Issu Dan Analisa Kasus Korupsi KOMJEN Budi Gunawan Oleh Shinta Amelia

Analisa Kasus Korupsi KOMJEN Budi Gunawan
Shinta Amelia
Mahasiswi D3 Keperawatan
STIKES PAYUNG NEGERI

Profil Penulis

Tulisan ini dibuat oleh Shinta Amelia yang merupakan salah satu mahasiswi saya Jurusan D3 Keperawatan di STIKES PAYUNG NEGERI Pekanbaru - Riau  yang lahir di Merangin tanggal 12 November 1997. Tulisan ini merupakan tugas mata kuliah Pendidikan Anti Korupsi dengan menganalisa perkara korupsi yang terjadi di Indonesia ditinjau dari pendapat para ahli, jenis – jenis dan tipe – tipe korupsi juga meninjau permasalahan tersebut dari berbagai aspek yang berkaitan erat dengan tindak pidana korupsi yang terjadi di Indonesia.



Latar Belakang Masalah
Keamanan dan kesejahteraan suatu negara sangat ditentukan oleh kemampuan dan keberhasilan dalam melaksanakan penegakan hukum.  Efektifitas dan keberhasilan penegakan hukum terutama ditentukan oleh faktor sumber daya manusia.  Salah satu sumber daya manusia yang memegang peranan penting dalam penegakan hukum di Indonesia yaitu kepolisian.  Tetapi ironisnya, negara tercinta ini dibandingkan dengan negara lain di kawasan Asia masih belum menjadi sebuah negara hukum yang tegas. Mengapa demikian? Salah satu penyebabnya adalah rendahnya kualitas sumber daya manusianya.  Kualitas tersebut bukan hanya dari segi pengetahuan atau intelektualnya tetapi juga menyangkut kualitas moral dan kepribadiannya.

Seperti dalam makalah ini, kasus budi gunawan merugikan negara sebanyak Rp. 1.000.000.000,00 Milyar rupiah. Salah satu contoh fenomena kasus hukum yang terjadi di Indonesia dan terbilang kasus hukum yang langka adalah kasus hukum Budi Gunawan.  Fenomena kasus hukum Budi Gunawan menumbulkan gumpalan asap dalam dunia peradilan di Indonesia.  Gumpalan asap yang menyembul di dunia hukum Indonesia pasti ada asal dan penyebabnya. Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan calon Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Komisaris Jenderal Budi Gunawan, sebagai tersangka kasus dugaan suap dan penerimaan hadiah. Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto mengatakan kasus ini sudah lama masuk ke tahap penyelidikan.
Pada dasarnya proses pengangkatan Kapolri tunduk melalui Pasal 11 UU Kepolisian Negara RI yang terdiri dari delapan ayat. Di dalam ketentuan ini Presiden memiliki legalitas untuk mengusulkan pengangkatan Kapolri dengan terlebih dahulu meminta persetujuan DPR.  Jika selanjutnya telah disetujui oleh DPR, maka kewenangan penuh untuk mengeluarkan SK (Surat keputusan) pengangkatan berada di tangan Presiden.  Atas ihwal peristiwa yang terjadi terhadap proses pengangkatan Budi Gunawan, kini telah sampai pada tahap yang telah mendapat persetujuan oleh DPR. Yakni anggota DPR telah bulat bermufakat menyetujuinya melalui hasil paripurna. Itu artinya, keputusan untuk mengangkat, kemudian selanjutnya melantik Budi Gunawan sebagai Kapolri tinggal satu tahapan. Yakni Presiden Jokowi harus menyetujuinya, kemudian menerbitkan SK pengangkatan Kapolri atas nama Budi Gunawan.

Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, dapat dirumuskan permasalahan yang akan dipecahkan dalam penelitian ini menjadi, sebagai berikut:
  1. Bagaimana sumber hukum yang digunakan dalam penyelesaian kasus Budi Gunawan?
  2. Bagaimana pra peradilan yang terjadi dalam kasus Budi Gunawan?
  3. Bagaimana dinamika hukum yang terjadi di Indonesia terkait dengan kasus hukum Budi Gunawan?
  4. Bagaimana pandangan para pakar hukum dan pengamat hukum terhadap kasus Budi Gunawan?
Tujuan
Untuk pengembangan pengetahuan penulis dalam menganalisa kasus hukum budi gunawan.

PEMBAHASAN
  • ISSU KASUS BUDI GUNAWAN
Seiring perjalanan karir Budi Gunawan, ia mulai terseret kasus hukum di Indonesia. Perkembangan Kasus Hukum Komjen Budi Gunawan pasca KPK memberikan gelar tersangka semakin menggelinding setelah pelantikannya sebagai kapolri ditunda oleh presiden Jokowi.  Pemerintah meminta KPK mempercepat proses Hukum.  Selang waktu beberapa jam, pasca hasil paripurna persetujuan pengangkatan, sekelompok relawan Jokowi bergerumul memenuhi depan istana negara.  Para relawan tersebut menuntut agar Presiden Jokowi membatalkan penunjukan Komjen Pol Budi Gunawan sebagai Kepala Polri. Jika Jokowi tetap bersikukuh melakukan pelantikan sudah pasti akan menodai korps Bhayangkara dan dengan sendirinya Jokowi telah mengingkari program Nawa Cita pemerintahan.

Dalam konfrensi persnya, wakil ketua KPK Bambang wijayanto menjelaskan bahwa semua saksi yang dipanggil KPK kemarin tidak datang memenuhi panggilan dan kebanyakan saksi yang dipanggil 5 orang tersebut merupakan anggota Polri yang berpangkat perwira tinggi.  Seperti diketahui Kepala Divisi Humas Mabes Polri Irjen (Pol) Ronny F Sompie menyebut bahwa Komjen Budi Gunawan sementara ini megajukan Pra Peradilan terhadap KPK atas penetapannya sebagai tersangka, memang dalam hukum Positif Praperadilan dibenarkan secara hukum dan diakui sebagai hak dari tersangka, terdakwa dan hal ini sesuai dengan KUHAP.

Sebelum mengkaji lebih jauh tentang kasus hukum Budi Gunawan, ada baiknya untuk mengenal profil Budi Gunawan. Omen Pol. Drs. Budi Gunawan, S.H., M.Si., Ph.D. lahir di Surakarta, Jawa Tengah, 11 Desember 1959.  Budi Gunawan adalah tokoh kepolisian Indonesia.  Saat ini ia menjabat sebagai Kalemdikpol yang aktif sejak Desember 2012.  Ia didapuk sebagai orang nomor satu di Lemdikpol menggantikan Komjen Pol Drs. Oegrosenoyang sekarang dipromosikan menjadi Wakapolri.  Pada saat berpangkat Komisaris Besar (Kombes) ia pernah menjabat sebagai Ajudan Presiden RI di masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri.  

Sejarah perjalanan karir Budi Gunawan, sempat tercatat sebagai jenderal termuda di Polri saat dipromosikan naik pangkat bintang satu atau Brigadir Jenderal (Brigjen) dengan jabatan sebagai Kepala Biro Pembinaan Karyawan (Binkar) Mabes Polri.  Setelah itu menjabat Kepala Selapa Polri, lembaga yang menginduk pada Lemdikpol selama 2 tahun.  
Karirnya terus berkembang sehingga ia dipromosikan lagi menjadi Kapolda Jambi yang merupakan Polda tipe B.  Dalam waktu yang tidak terlalu lama, ia naik pangkat lg menjadi bintang dua atau Inspektur Jenderal (Irjen) dengan jabatan sebagai Kepala Divisi Pembinaan Hukum (Kadiv BinKum).

