Beberapa Faktor Penyebab Terjadinya KDRT
Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan masih tingginya
angka kekerasan terhadap premapuan dalam rumah tangga, dari hasil analisa dan
penelitian penulis maka dapat di rangkum hal – hal sebagai berikut:
- Adanya budaya patriaki dimasyarakat
Kekerasan dapat terjadi di dalam lingkup anggota rumah
tangga secara keseluruhan, bukan hanya kekerasan suami terhadap isteri. Namun
dari data yang diperoleh baik hasil penelitian maupun laporan kasus dari
berbagai lembaga yang peduli terhadap perempuan, menunjukkan bahwa mayoritas
kasus dalam rumah tangga adalah kekerasan suami terhadap isteri.
Pasal 1 ayat (1) UU
No. 3 Tahun 2004 menyatakan bahwa :
Kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan
terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan
atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis dan/atau penelantaran rumah
tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan pemaksaan atau perampasan
kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
Lebih ekplisit lagi, Pasal 5 UU Nomor 23 Tahun 2004 menyatakan bahwa :
Setiap orang di larang melakukan kekerasan dalam rumah
tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangga dengan cara (a) kekeraan
fisik, (b) kekerasan psikis, (c) kekerasan seksual, dan (d) penelantaran rumah
tangga.
Dari definisi tersebut di atas terlihat UU ini tidak
semata-mata untuk kepentingan perempuan tetapi juga untuk mereka yang
tersubordinasi. Jadi bukan hanya perempuan dewasa maupun anak-anak, tapi juga
laki-laki baik dewasa maupun anak-anak. Hanya selama ini fakta menunjukkan
bahwa korban yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga adalah perempuan. Hal
ini penting untuk dipahami bersama, karena masih ada anggapan dari sebagian
besar masyarakat yang memandang sinis terhadap peraturan di atas, seolah-olah
tuntutan tersebut terlalu dibuat-buat oleh perempuan. Menghapus lingkaran
kekerasan merupakan masalah yang kompleks, bukan hanya melihat efektif tidaknya
suatu peraturan perundangan yang sudah ada, namun budaya yang telah tertanam
kuat di masyarakat dapat menjadi landasan perilaku seseorang.[1]
Kesetaraan gender belum muncul secara optimal di masyarakat,
ditambah lagi dengan budaya patriarki yang terus langgeng membuat perempuan
berada di dalam kelompok yang tersubordinasi menjadi rentan terhadap kekerasan.
Di sini laki-laki dalam posisi dominan atau superior dibandingkan dengan
perempuan. Anggapan isteri milik suami dan seorang suami memiliki kekuasaan
yang lebih tinggi daripada anggota keluarga yang lain, menjadikan laki-laki
berpeluang melakukan kekerasan.[2]
Kekerasan yang dilakukan dalam rumah tangga akan berpengaruh
pada anak karena sifat anak yang suka meniru segala sesuatu yang dilakukan
orang terdekatnya, dalam hal ini ayah dan ibunya. Anak akan menganggap wajar
kekerasan yang dilakukan ayahnya, sehingga anak laki-laki yang tumbuh dalam
lingkungan seperti itu cenderung akan meniru pola yang sama ketika ia bersiteri
kelak.[3]
Latar budaya patriarki dan ideologi gender berpengaruh pula
terhadap produk perundang-undangan. Misalnya pasal 31 ayat (3) UU No.1 tahun
1974 tentang perkawinan menyatakan bahwa :
“Suami adalah kepala keluarga & istri ibu rumah tangga.”
Hal ini menimbulkan pandangan dalam masyarakat seolah-olah
kekuasaan laki-laki sebagai suami sangat besar sehingga dapat memaksakan semua
kehendaknya termasuk melakukan kekerasan. Ada kecenderungan dari masyarakat
yang selalu menyalahkan korbannya, hal ini karena dipengaruhi oleh nilai
masyarakat yang selalu ingin harmonis Walaupun kejadiannya dilaporkan usaha
untuk melindungi korban dan menghukum pelakunya, sering mengalami kegagalan
karena KDRT khususnya terhadap perempuan tak pernah dianggap sebagai
pelanggaran terhadap hak asasi manusia.[4]
- Rendahnya pendidikan dan pengetahuan perempuan sebagai isteri
Faktor rendahnya pendidikan isteri membuat seumai merasa
selalu memilki kedudukan lebih dalam rumah tangga. Para suami menganggap isteri
hanyalah hanyalah pelaku kegiatan rumah tangga sehari hari. Selain itu juga ada
suami yang malu mempunyai istri yang pendidikannya rendah, lalu melakukan
perselingkuhan.[5] Ketika diketahui oleh istrinya, malah istri mendapat
perlakuan kekerasan dari suami.
