTO; Aspek-Aspek Hukum dan Non Hukum, Bandung: Refika Aditama, 2006, hlm 30.
[3] Olivier Long, Law and Its Limitations in the GATT Multilateral Trade System, Martinus Nijhoff Publishers, 1987, hlm 8-11, dikutip dalam buku Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional, Jakarta: RajaGrafindo Persada, hlm 108.
[4] Gunther Jaenicke, General Agreement on Tariffs and Trade (1946), dalam Bernhard (ed)., Encyclopedia of Public International Law, Instalment 5 (1983), hlm 22, dikutip dalam buku Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional, Jakarta: RajaGrafindo Persada, hlm 108. Namun demikian prinsip ini tidak berlaku terhadap transaksi-transaksi komersial di antara anggota GATT yang secara teknis bukan merupakan impor atau ekspor ‘produk-produk’ seperti pengangkutan internasional, pengalihan paten, lisensi dan hakhak tak berwujud lainnya atau aliran modal.
[5] Gunther Jaenicke, op. cit, hlm 23, dikutip dalam buku Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional, Jakarta: RajaGrafindo Persada, hlm 110.
[6] Olivier Long, op. cit, hlm 9, dikutip dalam buku Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional, Jakarta: RajaGrafindo Persada, hlm 111.
[7] ibid.

Comments