Faktor Umum Penyebab Terjadinya Korupsi

Otoritas Semu, Pekanbaru - Munculnya perbuatan korupsi didorong oleh dua motivasi. Pertama, motivasi intrinsik, yaitu adanya dorongan memperoleh kepuasan yang ditimbulkan oleh tindakan korupsi. Kedua, motivasi ekstrinsik, yaitu dorongan korupsi dari luar diri pelaku yang tidak menjadi bagian melekat dari perilaku itu sendiri.

Motivasi kedua ini seperti adanya alasan melakukan korupsi karena ekonomi, ambisi memperoleh jabatan tertentu, atau obsesi meningkatkan taraf hidup atau karir jabatan secara pintas.

Menurut Sarwono, faktor penyebab seseorang melakukan tindakan korupsi yaitu faktor dari dalam diri sendiri, seperti keinginan, hasrat, kehendak, dan sebagainya serta faktor rangsangan dari luar, seperti dorongan dari teman-teman, kesempatan, kurang kontrol, dan sebagainya

Secara umum faktor penyebab terjadinya korupsi dapat terjadi karena faktor politik, hukum dan ekonomi, sebagaimana dalam buku yang berjudul Peran Parlemen dalam Membasmi Korupsi (ICW:2000) yang mengidentifikasi empat faktor penyebab terjadinya korupsi yaitu faktor politik, faktor hukum, faktor ekonomi dan birokrasi, dan faktor transnasional.


  • FAKTOR POLITIK


Politik merupakan salah satu penyebab terjadinya korupsi. Hal ini dapat dilihat ketika terjadi instabilitas politik, kepentingan politis para pemegang kekuasaan, bahkan ketika meraih dan mempertahankan kekuasaan.

Perilaku korup seperti penyuapan, politik uang merupakan fenomena yang sering terjadi. Terkait dengan hal itu Terrence Gomes (2000) memberikan gambaran bahwa politik uang (money politic) sebagai use of money and material benefits in the pursuit of political influence.

Menurut Susanto korupsi pada level pemerintahan adalah dari sisi penerimaan, pemerasan uang suap, pemberian perlindungan, pencurian barang-barang publik untuk kepentingan pribadi, tergolong korupsi yang disebabkan oleh konstlelasi politik (Susanto: 2002). Sementara menurut De Asis, korupsi politik misalnya perilaku curang (politik uang) pada pemilihan anggota legislatif ataupun pejabat-pejabat eksekutif, dana ilegal untuk pembiayaan kampanye, penyelesaian konflik parlemen melalui cara-cara ilegal dan teknik lobi yang menyimpang (De Asis : 2000).

Penelitian James Scott (Mochtar Mas’oed: 1994) mendeskripsikan bahwa dalam masyarakat dengan ciri pelembagaan politik eksekutif dimana kompetisi politik dibatasi pada lapisan tipis elit dan perbedaan antar elit lebih didasarkan pada klik pribadi dan bukan pada isi kebijakan, yang terjadi umumnya desakan kulturan dan struktural untuk korupsi itu betul-betul terwujud dalam tindakan korupsi pada pejabatnya.

Robert Klitgaard (2005) menjelaskan bahwa proses terjadinya korupsi dengan formulasi M+D-A=C. Simbol M adalah monopoly, D adalah discretionary (kewenangan), A adalah accountability (pertanggungjawaban). Penjelasan atas simbol tersebut dapat dikatakan bahwa korupsi adalah hasil dari adanya monopoli (kekuasaan) ditambah dengan kewenangan yang begitu besar tanpa pertanggungjawaban.

  • FAKTOR HUKUM


Faktor hukum dapat dilihat dari dua sisi, di satu sisi dari aspek perundang-undangan dan sisi lain lemahnya penegakan hukum. Tidak baiknya substansi hukum, mudah ditemukan dalam aturan-aturan yang diskriminatif dan tidak adil; rumusan yang tidak jelas tegas  (non lext certa) sehingga multi tafsir, kontradiksi dan overlapping dengan peraturan lain (baik yang sederajat maupun yang lebih tinggi). Sanksi yang tidak equivalen dengan perbuatan yang dilarang sehingga tidak tepat sasaran sehingga dirasa terlalu ringan atau terlalu berat; penggunaan konsep yang berbeda-beda untuk sesuatu yang sama, semua itu memungkinkan suatu peraturan tidak kompatibel dengan realitas yang ada sehingga tidak fungsional atau tidak produktif dan mengalami resistensi.