Budi Gunawan sempat mutasi dengan jabatan Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Kadiv Propam) sebelum dipromosikan menjabat di kewilayahan sebagai Kapolda Bali yang merupakan Polda tipea A.  Tanda pangkat bintang tiga pun disematkan di pundaknya sampai akhirnya ia meraih pangkat Komisaris Jenderal (Komjen) ketika dipromosikan dengan jabatan Kepala Lembaga Pendidikan Polri (Kalemdikpol) yang membawahi lembaga-lembaga pendidikan seperti Akademi Kepolisian (Akpol), Sekolah Staf dan Pimpinan Polri (SESPIM), Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK), dan lainnya.

Riwayat jabatan :
  1. Ajudan Wakil Presiden RI (1999-2001)
  2. Ajudan Presiden RI (2001-2004)
  3. Karobinkar SSDM Polri (2004-2006)
  4. Kaselapa Lemdiklat Polri (2006-2008)
  5. Kapolda Jambi (2008-2009)
  6. Kadiv Binkum Polri (2009-2010)
  7. Kadiv Propam Polri (2010-2012)
  8. Kapolda Bali (2012)
  9. Kalemdiklat Polri (2012-Sekarang)
  • Sumber hukum
Sebagaimana diketahui bahwa sistem peradilan pidana di Indonesia mengenal 5 (lima) institusi sub sistem peradilan pidana sebagai Panca Wangsa penegak hukum, yaitu Lembaga Kepolisian (UU No. 2 Tahun 2002), Kejaksaan (UU No. 16 Tahun 2004), Peradilan (UU No. 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 2 Tahun 1986), Lembaga Pemasyarakatan (UU No. 12 Tahun 1995) dan Advokat (UU No. 18 Tahun 2003).  Bahwa berdasarkan literature ini, DR. Lilik Mulyadi, S.H., M.H. menjelaskan bahwa kepolisian secara lembaga adalah penegak hukum berdasarkan UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI.

Pasal 2: “Fungsi Kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat”. Pasal 13: “Tugas Pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah: a. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; b. Menegakan hukum; dan c. Memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat”.  Ketentuan Pasal 6 huruf c jo. Pasal 11 UU KPK, yang berbunyi: Pasal 6 huruf c UU KPK, menyebutkan: “Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas: c. melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi”.  Pasal 11 UU KPK, menyebutkan: “Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang :
  1. Melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara
  2. Mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat
  3. Menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
  • Dinamika Hukum
Calon Kapolri yang berstatus tersangka agar dibatalkan proses pencalonannya, bukanlah dengan sebatas memakai dalil moral dan etik saja. Mesti “direkonseptualisasi” segala ketentuan yang terkait dengan dua peristiwa hukum itu, lalu dirumuskan dalam ketentuan tegas setelah diturunkan dari dalil consensus moral yang bisa “terterima” secara terus menerus.  Dalam tahapan sederhana, singkat, tidak memakan waktu yang lama, sebenarnya Presiden Jokowi atas otoritas penuhnya, saat ini dapat tidak menerbitkan SK pengangkatan Budi Gunawan meskipun sudah disetujui oleh Paripurna DPR.  

Penidakterbitan SK tersebut dapat dilakukan dengan alasan status tersangka sang Jenderal dapat memicu kemarahan publik jika “dipaksakan” untuk dilantik.  Ini berarti bukan lagi soal legal atau non-legal-nya Budi Gunawan untuk ditetapkan sebagai Kapolri, tetapi soal diterima atau tidak diterimanya yang bersangkutan oleh publik untuk memimpin institusi Bhayangkara tersebut.