Ada anggapan bahwa kekerasan dalam rumah tangga merupakan
urusan intern suami istri yang hubungan hukumnya terikat di dalam perkawinan
yang merupakan lingkup hukum keperdataan. Isteri yang mengalami kekerasan yang
berpendidikan rendah juga buta terhadap pengetahuan di bidang hukum.
Dengan demikian tatkala terjadi pelanggaran dalam hubungan
antar individu tersebut penegakkan hukumnya diselesaikan dengan mengajukan
gugatan ke pengadilan oleh si isteri yang merasa dirugikan. Dalam hal ini hakim
biasanya menyelesaikan dengan merujuk pada UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan. Undang-undang perkawinan tidak mengatur sanksi yang dapat
dijatuhkan kepada pelaku KDRT seperti
halnya hukum publik (hukum pidana).[6] Karena sanksi tersebut tidak ada maka
tidak ada efek jera bagi suami sebagai pelau kekerasan, sehingga kekerasan
tersebut tetap saja terjadi untuk seterusnya.
- Diskriminasi dan ketergantungan secara ekonomi
Diskriminasi dan pembatasan kesempatan bagi wanita untuk
bekerja mengakibatkan wanita (istri) ketergantungan terhadap suami, dan ketika
suami kehilangan pekerjaan maka istri mengalami tindakan kekerasan. Jadi,
meskipun kekerasan yang dialami terkadang tergolong dalam KDRT berat, korban
tidak ingin pelaku dihukum/dipenjara, mereka hanya mengharapkan pelaku (suami)
dapat merubah perilakunya tersebut. Sehingga, tak jarang korban baru menempuh
proses pidana atau perdata ketika kekerasan tersebut benar-benar sudah berat
dan berulangkali terjadi. Sebagaimana yang dialami oleh salah satu mitra (klien)
LBH APIK Jakarta mengadukan kasus KDRT yang dia alami selama berpuluh-puluh
tahun dan mengajukan perceraian ketika usianya 75 tahun dan anak-anaknya sudah
dewasa semua.[7]
Adanya ketergantungan si isteri tehadap suami mengakibatkan
terkadang isteri membiarkan saja kekerasan tersebut terjadi (lumping it).
Karena sang isteri tidak memilki keterampilan dan pendidikan yang layak mereka
menjadi takut apabila sang suami pergi atau masuk penjara apabila melaporkan ke
pihak berwajib atas terjadinya KDRT.[8]
Contoh lainnya lagi adalah sebagaimana yang dailami oleh ibu
Meta salah satu korban KDRT. Korban memilih untuk tidak ditempuhnya jalur hukum
karena biasanya kekerasan dalam rumah tangga mempunyai kondisi yang berbeda
dengan kekerasan lainnya. Dalam KDRT, antara pelaku dan korban umumnya
mempunyai kedekatan personal dalam artian mempunyai relasi intim,
ketergantungan secara emosi dan ekonomi. Ini yang membuat korban terkadang
enggan memproses kekerasan yang dialaminya secara hukum dan lebih memilih jalur
di luar hukum seperti mediasi atau pisah/cerai. Namun, ternyata pilihan yang
dianggap baik ini juga tidak menghentikan kekerasan yang dialami korban. [9]
Sebagai ilustrasi, kasus ibu Meta, seorang stylist yang
mendapat kekerasan dari suami selama 10 tahun perkawinannya. Dan keputusan
untuk hidup berpisah dengan suaminya, yang sudah dilakukan selama 1,5 tahun
terakhir ini bersama anak-anaknya (3 anak), ternyata bukan jalan terbaik dalam
menyelesaikan/memutus kekerasan yang dialaminya. Bahkan terakhir, ibu Meta
mendapatkan kekerasan fisik berat yang menyebabkan kepala dan dahinya terluka
serta harus mendapatkan jahitan sekitar 15 cm karena mendapatkan serangan
senjata tajam (dengan cutter) oleh suaminya. Bahkan akibat luka ini, ibu meta