Penyebab keadaan ini sangat beragam, namun yang dominan adalah: Pertama, Tawar-menawar dan pertarungan kepentingan antara kelompok dan golongan di parlemen, sehingga muncul aturan yang bias dan diskriminatif. Kedua, praktik politik uang dalam pembuatan hukum berupa suap menyuap, utamanya menyangkut perundang-undangan dibidang ekonomi dan bisnis. Akibatnya timbul peraturan yang elastis dan multi tafsir serta tupang-tindih dengan aturan lain sehingga mudah dimanfaat untuk menyelamatkan pihak-pihak pemesan.

Selaras dengan hal itu Susila (dalam Hamzah: 2004)  menyebut tindakan korupsi mudah timbul karena ada kelemahan di dalam peraturan perundang-undangan, yang mencakup; (a) adanya peraturan perundang-undangan yang bermuatan kepentingan pihak-pihak tertentu (b) kualitas peracuran perundang-undangan kurang memadai, (c) peraturan kurang disosialisasikan, (d) sanksi yang terlalu ringan, (e) peraturan sanksi yang tidak konsisten dan pandang bulu, (f) lemahnya lembaga evaluasi dan revisi peraturan perundang-undangan. 

Bibit Samad Riyanto (2009) mengatakan lima hal yang dianggap berpotensi menjadi penyebab tindakan korupsi. Pertama adalah sistem politik, yang ditandai dengan munculnya aturan perundang-undangan, seperti Perda, dan peraturan lain ; kedua, adalah intensitas moral seseorang atau kelompok; ketiga adalah remunerasi atau pendapatan (penghasilan) yang minim; keempat adalah pengawasan baik bersifat internal-eksternal; dan kelima adalah budaya taat aturan.

Sementara itu Rahman Saleh merinci ada empat faktor dominan penyebab merajalelanya korupsi di Indonesia, yakni faktor penegakan hukum, mental aparatur, kesadaran masyarakat yang masih rendah, dan rendahnya ‘political will’ (Rahman Saleh : 2006).

Hal senada juga dikemukakan oleh Basyaib, dkk (Basyaib: 2002) yang menyatakan bahwa lemahnya sistem peraturan perundang-undangan memberikan peluang untuk melakukan tindak pidana korupsi. 
Kenyataan bahwa berbagai produk hukum di masa Orde Baru sangat ditentukan oleh konstelasi politik untuk melanggengkan kekuasaan di era Reformasi pun ternyata masih saja terjadi. Banyak produk hukum menjadi ajang perebutan  legitimasi bagi berbagai kepentingan kekuasaan politik, untuk tujuan mempertahankan dan mengakumulasi kekuasaan.

Dari beberapa hal yang disampaikan, yang paling penting adalah budaya sadar akan aturan hukum. Dengan sadar hukum, maka masyarakat akan mengerti konsekuensi dari apa yang ia lakukan. Kemampuan lobi kelompok kepentingan dan pengusaha terhadap pejabat publik dengan menggunakan uang sogokan., hadiah, hibah dan berbagai bentuk pemberian yang mempunyai motif koruptif, masyakat hanya menikmati sisa-sisa hasil pembangunan.

Disamping tidak bagusnya produk hukum yang dapat menjadi penyebab terjadinya korupsi, praktik penegakan hukum juga masih dililit berbagai permasalahan yang menjauhkan hukum dari tujuannya. Secara kasat mata, publik dapat melihat banyak kasus yang menunjukan adanya diskriminasi dalam proses penegakan hukum termasuk putusan-putusan pengadilan.

  • FAKTOR EKONOMI


Faktor ekonomi juga merupakan salah satu penyebab terjadinya korupsi. Hal ini dapat dijelaskan dari pendapatan atau gaji yang tidak mencukupi kebutuhan. Selain rendahnya gaji atau pendapatan, banyak aspek ekonomi lain yang menjadi penyebab terjadinya korupsi, di antaranya adalah kekuasaan pemerintah yang dibarengi dengan faktor kesempatan bagi pegawai pemerintah untuk memenuhi kekayaan mereka dan kroninya. Terkait faktor ekonomi dan terjadinya korupsi, banyak pendapat menyatakan bahwa kemiskinan merupakan akar masalah korupsi.pernyataan tidak benar sepenuhnya, sebab banyak korupsi yang dilakukan oleh pemimpin Asia dan Afrika, dan mereka tidak tergolong orang miskin. Dengan demikian korupsi bukan disebabkan oleh kemiskinan, tapi justru sebaliknya, kemiskinan disebakan oleh korupsi (Pope: 2003).