Sebagaimana dalam dinamikanya, massa (rakyat) tidak lagi menghendaki calon kapolri yang “bermasalah hukum,” demi menciptakan pemerintahan yang bersih. Meskipun tafsir demikian hanyalah “tafsir subjektif” bagi Presiden yang memiliki kewenangan penuh untuk menerbitkan SK pengangkatan Kapolri.  Sedangkan dalam dinamika hukum yang membutuhkan waktu relatif panjang.  Paling tidak UU Kepolisian, kalau mau diatur ketegasannya; syarat calon Kapolri tidak boleh berstatus tersangka.  Maka dalil hukum abstrak yang menyertainya, boleh jadi harus berlaku imperatif terhadap setiap jabatan publik tatkala dalam proses pengangkatan jika sewaktu-waktu ditetapkan sebagi tersangka. Adalah “setiap perkara yang ditangani oleh KPK adalah perkara korupsi, yang mana “korupsi” merupakan kejahatan extra, dan akhir proses hukumnya selalu “terbukti pelakunya.” Meskipun perumusan dalil hukum tersebut pasti sulit dalam perkembangannya, tetapi siapa yang tahu, Undang-Undang dan setiap ketentuannya memang selalu menyesuaikan dengan kondisi masyarakat dimana hukum itu berada.
  • Pra Peradilan
Mengenai Pra Peradilan diatur dalam pasal 1 angka 10 KUHAP (UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana), praperadilan adalah wewenang hakim untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang tentang:
  1. sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;
  2. sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
  3. permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.
Pra peradilan ini akan memiliki  dampak yang cukup besar dan merupakan upaya terkahir dari Komjen Budi Gunawan untuk lepas dari cengkraman KPK asalkan Pengadilan Mengabulkan permohonan Pra Peradilan Komjen Budi Gunawan dan menyatakan bahwa penetapan tersangka kepadanya termasuka penahanan kota yag dilakukan kepadanya adalah bertentangan dengan Hukum.

Jika Pra Peradilan ini dikabulkan maka Jalan Komjen Budi Gunwan untuk dilantik Sebagai Kapolri akhirnya bisa terwujud dan melalui Pra peradilan itu juga KPK harus merehabilitisi nama baik dan  kedudukan Komjen Budi Gunawan sebagai  Waraga Negara indonesia Yang baik. Dan seluruh kontroversi dan intri politik yang muncul selama ini akan berakhir dengan adanya keputusan Pra peradilan tersebut.  Namun jika Pra Peradilan tersebut ditolak maka jalan Komjen Budi Gunawan ke hotel prodeo KPK semakin terhampar didepan mata.dan saya rasa Praperadilan ini merupakan pertarungan sengit lembaga Hukum antara KPK dan POLRI. Kini keputusan ada ditangan para HAKIM yang merupakan wakil tuhan dalam menegakkan keadilan

Praperadilan yang diajukan oleh Komjen. Pol. Budi Gunawan, Calon Kapolri yang merupakan Tersangka di KPK tidak begitu jelas, apakah terhadap sah atau tidaknya penyidikan atau sah atau tidaknya penetapan tersangka. Namun terlepas dari hal tersebut, proses persidangan praperadilan dimaksud telah usai, yang mana amar putusannya kurang lebih berbunyi:
  1. Menyatakan surat perintah penyidikan yang menetapkan Komjen. Pol. Budi Gunawan sebagai tersangka adalah tidak sah dan tidak berdasar oleh hukum dan oleh karenanya penetapan a quo tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
  2. Menyatakan penyidikan yang dilakukan oleh Termohon terhadap diri Pemohon adalah tidak sah dan tidak berdasar oleh hukum;
  3. Menyatakan penetapan tersangka atas diri Pemohon yang dilakukan oleh Termohon adalah tidak sah;
  4. Menyatakan tidak sah segala keputusan atau penetapan lebih lanjut yang dikeluarkan oleh Termohon yang berkaitan dengan penetapan Tersangka oleh Termohon;
Dari literatur amar tersebut di atas, muncul suatu pertanyaan dalam benak penulis, yaitu bagaimana caranya mengeksekusi putusan praperadilan tersebut? Sebab salah satu amarnya berbunyi “Menyatakan tidak sah segala keputusan atau penetapan lebih lanjut yang dikeluarkan oleh Termohon yang berkaitan dengan penetapan Tersangka oleh Termohon”.  Artinya, jika sudah tidak ada lagi upaya hukum terhadap putusan dimaksud, maka segala keputusan yang akan ditempuh oleh KPK terkait dengan status tersangka yang disandang oleh Komjen. Pol. Budi Gunawan, termasuk dalam rangka upaya supaya perkara tersebut dapat selesai (dalam pengertian bukan menghentikan penyidikan.