sempat dirujuk ke beberapa rumah sakit karena parahnya luka yang
dideritanya.[10]
Ketika mengadukan ke sebuah Lembaga Bantuan Hukum (LBH), ibu
Meta hanya menginginkan penyelesaian secara hukum, rasa aman bagi dia dan
anak-anaknya, serta nafkah bagi anak-anak. Selain itu, dari informasi yang
tergali, ternyata salah satu penyebab kekerasan tersebut adalah karena stigma
pekerjaan yang dijalani ibu Meta (sebagai stylist) yang membuat dia dekat
dengan banyak orang dan mengharuskan ibu Meta pulang malam. [11]
- Lemahnya pemahaman dan penanganan dari aparat penegak hukum
Untuk kasus-kasus yang diselesaikan secara pidana pun banyak
kendala yang dihadapi. Di sini polisi menyarankan untuk berdamai saja. Apabila
mau diproses laporan harus sudah dilakukan tiga kali. Hal ini berakibat
lemahnya barang bukti, karena jarak antara penganiayaan dan pelaporan sudah
lama terjadi. Jadi visum et repertum tidak mendukung sebagai bukti. Disamping
itu menganggap KDRT persoalan pribadi bukan diselesaikan oleh aparat[12].
Disamping itu ada kendala lain yaitu Kesulitan menghadirkan saksi, karena
aparat penegak hukum (polisi, jaksa, hakim) selalu memaksakan agar korban
menghadirkan saksi yang benar-benar melihat terjadinya pemukulan atau tindakan
penganiayaan lainnya. Untuk hal ini tentu akan sulit untuk menghadirkan saksi
karena biasanya penganiayaan terjadi di ruang yang tertutup seperti kamar
tidur. Andai pun ada yang mengetahui, mereka akan takut untuk bersaksi.[13]
Kendala lain adalah bahwa dalam pelaksanaan dan penerapan
pasal-pasal dalam UU PKDRT. Antara lain penafsiran beberapa pasal kekerasan
dalam rumah tangga yang berbeda antara penegak hukum maupun masyarakat sendiri.
Seperti contoh kasus yang dialami oleh
Ny. M. Putusan hukuman yang hanya 2 bulan dikarenakan hakim menafsirkan bahwa
KDRT fisik yang dilakukan oleh suami hanya diakomodir pada pasal 44 ayat 4
saja, serta luka yang dialami korban adalah luka ringan yang tidak mengganggu
kegiatan sehari-hari dan tidak mendapatkan perawatan yang intensif (opname).
Padahal, berdasarkan visum et repertum dari rumah sakit, korban mengalami patah
tulang serta kehilangan indra penciumannya. Hal ini juga dikuatkan saksi ahli
dimana memberitahukan bahwa luka tersebut harus dievaluasi lagi satu tahun
kemudian, jika tidak pulih indra penciumannya, berarti korban mengalami cacat
permanent.[14] Hal inilah yang menjadi kendala bagi korban untuk menggapai
keadilan. Selain itu, masalah pembuktian maupun belum adanya Peraturan
Pemerintah yang mengatur pelaksanaan pemberian perlindungan maupun penanganan
masih menjadi penghambat bagi korban maupun penegak hukum. [15]
Daftar Pustaka
[1]Nani Kurniasih, Kajian Sosio Yuridis Terhadap Kekerasan
Yang Berbasis Gender, diakses pada situs http://www.uninus.ac.id
[2] Ibid
[3] Ibid
[4] Ibid
[5] Pikiran Rakyat, 21 April 2007,Laporan P2TP2 Kota
Bandung, dailses pada situs www.pikiranrakyat.com
[6] Nani Kurniasih, Op Cit
[7] Estu Affany, Op Cit
[8] Nani Kurniasih, Op Cit
[9] Estu Affany. Op Cit
[10] Ibid
[11] Ibid
[12] Ibid
[13] Ibid
[14] Estu Affany, Op Cit
[15]
Ibid
Comments
Post a Comment
Dilarang keras melakukan spam, meletakkan suatu link dalam komentar dan diharapkan bertutur kata atau menulis dengan santun. Terima kasih