Pendapat lain menyatakan bahwa kurangnya gaji dan pendapatan pegawai negeri memang merupakan faktor yang paling menonjol dalam arti menyebabkan merata dan meluasnya korupsi di Indonesia dikemukakan pula oleh Guy J. Pauker (1979) yang menyatakan sebagai berikut:
Although corruption is widespread in Indonesia as means of supplementing excessively low governmental salaries, the resources of the nation are not being used primarily for the accumulation of vast private fortunes, but for economic development and some silent, for welfare (Guy J. Pauker : 1979). “

Pendapat ini diperkuat oleh Schoorl yang menyatakan bahwa di Indonesia dibagian pertama tahun enampuluhan, situasinya begitu merosot, sehingga untuk golongan terbesar dari pegawai gaji sebulan hanya sekedar cukup untuk makan dua minggu. Dapat dipahami, bahwa dengan situasi demikian para pegawai terpaksa mencari penghasilan tambahan dan bahwa banyak diantara mereka mendapatkannya dengan meminta uang ekstra (Hamzah: 1995). 

Menurut Henry Kissinger korupsi politisi membuat sepuluh persen lainnya terlihat buruk. Dari keinginan pribadi untuk keuntungan yang tidak adil, untuk ketidakpercayaan dalam sistem peradilan, untuk ketidak stabilan lengkap dalam identitas bangsa, ada banyak faktor motivasi orang kekuasaan, anggota parlemen termasuk warga biasa, untuk terlibat dalam perilaku korup.

  • FAKTOR ORGANISASI


Organisasi dalam hal ini adalah organisasi yang luas, termasuk sistem pengorganisasian lingkungan masyarakat. Organisai yang menjadi korban korupsi atau dimana korupsi terjadi biasanya memberi andil terjadinya korupsi karena membuka peluang atau kesempatan untuk melakukan korupsi.

Aspek-aspek terjadinya korupsi dari sudut pandang organisasi meliputi: (a) kurang adanya teladan dari pemimpin (b) tidak adanya kultur organisasi yang benar, (c) sistem akuntabilitas dalam instansi kurang memadai, (d) manajemen cenderung menutupi didalam organisasinya. Terkait dengan itu Lyman W. Porter (1984) menyebut lima fungsi penting dalam organizational goals: (1) focus attention; (2) provide a source of legitimacy (3) affect the structure of the organization (4) serve as a standard (5) provide clues about the organization.

Focus attention, dapat dijadikan oleh para anggota sebagai semacam gideline untuk memusatkan usaha-usaha dan kegiatan-kegiatan anggota-anggota dan organisasi sebagai kesatuan. Melalui tujuan organisasi, para anggota dapat memiliki arah yang jelas tentang segala kegiatan dan tentang apa yang  tidak, serta apa yang harus dikerjakan dalam kerangka organisasi. Tindak tanduk atas kegiatan dalam organisasi, oleh karenanya senantiasa berorientasi kepada tujuan organisasi, baik didasari maupun tidak.

Dalam fungsinya sebagai dasar legitimasi atau pembenaran tujuan organisasi dapat dijadikan oleh para anggota sebagai dasar keabsahan dan kebenaran tindakan-tidakan dan keputusan-keputusannya. Karena sebuah organisassi dapat berfungsi dengan baik, hanya bila anggotanya bersedia mengintegrasikan diri dibawah sebuah pola tingkah laku (yang normalitif), sehingga dapat dikatakan bahwa kehidupan bersama hanya mungkin apabila anggota-anggota bersedia mematuhi dan mengikuti “aturan permainan” yang ditentukan.

Menurut Baswir pada dasarnya perakar pada bertahannya jenis birokasi patrinominal. Dalam biirokrasi ini, dilakukan oleh para birokrat memang sulit untuk diuhindari. Sebab kendali politik terhadap kekuasaan dan birokrasi memang sangat terbatas. Penyebab lainnya karena sangat kuatnya pengaruh integralisme di dalam filsafat kenegaraan bangsa ini , sehingga cenderung masih mentabukan sikap opopsisi. Karakteristik negara kita yang merupakan birokrasi patrimonial dan negara hegemonik tersebut menyebabkan lemahnya fungsi pengawasan, sehingga merabaklah budaya korupsi itu.

Di banyak negara berkembang muncul pandangan bahwa korupsi adalah akibat dari perilaku-perilaku yang membudaya. Anggapan ini lama-lama akan berubah jika uang pelicin yang diminta semakin besar, atau konsumen tahu bahwa kelangkaan yang melandasi uang semir sengaja diciptakan atau justru prosedur dan proses yang lebih baik bisa diciptakan

Comments