KPK tidak diberi wewenang oleh UU untuk menerbitkan penghentian penyidikan) adalah tidak sah. Penulis sendiri masih belum bisa membayangkan konstruksi hukum yang akan dipakai oleh KPK untuk menghentikan perkara ini karena KPK itu sendiri tidak diberi wewenang untuk menghentikan suatu penyidikan.

Mengenai kompetensi dari Pra Peradilan, yang pertama sah atau tidaknya penyidikan atau sah atau tidaknya penetapan tersangka, menurut penulis, berdasarkan hukum yang berlaku saat ini, bukanlah merupakan obyek praperadilan. Kewenangan hakim praperadilan mengenai obyek perkara yang menjadi wewenang praperadilan, diatur dalam Pasal 77 UU No. 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang berbunyi:
Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini tentang: 
  • Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan; 
  • Ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan
Dari ketentuan ini, dapat diklasifikasikan dua alasan yang dapat dijadikan dasar untuk mengajukan praperadilan, yaitu, yang pertama, sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penuntutan, dan yang kedua, mengenai ganti kerugian dan atau rehabilitasi akibat dari penghentian penyidikan atau penuntutan.
  • ANALISA KASUS BUDI GUNAWAN
Berdasarkan literature yang penulis temukan di kajian teori, maka menurut penulis, sesungguhnya Komjen. Pol. Budi Gunawan, yang pada saat itu berpangkat Kombes dan menduduki jabatan Karobinkar dapat dimaknai sebagai aparat penegak hukum meskipun ia tidak bersentuhan langsung dengan hukum publik.  Hal yang tidak dapat dipungkiri bahwa ia bersentuhan langsung dan memiliki tanggungjawab dalam rangka menegakkan hukum di internal Polri yang menyangkut pembinaan dan karir. 

Penulis sangat menyayangkan pendapat hakim praperadilan tersebut yang menerjemahkan secara harafiah, tanpa menunjuk suatu rujukan untuk menemukan tafsiran harafiah tersebut, sehingga dapat menimbulkan banyak asumsi.

Masyarakat dapat membuat olok-olokan atas status penegak hukum yang disandang oleh anggota kepolisian, bisa jadi jika seseorang melakukan pelanggaran hukum yang hendak ditangkap oleh anggota polisi maka orang tersebut akan mengelak dan berkata “tunggu dulu pak polisi, status anda apa? Anda kan bukan penegak hukum….” Jika melihat tafsiran dari hakim praperadilan Komjen. Pol. Budi Gunawan, yang memberi pengertian bahwa yang dimaksud dengan aparat penegak hukum adalah penyelidik, penyidik, jaksa penuntut umum dan hakim, maka seolah-olah penegakan hukum hanya semata-mata diperlukan untuk menegakkan hukum pidana saja, padahal hukum yang harus ditegakkan itu bukan hanya hukum pidana saja, tetapi ada hukum perdata dan termasuk hukum yang mengatur internal suatu instansi. 

Analisa lain dari penulis terkait dengan pertimbangan lainnya yang menyangkut pengertian penyelenggara Negara yang menjadi kewenangan KPK dan yang menyangkut mengenai batas minimum kerugian Negara serta jenis tindak pidana yang disangkakan kepada Komjen. Pol. Budi Gunawan, penulis sependapat dengan pertimbangan hakim praperadilan tersebut.  Menyangkut kewenangan KPK terkait Pasal 11 UU KPK huruf b, tentang tindak pidana korupsi mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat, penulis berpendapat bahwa ketentuan ini tidak memiliki tolak ukur atau batasan yang jelas.

Menganalisa pandangan tersebut di atas,  secara keseluruhan berdasarkan sistem hukum di Indonesia, yaitu positivism hukum, maka menyangkut praperadilan, penulis berpendapat bahwa sistem hukum sudah diatur secara limitative di dalam Pasal 77 KUHAP, sehingga hakim praperadilan seharusnya tidak dapat mempergunakan kewenangan yang diberikan kepadanya melalui UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Kehakiman).  

Kewenangan ini digunakan untuk menemukan hukum atau menafsirkan lebih dari yang sudah diatur dalam Pasal 77 KUHAP, karena kewenangan untuk menafsirkan ataupun menemukan hukum berdasarkan UU Kehakiman juga dibatasi, yaitu hanya dapat dipergunakan disaat hukum yang mengatur tidak ada atau hukum yang mengatur tidak jelas.  Dalam hal ini, mengenai praperadilan, hukum yang mengatur sudah jelas, yaitu Pasal 77 KUHAP dan aturan yang mengatur tersebut juga sudah jelas, yaitu limitative.

Setelah memahami filosofi dari pidana dan pemidanaan, dapat dipahami bahwa hukum pidana akan selalu bersentuhan dengan kekuasaan (Negara) melawan warga Negara (perindividu atau perorangan).  Hal ini berarti, akan selalu ada kekuasaan besar pada penegak hukum yang dapat dipergunakan secara subyektif dan kelemahan hukum tergantung pada kekuasaan subyektif penegak hukum. 

Kewenangan kekuasaan besar yang melekat pada penegak hukum yang dapat dipergunakan secara subyektif tersebut, berdasarkan hukum positif yang berlaku saat ini, yang mengatur mengenai aturan penegakan hukum pidana materiil, yaitu KUHAP. 

Hukum pidana materil ini tidak memiliki daya control yang cukup memadai untuk mengontrol kekuasaan tersebut, padahal harus dipahami jika “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely”.

Penulis berharap kepada para pembuat undang-undang, yaitu legislatif dan eksekutif, agar segera mengesahkan RUU KUHAP yang baru karena menurut penulis, jika tidak disegerakan maka nantinya akan ada permasalahan-permasalahan hukum yang mungkin timbul dikemudian hari akibat dari kesewenang-wenangan penggunaan kekuasaan.  Hal ini seperti yang dialami oleh Komjen. Pol. Budi Gunawan sebagaimana permohonannya di dalam praperadilan di atas, telah diatur mekanisme hukum acaranya secara lebih detail, sehingga perdebatan-perdebatan yang penuh dengan berbagai macam interpretasi dapat dihindarkan dan kepastian hukum akan lebih terjamin.  Jaminan kepastian hukum ini akan berdampak pula kepada kepercayaan warga Negara terhadap penegak hukum di republik ini.

Pahitnya kenyataan hukum di Indonesia saat ini sebagai Negara hukum, yang sistem hukumnya adalah positivism, maka setiap warga Negara wajib menghormati hukum dan janganlah sekali-kali mengolok-olok hukum yang berlaku tersebut meskipun terjadi ketidaksesuaian dengan pemahamannya atau rasa keadilannya.  Jika kenyataannya ada aturan hukum yang dirasa sudah tidak sesuai dengan perkembangan jaman, maka sudah seharusnya hukum tersebut diperbaiki melalui mekanisme hukum bukan dengan cara-cara membangun opini yang justru memberikan dampak yang tidak baik bagi republik ini. Biarlah hukum menjadi panglima tertinggi. 

Pandangan lain dari penulis yaitu, amar putusan Pra Peradilan atas perkara a quo adalah putusan yang non-executable karena tidak berlandaskan hukum.  Penulis juga mencatat pertimbangan hukum yang menghasilkan amar di atas yang patut untuk dipertanyaan, yaitu pertimbangan hukum yang menyatakan bahwa pengadilan berwenang untuk memeriksa dan mengadili permohonan a quo (terlepas dari apakah terhadap sah atau tidaknya penetapan tersangka atau sah atau tidaknya penyidikan).  Kedua, pertimbangan hukum yang menyatakan bahwa pemohon (Komjen. Pol. Budi Gunawan) bukan merupakan subyek hukum pelaku tindak pidana korupsi yang menjadi kewenangan termohon (KPK), karena pemohon bukan termasuk aparat penegak hukum dan bukan termasuk sebagai penyelenggara Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c jo.   
       
Dalam melakukan analisis atas perbuatan korupsi dapat didasarkan pada 3 (tiga) pendekatan berdasarkan alur proses korupsi yaitu :
  • Pendekatan pada posisi sebelum perbuatan korupsi terjadi,
  • Pendekatan pada posisi perbuatan korupsi terjadi,
  • Pendekatan pada posisi setelah perbuatan korupsi terjadi.
Dari tiga pendekatan ini dapat diklasifikasikan tiga strategi untuk mencegah dan memberantas korupsi yang tepat yaitu:
  • Strategi Preventif
Strategi ini harus dibuat dan dilaksanakan dengan diarahkan pada hal-hal yang menjadi penyebab timbulnya korupsi.Setiap penyebab yang terindikasi harus dibuat upaya preventifnya, sehingga dapat meminimalkan penyebab korupsi. Disamping itu perlu dibuat upaya yang dapat meminimalkan peluang untuk melakukan korupsi dan upaya ini melibatkan banyak pihak dalam pelaksanaanya agar dapat berhasil dan mampu mencegah adanya korupsi.
  • Strategi Deduktif
Strategi ini harus dibuat dan dilaksanakan terutama dengan diarahkan agar apabila suatu perbuatan korupsi terlanjur terjadi, maka perbuatan tersebut akan dapat diketahui dalam waktu yang sesingkat-singkatnya dan seakurat-akuratnya, sehingga dapat ditindaklanjuti dengan tepat. Dengan dasar pemikiran ini banyak sistem yang harus dibenahi, sehingga sistem-sistem tersebut akan dapat berfungsi sebagai aturan yang cukup tepat memberikan sinyal apabila terjadi suatu perbuatan korupsi. Hal ini sangat membutuhkan adanya berbagai disiplin ilmu baik itu ilmu hukum, ekonomi maupun ilmu politik dan sosial.
  • Strategi Represif
Strategi ini harus dibuat dan dilaksanakan terutama dengan diarahkan untuk memberikan sanksi hukum yang setimpal secara cepat dan tepat kepada pihak-pihak yang terlibat dalam korupsi. Dengan dasar pemikiran ini proses penanganan korupsi sejak dari tahap penyelidikan, penyidikan dan penuntutan sampai dengan peradilan perlu dikaji untuk dapat disempurnakan di segala aspeknya, sehingga proses penanganan tersebut dapat dilakukan secara cepat dan tepat. Namun implementasinya harus dilakukan secara terintregasi. Bagi pemerintah banyak pilihan yang dapat dilakukan sesuai dengan strategi yang hendak dilaksanakan.
Daftar Rujukan
  • Anonim. 2015. Hakim Praperadilan. Diunduh hari Kamis, 26 Maret 2015 Pukul 01.00 WIB dari website http://www.sorgemagz.com/?p=5512
  • Anonim. 2015. Gugatan Budi Gunawan. Diunduh hari Kamis, 26 Maret 2015 Pukul 02.10 WIB dari website http://nasional.kompas.com
  • Anonim. 2015. Pakar Hukum Tata Negara UNHAS. Diunduh hari Kamis, 26 Maret 2015 Pukul 02.10 WIB dari website http://makassar.tribunnews.com
  • Koran Tempo Februari 2015
  • Wikipedia. 2015. Profil Budi Gunawan. Diunduh hari Kamis, 26 Maret 2015 Pukul 00.30 WIB dari website http://id.wikipedia.org/wiki/Budi_Gunawan

Comments